Bab 2 Sikap Aneh Brandy
Mobil kami berhenti di depan sebuah Villa.
"Ayo, turun Sayang," Brandy membukakan pintu untukku.
Aku tersenyum lalu turun.
Sebuah mobil telah berhenti mendahului kami sebelumnya.
Aku heran.
Sekonyong-konyong dari dalam mobil itu keluarlah Abraham.
Aku terkhenyak.
Ada apa dengannya? Mengapa dia harus turut ada di sini?
"Sayang, kamu nampak kaget lagi. Tenang, Kak Abraham cuma nganterin kita ajah." Brandy menenangkan.
"Ya, aku tidak kaget kok." Jawabku berusaha tenang.
Abraham tersenyum. Namun tanpa bicara.
Berusaha untuk tanpa peduli, aku melangkahkan kaki membuntuti jejak Brandy. Sialnya Abraham malah mengekor.
Ada apa dengan laki-laki itu? Apa dia tidak tahu kalau kami akan berlibur untuk merayakan honeymoon di sini? Mengapa dia turut serta?
Menjelang malam harinya, aku memandang lautan lepas. Di pelukan Brandy, serasa malam ini semakin hangat. Namun tidak demikian dengan suasana hatiku. Keturutsertaan Abraham mengusik ketenanganku.
Drrt... Drrt...
Ponsel Brandy bergetar.
"Sebentar ya, Sayang," Brandy meraih ponselnya.
Aku membiarkan Brandy sibuk dengan handphonenya.
Aku izin untuk membersihkan tubuh terlebih dahulu, ini adalah malam pertama kami menikmati malam di Villa, tentu saja aku ingin memberikan pelayanan terbaik pada imamku.
Tok ... Tok ... Tok ...!
Terdengar ketukan pintu kamar mandi.
"Kenapa, Sayang? Aku belum selesai mandi nih," ucapku asyik dengan guyuran air hangat.
"Sayang, buka pintunya, aku ingin bicara sebentar,"
"Sebentar,"
Aku mempercepat mandiku. Buru-buru kemudian mengenakan handuk. Meski sudah sah sebagai suami istri, jujur saja, aku masih malu untuk menampakkan tubuhku tanpa balutan busana pada Brandy.
Dengan lilitan handuk, aku keluar dari pintu kamar mandi.
"Kamu cantik, Sayang," puji Brandy.
Aku tersipu.
Brandy mendekat, lalu mencium keningku. Hangat. Aku menyukainya. Bagiku ini romantis.
"Sayang, maaf ya, aku terpaksa harus keluar. Ada teman yang meminta bantuanku. Maaf, tapi sebisa mungkin nanti aku akan berusaha pulang cepat," tutur Brandy.
Mendengarnya aku kecewa.
"Maaf, Sayang," lagi-lagi Brandy melingkarkan tangannya ke pinggangku. Sebentar kemudian ia melepaskan lingkaran tangannya.
Aku sedikit kecewa. Meski malu, tidak munafik jika sebenarnya aku mengharap lebih. Tapi ya sudahlah. Aku meredam perasaanku.
Perlahan suami gantengku itu mengenakan jaket dan berjalan keluar.
"Kunci pintunya, Sayang. Awas jangan buka untuk orang lain," Brandy memicingkan mata.
"Tenang, tidak akan." Balasku.
Sepeninggalnya, aku mengeluarkan lingerie hitam yang sengaja ku beli untuk memanjakan mata suamiku. Ku pasang lingerie itu pada tubuhku yang sintal. Ini adalah malam ketiga pernikahan kami. Malam yang akan kuhabiskan di villa ini tanpa khawatir akan diganggu oleh oleh lain.
Tapi aku merasa ada sedikit ketakutan akan keikutsertaan Abraham tadi.
Namun, segera kutepis pikiran buruk yang menghampiri.
Di depan cermin, aku memandang tubuhku.
Aku tersenyum.
"Semoga aku bisa membahagiakan Brandy dan bisa membuat hatinya selalu terjaga untukku," aku membatin.
Aku menutupi tubuh dengan kimono.
Malam semakin larut, aku mulai cemas. Brandy belum juga kembali.
Ceklek...
Tiba-tiba listrik mati mendadak.
Aku terpekik.
Aku yang phobia dengan gelap menutup wajah dalam selimut.
Aku menggerutu dalam hati, mengapa Brandy belum juga pulang.
Tok... Tok ... Tok ...
"Siapa?" Tanyaku.
"Buka pintunya, sayang," ucapan lembut seorang lelaki menjawab pertanyaanku.
Aku bersyukur, Brandy pulang. Tapi, kok suaranya lembut sekali ya?
Jangan bod*h Mera. Namanya juga pengantin baru.
Aku bergegas membuka pintu kamar.
Seorang lelaki masuk, ya dia Brandy. Aku mengenali aroma parfumnya.
"Sayang, baumu membuatku nyaman," ucap Brandy setengah berbisik.
"Makasih, Sayang," jawabku.
Aku menggenggam jemari Brandy erat. Tak urung aku nyerempet. Dalam hati aku mengumpat. Ketakutanku pada gelap membuatku bersikap terlalu lengket sama Brandy.
"Kamu takut gelap kan?" Tanyanya lagi-lagi setengah berbisik.
"Mmm. I iya." Jawabku.
Brandy menggiringku ke tempat tidur.
Aneh, tidak ada bau keringat pada tubuhnya. Yang ada hanyalah bau parfum khas yang biasa ia pakai. Aku tahu itu.
Biasanya kan seorang lelaki yang baru pulang dari suatu perjalanan akan mengeluarkan aroma keringat. Setidaknya dari area ketiak. Suaranya pun di buat lebih lembut dari sebelumnya.
Ah sudahlah, yang penting aku tidak sendirian lagi.
Bersambung...
Bab 3 Siapa Yang Menggauliku?"Bagaimana tadi, urusannya sudah selesai?" Tanyaku."Sudah, Sayang. Maaf membuatmu lama menunggu," jawabnya pelan.Ku rasakan tangan Brandi melingkari pinggangku.Beberapa saat lamanya kami terdiam."Jangan takut, aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Brandy pada telingaku.Sentuhan jambangnya pada telingaku membuatku merinding."Aku sayang sama kamu!" Bisiknya lagi. Kali ini wajahnya sedikit mengarah ke tengkukku.Ah, sentuhan itu semakin menggoda."Sayang, tubuhmu indah sekali. Aku tidak menyangka bisa menikahi gadis secantik kamu. Makasih ya, aku mencintaimu," bisik Brandy tertahan.Suara itu, aku tahu laki-laki ini sedang menginginkan haknya.Tebakanku benar-benar kenyataan.Tangan kekar itu melepaskan kimonoku. Berhubung masih baru, aku masih bersikap pasif.Tangan itu mulai merayap. Aku serasa melayang.Permainan itu terus berlangsung, hingga aku tak
Bab 4 Strong Husband "Lho tadi kan sudah di kasih," serobotku. Aku aneh dengan sikap Brandy, bukankah tadi ia sudah mendapatkannya? Mengapa sekarang menagih lagi dengan semangat. Padahal kan Aku juga butuh waktu untuk istirahat. Hehe.. Sedangkan Brandy menyipitkan mata dengan ucapanku barusan. "Kapan? Toh aku baru saja pulang. Ooh mau nolak ya?" Godanya. Aku terhenyak. Kalau Brandy baru saja pulang, siapa yang menggauliku tadi? Pikiranku mulai tidak enak. "Sayang, apa kamu benar-benar baru pulang?" Tanyaku. "Iya. Memangnya kenapa?" Brandy menatapku. Bagaimana ini? Aku kebingungan. Siapa laki-laki yang tadi menggauliku? "Barusan mati lampu, aku mendengar ada ketu
Bab 5 Teror Kakak IparBeginikah rasanya berhadapan langsung dengan pria tampan? Sensasinya tidak bisa kuurai dengan kata-kata. "Aku ingin segera mempunyai malaikat kecil yang akan menjadi pelengkap kebahagiaan kita, Mera. Jika perempuan, pasti nanti anak kita akan cantik seperti ibundanya," ucap Brandy. "Dan jikalau laki-laki pasti akan tampan seperti ayahandanya," balasku. "Bagaimana kalau nanti aku minta tiga anak? Senang sekali jika rumah kita di ramaikan dengan anak-anak yang lucu-lucu," Ucap Brandy. Aku senang mendengarnya, dengan demikian dia benar-benar mengharapkan aku menjadi istri yang akan melahirkan anak-anaknya. Tangan Brandy kembali merayap nakal. Menyusuri lekuk-lekuk yang tersembunyi pada tubuhku. Demikianlah, malam itu seusai bercengkerama, pertempuran hangat
Bab 6 Siapa Yang Abraham Ceritakan? "Pagi, Kak. Sedang lari pagi ya?" Brandy menjawab sapaan Abraham dengan hangat. Kevin Abraham, lelaki yang pernah singgah di hatiku itu mengangguk. Pakaian olahraga yang ia pakai tidak bisa menyembunyikan kegagahan yang ia miliki. Ucapan Brandy tempo hari memang benar. Dua bersaudara ini memang tampan. Aku yakin, semua orang yang melihat pasti berpikiran sama denganku. Pesona mereka membuat para wanita bertekuk lutut. Sungguh beruntung aku bisa mendapatkan Brandy. Namun aku tidak bisa menampik jika Kevin Abraham juga sesosok pria yang tidak kalah menarik. Sesuatu yang sebenarnya tidak ku harapkan terjadi. Dua kakak beradik itu memutuskan untuk duduk bersana. Tentu saja aku ada di antara mereka. "Asyiknya jika s
Bab 7 Misteri Wanita Yang Menyakiti Abraham "Sepertinya aku tidak bisa mengenalkan gadis itu pada kalian." Jawab Abraham dengan tatapan kosong. "Lho, mengapa?" Brandy menyipitkan mata."Karena wanita itu telah dinikahi oleh pria lain." Degh ...Jantungku berdegup kencang. Siapa wanita yang ia maksud? "Apaa?" Brandy terperanjat. "Ya, wanita yang selama ini sering aku ceritakan padamu, sudah menjadi istri orang lain." Jawab Abraham dengan jari-jari saling menggenggam satu sama lain. "Tega sekali wanita itu meninggalkan kakak untuk dinikahi oleh pria lain," Brandy nampak marah. "Itulah yang dinamakan takdir, Brandy. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Terkadang kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, tapi itu tidak menjamin kan k
Bab 8 Petaka Di Kamar Villa Aku asyik dengan ponselku. Sendirian. Brandy sedang keluar untuk menemui temannya kemarin yang kebetulan berada di kota yang sama di mana kami berada sekarang. Entah mengapa, badanku terasa panas, dan, ah seperti ada yang bergejolak. Seperti menuntut sesuatu yang tidak seharusnya. Karena sensasi panas ini, aku melepas pakaianku, apa yang terjadi padaku? Sebenarnya ingin rasanya aku keluar dari Villa dan menikmati taman sekedar menghirup udara segar. Namun untuk melangkahkan kaki keluar, aku tidak mempunyai keberanian yang cukup. aku khawatir akan bertemu dengan Abraham, si kakak ipar keras kepala. Clink, sebuah panggilan masuk ke ponsel. Heuumm ... Dari Brandy suamiku. "Sayang, coba cek ada dokumen di dalam tasku, tolong berikan sama kak Abra
Bab 9 Cinta Buta Sang Kakak Ipar "Bunuh saja aku ini, Abraham. Kau jahaat. Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Tidak ada gunanya lagi. Aku ingin mati saja." Air mata mengalir deras. Tiba-tiba Abraham memelukku erat. "Maafkan aku, Mera. Maaf. Hapus airmatamu. Aku menyesal. Sangat menyesal. Kau tahu Mera, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Kau tahu siapa yang aku ceritakan sama kalian di taman pagi tadi? Itu adalah kamu. Kamu membuatku gila, Mera. Kau meninggalkan aku demi Brandy," Serasa sekarang apa yang ia bicarakan adalah omong kosong belaka. Aku jijik mendengarnya. Rasa bersalahku terhadap Brandy kian menjadi-jadi. Rasa malu menggelayut di benakku. Tubuh ini, tubuh ini menjijikkan. Secepat kilat ku ambil sebuah gelas di atas meja di sisi tempat tidur, dan kulemparkan ke arah Abraham. "Brak
Bab 10 Aku Masih Mecintaimu, Mera! "Lupakan aku Abraham. Biarkan aku bahagia. Jangan menyiksa aku seperti ini. Jangan biarkan aku terus merasa bersalah pada Brandy. Jangan gerogoti hak yang seharusnya milik adikmu. Kau curang, Abraham!" "Tidakkah kau lihat luka menganga yang kau toreh untukku, Mera? Aku tahu perasaanku ini salah. Aku sadar itu, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya agar kau bisa berlalu dari benakku. Tolong ajari aku bagaimana caranya!" jelas sekali kulihat jikalau semua tutur kata yang keluar dari mulut Abraham menyimpan kesedihan yang mendalam. "Kalau kamu mencintaiku, tolong biarkan aku hidup nyaman," "Bagaimana bisa aku membiarkan kau hidup nyaman, sedangkan sesungguhnya aku masih belum bisa merelakan kau hidup dalam naungan rumah tangga bersama Brandy. Katakan padaku Mera, bahwa aku masih ada di hatimu?" Hatiku berkecamuk dengan pertanyaan k