Bab 8 Petaka Di Kamar Villa
Aku asyik dengan ponselku. Sendirian. Brandy sedang keluar untuk menemui temannya kemarin yang kebetulan berada di kota yang sama di mana kami berada sekarang.
Entah mengapa, badanku terasa panas, dan, ah seperti ada yang bergejolak.
Seperti menuntut sesuatu yang tidak seharusnya.
Karena sensasi panas ini, aku melepas pakaianku, apa yang terjadi padaku?
Sebenarnya ingin rasanya aku keluar dari Villa dan menikmati taman sekedar menghirup udara segar. Namun untuk melangkahkan kaki keluar, aku tidak mempunyai keberanian yang cukup. aku khawatir akan bertemu dengan Abraham, si kakak ipar keras kepala.
Clink, sebuah panggilan masuk ke ponsel.
Heuumm ... Dari Brandy suamiku.
"Sayang, coba cek ada dokumen di dalam tasku, tolong berikan sama kak Abraham ya. Dia ada di kamar penginapan ***** nomor 7. Barusan dia menelpon. Tolong ya, Sayang. Kak Abraham memerlukan dokumen itu sekarang,"
Oooh, ternyata pria itu menyewa penginapan?
Waduuuh, ketakutan langsung merambat ke benak.
Sementara gejolak aneh dalam tubuhku semakin menjadi-jadi.
"Sayang, bisa pulang sekarang nggak? Kangen nih. Mmm," celotehku.
Gejolak dalam tubuhyang mendorongku untuk bicara berani. Tidak dipungkiri dalam situasi seperti ini aku membutuhkan Brandy.
"Sabar, Sayang. Ih udah mulai berani ya?" Goda Brandy.
Aku merasa aneh dengan rasa panas yang menggerayangi ku
"Sekarang, tolong antar dokumen itu ke kamar ke Abraham ya. Nanti sore Aku pulang kok. Simpan dulu kangennya ya,"
"Aduh, sepertinya aku tidak bisa mengantarkan dokumen itu ke kamar kak Abraham," tolakku langsung.
"Nggak apa-apa sayang, Kak Abraham tidak akan menyakitimu. Tolong, ini penting sekali,"
Bagaimana ini? Bagaimana cara ku menolak? Aduh mana ini urusan kerja. Sementara itu rasa yang menjalar ini semakin tidak terkendali. Aku membutuhkan sesuatu. Si*al!
"Sayang, aku mohon. Oke deh nanti aku yang nelpon Kak Abraham. Supaya dia mau menunggu di depan pintu sehingga kamu nggak perlu mengetuk pintunya,"
"Bbaiklah kalau begitu,"
Bergegas aku menghampiri tas yang ia maksud, benar saja sebuah dokumen sekarang berada di tanganku.
Dengan cepat aku melangkah membukakan daun pintu.
Happp ...!
Tiba-tiba tangan kekar menggenggam pergelangan tanganku erat. sedangkan tangan laki-laki yang satunya menutup pintu, lalu menguncinya dengan cepat.
Aku terperanjat.
Aku melongo melihat siapa sekarang yang berdiri di hadapanku. Ingin rasanya aku menangis.
"A ... Abraham?"
"Kenapa?" Abraham menatap mataku.
"Mau apa kau kemari?" Tanyaku.
"Aku ingin menemuimu, Mera. Aku rindu,"
"Omong kosong, aku ini istri adikmu. Jangan bertindak bod*h, Abraham," teriakku.
Sekuat tenaga aku berusaha untuk melepaskan genggamannya tangannya pada pergelangan tanganku. Namun usahaku sia-sia.
"Aku tidak peduli kau istri siapa. Yang kutahu aku mencintaimu. Kau tidak bisa menolakku, Mera. Akui saja, sekarang kau juga menginginkannya, bukan?" balasnya.
Dia mendekatkan wajahnya cepat, sesuatu mengenai bibirku.
"Tolooonng...! Jangan lakukan ini padaku Abraham,"
"Toloong ...!" Aku berteriak sekuat tenaga.
"Kau lupa, Sayang. Ruangan ini kedap udara. Tidak akan ada yang bisa mendengarmu. Nikmati saja," ucap Abraham.
Semerbak bau alkohol tercium dari mulutnya.
Astaga ...! pria ini sedang dalam keadaan mabuk. Apa yang harus kulakukan?
Aku meronta sembari terus berteriak meminta pertolongan, namun sepertinya usahaku sia-sia belaka, tenaga Abraham jauh melebihi tenagaku.
"Jangan habiskan suaramu untuk meneriakiku, Sayang."
"Gil* ...! Lepaskan aku!" Aku berteriak dan memberontak.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, sekarang terasa tubuhku sulit untuk digerakkan. Serasa semua yang ada pada tubuhku dikunci oleh Abraham. Tenagaku habis. Hanya linangan airmata yang meleleh ke pipi.
"Percuma kau menangis, Mera. Akulah yang lebih kau buat menderita karena pernikahanmu dan Brandy,"
Dengan membabi buta Abraham mengutak-atik pakaianku sesuka hati, tangan dan bibirnya menari-nari di atas penderitaan ini. Namun pikiran yang tidak seharusnya menjalar bagai listrik. Hasrat yang ku tahan sejak tadi sedikit terobati.
Dengan keberingasan yang ia miliki, ia menikmati tubuh ini dengan sentuhan-sentuhan haramnya.
Kali ini aku hanya menitikkan air mata.
Bersambung...
Bab 9 Cinta Buta Sang Kakak Ipar "Bunuh saja aku ini, Abraham. Kau jahaat. Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Tidak ada gunanya lagi. Aku ingin mati saja." Air mata mengalir deras. Tiba-tiba Abraham memelukku erat. "Maafkan aku, Mera. Maaf. Hapus airmatamu. Aku menyesal. Sangat menyesal. Kau tahu Mera, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Kau tahu siapa yang aku ceritakan sama kalian di taman pagi tadi? Itu adalah kamu. Kamu membuatku gila, Mera. Kau meninggalkan aku demi Brandy," Serasa sekarang apa yang ia bicarakan adalah omong kosong belaka. Aku jijik mendengarnya. Rasa bersalahku terhadap Brandy kian menjadi-jadi. Rasa malu menggelayut di benakku. Tubuh ini, tubuh ini menjijikkan. Secepat kilat ku ambil sebuah gelas di atas meja di sisi tempat tidur, dan kulemparkan ke arah Abraham. "Brak
Bab 10 Aku Masih Mecintaimu, Mera! "Lupakan aku Abraham. Biarkan aku bahagia. Jangan menyiksa aku seperti ini. Jangan biarkan aku terus merasa bersalah pada Brandy. Jangan gerogoti hak yang seharusnya milik adikmu. Kau curang, Abraham!" "Tidakkah kau lihat luka menganga yang kau toreh untukku, Mera? Aku tahu perasaanku ini salah. Aku sadar itu, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya agar kau bisa berlalu dari benakku. Tolong ajari aku bagaimana caranya!" jelas sekali kulihat jikalau semua tutur kata yang keluar dari mulut Abraham menyimpan kesedihan yang mendalam. "Kalau kamu mencintaiku, tolong biarkan aku hidup nyaman," "Bagaimana bisa aku membiarkan kau hidup nyaman, sedangkan sesungguhnya aku masih belum bisa merelakan kau hidup dalam naungan rumah tangga bersama Brandy. Katakan padaku Mera, bahwa aku masih ada di hatimu?" Hatiku berkecamuk dengan pertanyaan k
Bab 11 Romansa Rintik Hujan "Sayang, mengapa kelihatan murung? Ada apa? Apa ada sesuatu yang kau pikirkan? Cerita dong! Jangan di pendam sendiri," Brandy mendekatiku. Aku merasa dilema. Apa harus aku menceritakan semuanya pada Brandy? Namun, harus berpikir dua kali untuk mengatakan kenyataan yang aku hadapi. Pertanyaannya, pantaskah? Pantaskah seorang suami sebaik Brandy harus mendengar kenyataan pahit itu? Kalau seandainya dia tahu apa yang telah terjadi, mungkin saja dia akan marah dan langsung menceraikan aku. Tidak, aku tidak ingin itu terjadi. Aku belum sanggup kehilangan suamiku. Kulihat Brandy beranjak dari duduknya, aku membiarkan saja. Sejenak kemudian ia kembali dengan sebuah gelas di tangan. "Minum dulu, Sayang. Supaya rileks. Ini aku bawakan suplemen makanan untukmu, di minum ya,"  
Bab 12 Pengintai Kemesraan"Lihat langit, mendung. Karena itu cuaca menjadi dingin. Tapi aku merasa suasana ini hangat," ucapnya datar. "Oh ya?" Timpalku seolah ingin menebak. "Kau tahu kenapa, Mera?" Aku menggeleng pelan. "Karena ada kamu, kamu yang membuat suasana berbeda," tawa renyahnya mengalir. "Gombal," imbuhku. "Kau tidak percaya, Mera?" Brandy membalikkan tubuhku, hingga kini wajahnya berada berhadapan denganku. "Kau satu-satunya wanita yang berhasil membuatku jatuh cinta. Senang sekali rasanya aku berhasil menjadikanmu istri," ujarnya. "Bagaimana menurutmu? Apa aku tampan?" Tanyanya lagi. Pertanyaan konyol. "Menurutmu sendiri bagaimana?" Aku balik bertanya.
Bab 13 Ipar Pengusik Ketenangan Uuuh Brandy, andai kau tahu siapa sebenarnya kakakmu itu. Tak sudi lagi rasanya aku melihat wajah Abraham s*alan itu. "Untuk apa dia duduk sendirian di sana? Cuaca sedang tidak bersahabat begini, malah berdingin-dingin di sana, nanti bisa sakit." gerutu Brandy Sebentar kemudian sosok Abraham beranjak, lalu berjalan masuk ke arah ruangan Villa.Ada apa dengan pria itu? "Mungkin dia sedang ingin menikmati hujan." Jawabku sekenanya. "Kasihan Kak Abraham, harus sendirian. Tapi salah sendiri mengapa tidak ingin segera menikah. Lama-lama bisa jadi perjaka tua dia," Brandy berucap sambil terkekeh. "Yuk, kita masuk, cuaca bertambah dingin. Sepertinya sebentar lagi hujan akan semakin deras," Tiba-tiba Brandy menggendong tubuhku.
Bab 14 Melupakan Itu Tak Mudah "Mana serangganya?" Aku kembali mengingat ke ucapan Brandy semula. "Tidak ada serangga, Sayang. Adanya ini," Brandy menyerahkan kotak itu ke tanganku. Aku menyambutnya riang. "Apa ini? Untukku? Cantik sekali!" Ulangku lagi. "Ya, Mera. Aku membelikan hadiah ini khusus buat kamu. Bukalah!" "Oowh, terimakasih, terimakasih," Perlahan aku membuka kotak kecil tersebut. What ...? Begitu kotak itu kubuka, terlihatlah sebuah untaian rantai halus dan elegan keperakan dengan sebuah mata liontin yang berwarna biru berkilau. Aku terkesima. "Bagaimana? Apa kau menyukainya?" tanya Brandy meminta pendapatku. "Ooh, tentu saja, tentu saja. Mmm, sebaliknya apa kau tidak rugi menghabisk
Bab 15 Moment Yang Telah Usai "Sekarang aku berbicara sebagai kakakmu, dan juga sebagai sesama laki-laki. Tolong, jagalah Mera baik-baik. Jangan sampai kau bertindak menyakitinya. Buatlah dia bahagia sekuat yang kau mampu," suara Abraham. Abraham, Abraham. Sebelum kau berpesan demikian, seharusnya kau sadar, bahwa kaulah pria pengusik ketenanganku. Aku merasa tidak enak dengan kehadiran Abraham di villa ini. Aku tidak menyukainya.. Bergegas aku mengganti pakaian. Dalam hati aku berharap Abraham akan segera berlalu dari sini. Aku tidak ingin terus-menerus terganggu karena kehadirannya yang lambat laun bisa saja membuat Brandy curiga. Sedikitpun aku tidak ingin membuat Brandy kecewa hanya karena kelakuan b*jat Abraham. Katanya mau le luar negeri, tapi mengapa pria itu belum pergi juga? Apa itu hanya akal-ak
Bab 16 Seberapa Istimewa Wanita yang Menyakiti Kakakku? "Ya, kamu benar, Mera. Aku sampai heran di buatnya, memangnya seberapa istimewakah wanita yang telah menyakiti hati kakakku? Hingga nyaris membuat kakakku linglung. Apakah dia putri dari pengusaha besar? Apa dia lulusan Oxford atau Harvard? Namun, semegagumkan apapun gadis itu, dia tidak patut untuk menyakiti kakakku separah ini. Andai saja aku tahu siapa wanita itu, uuuh...!" Ku lihat ada emosi menyeruak dari raut wajah Brandy. Andai saja kau tahu Brandy, akulah wanita yang sedang kau bicarakan.Tapi, aku tidak merasa seistimewa yang dia kira. Buktinya aku di sini biasa-biasa saja. Aku gadis biasa, bukan lulusan Oxford atau Cambridge, tapi justru lulusan UI. Aku penyuka budaya lokal. Dulu pernah mengeyam pendidikan di University of Melbourne, namun tidak begitu lama, aku akhirnya lebih memilih pulang ke Indonesia dan melanjutkan kuliah di negeri tercinta ini. B