Bab 15 Moment Yang Telah Usai
"Sekarang aku berbicara sebagai kakakmu, dan juga sebagai sesama laki-laki. Tolong, jagalah Mera baik-baik. Jangan sampai kau bertindak menyakitinya. Buatlah dia bahagia sekuat yang kau mampu," suara Abraham.
Abraham, Abraham. Sebelum kau berpesan demikian, seharusnya kau sadar, bahwa kaulah pria pengusik ketenanganku.
Aku merasa tidak enak dengan kehadiran Abraham di villa ini. Aku tidak menyukainya.
. Bergegas aku mengganti pakaian. Dalam hati aku berharap Abraham akan segera berlalu dari sini. Aku tidak ingin terus-menerus terganggu karena kehadirannya yang lambat laun bisa saja membuat Brandy curiga.
Sedikitpun aku tidak ingin membuat Brandy kecewa hanya karena kelakuan b*jat Abraham.
Katanya mau le luar negeri, tapi mengapa pria itu belum pergi juga? Apa itu hanya akal-ak
Bab 16 Seberapa Istimewa Wanita yang Menyakiti Kakakku? "Ya, kamu benar, Mera. Aku sampai heran di buatnya, memangnya seberapa istimewakah wanita yang telah menyakiti hati kakakku? Hingga nyaris membuat kakakku linglung. Apakah dia putri dari pengusaha besar? Apa dia lulusan Oxford atau Harvard? Namun, semegagumkan apapun gadis itu, dia tidak patut untuk menyakiti kakakku separah ini. Andai saja aku tahu siapa wanita itu, uuuh...!" Ku lihat ada emosi menyeruak dari raut wajah Brandy. Andai saja kau tahu Brandy, akulah wanita yang sedang kau bicarakan.Tapi, aku tidak merasa seistimewa yang dia kira. Buktinya aku di sini biasa-biasa saja. Aku gadis biasa, bukan lulusan Oxford atau Cambridge, tapi justru lulusan UI. Aku penyuka budaya lokal. Dulu pernah mengeyam pendidikan di University of Melbourne, namun tidak begitu lama, aku akhirnya lebih memilih pulang ke Indonesia dan melanjutkan kuliah di negeri tercinta ini. B
Bab 17 Lagi Lagi Abraham Kali pertama aku menerima ungkapan cinta dari seorang laki-laki. Apa aku polos? Tidak. Hanya saja aku masih terlalu kaku untuk hal seperti ini. Ingat, hanya pelukan. Dekapan Abraham pun tak kubiarkan untuk berdurasi lama. Sebab, naluri ketimuran masih melekat erat padaku. Kurasa waktu yang berjalan cukup singkat itu, cukup untuk membuat hati bergemuruh. Tak banyak kata yang mampu kuucap saat itu. Namun, dengan segala kedekatan kami, tak pernah sekalipun Abraham bersikap lebih. Maksudnya, ia tak pernah mencoba menyentuhku lebih dari batas kewajaran. Seringkali di pagi buta, aku dikejutkan oleh buket bunga yang ia taruh didepan pintu. Biasanya di sela-sela kuntum-kuntum tersebut ia menyelipkan secarik kertas dengan kata-kata cinta untukku.
Bab 18 Dilema Yang Membuncah "Iya ini buah kesukaanku. Makasih ya," ucapku. "Makasih untuk apa?" Brandy menyipitkan mata. "Terima kasih sudah membelikan buah favoritku," jawabku sembari menikmati potongan apel merah merekah tersebut. "Ooh itu, Itu tadi Kak Abraham yang membawakan," Uhuk ..! Uhuk ...! Potongan apel yang masih tersisa di tangan kuletakkan kembali ke atas meja. Abraham lagi, Abraham lagi. Lama-lama pria itu semakin membuatku bosan. "Kenapa, Sayang?" Brandy menyentuh bahuku. "Eh tidak. Aku tidak apa-apa." Jawabku cepat. Untuk menghindari kejanggalan, aku kembali menikmati potongan apel yang tadi kutaruh di atas meja. Peduli amat dengan yang membelikan. Brandy pun ikut nimbrung menikmati.
Bab 19 Semeja Dengan Mantan Memang Tak Mudah Siang ini, Mobil melaju memasuki sebuah pekarangan rumah yang cukup megah. Beberapa waktu lamanya kami menghabiskan waktu bersama sebagai suami istri, hari ini moment dan itu telah berakhir. Di teras rumah, Nyonya Jonathan menyambut kami dengan muka penuh kehangatan. Beberapa asisten segera mengangkat barang kami dari dalam mobil ke dalam rumah. Serasa jadi tuan putri saja aku di rumah ini. Apa-apa serba di layani. "Assalamualaikum," ucapku dan Brandy bersamaan sembari merundukkan tubuh sedikit. "Waalaikum salam, selamat datang, anak-anakku." Sapa ibu mertua. Tangannya menggandengku. Masuk ke ruangan demi ruangan yang cukup luas, akhirnya mertua mempersilahkan aku untuk duduk di sofa ruang keluarga, di ikuti oleh Brandy dan Nyonya Jonathan sendiri. &nb
Bab 20 Luka Di Kepala Abraham"Bagaimana, menantuku? Apa hidangannya lezat?" Tanya Nyonya Jonathan meminta pendapatku. "Tentu saja, Bu. Lezat sekali." Aku menjawab. "Masakan ini tadi Abraham yang request, ternyata seafood jenis ini memang enak," ujar Nyonya Jonathan. Abraham yang request? Hadeeh .... "Kakak memang ngerti betul mana masakan enak," lanjut Brandy. "Abraham, apa ini?" Nyonya Jonathan menyentuh kening Abraham. Semua orang yang berada di sana ikut melirik ke arah Abraham. Aku terkhenyak. Itu adalah luka membiru akibat lemparan gelas yang ku lemparkan padanya sewaktu di villa. Astaga, aku tidak mengira akan membekas separah itu. "Itu bekas tertimpa guci, Bu." Timpal Brandy.
Bab 21 Salahkah Cinta?Hingga langkah terakhir Abraham meniti tangga pesawat, aku tidak sudi meskipun untuk sekedar meliriknya. "Sayang, nanti aku akan ke suatu tempat yang pasti membuatmu kagum," Brandy menggenggam jemariku. "Kemana?" "Kejutan yang aku katakan kemarin selagi di villa,""Oh iya,"Aku mengangguk."Kamu tidak menyangka Abraham akan memilih untuk tinggal di Jerman," Gumam Ibu Mertuaku.***Penerbangan jarak jauh selama 13 jam ke Jerman tentu akan terasa membosankan dan capek pun pasti akan memenuhi imajinasi para penumpang. Oleh karena itu Abraham memilih naik pesawat kelas bisnis Singapore Airlines.Kota tujuan Abraham adalah Dusseldorf. Di koylta itu ia berharap akan bisa menenangkan pikiran, dan melupakan semua memori tentang Meranti yang terlanjur bersarang di benaknya. Dimulai dari Bandara Internasional Soekarno Hatta di Tan
Bab 22 Hadiah Yang Menimbulkan TanyaBrandy membukakan pintu mobil. Lalu memberi isyarat padaku agar segera masuk.Riki, lelaki yang sudah seperti asisten pribadi Brandy, segera mengarahkan laju mobil ke tempat yang telah Brandy sebutkan sebelumnyaDi dalam mobil, aku duduk menyilangkan dada, sedang pandangan mataku terarah keluar. Seolah ada yang aku perhatikan di sana.Tidak, tidak ada yang menarik di luar sana! Hanya saja ada rasa bergolak mengiringi kepergian Abraham ke negeri Hitler tersebut.Di samping perasaan benci yang membuncah, namun ada juga rasa yang tak biasa. Entahlah apa yang terjadi. Yang jelas naluriku berkata bahwa mungkin saja kepergian pria itu tidak akan berlangsung lama. Aku kembali merasa takut jika seandainya naluri itu benar-benar menjadi kenyataan."What's Happen? Kok melamun?" Brandy mengibas-ngibaskan telapak tangannya didepan wajah Mera."Mikirin apa?" Lanjut Brandy."Nggak, hehee." Jawabku c
Bab 23 Berusaha Untuk Terlihat BiasaKucoba memperhatikan rumah mewah tersebut dengan teliti.Kurasa ada yang mengganjal.Bukankah itu rumah yang ditunjukkan Abraham di layar ponselnya sehabis ia melakukan perbuatan bejat di villa waktu itu?Astaga, ada apa ini sebenarnya?"Oh ya? Ini rumah sebagai hadiah untukku?""Benar sekali, apa kau senang?""Mmm, iya senang sekali. Terimakasiih.. tetimakasih banyak," ucapku.Langkah kaki ini mengikuti jejak Brandy.Untuk sementara, biarlah semua tanya yang muncul kuusahakan agar tetap tersimpan.Bukan karena apa-apa, tapi butuh waktu untuk mengungkap semuanya.Riki membukakan pintu.Seketika mulutku menganga,"Astaga!" Aku menutup mulut.Semua elemen, di dominasi oleh nuansa biru. Warna favoritku.Desain interior bergaya klasik-kontemporer, membuat ruangan ini terlihat elegan dan futuristik.Kurasa ruangan ini begitu menyatu de