Intana tampak berkaca melihat Samsul yang berdiri mematung di hadapannya. Lelaki itu adalah satu dari sekian lelaki yang pernah singgah di hatinya dulu. Dengan Samsul ia merasakan cinta sejati yang sesungguhnya. Tapi sayang kedua orang tuanya telah menjodohkannya dengan lelaki pilihan mereka. Sejak saat itulah. Dengan terpaksa Intana meninggalkan Samsul begitu saja tanpa memberinya pesan dan berita.
Dan itu kesalahan terbesar dalam hidupnya.Menyesal dulu ia melepaskan Samsul yang kala itu Samsul masih pengangguran. Itulah mengapa ia memutuskan untuk meninggalkan Samsul dan menikah dengan Toro, yang kini telah menjadi suaminya.Tapi perkawinan mereka tidak bahagia. Toro ternyata bukan lelaki baik yang dulu ia kenal lewat perjodohan. Lelaki itu seorang penjudi dan sering mabuk jika pulang kerja.Meski Toro pemabuk. Tapi dia adalah pengusaha kaya raya berlimpah harta.Tapi harta bukan lah jaminan seseorang bahagia. Intana sanSebuah tangan yang putih nan halus menepuk lembut wajah Samsul, kemudian dengan nada menggoda Intana berbicara. "Kamu selalu hadir di mimpiku Beb ... " Nafas dari pemilik suara itu tercium bau alkohol yang menyengat, Samsul pun mengernyitkan dahi menciumnya. Kemudian lengan halus nan gemulai dari wanita cantik itu melingkari lehernya, bibir merahnya yang tipis tersungging sedikit, menampakkan senyum anggun dan menggoda. Debar jantung Samsul seketika memuncak. "Ayolah Beb. Aku kesepian ... " "Kamu sudah gila! Lepaskan aku!" Samsul menolehkan kepala seraya menghindari serangan dari bibir merah merona wanita masa lalu nya itu. Kemudian dengan suara seraknya Samsul berkata. "Cukup Intana! Aku tak mau sakit seperti dulu lagi! Menjauh dariku!" "Apa kamu sudah tidak tertarik lagi padaku?" "Tidak!" "Oh. Mungkin kamu bukan pria normal ... " Perkataan Intana memancing emosi
Ting! Bunyi notifikasi dari ponselnya menghenyakan Samsul dari lamunan. Samsul beranjak dari duduknya dan langsung mengambil benda pipih itu dari atas meja, nampak ada pesan di aplikasi hijau, dan menunjukan pesan dari Mila. [Pa. Mama ada urusan penting dengan teman Mama, Papa kalau lapar, Beli saja dulu masakan dari luar. Nanti jam tiga sore Mama pulang ya] pesan dari Mila sedikit membuat Samsul merasa tenang. Iya Ma. Mama jangan khawatir, nanti Papa beli nasi padang saja, selesaikan dulu urusan Mama sama teman Mama. Jemari Samsul lugas mengetik balasan untuk istrinya. Setelah membalas pesan dari istrinya. Cepat Samsul menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya. Setelah itu ia duduk sejenak di sofa, pikirannya masih menerawang pada kejadian yang tadi siang dialaminya bersama Intana. Wanita masa lalu nya itu, sedikit menguras otaknya. Bagaimana mungkin Intana bisa berubah liar, dulu saat Samsul masih berhubungan dengan
Samsul tak tinggal diam. Ia terus menekan istrinya untuk berterus terang mengenai kehamilannya. Bukankah di saat seperti itu. Seorang Istri akan merasa bahagia memberi kabar tentang kehamilannya. Tapi Mila seakan mengelak dan menghindar. Membuat Samsul semakin penasaran. Apa maksud dan tujuan Mila sebenarnya. "Ma. Kalau Mama tak mau berterus terang baiklah! Papa takkan memaksa, tapi Papa akan menunggu sampai Mama berterus terang!" tegas Samsul sambil berjalan menuju ke ruang tengah. Pikiran Samsul semakin kalut. Rasa curiga mulai menyelimuti pikirannya. *** Malam itu ...Saat hujan deras menerpa kota tersebut. Dimana Intana tertahan tidak bisa pulang ke rumahnya, padahal waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ia berdiri di depan kedai yang sudah hampir tertutup seluruhnya. Ia menghela nafas. Melihat hujan yang terus jatuh dengan derasnya. Hujan seperti ini mungkin akan awet pikirnya namun tidak mungkin juga ia harus ber
Setibanya di rumah. Baik Samsul dan Intana keduanya terlihat tegang. Tapi mau bagaimana lagi. Samsul tak mau Intana berbuat nekad seperti yang tadi ia lakukan saat ingin menabrakkan diri ke jalanan. Begitupun dengan Intana. Ia sudah putus asa dan ketakutan. Daripada ia kembali pada Toro. Lebih baik ia mati saja. Sudah cukup, ia tahan deritanya yang tak berkesudahan. Jika ia pulang ke rumah orang tuanya. Tentu dengan sangat mudah Ibu dan ayahnya terbujuk rayuan manis Toro yang berbisa itu. Lelaki itu akan menggunakan kelemahan kedua orang tuanya dengan uang. Ia tak mau itu terjadi, melibatkan kedua orang tuanya, hanya akan menambah beban pikiran mereka saja. Dengan hati- hati. Samsul memarkirkan motor nya di depan rumahnya. Lalu secara perlahan ia membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang selalu ia simpan kemanapun ia pergi. "Aku takut, bagaimana jika istrimu curiga ... " bisik Intana. Samsul menelan ludahnya. Wajahnya sudah
Lega rasanya Samsul malam itu, istrinya tak menaruh curiga sedikitpun terhadap Intana. Mereka bertiga malam itu makan bersama. Intana merasa bahagia melihat rumah tangga mantannya itu. Beristri cantik dan pintar memasak. Andai saja rumah tangganya sebahagia Samsul. Mungkin malam itu ia bisa bernafas lega di samping suaminya. Tapi kenyataan nya sungguh memilukan. Tak ada kebahagian yang di dapat. Hanya air mata yang Toro berikan setiap hari. Intana bahagia melihat Samsul bahagia. Ia takkan pernah lagi mengganggu rumah tangga Samsul. Setelah situasi mulai tenang. Ia akan pergi dari rumah itu. "Oiya. Dari tadi Mama lupa Pa," kata Mila seketika membuat Samsul dan Intana menghentikan makanan yang mereka kunyah. "Ada apa Ma?" ujar Samsul sambil menyusut keringat yang dari tadi tak berhenti menitik karena menahan ketegangan yang sedang berlangsung. "Mama belum mengenalkan diri Mama. Siti, nama saya Mila," ucap Mila tersenyum ramah
Intana tersenyum kecil melihat gerakan spontan Samsul saat ia mendekat. Lelaki itu memang tak berubah, selalu setia pada pasangannya. Untuk itu. Intana berjanji akan melupakan Samsul untuk selamanya, karena lelaki itu sudah bahagia hidup berumah tangga. Ia akan pergi menjauh darinya."Pa!" Mila tiba- tiba sudah berdiri di hadapan mereka berdua. Keduanya langsung berdiri melihat kehadiran Mila."Ma, Mama, udah bangun Ma ... " jawab Samsul gagap. Mila lalu mendekati suaminya. Lalu menatap sekilas Intana kemudian tatapannya beralih pada nasi goreng yang terdampar di atas meja makan. "Ini pasti nasi goreng buatan Siti. Betul kan, Pa?" ujar Mila sambil memasukan satu sendok nasi goreng ke mulutnya. Samsul menelan salivanya. Tenggorokannya seakan tercekat mendengar perkataan istrinya. "Eh, itu. Siti yang buat," ucap Samsul gelagapan. Ia tak mau istrinya curiga dengan Intana. "Enak juga nasi goreng bua
"Jangan Mbak. Saya masih ada uang kok!" tolak Intana seraya memberikan uang itu kembali ke tangan Mila. Tapi dengan tegas Mila menolaknya. "Sudah. Kamu jangan menolak! Barangkali kamu mau beli sesuatu di depan sana." "Iya Mbak. Terima kasih," ucap Intana kemudian. "Ohiya. Bagaimana penampilan Mbak. Cantik tidak?" "Ca, cantik Mbak!" ujar Intana sambil mengusap keringat yang dari tadi membasahi dahinya. Karena takut ketahuan oleh Mila karena ia secara tidak sengaja membaca pesan dari pria yang bernama Deni tadi, saat akan membereskan tempat tidur Mila. Mila berdiri di depan pagar. Mungkin menunggu ojek online yang tadi di pesan lewat ponselnya. Hari itu ia berencana menikah siri dengan Deni. Tentu saja rencana mereka berdua telah disepakati sebelumnya. Deni sengaja memanggil seorang penghulu untuk menikahkan mereka berdua. Dan dengan uang pemberian dari Mila. Deni berhasil membujuk penghulu itu untuk melancarkan semua niatnya yaitu men
Sambil mengawasi rumah yang diyakini tempat Mila dan Deni melangsungkan pernikahan sirinya. Intana sengaja membeli baso yang tempatnya tak berada jauh dari rumah tersebut. Meski sebenarnya. Intana tak pernah jajan di pinggir jalan Seperti itu. Tapi karena untuk membuktikan kebenaran. Intana harus mencari akal agar gerakannya tidak di ketahui Mila. "Mang basonya dua mangkuk, ya? Tidak pake sayur. Baso nya saja," pesan Intana sambil terus mengawasi rumah itu. Mang ojek duduk dengan tenang sambil menunggu pesanan. Sesekali ia memperhatikan gerak gerik Intana yang terlihat gelisah. Dua mangkuk baso sudah siap. Lalu Kang Baso memberikannya pada Intana dan Mang ojek. "Bu. Maaf, bukan maksud saya mencampuri urusan Ibu. Tapi siapa wanita itu?" tanya Mang ojek sambil melahap baso yang masih panas. Intana duduk terdiam. Kursi plastik yang di duduknya sangat tidak nyaman. Membuat Intana risih. "Mang, maka
"Bu kenapa, Abi?"Zahra berteriak cukup keras karena Samsul mendadak diam, menggantungkan kalimatnya begitu saja. Mau tidak mau, pikiran Zahra jadi menerawang ke mana-mana."Mila harus di bawa ke rumahsakit, perutnya dari semalam katanya sakit.""Kenapa bisa, Abi? Tadi pagi Bu Mila masih baik-baik aja, kan?" ucap Zahra dengan cepat. Sungguh, Zahra sangat kaget mendengar pengakuan suaminya."Iya. tadi dia ngeluh perutnya sakit, tapi nggak mau kubawa ke rumah sakit, katanya cuma efek batuk. Terus sekitar jam tujuh tadi tiba-tiba Mila meringis kesakitan." Tubuh Zahra makin gemetar saat mendengar penuturan Samsul. Sakit yang di derita Mila bukan hal sepele. Jika tidak mendapat penangangan yang tepat, nyawa taruhannya. Tidak! Jangan sampai terjadi sesuatu dengan Mila. Mantan suaminya itu tengah mengandung dan Zahra tidak ingin ada hal buruk menimpa bayi yang di kandung Mila."Sebaiknya bawa ke dokter, Ibu Mila bisa sembuh, kan?" tanya Zahra sambil mengusap air mata yang terus saja menete
Pintu terbuka. Dengan langkah tergesa Samsul berjalan masuk sembari menarik kopernya. Dia tampak kerepotan tetapi tidak meminta bantuan Zahra.Sesampainya di ruang tengah Samsul langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Zahra berdiri di dekatnya. Dia menatapnya cukup lama. Zahra tahu suaminya sedang mengamati bekas luka di sudut bibir Zahra, Sebab merasa tidak nyaman, Zahra langsung menutupinya dengan tangan kanannya. Tanpa sadar justru Zahra tampakkan buku jari yang masih menyisakan warna kebiruan."Zahra, Mila duduklah ... aku ingin bicara pada kalian berdua," titah Samsul pada Zahra dengan Mila yang masih berdiri kaku. Lalu Zahra duduk di samping Samsul sementara Mila duduk di hadapannya. "Zahra, mulai hari ini, Mila akan tinggal disini sampai bayi ini lahir," ucap Samsul.Zahra tertunduk. "Kamu jangan khawatir, Abi dan Mila tidak ada hubungan apa-apa, Abi hanya ingin menolongnya saja, Abi tidak rela jika Mila dibawa si Deni bajingan itu. Lebih baik dia tinggal disini, Abi harap kamu
Ponsel Mila biarkan tergeletak di atas meja berdering saat Mila sedang istirahat sambil menyantap makanan yang di sediakan pihak rumah sakit. Sekilas Mila melirik layar ponsel menyala yang hanya menampilkan nomor tak dikenal. Lalu digeser layar untuk menolak panggilan itu.Beberapa saat Mila abaikan, nomor tak dikenal itu terus saja missed call. Membuat ponselnya terus berdering sampai harus disenyapkan dan meletakannya dengan posisi terbalik sebab mengganggu.Sudah hampir sepekan Deni tidak menghubunginya. Mendadak Mila jadi teringat dengannya dan langsung membuka ponselnya. Barangkali nomor tidak dikenal yang sedari tadi meneleponnya adalah Deni.Benar saja dugaannya. Saat panggilan terhubung, langsung terdengar suara Deni."Ini aku Deni."Mila terdiam beberapa saat tidak langsung menjawab. Kesal rasanya berhari-hari menunggu kabar dari Deni. Namun, baru sekarang dia menghubunginya."Den ....Deni," panggil Mila lembut. "Ya, Bu." "Asyik ya, liburannya sampai tidak sempat menghubu
"Hai.. hentikan! Lepaskan dia!" "Diam disana dan tunggu! Jangan mengganggu!" Titah Samsul pada supir pribadi istrinya. Seperti pecut yang mencambuk hatinya yang sudah terluka. Retinanya sudah membentuk aliran anak sungai yang mengalir deras. Isak tangisnya sudah tidak terbendung lagi.Rasanya akal sehatnya tak mampu menerima semua yang terlihat oleh retinanya. Bagaimana mungkin Zahra pergi begitu saja tanpa kabar berita. Menurut supir. Istrinya terakhir minta di turunkan di swalayan. Setelah itu, Zahra menghilang bak di telan bumi. Ponselnya pun susah dihubungi."Kenapa Bapak ijinkan Istriku pergi ke swalayan sendirian! Kalau terjadi pada istriku, saya akan pecat bapak!" ancam Samsul saat mendengar pengakuan Pak Asep, supir pribadi istrinya.Ancaman itu sukses membuat tubuh Pak Asep membeku. Hatinya memang tak mengerti sama sekali. Zahra yang meminta untuk menunggunya di tempat parkiran. tetapi otaknya masih cukup mampu mencerna dengan baik, kejadian yang di alami Zahra.“Apa kamu l
Sambil menunggu hujan Reda. Zahra bermaksud mampir ke swalayan di dekat dengan rumah sakit. "Pak, tunggu disini, ya? Aku mau belanja dulu," ucap Zahra pada si supir Zahra pun berjalan menuju swalayan itu. Sementara supir pribadinya menunggu di tempat parkiran. Zahra menyusut air hujan yang menetes di wajahnya. Pagi itu, hujan tidak begitu deras. Zahra bahkan tidak bisa menyeka tetesan air hujan yang terus membasahi pipinya saking banyaknya. Satu jam yang lalu, dia baru saja memeriksakan kandungannya yang berjalan empat bulan. Menurut Dokter, kandungan Zahra baik- baik saja. “Nyonya, kandungan nyonya bagus, detak jantung bayi nyonya juga normal. Tapi usahakan nyonya harus makan buah-buahan secara teratur, ya?" Saat teringat kembali perkataan Dokter, hati Zahra terasa lega. Sungguh ia begitu bahagia. Sebentar lagi, ia akan menjadi seorang ibu.Suara guntur menggelegar, hujan pun turun semakin deras.Zahra cepat berlari kecil menyebrang ke jalanan dimana di depannya ada swalayan
“Zahra? Tenang. Abi akan selalu ada disini,” batin Samsul.Hal yang paling tidak ingin Anna lakukan dalam hidupnya adalah kembali ke tempat yang menorehkan banyak luka untuknya. Namun, takdir sekali lagi membuat lelucon untuknya. Ia harus kembali ke tempat yang sangat tidak ingin ia datangi.Selalu ada pilihan sulit dalam hidupnya, tapi demi orang yang sangat penting untuknya ia tidak akan ragu untuk memilih.Dan di sini lah ia berada saat ini, di sebuah Desa yang tujuh belas tahun lalu ia tinggalkan. Mendapat penolakan dari Zahra. Sungguh hati Anna merasa terpukul. Untuk itulah Anna pergi ke desa dimana dulu dirinya meninggalkan Zahra bersama mantan suaminya. Deni ikut mengantarkan. Tapi di tengah perjalanan, ia mengurungkan niatnya. "Den .... ayo kita kembali saja," ucapnya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan, air mata nyapun tidak berhenti berderai karena luka lama seakan kembali terbayang. Darso mantan suaminya tidak mungkin menerima dirinya dan itu akan memambah kekecewaa
Keesokan harinya.Samsul sudah pergi bekerja, sedangkan Zahra masih memikirkan sikap Mila tadi malam. Wanita itu dari dulu memang kurang begitu suka padanya. Zahra menilai, bahwa malam tadi. Mila terbakar api cemburu karena melihat mantan suaminya sudah beristri. Dan Zahra maklumi itu.Entahlah .... itu saja yang ada dipikiran Zahra. Tapi sudahlah, Zahra tidak mau memusingkan masalah itu. Terlebih ia sedang berbadan dua. Saat ia melamun memikirkan nasib, sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. Ia tak tau mobil siapa itu karena tak pernah melihat sebelumnya.Saat pintu mobil terbuka, barulah ia tau siapa yang datang. Ternyata seorang wanita yang kala itu ada di rumah sakit bersama Deni. Tapi untuk apa dia datang ke rumah? Dan ada urusan apa? Sedang Zahra tidak mengenalnya sama sekali. Wanita itu tampak memakai kaca mata hitam dan juga pakaian yang mewah serta tas mahal, wanita itu pun berjalan ke arahnya."Selamat pagi, Mbak" Wanita itu menyapa ramah pada Zahra. "Eh, itu, selamat p
"Iya Bu. Saya belum memikirkan untuk menikah," balas Hadi gugup. Tidak mau terlihat aneh oleh Mila. Hadi pun segera meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum itu, Hadi meminta Mila untuk bersiap melakukan USG. ________Dengan jantung yang berpacu cepat, Zahra menyambut sang suami sembari tersenyum manis. Ia mencium tangan suaminya lalu mengambil alih tas kerja Samsul."Kau senang kan Abi datang cepat?" tanya Samsul berjalan menuju kamar diikuti Zahra di sampingnya yang tengah mengimbangi langkah besar Samsul."I-iya, Abi. Aku sangat senang.""Abi ingin mandi!" Zahra langsung meletakkan tas kerja suaminya di sofa lalu beranjak ke kamar mandi untuk menyiapkan air.Sesekali ia berbalik, takut suaminya sudah ada di belakangnya dan melakukan hal yang mesum. Ini kan mau Maghrib, rasanya sangat tak beradab berhubungan saat Maghrib.Setelah semuanya siap, Zahra keluar dari kamar mandi. Dilihatnya Samsul masih duduk di sofa tanpa membuka baju ataupun sepatu."Abi, katanya mau mandi sekarang," t
Rasa bimbang memenuhi dada Samsul, hatinya begitu sakit ketika dia diminta melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Namun, demi keharmonisan rumah tangganya bersama Zahra. Terpaksa ia menyanggupi saran Deni.____Zahra menarik malas kakinya menuju kamar. Namun matanya langsung menukik tajam pada sosok yang tengah duduk termangu di tepi ranjang. Sontak Zahra kaget, dilihatnya jam dinding. Waktu baru menunjuk angka lima. "Abi ...." Zahra berguman dalam hati. Tidak percaya apa yang tengah di lihatnya. Tidak biasanya Samsul pulang petang hari itu. Dan itu membuat Zahra bingung sekaligus senang. Perlahan Zahra melangkah masuk dan melihat Samsul mondar-mandir tidak jelas sambil sesekali memperjelas raut wajah bingung, hingga Zahra menutup pintu yang tentunya mencuri perhatian Samsul."Maaf Abi, Abi jam segini kok sudah di rumah?" tanya Zahra sopan mengingat ia seorang istri yang harus menjaga situasi suaminya yang seperti sedang memikirkan sesuatu. "Cepat kesini, ada yang