Tiba di kontrakan Deni. Suasana rumah masih tampak sepi. Lekas Mila membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang diberikan Deni.
Sambil menunggu Deni pulang dari mencari pekerjaan. Mila merapihkan satu persatu pakaian Deni yang masih ada di dalam koper. Setelah itu ia membereskan kamar yang hanya di alasi sehelai karpet.Setelah rapih semua yang pekerjaan rumah. Mila bergegas keluar dari kontrakan untuk membeli kasur dan perkakas rumah tangga. Hari itu Mila menghabiskan sebagian uangnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga beserta perabotan guna melengkapi kebutuhan nya kelak jika sudah menjadi istri Deni.Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang. Deni tampak sudah datang bersama motor maticnya. Wajahnya terlihat lusuh dan lelah.Mila langsung menyambutnya dengan ciuman hangat."Gimana Den? Kamu sudah dapat pekerjaan?" tanya Mila tak sabar mendengar jawaban Deni."Belum Bu. Susah sekali cari pekerjaan di kotaIntana tampak berkaca melihat Samsul yang berdiri mematung di hadapannya. Lelaki itu adalah satu dari sekian lelaki yang pernah singgah di hatinya dulu. Dengan Samsul ia merasakan cinta sejati yang sesungguhnya. Tapi sayang kedua orang tuanya telah menjodohkannya dengan lelaki pilihan mereka. Sejak saat itulah. Dengan terpaksa Intana meninggalkan Samsul begitu saja tanpa memberinya pesan dan berita.Dan itu kesalahan terbesar dalam hidupnya. Menyesal dulu ia melepaskan Samsul yang kala itu Samsul masih pengangguran. Itulah mengapa ia memutuskan untuk meninggalkan Samsul dan menikah dengan Toro, yang kini telah menjadi suaminya. Tapi perkawinan mereka tidak bahagia. Toro ternyata bukan lelaki baik yang dulu ia kenal lewat perjodohan. Lelaki itu seorang penjudi dan sering mabuk jika pulang kerja. Meski Toro pemabuk. Tapi dia adalah pengusaha kaya raya berlimpah harta. Tapi harta bukan lah jaminan seseorang bahagia. Intana san
Sebuah tangan yang putih nan halus menepuk lembut wajah Samsul, kemudian dengan nada menggoda Intana berbicara. "Kamu selalu hadir di mimpiku Beb ... " Nafas dari pemilik suara itu tercium bau alkohol yang menyengat, Samsul pun mengernyitkan dahi menciumnya. Kemudian lengan halus nan gemulai dari wanita cantik itu melingkari lehernya, bibir merahnya yang tipis tersungging sedikit, menampakkan senyum anggun dan menggoda. Debar jantung Samsul seketika memuncak. "Ayolah Beb. Aku kesepian ... " "Kamu sudah gila! Lepaskan aku!" Samsul menolehkan kepala seraya menghindari serangan dari bibir merah merona wanita masa lalu nya itu. Kemudian dengan suara seraknya Samsul berkata. "Cukup Intana! Aku tak mau sakit seperti dulu lagi! Menjauh dariku!" "Apa kamu sudah tidak tertarik lagi padaku?" "Tidak!" "Oh. Mungkin kamu bukan pria normal ... " Perkataan Intana memancing emosi
Ting! Bunyi notifikasi dari ponselnya menghenyakan Samsul dari lamunan. Samsul beranjak dari duduknya dan langsung mengambil benda pipih itu dari atas meja, nampak ada pesan di aplikasi hijau, dan menunjukan pesan dari Mila. [Pa. Mama ada urusan penting dengan teman Mama, Papa kalau lapar, Beli saja dulu masakan dari luar. Nanti jam tiga sore Mama pulang ya] pesan dari Mila sedikit membuat Samsul merasa tenang. Iya Ma. Mama jangan khawatir, nanti Papa beli nasi padang saja, selesaikan dulu urusan Mama sama teman Mama. Jemari Samsul lugas mengetik balasan untuk istrinya. Setelah membalas pesan dari istrinya. Cepat Samsul menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya. Setelah itu ia duduk sejenak di sofa, pikirannya masih menerawang pada kejadian yang tadi siang dialaminya bersama Intana. Wanita masa lalu nya itu, sedikit menguras otaknya. Bagaimana mungkin Intana bisa berubah liar, dulu saat Samsul masih berhubungan dengan
Samsul tak tinggal diam. Ia terus menekan istrinya untuk berterus terang mengenai kehamilannya. Bukankah di saat seperti itu. Seorang Istri akan merasa bahagia memberi kabar tentang kehamilannya. Tapi Mila seakan mengelak dan menghindar. Membuat Samsul semakin penasaran. Apa maksud dan tujuan Mila sebenarnya. "Ma. Kalau Mama tak mau berterus terang baiklah! Papa takkan memaksa, tapi Papa akan menunggu sampai Mama berterus terang!" tegas Samsul sambil berjalan menuju ke ruang tengah. Pikiran Samsul semakin kalut. Rasa curiga mulai menyelimuti pikirannya. *** Malam itu ...Saat hujan deras menerpa kota tersebut. Dimana Intana tertahan tidak bisa pulang ke rumahnya, padahal waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ia berdiri di depan kedai yang sudah hampir tertutup seluruhnya. Ia menghela nafas. Melihat hujan yang terus jatuh dengan derasnya. Hujan seperti ini mungkin akan awet pikirnya namun tidak mungkin juga ia harus ber
Setibanya di rumah. Baik Samsul dan Intana keduanya terlihat tegang. Tapi mau bagaimana lagi. Samsul tak mau Intana berbuat nekad seperti yang tadi ia lakukan saat ingin menabrakkan diri ke jalanan. Begitupun dengan Intana. Ia sudah putus asa dan ketakutan. Daripada ia kembali pada Toro. Lebih baik ia mati saja. Sudah cukup, ia tahan deritanya yang tak berkesudahan. Jika ia pulang ke rumah orang tuanya. Tentu dengan sangat mudah Ibu dan ayahnya terbujuk rayuan manis Toro yang berbisa itu. Lelaki itu akan menggunakan kelemahan kedua orang tuanya dengan uang. Ia tak mau itu terjadi, melibatkan kedua orang tuanya, hanya akan menambah beban pikiran mereka saja. Dengan hati- hati. Samsul memarkirkan motor nya di depan rumahnya. Lalu secara perlahan ia membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang selalu ia simpan kemanapun ia pergi. "Aku takut, bagaimana jika istrimu curiga ... " bisik Intana. Samsul menelan ludahnya. Wajahnya sudah
Lega rasanya Samsul malam itu, istrinya tak menaruh curiga sedikitpun terhadap Intana. Mereka bertiga malam itu makan bersama. Intana merasa bahagia melihat rumah tangga mantannya itu. Beristri cantik dan pintar memasak. Andai saja rumah tangganya sebahagia Samsul. Mungkin malam itu ia bisa bernafas lega di samping suaminya. Tapi kenyataan nya sungguh memilukan. Tak ada kebahagian yang di dapat. Hanya air mata yang Toro berikan setiap hari. Intana bahagia melihat Samsul bahagia. Ia takkan pernah lagi mengganggu rumah tangga Samsul. Setelah situasi mulai tenang. Ia akan pergi dari rumah itu. "Oiya. Dari tadi Mama lupa Pa," kata Mila seketika membuat Samsul dan Intana menghentikan makanan yang mereka kunyah. "Ada apa Ma?" ujar Samsul sambil menyusut keringat yang dari tadi tak berhenti menitik karena menahan ketegangan yang sedang berlangsung. "Mama belum mengenalkan diri Mama. Siti, nama saya Mila," ucap Mila tersenyum ramah
Intana tersenyum kecil melihat gerakan spontan Samsul saat ia mendekat. Lelaki itu memang tak berubah, selalu setia pada pasangannya. Untuk itu. Intana berjanji akan melupakan Samsul untuk selamanya, karena lelaki itu sudah bahagia hidup berumah tangga. Ia akan pergi menjauh darinya."Pa!" Mila tiba- tiba sudah berdiri di hadapan mereka berdua. Keduanya langsung berdiri melihat kehadiran Mila."Ma, Mama, udah bangun Ma ... " jawab Samsul gagap. Mila lalu mendekati suaminya. Lalu menatap sekilas Intana kemudian tatapannya beralih pada nasi goreng yang terdampar di atas meja makan. "Ini pasti nasi goreng buatan Siti. Betul kan, Pa?" ujar Mila sambil memasukan satu sendok nasi goreng ke mulutnya. Samsul menelan salivanya. Tenggorokannya seakan tercekat mendengar perkataan istrinya. "Eh, itu. Siti yang buat," ucap Samsul gelagapan. Ia tak mau istrinya curiga dengan Intana. "Enak juga nasi goreng bua
"Jangan Mbak. Saya masih ada uang kok!" tolak Intana seraya memberikan uang itu kembali ke tangan Mila. Tapi dengan tegas Mila menolaknya. "Sudah. Kamu jangan menolak! Barangkali kamu mau beli sesuatu di depan sana." "Iya Mbak. Terima kasih," ucap Intana kemudian. "Ohiya. Bagaimana penampilan Mbak. Cantik tidak?" "Ca, cantik Mbak!" ujar Intana sambil mengusap keringat yang dari tadi membasahi dahinya. Karena takut ketahuan oleh Mila karena ia secara tidak sengaja membaca pesan dari pria yang bernama Deni tadi, saat akan membereskan tempat tidur Mila. Mila berdiri di depan pagar. Mungkin menunggu ojek online yang tadi di pesan lewat ponselnya. Hari itu ia berencana menikah siri dengan Deni. Tentu saja rencana mereka berdua telah disepakati sebelumnya. Deni sengaja memanggil seorang penghulu untuk menikahkan mereka berdua. Dan dengan uang pemberian dari Mila. Deni berhasil membujuk penghulu itu untuk melancarkan semua niatnya yaitu men