Astagaaa....
Indikator waktu terus bertambah...26, 27, 28...itu tandanya sudah 26 detik pria itu menerima teleponnya, bukan(?) "Kalau hanya mau ngomong sendiri tidak usah telepon, ribet amat hidupnya!" Suara maskulin terdengar mencela dengan mengulang kalimat Samantha. Otak Samantha kosong saking terkejutnya, dia berusaha mengingat apa saja yang sudah dikatakannya lalu aura pertahanan diri pun mengambil alih. "Makanya hargai yang menelepon, masa sampai puluhan kali didiemin, buang aja ponselnya." Saat kalimatnya sudah meluncur, Samantha sadar itu keterlaluan. Arghh...jadi sudah dua kesalahan yang dia buat padahal mereka baru terhubung kurang dari satu menit. Ingin rasamya mengumpat dalam hati. Tapi sudahlah toh ini pria yang tidak bertanggung jawab itu! "Aku mengenalmu?" Kembali suara maskulin itu terdengar, datar dan dingin. "Ti...dak." "Dari mana kau dapat nomorku?" "Itu tidak penting." Terdengar tawa maskulin, bukan tawa bersahabat, dia bisa membayangkan wajah penuh cemooh di wajah tampan yang tadi dilihatnya di layar tab-nya. "Kalau begitu telepon ini juga tidak penting!" Tut...Tut...Tut... Samantha terkejut dan sewot karena pria sultan sialan itu menutup teleponnya. Segera Samantha menekan tombol radial. Sambil menunggu Samantha meremas-remas kertas hingga menjadi gumpalan kecil untuk meredam amarahnya. Lalu...telepon diangkat. "Ada perbedaan besar antara pantang menyerah dan tidak tahu malu!" Bentakan halus terdengar dari seberang. Samantha tak gentar. "Tidak usah ngajarin orang lain tentang 'tidak tahu malu' kalau belum memahami artinya dengan benar, berkaca dulu baru bicara, Sir." "WHATTT? Who are you?" "Tidak penting siapa_" "Kau selalu menjawab pertanyaan ku dengan kalimat tidak penting, kalau tidak penting jangan pernah meneleponku lagi!" "Wait.. wait..waitt..jangan tutup teleponnya, maksudku aku nggak penting tapi apa yang akan kusampaikan penting, percayalah...sangat penting!" "Kau membuang-buang waktuku, cepat katakan apa yang menurutmu sangat penting itu!" Samantha kebingungan harus mulai dari mana, kalau mereka lagi ngobrol santai pasti dia lebih bisa menceritakan dengan kata pengantar yang tidak akan terlalu mengejutkan. Akan tetapi karena ini melalui ponsel, mereka tidak saling bertatap mata, dan juga pria penguasa di seberang sudah sangat tidak sabaran, jadi Samantha harus mencari cara untuk menceritakan kejadian ini dengan sesingkat mungkin akan tetapi bisa mencakup inti dari semua yang terjadi. Sedang Samantha berusaha merangkai kata, si pria sultan bergumam, "benar-benar buang waktu_" "A-aanak! Ya..kau telah memiliki seorang anak," potong Samantha cepat. Sebagai balasan, terdengar tawa sinis. "Mendengar ketajaman lidahmu menghinaku, aku mengharap minimal kau bisa lebih berkelas saat ingin menjebakku." "MENJEBAKMU?" "Aku sudah hidup cukup lama, dan tahu bahwa trik ini yang paling sering kalian gunakan untuk menjebak kami, kaum pria bukan?" Mendengar tuduhan Chase, Samantha langsung terdiam saking marahnya! Dia bingung harus mengumpat dan menyemprot Chase dalam bahasa apa. "Kalau begitu kau hidup kurang lama! Belajarlah lagi bahwa di dunia ini ada orang lain bukan hanya kau dan mereka yang dikelasmu! Ada banyak orang tanpa trik kotor seperti yang kau kira!" "Kalau begitu jangan katakan omong kosong!" "Aku bilang seorang anak dan kau bilang itu omong kosong??? Kau memang...PARAH!" Lalu Samantha menutup ponselnya dengan tangan gemetar. Sungguh, Samantha belum pernah bertemu pria yang langsung bisa membuatnya marah di pertemuan pertama. Kini giliran ponsel Samantha yang berdering dan dia tahu itu nomor Chase Navarell. Samantha mengangkat secepat yang dia bisa dan menyemburkan kekesalan hatinya tanpa menunggu pria itu bersuara. "Lupakan bahwa aku pernah meneleponmu, lupakan bahwa aku pernah ingin memberitahu tentang anakmu, aku tidak sudi lagi berhubungan dengan pria sialan yang lari dari masalah! Aku lebih dari mampu untuk membiayai hidup kami bertiga! Hapus nomorku! Jangan pernah meneleponku lagi! Kau dengar itu Pria Sultan Sialan? Lupakan! Selesai! TAMAT!" Samantha begitu jengkel luar biasa hingga ingin rasanya dia melemparkan ponselnya ke kaca mobil agar dia bisa meluapkan kekesalannya pada pria itu. 'Bisa-bisanya si Tina bercinta dengan pria dingin dan tidak punya perasaan seperti itu,' batin Samantha. Samantha menyimpan ponselnya saat melihat melalui jendela mobil bahwa mereka sudah tiba di pelataran rumah sakit. Samantha turun dan berjalan menuju pintu masuk ketika ponselnya kembali bergetar. Pria Sultan Sialan! Samantha mengangkatnya tanpa mengatakan apapun, dia sudah mengatakan semuanya di percakapan terakhir mereka. "Secepat kilat naik, secepat kilat juga turunnya." Sekarang ada nada lebih ramah atau mungkin nada geli dalam suara pria itu. Samantha masih mendiamkannya. "Dimana kita pernah bertemu?" Kembali pria itu bertanya, dan Samantha bingung harus menjawab apa. Maksud pria itu pasti pertemuan dengan Tina, ibu si baby akan tetapi saat ini yang pria itu tahu hanya Samantha. 'nggak mungkin kalau tiba-tiba aku bilang sebenarnya bukan aku yang tidur dengan kamu. Fix! Dia akan anggap memang telepon iseng!' batin Samantha, dia memutar otak dengan cepat mencari cara menjawab yang tepat. Mereka tidak pernah bertemu kecuali Samantha melihat dia di layar tab-nya bukan? Dan pasti pria itu juga pernah melihat Samantha performe di layar kaca. "Di alam maya," cetus Samantha dalam kebingungannya dan pecahlah tawa pria itu, tawa yang sesungguhnya...begitu lepas dan panjang. "Thank you. Kau bisa membuatku tertawa begitu keras, rasanya sungguh melegakan." "Memang ada yang salah dengan hidupmu, aku kesal tapi kau terhibur." "Oke, bawa anak itu kepadaku...ralat! Mengingat lidahmu yang tajam pasti kau akan bilang aku egois, jadi katakan dimana aku bisa menemukan 'anak' yang kau bilang anakku itu!" 'bukan aku yang bilang,'sanggah Samantha dalam hati. Samantha juga tahu tidak mungkin dia bilang bahwa itu kata Tina, temannya. Bakalan semakin tidak percaya pria ini jika ada lagi tambahan tokoh baru. Biarlah sementara dia berpikir hanya ada dia, calon baby dan Samantha. "Kau tidak bisa menemuinya," jawab Samantha lirih. "Karena?""Karena...." Samantha sedang menimbang bagaimana penyampaian yang tepat, yang bisa meminimalisir kerusakan."Karena dia hanya bualanmu saja?""Anakmu itu nyata." "Bagaimana mungkin kita bisa bikin anak kalau kita bertemu di alam maya? Di mana kita bercinta? Market place?" Samantha mengabaikan ejekan sinis si pria, ia tidak tahu harus mengatakan apa, pria ini salah mengira bahwa Samantha adalah ibu bayi itu, akan tetapi kalau Samantha membantah sekarang sepertinya makin membuat dia mengira ini telepon iseng! Yah sudah salah dari awal, nanti dia akan memikirkan cara untuk mengklarifikasi seandainya bisa, kalau pria ini menolak tanggung jawab toh mereka hanya hidup bertiga, untuk apa harus repot-repot membenarkan semuanya? Bodo amat dengan pria ini.Mungkin karena tidak mendengar jawaban atau tanggapan dari pihak Samantha, maka si pria mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih mendesak."Jawab aku! Dimana kita bercinta?" "Grand Hyatt Melbourne," j
Daun yang berguguran mengiringi langkah Samantha memasuki rumah sakit. Hari ini dia akan membawa pulang Tristan Navarell, dia menamai si baby persis sesuai permintaan terakhir Tina. Karena persalinan yang sulit Tina akhirnya meninggal dunia dan dua bulan lamanya Tristan harus dirawat intensif di rumah sakit. Samantha menghampiri ruang pembayaran dan administrasi."Bu, saya akan membayar biaya perawatan pasien VViP 901." "Bik Bu, silahkan duduk saya cek terlebih dahulu." Samantha hanya mengangguk sambil berharap secepatnya dapat diselesaikan, karena sejak dia kehilangan Tina, Samantha selalu merasa susah bernafas jika sudah masuk area rumah sakit. Dia tahu itu psikis, karena kenangan akan Tina, akan tetapi sesaknya nyata hingga dia harus sering-sering mengirup nafas panjang."Bu, tagihannya sudah nol.""Nggak mungkin, karena Tina tidak punya siapa-siapa." "Ok, saya cek kembali." Sambil menunggu, Samantha mengirim pesan kepada Bianca y
"Silahkan duduk." Dengan setengah hati wanita itu mempersilahkan Samantha duduk.Melihat penampilan Samantha yang sederhana dan tidak mengikuti mode mungkin dia berpikir Samantha akan kikuk dengan sekeliling yang meneriakkan kemewahan.Samantha tidak pernah gentar dengan kekayaan, semewah apa pun, semegah apa pun, akan tetapi siang hari ini memang dia tidak terlalu percaya diri karena dia tidak sepenuhnya jujur dan itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Jadi dia gugup dan nervous, akan tetapi jika dia tidak melanjutkan rencananya dia takut Tristan akan diambil darinya.Dia tahu Tristan bukan haknya tapi dia ingin memastikan Tristan mendapat perawatan dan mendapat kasih sayang yang baik sebelum dia melepaskannya. Samantha pun mengambil majalah yang kebetulan memasang wajah Tina, sang super model sebagai covernya. Tampilan Tina di cover itu begitu ceria karena foto itu diambil jauh sebelum Tina masuk rumah sakit. Samantha merasa matanya basah.
Chase menunggu di kantornya dengan gelisah, dia tahu begitu melihat bayi yang akan di bawa wanita bermulut tajam itu, dia bisa langsung pastikan itu anaknya atau bukan, itu keturunan Navarell atau bukan!Tak lama pintu terbuka. Chase mengerutkan keningnya. Wanita yang berdiri di pintu segera masuk dan menutup pintu di belakangnya. Mereka saling memandang, kerutan di kening Chase makin dalam. Chase masih belum bersuara hingga suara lembut memecah kesunyian. "Kau memang pria plin plan." Chase terkejut dan seketika mengangkat keningnya. "Kau memang bermulut tajam," balas Chase. "Tadi..kau menyuruhku kembali, tapi sekarang..hanya melihat wajahmu aku tahu bahwa kau menginginkanku pergi, apa namanya kalau bukan tidak berpendirian?" "Aku mengira kau membawa bayimu, untuk apa kau sudah payah menemuiku tanpa membawa bayimu? Aku bermaksud memastikan bahwa itu memang keturunan Navarell, tapi sekarang aku tahu pasti dia bukan anakku." "Dari
Samantha baru tahu bahwa dia bisa membenci seorang pria dengan begitu dahsyat walau belum pernah bertemu! "Tunggu sampai aku menemukanmu!" Samantha terus mengumpati pria tanpa wajah yang sudah meninggalkan sahabat karibnya yang kini sedang menunggu persalinan dalam kondisi patah hati. Samantha sedang mondar mandir mencari cara untuk menyeret pria yang konon kabarnya seorang penguasa, playboy bilioner.Tidak gampang membuat sahabatnya mau memberi tahu nama pria sialan itu, walau akhirnya dia mendapatkannya.'Ngapain juga si Tina pakai main rahasia segala, coba tahu namanya dari dulu, emang siapa pria itu? Syekh? Teroris? Presiden?' Hal itu masih mendominasi pikirannya saat dia sudah duduk di kursi first class sebuah maskapai penerbangan.Ketenangan di sekelilingnya tak mampu menepis kegelisahan akan keadaan sahabatnya. Ingat Tina, Samantha ingat pula dengan pria yang seenaknya pergi setelah mendapat kesenangan. Seperti apa sih tampangnya?
Chase menunggu di kantornya dengan gelisah, dia tahu begitu melihat bayi yang akan di bawa wanita bermulut tajam itu, dia bisa langsung pastikan itu anaknya atau bukan, itu keturunan Navarell atau bukan!Tak lama pintu terbuka. Chase mengerutkan keningnya. Wanita yang berdiri di pintu segera masuk dan menutup pintu di belakangnya. Mereka saling memandang, kerutan di kening Chase makin dalam. Chase masih belum bersuara hingga suara lembut memecah kesunyian. "Kau memang pria plin plan." Chase terkejut dan seketika mengangkat keningnya. "Kau memang bermulut tajam," balas Chase. "Tadi..kau menyuruhku kembali, tapi sekarang..hanya melihat wajahmu aku tahu bahwa kau menginginkanku pergi, apa namanya kalau bukan tidak berpendirian?" "Aku mengira kau membawa bayimu, untuk apa kau sudah payah menemuiku tanpa membawa bayimu? Aku bermaksud memastikan bahwa itu memang keturunan Navarell, tapi sekarang aku tahu pasti dia bukan anakku." "Dari
"Silahkan duduk." Dengan setengah hati wanita itu mempersilahkan Samantha duduk.Melihat penampilan Samantha yang sederhana dan tidak mengikuti mode mungkin dia berpikir Samantha akan kikuk dengan sekeliling yang meneriakkan kemewahan.Samantha tidak pernah gentar dengan kekayaan, semewah apa pun, semegah apa pun, akan tetapi siang hari ini memang dia tidak terlalu percaya diri karena dia tidak sepenuhnya jujur dan itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Jadi dia gugup dan nervous, akan tetapi jika dia tidak melanjutkan rencananya dia takut Tristan akan diambil darinya.Dia tahu Tristan bukan haknya tapi dia ingin memastikan Tristan mendapat perawatan dan mendapat kasih sayang yang baik sebelum dia melepaskannya. Samantha pun mengambil majalah yang kebetulan memasang wajah Tina, sang super model sebagai covernya. Tampilan Tina di cover itu begitu ceria karena foto itu diambil jauh sebelum Tina masuk rumah sakit. Samantha merasa matanya basah.
Daun yang berguguran mengiringi langkah Samantha memasuki rumah sakit. Hari ini dia akan membawa pulang Tristan Navarell, dia menamai si baby persis sesuai permintaan terakhir Tina. Karena persalinan yang sulit Tina akhirnya meninggal dunia dan dua bulan lamanya Tristan harus dirawat intensif di rumah sakit. Samantha menghampiri ruang pembayaran dan administrasi."Bu, saya akan membayar biaya perawatan pasien VViP 901." "Bik Bu, silahkan duduk saya cek terlebih dahulu." Samantha hanya mengangguk sambil berharap secepatnya dapat diselesaikan, karena sejak dia kehilangan Tina, Samantha selalu merasa susah bernafas jika sudah masuk area rumah sakit. Dia tahu itu psikis, karena kenangan akan Tina, akan tetapi sesaknya nyata hingga dia harus sering-sering mengirup nafas panjang."Bu, tagihannya sudah nol.""Nggak mungkin, karena Tina tidak punya siapa-siapa." "Ok, saya cek kembali." Sambil menunggu, Samantha mengirim pesan kepada Bianca y
"Karena...." Samantha sedang menimbang bagaimana penyampaian yang tepat, yang bisa meminimalisir kerusakan."Karena dia hanya bualanmu saja?""Anakmu itu nyata." "Bagaimana mungkin kita bisa bikin anak kalau kita bertemu di alam maya? Di mana kita bercinta? Market place?" Samantha mengabaikan ejekan sinis si pria, ia tidak tahu harus mengatakan apa, pria ini salah mengira bahwa Samantha adalah ibu bayi itu, akan tetapi kalau Samantha membantah sekarang sepertinya makin membuat dia mengira ini telepon iseng! Yah sudah salah dari awal, nanti dia akan memikirkan cara untuk mengklarifikasi seandainya bisa, kalau pria ini menolak tanggung jawab toh mereka hanya hidup bertiga, untuk apa harus repot-repot membenarkan semuanya? Bodo amat dengan pria ini.Mungkin karena tidak mendengar jawaban atau tanggapan dari pihak Samantha, maka si pria mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih mendesak."Jawab aku! Dimana kita bercinta?" "Grand Hyatt Melbourne," j
Astagaaa....Indikator waktu terus bertambah...26, 27, 28...itu tandanya sudah 26 detik pria itu menerima teleponnya, bukan(?)"Kalau hanya mau ngomong sendiri tidak usah telepon, ribet amat hidupnya!" Suara maskulin terdengar mencela dengan mengulang kalimat Samantha.Otak Samantha kosong saking terkejutnya, dia berusaha mengingat apa saja yang sudah dikatakannya lalu aura pertahanan diri pun mengambil alih."Makanya hargai yang menelepon, masa sampai puluhan kali didiemin, buang aja ponselnya." Saat kalimatnya sudah meluncur, Samantha sadar itu keterlaluan. Arghh...jadi sudah dua kesalahan yang dia buat padahal mereka baru terhubung kurang dari satu menit. Ingin rasamya mengumpat dalam hati. Tapi sudahlah toh ini pria yang tidak bertanggung jawab itu! "Aku mengenalmu?" Kembali suara maskulin itu terdengar, datar dan dingin."Ti...dak." "Dari mana kau dapat nomorku?" "Itu tidak penting." Terdengar tawa maskulin, bukan tawa
Samantha baru tahu bahwa dia bisa membenci seorang pria dengan begitu dahsyat walau belum pernah bertemu! "Tunggu sampai aku menemukanmu!" Samantha terus mengumpati pria tanpa wajah yang sudah meninggalkan sahabat karibnya yang kini sedang menunggu persalinan dalam kondisi patah hati. Samantha sedang mondar mandir mencari cara untuk menyeret pria yang konon kabarnya seorang penguasa, playboy bilioner.Tidak gampang membuat sahabatnya mau memberi tahu nama pria sialan itu, walau akhirnya dia mendapatkannya.'Ngapain juga si Tina pakai main rahasia segala, coba tahu namanya dari dulu, emang siapa pria itu? Syekh? Teroris? Presiden?' Hal itu masih mendominasi pikirannya saat dia sudah duduk di kursi first class sebuah maskapai penerbangan.Ketenangan di sekelilingnya tak mampu menepis kegelisahan akan keadaan sahabatnya. Ingat Tina, Samantha ingat pula dengan pria yang seenaknya pergi setelah mendapat kesenangan. Seperti apa sih tampangnya?