Bab 13 Ipar Pengusik Ketenangan
Uuuh Brandy, andai kau tahu siapa sebenarnya kakakmu itu. Tak sudi lagi rasanya aku melihat wajah Abraham s*alan itu.
"Untuk apa dia duduk sendirian di sana? Cuaca sedang tidak bersahabat begini, malah berdingin-dingin di sana, nanti bisa sakit." gerutu Brandy
Sebentar kemudian sosok Abraham beranjak, lalu berjalan masuk ke arah ruangan Villa.Ada apa dengan pria itu?
"Mungkin dia sedang ingin menikmati hujan." Jawabku sekenanya.
"Kasihan Kak Abraham, harus sendirian. Tapi salah sendiri mengapa tidak ingin segera menikah. Lama-lama bisa jadi perjaka tua dia," Brandy berucap sambil terkekeh.
"Yuk, kita masuk, cuaca bertambah dingin. Sepertinya sebentar lagi hujan akan semakin deras,"
Tiba-tiba Brandy menggendong tubuhku.
Bab 14 Melupakan Itu Tak Mudah "Mana serangganya?" Aku kembali mengingat ke ucapan Brandy semula. "Tidak ada serangga, Sayang. Adanya ini," Brandy menyerahkan kotak itu ke tanganku. Aku menyambutnya riang. "Apa ini? Untukku? Cantik sekali!" Ulangku lagi. "Ya, Mera. Aku membelikan hadiah ini khusus buat kamu. Bukalah!" "Oowh, terimakasih, terimakasih," Perlahan aku membuka kotak kecil tersebut. What ...? Begitu kotak itu kubuka, terlihatlah sebuah untaian rantai halus dan elegan keperakan dengan sebuah mata liontin yang berwarna biru berkilau. Aku terkesima. "Bagaimana? Apa kau menyukainya?" tanya Brandy meminta pendapatku. "Ooh, tentu saja, tentu saja. Mmm, sebaliknya apa kau tidak rugi menghabisk
Bab 15 Moment Yang Telah Usai "Sekarang aku berbicara sebagai kakakmu, dan juga sebagai sesama laki-laki. Tolong, jagalah Mera baik-baik. Jangan sampai kau bertindak menyakitinya. Buatlah dia bahagia sekuat yang kau mampu," suara Abraham. Abraham, Abraham. Sebelum kau berpesan demikian, seharusnya kau sadar, bahwa kaulah pria pengusik ketenanganku. Aku merasa tidak enak dengan kehadiran Abraham di villa ini. Aku tidak menyukainya.. Bergegas aku mengganti pakaian. Dalam hati aku berharap Abraham akan segera berlalu dari sini. Aku tidak ingin terus-menerus terganggu karena kehadirannya yang lambat laun bisa saja membuat Brandy curiga. Sedikitpun aku tidak ingin membuat Brandy kecewa hanya karena kelakuan b*jat Abraham. Katanya mau le luar negeri, tapi mengapa pria itu belum pergi juga? Apa itu hanya akal-ak
Bab 16 Seberapa Istimewa Wanita yang Menyakiti Kakakku? "Ya, kamu benar, Mera. Aku sampai heran di buatnya, memangnya seberapa istimewakah wanita yang telah menyakiti hati kakakku? Hingga nyaris membuat kakakku linglung. Apakah dia putri dari pengusaha besar? Apa dia lulusan Oxford atau Harvard? Namun, semegagumkan apapun gadis itu, dia tidak patut untuk menyakiti kakakku separah ini. Andai saja aku tahu siapa wanita itu, uuuh...!" Ku lihat ada emosi menyeruak dari raut wajah Brandy. Andai saja kau tahu Brandy, akulah wanita yang sedang kau bicarakan.Tapi, aku tidak merasa seistimewa yang dia kira. Buktinya aku di sini biasa-biasa saja. Aku gadis biasa, bukan lulusan Oxford atau Cambridge, tapi justru lulusan UI. Aku penyuka budaya lokal. Dulu pernah mengeyam pendidikan di University of Melbourne, namun tidak begitu lama, aku akhirnya lebih memilih pulang ke Indonesia dan melanjutkan kuliah di negeri tercinta ini. B
Bab 17 Lagi Lagi Abraham Kali pertama aku menerima ungkapan cinta dari seorang laki-laki. Apa aku polos? Tidak. Hanya saja aku masih terlalu kaku untuk hal seperti ini. Ingat, hanya pelukan. Dekapan Abraham pun tak kubiarkan untuk berdurasi lama. Sebab, naluri ketimuran masih melekat erat padaku. Kurasa waktu yang berjalan cukup singkat itu, cukup untuk membuat hati bergemuruh. Tak banyak kata yang mampu kuucap saat itu. Namun, dengan segala kedekatan kami, tak pernah sekalipun Abraham bersikap lebih. Maksudnya, ia tak pernah mencoba menyentuhku lebih dari batas kewajaran. Seringkali di pagi buta, aku dikejutkan oleh buket bunga yang ia taruh didepan pintu. Biasanya di sela-sela kuntum-kuntum tersebut ia menyelipkan secarik kertas dengan kata-kata cinta untukku.
Bab 18 Dilema Yang Membuncah "Iya ini buah kesukaanku. Makasih ya," ucapku. "Makasih untuk apa?" Brandy menyipitkan mata. "Terima kasih sudah membelikan buah favoritku," jawabku sembari menikmati potongan apel merah merekah tersebut. "Ooh itu, Itu tadi Kak Abraham yang membawakan," Uhuk ..! Uhuk ...! Potongan apel yang masih tersisa di tangan kuletakkan kembali ke atas meja. Abraham lagi, Abraham lagi. Lama-lama pria itu semakin membuatku bosan. "Kenapa, Sayang?" Brandy menyentuh bahuku. "Eh tidak. Aku tidak apa-apa." Jawabku cepat. Untuk menghindari kejanggalan, aku kembali menikmati potongan apel yang tadi kutaruh di atas meja. Peduli amat dengan yang membelikan. Brandy pun ikut nimbrung menikmati.
Bab 19 Semeja Dengan Mantan Memang Tak Mudah Siang ini, Mobil melaju memasuki sebuah pekarangan rumah yang cukup megah. Beberapa waktu lamanya kami menghabiskan waktu bersama sebagai suami istri, hari ini moment dan itu telah berakhir. Di teras rumah, Nyonya Jonathan menyambut kami dengan muka penuh kehangatan. Beberapa asisten segera mengangkat barang kami dari dalam mobil ke dalam rumah. Serasa jadi tuan putri saja aku di rumah ini. Apa-apa serba di layani. "Assalamualaikum," ucapku dan Brandy bersamaan sembari merundukkan tubuh sedikit. "Waalaikum salam, selamat datang, anak-anakku." Sapa ibu mertua. Tangannya menggandengku. Masuk ke ruangan demi ruangan yang cukup luas, akhirnya mertua mempersilahkan aku untuk duduk di sofa ruang keluarga, di ikuti oleh Brandy dan Nyonya Jonathan sendiri. &nb
Bab 20 Luka Di Kepala Abraham"Bagaimana, menantuku? Apa hidangannya lezat?" Tanya Nyonya Jonathan meminta pendapatku. "Tentu saja, Bu. Lezat sekali." Aku menjawab. "Masakan ini tadi Abraham yang request, ternyata seafood jenis ini memang enak," ujar Nyonya Jonathan. Abraham yang request? Hadeeh .... "Kakak memang ngerti betul mana masakan enak," lanjut Brandy. "Abraham, apa ini?" Nyonya Jonathan menyentuh kening Abraham. Semua orang yang berada di sana ikut melirik ke arah Abraham. Aku terkhenyak. Itu adalah luka membiru akibat lemparan gelas yang ku lemparkan padanya sewaktu di villa. Astaga, aku tidak mengira akan membekas separah itu. "Itu bekas tertimpa guci, Bu." Timpal Brandy.
Bab 21 Salahkah Cinta?Hingga langkah terakhir Abraham meniti tangga pesawat, aku tidak sudi meskipun untuk sekedar meliriknya. "Sayang, nanti aku akan ke suatu tempat yang pasti membuatmu kagum," Brandy menggenggam jemariku. "Kemana?" "Kejutan yang aku katakan kemarin selagi di villa,""Oh iya,"Aku mengangguk."Kamu tidak menyangka Abraham akan memilih untuk tinggal di Jerman," Gumam Ibu Mertuaku.***Penerbangan jarak jauh selama 13 jam ke Jerman tentu akan terasa membosankan dan capek pun pasti akan memenuhi imajinasi para penumpang. Oleh karena itu Abraham memilih naik pesawat kelas bisnis Singapore Airlines.Kota tujuan Abraham adalah Dusseldorf. Di koylta itu ia berharap akan bisa menenangkan pikiran, dan melupakan semua memori tentang Meranti yang terlanjur bersarang di benaknya. Dimulai dari Bandara Internasional Soekarno Hatta di Tan
Bab 123"Aku tidak peduli apa yang kakak katakan. Jika kakak ingin mengatakan aku egois dan ingin menyalahkan aku atas semuanya, maka aku tidak akan mencegah."Sikap Brandy benar-benar berubah hari ini. Hingga Abraham pun memilih diam. Ia sendiri tidak mengerti ada apa dengan sang adik.Apakah Brandy berkata seperti itu karena lantaran sakit hati? Atau ada hal lain yang melatarbelakanginya? Abraham tak tahu itu. Yang pastinya Abraham merasa prihatin.***Sedangkan Brandy sendiri meluncurkan mobilnya meninggalkan Abraham begitu saja. Ia sama sekali benar-benar tidak peduli lagi dengan Abraham.Kali ini ego benar-benar Brandy utamakan."Aku akan menemuimu Mera! Aku akan mengajakmu pulang!"Tengah meluncurkan mobil, ponsel Brandy kembali bergetar, seseorang menghubunginya.Dengan cepat brandy menjawab. Ia sudah tahu siapa sosok yang tengah menghubunginya saat itu."Ada apa, Kirana? Mengapa kamu kembali menghubungiku?""Mampirlah ke apartemenku, Brandy! Kita bicarakan masakah ini baik-bai
Bab 122 "Kau benar-benar sudah menduakan Mera Brandy! Mengapa kau lakukan ini?" Abraham berkata dengan sorot mata tajam. Brandy tak bisa berkata apa-apa."Maafkan aku, Kak! Aku akui jika aku salah. Tapi, tapi apakah Kakak tidak jika aku hanya khilaf melakukannya. Benar-benar khilaf, Kak." jawab Brandy.Brandy tak berani menatap pandangan dari kedua mata kakaknya yang terlihat benar-benar kesal."Bisa-bisanya kamu mengatakan jika kamu tengah khilaf, Brandy! Jika kamu khilaf, apakah mungkin kamu bisa melewati masa-masa khilaf itu hingga semalaman suntuk? Itu sama sekali tidak bisa disebut dengan khilaf, Brandy. Sesuatu bisa disebut dengan Khilaf, apabila hal tersebut terjadi dalam waktu yang cuma sesaat. Tapi yang kalian lakukan sama sekali tidak dalam waktu sesaat. Maka aku sangat tidak percaya jika kau sebut kelakuan kalian dengan sebutan khilaf."Brandy membisu. Memang benar apa yang diucapkan oleh sang kakak."Kak. Bagaimana kalau kita lupakan saja soal ini. Aku ingin segera m
Bab 121"Brandy! Kirana? Apa yang kalian bicarakan?" Abraham menghampiri keduanya.Keduanya sontak terkejut.Mereka menoleh."Kak Abraham? Se... Sejak kapan Kakak berada di sini?" Brandy benar-benar dibuat terkejut luar biasa."Aku berdiri di sini sejak awal kalian ada di sini. Aku mendengar semua perkataan kalian!""A... apa?" Brandy tergagap."Apa yang sudah kamu lakukan terhadap wanita ini, Brandy?" Abraham menunjuk ke arah Kirana."A... apa yang kamu maksud? Aku tidak melakukan apapun?""Kalau kalian tidak pernah melakukan apapun, lalu apa yang kalian bicarakan barusan? Aku mendengar semua yang kalian bicarakan. Kalian tak bisa lagi berbohong!"Kirana gugup. Perlahan ia melepaskan pelukannya terhadap Brandy dan sedikit ia melangkah menjauh. Mukanya merah. Ada rasa malu menyelimuti perasaannya. Tapi entahlah, ada juga sesuatu yang membuat wanita itu malah bersyukur dengan adanya keberadaan Abraham di sana."Mungkinkah Kakak salah mendengar?" Brandy masih berusaha untuk berkilah.
Bab 120"Kak aku serius, Mera hilang Kak. Dia pergi sambil membawa Keano. Bagaimana ini? Aku benar-benar bingung. Apa aku harus ke rumah orang tuanya sekarang? Atau... atau adakah dia menghubungi Kakak sebelum pergi?" tanya Brandy berharap-harap cemas."Sudah kubilang padamu Brandy, Mera tidak pernah menghubungiku sama sekali. Aku aja nggak menyimpan nomor kontak Mera, begitu juga dengan merah. Semenjak pernikahan kalian, Kami tidak ada kontak-kontakan lagi. Bagaimanakah bisa kamu berpikir kalau Mera menghubungiku. Sudah Kubilang padamu, jangankan menghubungiku, berbicara secara langsung aja sama aku Mera terlihat malas dan enggan. Tidakkah kau lihat dan tidakkah kau perhatikan jika dia benar-benar menjaga jarak denganku?"Fyuuh!Brandy mengalah nafas panjang.Brandy menyadari betul Apa yang diucapkan oleh kakaknya adalah benar. Selama ini ia tak pernah melihat Abraham dan merah berbicara serius. Kalaupun berbicara, mereka terkesan seperlunya saja.Brandy memutuskan untuk mengakhiri p
Bab 119 "Mera! Dimana dirimu sekarang?" Brandy nampak gelisah. Hatinya galau tidak menentu.Brandy mulai memikirkan kemungkinan yang tidak tidak terjadi pada istri dan putranya. Sekalipun pada awalnya Brandy meragukan Keano sebagai darah daging, tapi sepertinya kasih sayang yang terlanjur ia curahkan pada Keano begitu lengket dan benar-benar telah membentuk sebuah ikatan batin yang demikian kuat.Ya, Brandy mengakui ia mencintai dan menyayangi anak itu setulus hati."Keano, pulanglah, Nak! daddy merindukanmu?" Brandy berguman lirih dan tertahan. "Aku harus mencarinya! Dia istri dan anakku!" tekad Brandy.Brandy memutuskan untuk memberanikan diri menghubungi keluarga mera.Kembali Brandy sibuk dengan ponselnya, mencari-cari nama kontak yang bersangkut-paut dengan seseorang yang ingin ia hubungi.Brandy bingung melihat tak satupun ada seseorang yang bersangkut-paut dengan keluarga Lia di kontak ponselnya."Kemana larinya nomor kontak mertuaku?" Brandy merasa heran.Untuk memasti
Bab 118[Brandy, sesuai dengan apa yang kamu katakan aku melakukan apa yang aku inginkan. Tolong jangan cari aku! Karena ini adalah salah satu yang aku inginkan darimu!]Sebelum melangkah meninggalkan rumah, sebuah catatan dengan tinta hitam yang Mera torehkan di atas kertas putih sengaja wanita itu tinggalkan di atas Bantal di kamarnya.Sebelum beranjak Mera memperbaiki letak gendongan Keano."Jangan nakal ya, Nak! Sayang Mama." sebuah kecupan lembut mendarat di kening bayi mungil tersebut.Dengan langkah pasti, Mera melangkah meninggalkan rumah dan tanpa menolehkan kepala lagi.Sebuah taksi online yang sengaja ia pesankan dari sebuah aplikasi khusus telah menunggu di hadapan rumah. Tanpa bicara sepatah kata pun Mera naik ke taksi pesanannya.Mobil meluncur ke arah yang telah diberitahukan oleh Mera sebelumnya."Semoga saja kepergianku kali ini akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Semoga dengan ketidak adanya aku di sana akan membuat dua orang itu kembali akrab sebagaimana sed
Bab 117"Sebaiknya kamu jangan bersikap seperti itu kepada istrimu, Brandy! Sebab bagaimanapun sebagai seseorang yang telah mengenal Mera jauh sebelumnya, maka aku sudah tahu bagaimana sikap Mera yang sebenarnya. Dia sama sama sekali bukan wanita yang buruk. Kau tahu, Brandy, setelah dia menjadi istrimu, sama sekali Mera tak pernah bersikap tak wajar padaku, meskipun kami pernah memiliki masa lalu bersama. Bahkan bicara denganku saja dia tak pernah terkesan tak wajar, justru ia tak pernah ingin mengobrol denganku lagi, kemudian Mera tak pernah melemparkan senyum padaku. Apalagi senyum yang menyiratkan ketidakwajaran. Dia benar-benar menjauhiku. Aku yakin sekali, itu adalah bentuk cintanya padamu dan bagaimana usahanya dalam menjaga perasaanmu sebagai suami." ucap Abraham. Dalam hati laki-laki itu sangat menyayangkan sikap Brandy yang terlihat cuek dan tak peduli dengan kejujuran dari wanita sebaik Mera."Aku tahu Kakak memang jauh lebih mengenal Mera daripada aku. Bagaimana tidak, to
Bab 116"Mera apa yang kau katakan? Aku tidak pernah menyalahkanmu dalam hal ini. Aku sudah bilang jika akulah yang bersalah, Mera!Bukan kamu! Jika ada hal buruk yang harus ditimpakan atas semua ini, maka timpakan saja semuanya padaku, bukan pada kalian!" Abraham bangun dari duduknya."Kau tidak perlu membelaku, Abraham! Akulah yang bersalah! Sebenarnya sudah lama aku merasakan ini, menyadari kesalahanku sendiri. Jujur saja aku merasa benar-benar tak pantas memasuki keluarga kalian. Tepatnya tak pantas berdiri di antara kalian berdua, menghancurkan persaudaraan kalian, dan membuat kalian hampir saja bercerai-berai seperti ini. Membuat kalian berselisih paham. Aku hanya orang lain yang datang dan tanpa sengaja merusak sebuah ikatan persaudaraan kalian." Mera berkata lirih tanpa ekspresi."Tidak Mera! Tolong jangan katakan itu!" Abraham kembali bersuara.Sedangkan Brandy tetap diam. Meski hatinya tak bisa berbohong jika tengah gundah gulana. Sebenarnya hatinya pilu mendengar ucapan Mera
Bab 115"Patutkah kau mempertanyakan itu padaku Brandy?" Abraham mempertanyakan sebuah pertanyaan."Kak, aku bertanya karena aku memang merasa patut mengutarakan pertanyaan ini. Kalau aku merasa tak patut, tentu saja aku tidak akan mengutarakannya." Brandy mencoba menjawab."Brandy, bagaimana jika aku katakan bahwa seseorang yang aku ceritakan padamu dulu padamu, kamu tak mungkin mengenalnya. Karena dia adalah orang yang ada di masa laluku dan aku tidak ingin mengingatnya kembali. Pertanyaanmu sama saja dengan mengulang luka yang dulu pernah ia torehkan." Abraham menjawab pertanyaan sang adik.Itulah jawaban yang terbersit di benak Abraham saat ini.Meski Abraham sendiri merasa berdosa telah kembali mengukang sebuah kebohongan, tak bisa nicara dengan kejujuran. Karena jujur akan memberi peluang luka lebih besar untuk Brandy. Itulah secuil pertimnangan yang Abraham pikirkan untuk sementara ini."Jujurlah, Kak! Apakah wanita yang kakak sebutkan telah menyakiti Kakak dahulu bukan Mera is