Naura menyeret Arjuna ke dalam wahana paling menantang di Gogo Land, roller coaster. "Ayo kita naik," ajak Naura sambil menarik ujung lengan pakaian Arjuna. Arjuna mengerutkan keningnya menggeleng. "Aku tidak tertarik." Naura menaikkan alis kirinya, pria itu menolak? Dia menolak benar-benar tidak tertarik atau justru... Takut?Senyum jahil timbul tipis di bibir Naura. "Tidak tertarik atau takut?"Arjuna menggeleng lagi. "Tidak tertarik. Bagaimana jika kita mencoba bermain kuda yang berputar itu?" tawar Arjuna, menunjuk wahana patung kuda yang berputar-putar. Naura terkekeh. "Itu untuk anak kecil, Arjuna.""Oh? tapi aku melihat--""Ayo naik roller coaster, apa yang membuatmu tidak tertarik? Justru menyenangkan." Potong Naura, namun Arjuna masih menggeleng. Naura mulai yakin, sepertinya pria itu benar-benar takut untuk menaiki roller coaster. Keyakinannya ini membuat senyum jahil semakin terlihat di wajahnya. "Lalu kamu akan membiarkanku menaili roller coaster sendiri?" tanya Naur
Naura menarik Arjuna ke arah wahana Bianglala, namun belum benar-benar sampai, langkahnya sedikit melambat saat melihat anak kecil yang duduk sendirian di atas bangku. Anak itu menoleh ke sana dan kemari, seolah mencari kedua orang tuanya. "Sepertinya dia terpisah dari orangtuanya," ucap Naura, melirik Arjuna. Arjuna mengangguk, sepertinya itu salah satu pengunjung yang datang karena 'promo gratis' diam-diam Arjuna. Pengunjung yang hadir di sini memang tidak semuanya bawahan Arjuna, masih tersisa sekian persen yang dibuka untuk orang luar. "Petugas keamanan akan mengurusnya," ujar Arjuna, kemudian mengajak Naura melanjutkan langkah mereka ke kecepatan semula.Tetapi langkah keduanya benar-benar berhenti begitu melihat anak kecil itu dihampiri oleh orang dewasa asing. Pria tersebut meminta sang anak untuk mengikutinya, namun terlihat dari wajah anak tersebut dia ketakutan. Naura mengerutkan keningnya. "Sepertinya ada yang tidak beres, Arjuna." Arjuna menatap anak dan pria asing
"Kenapa tidak?" tanya Naura bingung, kali ini dia tidak ada pikiran jahil atau negatif seperti sebelumnya. Arjuna menggeleng cepat. "Tidak, kita cari wahana lain."Naura mengerutkan keningnya. "Aku lihat di sosial media banyak orang yang mengatakan rumah hantu itu seru, Arjuna."Arjuna masih menggeleng. "Baiklah, aku akan menunggu di luar saja, bagaimana? Oh... Aku--""Bagaimana jika permintaannya aku tambah satu? Jadinya aku boleh bebas meminta dua hal apa saja padaku!" tawar Naura, berusaha membujuk Arjuna. Tetapi di luar dugaan, pria itu justru tetap menggeleng. "Maafkan aku, aku tidak bisa. Bagaimana jika aku meminta pihak Gogo Land membuka akses biang lala?"Naura balas menggeleng. "Tidak, aku sudah tidak tertarik setelah tahu wahana itu tutup. Ayolah, Arjuna...." Wanita itu terus membujuk Arjuna, namun yang dibujuk tetap menolak. "Sebenarnya apa alasanmu tidak mau?" tanya Naura kesal. Hening beberapa detik, saat Naura melihat raut wajah Arjuna yang seolah sedang kesulitan m
Berhasil puas dengan kesenangan mereka hari ini, Naura dan Arjuna akhirnya memutuskan untuk kembali. Naura menyandarkan punggungnya di kursi mobil, menghela napas dengan senyum bahagia. Kedua matanya segera menatap Arjuna. "Terima kasih banyak," ucap wanita itu. Arjuna balas tersenyum, lalu mengangguk sambil mengelus kepala Naura lembut. "Beristirahat lah."Tak lama Arjuna menyalakan mesin mobilnya, kedua mata Naura terpejam tenang begitu mulai benar-benar meninggalkan kawasan Gogo Land. Arjuna sesekali melirik Naura, memastikan wanita itu bersandar nyaman di kursi mobilnya. Bahkan pria itu tak ragu untuk berhenti sekedar menyelimuti Naura dengan jacket yang ada di kursi belakang. Sampai di Mansion Tirta, Kate sudah menunggu kedatangan wanita itu di pintu masuk. Begitu menyadari mobil Arjuna datang, dia segera berjalan cepat ke dalam, lalu kembali lagi bersama Mela. Arjuna turun dari mobilnya, tersenyum tipis menatap Mela. "Ibu.""Naura?" tanya Mela bingung. "Dia tertidur," j
Sementara itu suasana berbeda ada di Mansion Wajendra. Zafir, pria itu duduk di sofa tengah ruang kerjanya sambil menatap televisi.Mansion Wajendra masih terlihat sama seperti biasa dari luar, namun tidak ada satupun yang mengetahui bagaimana isinya sekarang. "Mantan istri Zafir Wajendra, kini resmi menjadi kepala keluarga Tirta setelah kasus Ronald Tirta terungkap.""Wartawan kami juga mendapatkan informasi jika dalam waktu beberapa bulan lagi pernikahannya dengan Arjuna Renjana akan segera digelar, berita lengkapnya akan kami tayangkan setelah yang satu ini." Zap!Zafir memencet tombol mati ke arah televisinya, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi. "Nyonya Tirta?" gumam pria itu saat mengingat berita yang baru saja tayang. Bibir Zafir tersenyum hambar, lalu kedua matanya terpejam. "Sudah lama tidak bertemu dia telah membuat banyak sekali perubahan," ucapnya lagi. Ada perasaan yang sulit dijelaskan di dalam hati Zafir, tapi dia lebih memilih untuk menikmati perasaan bingun
"Zafir?" tanya Naura, pandangan matanya mendingin. Kate mengangguk singkat. "Tuan Stave mengirim pesan jika tuan Wajendra menginginkan pertemuan besok pagi." "Pertemuan? Dalam rangka apa?" tanya Naura lagi, dia tidak ingat telah memiliki urusan mendadak dengan Zafir sehingga harus melakukan pertemuan besok. Kate menggeleng pelan. "Pihak mereka tidak menjelaskan alasannya, Nyonya."Naura mengerutkan keningnya sulit, Naura jelas tidak bisa menolak pertemuan tersebut karena pria itu memanggilnya atas nama Wajendra. Dipikirkan seperti apa pun alasan tersembunyi pria itu tidak akan berhasil ditebak, hal ini membuat Naura cukup merasa kesal. Naura melangkah masuk ke dalam menuju ruang kerja Arjuna, sebelumnya pria itu juga sempat tiba-tiba pergi. Dia berniat memberitahu Arjuna mengenai pertemuannya, tetapi belum sempat Kate membantu Naura membuka pintu ruang kerja Arjuna, pintu sudah lebih dulu terbuka dan menampilkan Arjuna. "Kita berangkat malam ini," ucap Arjuna pada Damian yang m
"Bagaimana kabarmu selama ini?" tanya Zafir, mengalihkan pertanyaan Naura yang bermaksud menegaskan tujuan pertemuan mereka. "Bagaimana menurut Anda, tuan Wajendra? Apa yang Anda lihat di media mengenai saya?" jawab Naura, tidak menghilangkan gaya bicara formalnya. Gaya bicara Naura sukses membuat Zafir merasa sangat asing, seolah sulit untuk kembali berbicara nyaman dengan wanita itu seperti dulu. "Kamu menikmatinya?" tanya Zafir, kedua sudut alisnya sedikit menyatu. Naura mengangguk. "Aku bersyukur menjalani hidupku yang sekarang."Zafir mengangguk tipis, ada kekecewaan yang tersirat di matanya. Naura memperhatikan wajah pria itu, Zafir seolah sedang memendam sesuatu di kepalanya, pria itu sering menatap ke bawah dengan kosong jika sedang berada di perasaan gelisah. "Jadi apa yang ingin Anda bicarakan, tuan Wajendra? Apa ada kendala di bisnis kita?" tanya Naura, memaksa Zafir untuk segera membahas topik bisnis mereka.Zafir yang menyadari Naura sengaja membelokkan topik mereka
Naura memejamkan kedua matanya sambil bersandar pada kursi mobil, pertemuan dengan Zafir tadi sangat menguras emosi maupun tenaganya. "Kita ke kantor, nyonya?" tanya Kate sebelum meminta supir menjalankan kendaraan. Naura mengangguk singkat. "Iya."Tak lama mobilnya melaju meninggalkan restoran tersebut, sepanjang jalan Naura hanya diam sambil memejamkan matanya. Saat kedua matanya terbuka, ia menatap kosong suasana di luar mobil. Entah karena suasana hatinya atau pemandangan di luar yang terlihat sangat hampa dan dingin. Kalimat dan nada bicara pria itu berputar lama di otak Naura, tanpa sadar kedua tangannya pun terkepal erat. Setelah hampir satu tahun dari kejadian itu, Zafir akhirnya meminta maaf. Tetapi apa permintaan maafnya dapat mengubah sesuatu? Tidak. Permintaan maaf Zafir justru membuat luka lama Naura kembali basah, setiap katanya seakan dapat mengiris bagian tubuhnya menjadi bentuk-bentuk kecil tak tersisa. Sakit. Sangat sakit. Naura memang sudah tidak memiliki p
Arjuna tidak memiliki kegiatan penting apa pun yang mengharuskan ia keluar Mansion. Pria itu hanya berkutat di ruang kerjanya sambil sesekali menggeser kursor laptop. "Sudah semua?" tanya Arjuna, melirik Damian yang terlihat suntuk di depan komputer kerjanya. Damian mengangguk singkat. "Ya, sudah. Semua laporan bulan ini baik-baik saja, bahkan melebihi target."Arjuna balas mengangguk puas, lalu berdiri dari kursinya. "Kunci mobil?"Damian menaikkan alis kirinya sekilas, lalu meraih kunci mobil yang ada di atas mejanya untuk ia lempar ke arah Arjuna. "Menjemput nyonya Tirta?" tanya Damian. Arjuna mengangguk, setelah itu melangkah keluar ruang kerjanya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Helena yang sedang sibuk bercengkerama dengan pegawai toko perhiasan langganan wanita itu di ruang tamu. "Kamu mau menjemput Naura?" tanya Helena begitu melihat putranya. "Iya," jawab Arjuna, lalu melangkah mendekati ibunya. Berbagai macam bentuk perhiasan dipamerkan di atas meja. Perak, emas,
"Nyonya, bukankah itu tuan Renjana?" ucap Kate dari kursi depan, membuat Naura membuka matanya dan mencoba melihat ke depan. "Benar, itu beliau. Sepertinya tuan Renjana menunggu kepulangan Anda cukup lama, nyonya," balas tuan Benjamin yang menyetir mobil. Dari dalam mobil Naura melihat sosok Arjuna telah berdiri menunggunya di depan pintu masuk. "Sudah berapa lama ia di situ?" tanya Mela yang juga ikut terkejut. Setelah mobilnya berhenti, Naura dengan cepat turun dan melangkah mendekati Arjuna. "Kamu di sini?" tanyanya bingung. "Astaga, apa kamu sudah menunggu kami lama, nak?" tanya Mela khawatir. Arjuna tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Tidak, aku juga baru saja tiba." Naura menaikkan alis kirinya, lalu menggeser tatapannya ke arah Damian yang seolah tertekuk rapat. Sepertinya Arjuna berbohong agar tidak membuat ibunya khawatir. "Kamu baru pulang bekerja?" tanya Mela lagi, menatap Arjuna penuh perhatian. Arjuna mengangguk. "Benar, aku kemari karena ada beberapa hal y
Zafir masuk ke dalam ruangan kerja Evelyn dengan raut wajah datar, pandangan matanya mendingin. Saat tatapan mereka bertemu, dengan cepat pria itu bertanya,"Itu ulahmu?"Evelyn dengan mata sembabnya berusaha tenang, meskipun air matanya tidak lagi mengalir deras seperti sebelumnya. "Kamu bicara soal apa, Zafir?" tanya Evelyn, pandangan matanya mulai sedikit kosong tiap kali menatap Zafir. Zafir mengepalkan tangannya. "Tidak perlu bertingkah polos! Itu ulahmu, bukan? Kamu yang sengaja mengatakannya pada Naura?!"Evelyn mengerutkan keningnya, lalu tak lama ia kembali membalas dengan tatapan datar. "Oh? Soal kamu ingin menikah lagi dengannya?" tanya Evelyn. Zafir menggertak kan giginya marah, lalu melangkah mendekati Evelyn dan menggebrak meja kerja wanita itu. BRAK!"Jadi benar? Kamu yang membuat Naura berpaling dariku?!" tanya Zafir, dia marah total karena Evelyn mengacaukan rencananya. Evelyn masih menatap Zafir dengan tenang meskipun kedua tangannya diam-diam gemetar di bawah
Naura melangkah menuju lokasi pesta kembali, suasana hatinya terasa kosong sekarang. Pembicaraannya dengan Evelyn sangat menguras energi. Dia sengaja berhenti di bibir tangga, memperhatikan para tamu yang sibuk bercengkerama. Tak lama suara pria yang tak asing terdengar dari arah belakangnya, begitu menoleh Naura mendapati sosok Zafir sedang tersenyum ke arahnya. "Ada apa?" tanya Zafir begitu mendapati Naura berdiam diri di bibir tangga. Naura memperhatikan pria itu sejenak, ia kembali teringat dengan cerita Evelyn. Diam-diam hatinya bertanya, bagaimana bisa wajah setenang ini yang dulu sangat ia cintai berubah jadi sosok yang bahkan sulit untuk Naura kenali kembali?"Naura, kamu baik-baik saja?" tanya Zafir bingung setelah melihat Naura hanya diam menatapnya. Naura tersadar, dia dengan cepat menarik pandangannya dari Zafir dan tersenyum formal. "Iya, maafkan saya.""Kamu sedang tidak enak badan?" tanya Zafir khawatir, lalu mencoba untuk menyentuh kening Naura. Naura dengan ce
Evelyn terisak hebat saat menceritakan apa yang terjadi di rumah tangganya, sementara Naura hanya diam menyimak. Pandangan matanya mendingin setelah mendengar Zafir dan Malini ingin menjadikan dirinya nyonya Wajendra kembali setelah mereka menggantikannya dengan Evelyn. Bahkan mereka menekankan posisi 'nyonya' dan 'ibu'? Itu menjijikan. Melihat Evelyn yang lemas karena terlalu lama menangis membuat hati Naura sedikit terenyuh, dia dapat memahami rasa sakitnya. Tetapi haruskah ia peduli? Mereka lah yang menginginkan takdir seperti ini, semua rasa sakit mereka timbul karena pilihan sendiri. "Jadi, aku mohon... Bantu aku untuk menjadi sepertimu, aku hanya ingin mempertahankan posisiku," ucap Evelyn, wanita itu kembali memohon. Naura mengerutkan keningnya samar, kondisi terisak wanita itu sukses membuat Naura teringat dengan dirinya sendiri. Dulu dia juga menangis seperti itu, menyalahkan dirinya sendiri atas kekurangannya. Padahal mereka lah yang menginjak-injak dirinya. "Apa yan
Pesta berlangsung meriah meskipun ada kedinginan yang diam-diam menyelimuti mereka. Naura menikmati suasana pesta meskipun Malini terus menerus 'mengusiknya'. Dia masih belum mengetahui alasan Malini melakukan hal itu. Naura mencoba untuk menyingkir dari pusat pesta, dia menepi sejenak untuk kemudian melangkah mencari kamar kecil. Mansion ini dulu adalah miliknya, dia tidak memerlukan bantuan siapapun untuk mencari sesuatu di sini. Sebelum benar-benar pergi ke kamar kecil, Naura sempat memperhatikan Zafir. Pria itu tersenyum seperti biasa, menyapa para tamu mendampingi Malini. Tetapi entah bagaimana Naura merasa ada yang aneh di sini, entah itu situasi ataupun perilaku mereka.Lagi-lagi, Naura mencoba mengabaikannya. Meskipun Evelyn telah mengatakan hal tidak masuk akal saat di Solo kemarin, Naura masih tetap tidak bisa mempercayainya. Untuk apa pria itu menginginkannya lagi? Mereka lah yang membuang Naura. Tidak ada alasan untuk menyesal. Naura meninggalkan area pesta untuk
Hari ulang tahun nyonya besar Wajendra itu akhirnya tiba, acara dilaksanakan di Mansion utama Wajendra. Naura ikut hadir untuk mendampingi ibunya, kedatangan mereka pun segera menjadi pusat perhatian. Naura menatap sekitaran Mansion, tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali ia kemari untuk mendatangi ulang tahun Zevan. Malini yang melihat kehadiran Naura dan Mela pun segera menghampirinya, tindakan ini pun langsung menjadi pusat perhatian lebih luas. Pasalnya, semua tamu undangan yang hadir tidak ada yang disambut secara langsung seperti Naura dan Mela. "Astaga, kalian sudah datang? Bagaimana kabarmu, nak?" tanya Malini, lalu memeluk Naura. Naura mengerutkan keningnya tidak nyaman, apa-apaan wanita itu?Tak lama Malini menatap Mela, bibirnya tersenyum lebih dalam. "Ini pertemuan pertama kita, benar?"Mela mengangguk. "Benar, selamat ulang tahun, nyonya besar Wajendra."Malini terkekeh tipis. "Aku sudah terlalu tua untuk mendapatkan ucapan seperti itu, terima kasih banyak, n
Niat awal Evelyn mendatangi suami dan ibu mertuanya adalah untuk meminta maaf.Tetapi... Mendengar percakapan mereka membuat Evelyn mengurungkan niatnya. Dengan lemas wanita itu melangkah mundur, tangan kanannya menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara tangis sedikitpun. Air matanya mengalir deras, perlahan ia menjauh dari ruang kerja Zafir hingga akhirnya benar-benar berlari. Evelyn terus berlari, ia tidak memiliki tujuan pasti. Para pelayan yang melihat sosoknya pun bingung dan segera bertanya-tanya, apa yang sekiranya baru saja terjadi lagi?Evelyn berhenti secara tidak sengaja di pintu yang selalu dilarang Zafir untuk dimasuki siapapun. Evelyn menatap dingin pintu itu, air matanya masih terus mengalir. Sebenarnya apa yang ada di balik pintu ini hingga suaminya bahkan melarang dirinya untuk masuk?Tak lama Evelyn teringat dengan Naura. Apa yang sekiranya akan Naura lakukan di posisi ini? Apa dia akan mentolerir rahasia seperti ini?Setelah dipikirkan, jawabannya adalah
Berbeda suasananya dengan Mansion Wajendra, Mansion Tirta justru terlihat sangat tenang dan ceria. Naura hari ini tidak pergi ke kantor, dia memutuskan ingin menghabiskan waktu di rumah bersama ibunya. Naura dan Mela mengenakan pakaian berkebun, mereka sibuk menanam tanaman bersama di halaman depan dan belakang Wajendra. Tak lama sosok Arjuna muncul, pria itu seperti biasa mengenakan setelan jas formal berwarna hitam."Kamu tidak ke kantor?" tanya Naura saat melihat pria itu tiba-tiba muncul. Arjuna mengangguk. "Tidak ada jadwal penting hari ini, jadi aku memutuskan untuk mampir kemari setelah mengetahui kamu juga tidak pergi ke kantor."Naura mengangguk mengerti, lalu tersenyum tipis. "Mau bergabung?"Arjuna mengangguk. "Tentu saja, kenapa tidak?""Kamu bisa berkebun?" tanya Mela, dia jarang melihat pria dengan status tinggi menyukai kegiatan seperti ini. Arjuna mengangguk ragu. "Kita bisa mencobanya bersama."Naura terkekeh. "Dari jawabannya itu berarti tidak bisa, bu."Arjuna