"Silahkan duduk."
Dengan setengah hati wanita itu mempersilahkan Samantha duduk. Melihat penampilan Samantha yang sederhana dan tidak mengikuti mode mungkin dia berpikir Samantha akan kikuk dengan sekeliling yang meneriakkan kemewahan. Samantha tidak pernah gentar dengan kekayaan, semewah apa pun, semegah apa pun, akan tetapi siang hari ini memang dia tidak terlalu percaya diri karena dia tidak sepenuhnya jujur dan itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Jadi dia gugup dan nervous, akan tetapi jika dia tidak melanjutkan rencananya dia takut Tristan akan diambil darinya. Dia tahu Tristan bukan haknya tapi dia ingin memastikan Tristan mendapat perawatan dan mendapat kasih sayang yang baik sebelum dia melepaskannya. Samantha pun mengambil majalah yang kebetulan memasang wajah Tina, sang super model sebagai covernya. Tampilan Tina di cover itu begitu ceria karena foto itu diambil jauh sebelum Tina masuk rumah sakit. Samantha merasa matanya basah. Untungnya setelah mempersilahkan Samantha duduk maka sekretaris itu langsung menuju pintu di sebelah kanan yang tertutup rapat. "Mr Navarell maaf_" "Aku sudah bilang padamu, Jangan ganggu aku, Leda!" "Maafkan saya, akan tetapi wanita di luar sana memaksa saya untuk mengatakan...ehm untuk menyampaikan pesannya_" "Perintahku bukan dengan pengecualian, catat, Da! Bahkan Johana sekali pun harus kau tolak, khusus hari ini tanpa pengecualian... mau dia wanita atau pria atau banci, membawa pesan atau tidak, tidak ada bedanya. Jadi sekarang keluarlah suruh dia buat janji dulu! Setelah itu kamu kembali ke sini... aku mau pesan makan siang, tidak ada waktu untuk keluar makan." "Yes, Sir." Sebenarnya perintahnya sudah jelas, bahkan teman dekat Mr Navarell yang terakhir, yaitu Johana juga dilarang mengganggu, apalagi wanita lain, dari alam maya pula. Leda keluar dari ruangan menutup pintu dengan perlahan, lalu menemui wanita yang menurutnya menarik dan segar, walau tidak cantik dan dandanannya tidak mengikuti mode yang berlaku, seperti ketinggalan zaman tapi tetap terlihat memikat dengan caranya sendiri. Dengan langkah tegap, Leda menghampiri wanita yang terlihat sedang menatap wajah di cover majalah. 'mungkin dia sedang berkhayal seandainya dia menjadi wanita itu maka semua pintu tidak akan tertutup baginya tak terkecuali pintu Mr Navarell yang baru saja menolaknya,' kata Leda dalam hati. "Ehm ehm...." Leda berusaha menarik perhatian wanita itu dan berhasil. Kini wanita itu balas menatapnya. "Saya sudah menyampaikan tentang kedatangan Anda akan tetapi Mr Navarell masih sangat sibuk jadi tidak bisa menemui Anda saat ini." Nampak wanita itu menganggukkan kepala sambil berpikir. "Beliau bilang Anda harus buat janji dahulu, atau jika penting saya bisa sisipkan dipertemuan besok, Anda mau pagi banget atau malam di atas jam 8?" Mendengar penawaran Leda nampak wanita itu membuka mulutnya akan mengatakan sesuatu tetapi mendadak dia menahannya dan kembali mengatupkan rahangnya. Leda bisa melihat ada kesedihan di mata wanita pirang lembut dihadapannya, juga ada kemarahan, kejengkelan. "Kau sudah menyampaikan pesanku bahwa aku wanita dari Alam Maya dan dia tetap menolak ku?" Dengan ragu-ragu Leda menganggukkan kepalanya. "Baiklah seperti janjiku tidak akan membuat keributan, hanya tolong sampaikan pesanku dan kutip setiap kata persis seperti apa yang aku katakan yaitu : kau akan menyesal karena pernah menolak...DIA!" Setelah mengatakan hal itu, wanita itu pun meninggalkan ruangan dan menuju lift, sebelum masuk, Leda sempat melihatnya menghampiri security dan berbincang, Leda menebak mungkin dia minta petunjuk arah pulang. Leda melihat wanita itu untuk terakhir kali, lalu berbalik kembali ke ruangan Mr Navarell. "Jadi, Anda ingin makan yang berat? Sedang? Atau ringan, Sir?" "Sedang." "Baiklah." Bukannya pergi Leda malah bertahan sambil samar terlihat menggerakkan kakinya. "Kenapa?" tanya Chase yang sudah hafal dengan bahasa tubuh sekretarisnya. "Wanita itu sudah pergi." "Bagus, berarti tugasmu sudah selesai, jadi kenapa kau malah berdiri di situ?" Leda bingung harus menjawab apa. "Wanita itu sudah pergi tanpa meninggalkan jejak parfumnya seperti biasa?" Chase berkata sambil tersenyum sinis, dia bisa mengira siapa wanita-wanita yang gemar sekali datang tanpa perjanjian, wanita yang mungkin pernah diajaknya makan malam atau memang pernah berkencan dengannya akan tetapi sebenarnya mereka semua sudah tahu bahwa tidak akan pernah ada lanjutan tapi seringkali mereka mencoba keberuntungannya dengan datang tanpa janji. Leda menggeleng lalu tersenyum. "Kenapa kau tersenyum?" "Sebenarnya wanita itu menyampaikan pesan kedua, tapi karena Anda masih sibuk saya akan menyampaikannya besok saja, Mr Navarell." "Apa pesan keduanya? Nomor kamar? Nomor ponsel? Lenyapkan, tidak usah kau simpan." Kembali Leda menggeleng lalu mulai membuka mulutnya dan mengatakan sama persis seperti apa yang diperintahkan oleh wanita itu. "Aku harus menyampaikan pesan ini sesuai instruksinya dia bilang kamu kutip persis seperti aslinya yaitu : kau akan menyesal karena pernah menolak dia." Chase duduk tegak dikursinya. 'ada yang aneh, biasa wanita wanita itu akan berkata menyesal karena membuang mereka, tapi menyesal karena membuang...dia? Apa maksudnya?' pikir Chase. "Wanita itu pernah ke sini? Kau tahu siapa dia?" Tanya Chase dengan tubuh kembali bersandar di kursinya. Leda menggeleng. "Tentu saja aku tidak mengenalnya, dia dari...alam lain." Chase mencerna kalimat Leda, dan sontak Chase berdiri. "Apa pesannya yang pertama?" "Katakan wanita dari Alam Maya ingin bert_" Belum selesai kalimat Leda, dia melihat Mr Navarell menghambur ke pintu dan melangkah menuju ke lift. Melihat lift yang masih jauh dari lantai l, Chase menuju tangga melingkar, Chase bukan menuruni anak tangga satu demi satu akan tetapi beberapa sekaligus. Dengan cepat Chase turun hingga sampai di lantai 17 perjalanannya harus terhenti. "Maaf Pak, sedang ada perbaikan, mohon meneruskan perjalanan lewat lift atau tangga darurat, Pak." Dengan sopan mandor itu memberi solusi tanpa dia tahu siapa orang sedang dihadapinya. Tanpa sadar Chase mengacak-acak rambutnya sambil berjalan ke arah lift. Para karyawan yang sedang antri di depan lift segera menepi, memberi kesempatan bos besar mereka untuk masuk lift duluan. Bukannya kembali naik, Chase malah turun. Lalu dia teringat sesuatu. Cepat-cepat Chase mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dia mengirim pesan singkat dan jelas. (Kembalilah!) Chase menunggu. {Terlambat} (Kau dimana?) {Di jalan} (Aku ke tempatmu) {Akan ku pertimbangkan} (Shittt) {Mengumpat? Bukankah itu harusnya dalam hati saja?} Chase tersenyum, wanita bermulut tajam ini selalu bisa membuatnya tersenyum, tanpa usaha bahkan tanpa dia tahu. (Kembali! Kita akan bicara) {Tunggulah}Chase menunggu di kantornya dengan gelisah, dia tahu begitu melihat bayi yang akan di bawa wanita bermulut tajam itu, dia bisa langsung pastikan itu anaknya atau bukan, itu keturunan Navarell atau bukan!Tak lama pintu terbuka. Chase mengerutkan keningnya. Wanita yang berdiri di pintu segera masuk dan menutup pintu di belakangnya. Mereka saling memandang, kerutan di kening Chase makin dalam. Chase masih belum bersuara hingga suara lembut memecah kesunyian. "Kau memang pria plin plan." Chase terkejut dan seketika mengangkat keningnya. "Kau memang bermulut tajam," balas Chase. "Tadi..kau menyuruhku kembali, tapi sekarang..hanya melihat wajahmu aku tahu bahwa kau menginginkanku pergi, apa namanya kalau bukan tidak berpendirian?" "Aku mengira kau membawa bayimu, untuk apa kau sudah payah menemuiku tanpa membawa bayimu? Aku bermaksud memastikan bahwa itu memang keturunan Navarell, tapi sekarang aku tahu pasti dia bukan anakku." "Dari
Samantha baru tahu bahwa dia bisa membenci seorang pria dengan begitu dahsyat walau belum pernah bertemu! "Tunggu sampai aku menemukanmu!" Samantha terus mengumpati pria tanpa wajah yang sudah meninggalkan sahabat karibnya yang kini sedang menunggu persalinan dalam kondisi patah hati. Samantha sedang mondar mandir mencari cara untuk menyeret pria yang konon kabarnya seorang penguasa, playboy bilioner.Tidak gampang membuat sahabatnya mau memberi tahu nama pria sialan itu, walau akhirnya dia mendapatkannya.'Ngapain juga si Tina pakai main rahasia segala, coba tahu namanya dari dulu, emang siapa pria itu? Syekh? Teroris? Presiden?' Hal itu masih mendominasi pikirannya saat dia sudah duduk di kursi first class sebuah maskapai penerbangan.Ketenangan di sekelilingnya tak mampu menepis kegelisahan akan keadaan sahabatnya. Ingat Tina, Samantha ingat pula dengan pria yang seenaknya pergi setelah mendapat kesenangan. Seperti apa sih tampangnya?
Astagaaa....Indikator waktu terus bertambah...26, 27, 28...itu tandanya sudah 26 detik pria itu menerima teleponnya, bukan(?)"Kalau hanya mau ngomong sendiri tidak usah telepon, ribet amat hidupnya!" Suara maskulin terdengar mencela dengan mengulang kalimat Samantha.Otak Samantha kosong saking terkejutnya, dia berusaha mengingat apa saja yang sudah dikatakannya lalu aura pertahanan diri pun mengambil alih."Makanya hargai yang menelepon, masa sampai puluhan kali didiemin, buang aja ponselnya." Saat kalimatnya sudah meluncur, Samantha sadar itu keterlaluan. Arghh...jadi sudah dua kesalahan yang dia buat padahal mereka baru terhubung kurang dari satu menit. Ingin rasamya mengumpat dalam hati. Tapi sudahlah toh ini pria yang tidak bertanggung jawab itu! "Aku mengenalmu?" Kembali suara maskulin itu terdengar, datar dan dingin."Ti...dak." "Dari mana kau dapat nomorku?" "Itu tidak penting." Terdengar tawa maskulin, bukan tawa
"Karena...." Samantha sedang menimbang bagaimana penyampaian yang tepat, yang bisa meminimalisir kerusakan."Karena dia hanya bualanmu saja?""Anakmu itu nyata." "Bagaimana mungkin kita bisa bikin anak kalau kita bertemu di alam maya? Di mana kita bercinta? Market place?" Samantha mengabaikan ejekan sinis si pria, ia tidak tahu harus mengatakan apa, pria ini salah mengira bahwa Samantha adalah ibu bayi itu, akan tetapi kalau Samantha membantah sekarang sepertinya makin membuat dia mengira ini telepon iseng! Yah sudah salah dari awal, nanti dia akan memikirkan cara untuk mengklarifikasi seandainya bisa, kalau pria ini menolak tanggung jawab toh mereka hanya hidup bertiga, untuk apa harus repot-repot membenarkan semuanya? Bodo amat dengan pria ini.Mungkin karena tidak mendengar jawaban atau tanggapan dari pihak Samantha, maka si pria mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih mendesak."Jawab aku! Dimana kita bercinta?" "Grand Hyatt Melbourne," j
Daun yang berguguran mengiringi langkah Samantha memasuki rumah sakit. Hari ini dia akan membawa pulang Tristan Navarell, dia menamai si baby persis sesuai permintaan terakhir Tina. Karena persalinan yang sulit Tina akhirnya meninggal dunia dan dua bulan lamanya Tristan harus dirawat intensif di rumah sakit. Samantha menghampiri ruang pembayaran dan administrasi."Bu, saya akan membayar biaya perawatan pasien VViP 901." "Bik Bu, silahkan duduk saya cek terlebih dahulu." Samantha hanya mengangguk sambil berharap secepatnya dapat diselesaikan, karena sejak dia kehilangan Tina, Samantha selalu merasa susah bernafas jika sudah masuk area rumah sakit. Dia tahu itu psikis, karena kenangan akan Tina, akan tetapi sesaknya nyata hingga dia harus sering-sering mengirup nafas panjang."Bu, tagihannya sudah nol.""Nggak mungkin, karena Tina tidak punya siapa-siapa." "Ok, saya cek kembali." Sambil menunggu, Samantha mengirim pesan kepada Bianca y
Chase menunggu di kantornya dengan gelisah, dia tahu begitu melihat bayi yang akan di bawa wanita bermulut tajam itu, dia bisa langsung pastikan itu anaknya atau bukan, itu keturunan Navarell atau bukan!Tak lama pintu terbuka. Chase mengerutkan keningnya. Wanita yang berdiri di pintu segera masuk dan menutup pintu di belakangnya. Mereka saling memandang, kerutan di kening Chase makin dalam. Chase masih belum bersuara hingga suara lembut memecah kesunyian. "Kau memang pria plin plan." Chase terkejut dan seketika mengangkat keningnya. "Kau memang bermulut tajam," balas Chase. "Tadi..kau menyuruhku kembali, tapi sekarang..hanya melihat wajahmu aku tahu bahwa kau menginginkanku pergi, apa namanya kalau bukan tidak berpendirian?" "Aku mengira kau membawa bayimu, untuk apa kau sudah payah menemuiku tanpa membawa bayimu? Aku bermaksud memastikan bahwa itu memang keturunan Navarell, tapi sekarang aku tahu pasti dia bukan anakku." "Dari
"Silahkan duduk." Dengan setengah hati wanita itu mempersilahkan Samantha duduk.Melihat penampilan Samantha yang sederhana dan tidak mengikuti mode mungkin dia berpikir Samantha akan kikuk dengan sekeliling yang meneriakkan kemewahan.Samantha tidak pernah gentar dengan kekayaan, semewah apa pun, semegah apa pun, akan tetapi siang hari ini memang dia tidak terlalu percaya diri karena dia tidak sepenuhnya jujur dan itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Jadi dia gugup dan nervous, akan tetapi jika dia tidak melanjutkan rencananya dia takut Tristan akan diambil darinya.Dia tahu Tristan bukan haknya tapi dia ingin memastikan Tristan mendapat perawatan dan mendapat kasih sayang yang baik sebelum dia melepaskannya. Samantha pun mengambil majalah yang kebetulan memasang wajah Tina, sang super model sebagai covernya. Tampilan Tina di cover itu begitu ceria karena foto itu diambil jauh sebelum Tina masuk rumah sakit. Samantha merasa matanya basah.
Daun yang berguguran mengiringi langkah Samantha memasuki rumah sakit. Hari ini dia akan membawa pulang Tristan Navarell, dia menamai si baby persis sesuai permintaan terakhir Tina. Karena persalinan yang sulit Tina akhirnya meninggal dunia dan dua bulan lamanya Tristan harus dirawat intensif di rumah sakit. Samantha menghampiri ruang pembayaran dan administrasi."Bu, saya akan membayar biaya perawatan pasien VViP 901." "Bik Bu, silahkan duduk saya cek terlebih dahulu." Samantha hanya mengangguk sambil berharap secepatnya dapat diselesaikan, karena sejak dia kehilangan Tina, Samantha selalu merasa susah bernafas jika sudah masuk area rumah sakit. Dia tahu itu psikis, karena kenangan akan Tina, akan tetapi sesaknya nyata hingga dia harus sering-sering mengirup nafas panjang."Bu, tagihannya sudah nol.""Nggak mungkin, karena Tina tidak punya siapa-siapa." "Ok, saya cek kembali." Sambil menunggu, Samantha mengirim pesan kepada Bianca y
"Karena...." Samantha sedang menimbang bagaimana penyampaian yang tepat, yang bisa meminimalisir kerusakan."Karena dia hanya bualanmu saja?""Anakmu itu nyata." "Bagaimana mungkin kita bisa bikin anak kalau kita bertemu di alam maya? Di mana kita bercinta? Market place?" Samantha mengabaikan ejekan sinis si pria, ia tidak tahu harus mengatakan apa, pria ini salah mengira bahwa Samantha adalah ibu bayi itu, akan tetapi kalau Samantha membantah sekarang sepertinya makin membuat dia mengira ini telepon iseng! Yah sudah salah dari awal, nanti dia akan memikirkan cara untuk mengklarifikasi seandainya bisa, kalau pria ini menolak tanggung jawab toh mereka hanya hidup bertiga, untuk apa harus repot-repot membenarkan semuanya? Bodo amat dengan pria ini.Mungkin karena tidak mendengar jawaban atau tanggapan dari pihak Samantha, maka si pria mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih mendesak."Jawab aku! Dimana kita bercinta?" "Grand Hyatt Melbourne," j
Astagaaa....Indikator waktu terus bertambah...26, 27, 28...itu tandanya sudah 26 detik pria itu menerima teleponnya, bukan(?)"Kalau hanya mau ngomong sendiri tidak usah telepon, ribet amat hidupnya!" Suara maskulin terdengar mencela dengan mengulang kalimat Samantha.Otak Samantha kosong saking terkejutnya, dia berusaha mengingat apa saja yang sudah dikatakannya lalu aura pertahanan diri pun mengambil alih."Makanya hargai yang menelepon, masa sampai puluhan kali didiemin, buang aja ponselnya." Saat kalimatnya sudah meluncur, Samantha sadar itu keterlaluan. Arghh...jadi sudah dua kesalahan yang dia buat padahal mereka baru terhubung kurang dari satu menit. Ingin rasamya mengumpat dalam hati. Tapi sudahlah toh ini pria yang tidak bertanggung jawab itu! "Aku mengenalmu?" Kembali suara maskulin itu terdengar, datar dan dingin."Ti...dak." "Dari mana kau dapat nomorku?" "Itu tidak penting." Terdengar tawa maskulin, bukan tawa
Samantha baru tahu bahwa dia bisa membenci seorang pria dengan begitu dahsyat walau belum pernah bertemu! "Tunggu sampai aku menemukanmu!" Samantha terus mengumpati pria tanpa wajah yang sudah meninggalkan sahabat karibnya yang kini sedang menunggu persalinan dalam kondisi patah hati. Samantha sedang mondar mandir mencari cara untuk menyeret pria yang konon kabarnya seorang penguasa, playboy bilioner.Tidak gampang membuat sahabatnya mau memberi tahu nama pria sialan itu, walau akhirnya dia mendapatkannya.'Ngapain juga si Tina pakai main rahasia segala, coba tahu namanya dari dulu, emang siapa pria itu? Syekh? Teroris? Presiden?' Hal itu masih mendominasi pikirannya saat dia sudah duduk di kursi first class sebuah maskapai penerbangan.Ketenangan di sekelilingnya tak mampu menepis kegelisahan akan keadaan sahabatnya. Ingat Tina, Samantha ingat pula dengan pria yang seenaknya pergi setelah mendapat kesenangan. Seperti apa sih tampangnya?