Setelah pergelangan kaki Naura diobati dan puas bercengkerama dengan yang lain, Arjuna, Naura, dan Helena bergegas untuk kembali ke Indonesia. "Pukul saja wajah tampannya jika dia bersikap tidak sopan padamu di masa depan, nona." William terkekeh saat mengatakan ini di detik perpisahan mereka. Setelah dua hingga tiga kalimat perpisahan hangat lainnya, mereka pun bergegas naik ke pesawat. Meskipun Naura merasa lega karena seluruh masalahnya di negara ini telah berakhir, tetapi ia juga sedih karena harus berpisah dengan penghuni Mansion perdana menteri dan pasangan baru menikah itu. Begitu berhasil tiba di Indonesia dengan selamat, tidak ada percakapan panjang yang bermutu. Mereka semua bergegas menuju kamar masing-masing dan beristirahat. Helena memberikan pelukan hangat bergantian untuk Arjuna dan Naura sebelum melenggang pergi ke kamarnya. Jam telah menunjukkan pukul setengah satu malam, Naura pun tidak banyak melakukan kegiatan lain setelah membersihkan diri dan dengan tenang
Naura membuka matanya, untuk pertama kalinya setelah berhasil mendapatkan kesadaran penuh, ia tersenyum. Kedua matanya melirik ke jari manis miliknya, cincin dengan berlian hijau emerald itu masih terpasang sejak semalam. Naura bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi, namun belum sempat ia masuk suara ketukan pintu yang terburu-buru terdengar. "Tunggu di situ," ucap Naura, kemudian dengan cepat mencuci wajahnya dan baru membuka pintu. "Ada apa?" tanya Naura begitu melihat raut wajah pucat Kate. "Tirta datang menjemput Anda, nona," jawab Kate cepat. Wajah Naura ikut menegang, kemudian kakinya dengan cepat berlari ke arah jendela. Naura memancingkan kedua matanya begitu melihat asisten pribadi Ronald, Leon sedang berbicara dengan Damian dan Arjuna."Nona, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kate sambil menyodorkan mantel ke arah Naura. Naura mengambil mantel tersebut dan menggunakannya, kemudian dia melangkah keluar sambil berkata,"Hadapi, apa lagi?"Sementara Arjuna, pria itu
"Kamu masih punya nyali untuk bertanya?" Sausan menatap tajam Naura, dia sedikit terganggu melihat Naura tetap tenang meskipun baru saja disiram air. Naura menaikkan alis kirinya sekilas, kemudian melirik Ronald. "Jadi ada apa?" Ronald melempar surat kabar internasional ke arah Naura, adegan ini mengingatkan Naura saat kakaknya murka mengenai Evelyn satu tahun yang lalu. "Itu kasus yang sangat memalukan, Naura," ucap Ronald. Naura menatap sekilas surat kabar tersebut, isinya adalah insiden di Belanda beberapa waktu lalu, saat Diandra menjebaknya menggunakan obat terlarang. "Bukankah pihak kerajaan juga sudah mengklarifikasinya? Aku dijebak," jawab Naura tenang. "Tapi seharusnya kamu bisa melindungi diri, tidak dengan bodoh terjebak hal konyol seperti itu. Tubuhmu tersebar jelas di media sambil membawa nama Tirta, ya Tuhan..." Sausan membalas tajam, kemudian menghela napas gusar sambil menggeleng pelan. "Lalu kalian ingin aku melakukan apa? Renjana juga sudah memblokir seluruh b
"Belum ada tanda-tanda ia kembali?" tanya Arjuna, ia duduk di meja kerjanya dengan perasaan gelisah. Damian menggeleng. "Belum, mau coba aku telepon lagi?" Arjuna menghela napas gusar, tidak menjawab. Sekarang sudah jam delapan malam, tapi Naura belum juga kembali sejak pagi. Arjuna sudah mencoba untuk menghubungi wanita itu, panggilan suara, pesan, bahkan email, namun tak satupun yang mendapatkan balasan. "Apa Tirta mencoba untuk mengambil 'nona' mereka kembali setelah membuangnya?" ucap Damian sambil menuangkan air ke gelasnya. Arjuna tidak menjawab lagi, raut wajahnya sudah sangat buruk. Sebenarnya apa yang ingin Tirta lakukan? Tidak ada perasaan baik sedikitpun tiap kali menerka-nerka. "Apa Kate sudah menjawab pesanmu?" tanya Arjuna, mata hijau emerald itu berubah sangat dingin dan tajam, tidak sehangat biasanya. Damian menggeleng. "Belum juga." Arjuna melempar map kosong di atas mejanya ke sembarang arah dengan frustasi. Pria itu bangkit dari duduknya dan berjal
"Kita sudah sampai," ucap Damian begitu mobil mereka berhenti di halaman depan Mansion Tirta. Seorang pelayan membukakan pintu mobil Arjuna, pria itu segera turun dengan ekspresi datar seperti biasa. Di hadapannya, Leon telah berdiri dengan senyum siap menyambut. "Selamat datang, tuan Renjana. Suatu kehormatan dapat--" "Di mana tuan Tirta?" Potong Arjuna. Tanpa merasa tersinggung, Leon mengangguk. "Mari ikuti saya, tuan Renjana. Tuan Tirta telah menunggu Anda di ruang tengah." Arjuna segera mengikuti langkah Leon tanpa bicara yang kemudian disusul Damian. "Tuan Renjana, selamat datang." Suara Sausan khas wanita paruh baya terdengar, wanita itu segera bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan ke arah Arjuna. Arjuna membalas singkat sambil mengangguk, kemudian duduk tanpa peduli sudah dipersilahkan atau belum. "Kami mohon maaf sekali karena kemarin menjemput Naura secara tiba-tiba, selain itu kami juga sangat berterima kasih soal--" "Di mana Naura?" Arjuna memotong ka
"Apa ini yang dinamakan menolak bertemu seseorang?" tanya Arjuna, matanya menatap tajam Sausan dan Ronald sambil dengan lembut meraih lengan kanan Naura yang berlumuran darah. Arjuna mengernyitkan dahinya saat membuang pecahan gucci tersebut, kemudian melepas dasinya dan mengikatkannya di telapak tangan Naura untuk mencegah lebih banyak darah yang keluar. Sausan mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat cemas dan marah di waktu yang sama. Sementara Ronald masih memasang wajah datar. "Kemari, Naura." Ronald memerintahkan Naura untuk menjauh dari Arjuna. Naura menatap dingin Ronald, saat Naura hendak menjawab, Arjuna sudah lebih dulu menahan lengan Naura. "Aku menginginkan Naura," ucap Arjuna, membuat Naura menoleh khawatir ke arahnya. Arjuna melirik Naura sekilas, raut wajahnya masih tetap terlihat tenang meskipun di dalam hatinya dia ingin sekali menghancurkan Mansion Tirta. "Hanya kepemilikan di perusahaan minyak bumi, bukan?" tanya Arjuna, lalu menatap surat kont
"Kita sudah sampai," ucap Damian setelah mobil mereka berhenti di depan gerbang putih besar yang tertutup. Jantung Naura berdegup kencang, untuk pertama kalinya setelah sekian lama ia dapat bertemu lagi dengan ibunya. Kate membukakan pintu untuk Naura, wanita itu turun dengan perasaan bercampur aduk. Tak lama pintu gerbang putih itu terbuka, menampilkan seorang pria paruh baya. "Ada yang bisa saya bantu, tuan?" tanya pria tersebut ke Damian, namun saat matanya menangkap sosok Naura, pria itu mematung di depannya menatap tak percaya. "Nona..." Kedua mata pria itu berkaca-kaca, otaknya berusaha keras memastikan apa yang ada di hadapannya benar-benar nyata atau tidak. "Tuan Benjamin." Naura tersenyum hangat. "Maafkan saya, nona." Benjamin berpaling sebentar untuk mengelap air mata yang mulai menumpuk di kacamata-nya, lalu menatap Naura lagi. "Nyonya ada di dalam, mari saya antar," ucap Benjamin, lalu dengan cepat membuka pintu gerbang tersebut. Arjuna hanya diam dan memp
Naura dan yang lain singgah lama di kediaman Mela, hingga akhirnya memasuki waktu makan malam. Mereka semua duduk bersama di meja makan kali ini, termasuk Damian dan Kate. Suasana terasa hangat dan menyenangkan, semuanya menikmati makanan masing-masing. Hingga Mela bertanya mengenai kehidupan Naura sebelum perceraian. "Jadi kamu bercerai dengan Zafir Wajendra, nak?" tanya Mela dengan hati-hati, meskipun ia telah mengetahui alasannya dari Arjuna, Mela ingin mendengar dari bibir anaknya langsung. Naura terdiam beberapa detik, kemudian mengangguk. "Iya, benar." Mela balas mengangguk juga, lalu meletakkan sendok makannya untuk mengelus lembut tangan Naura. "Kamu bisa menceritakannya nanti jika sudah--" "Kita hanya tidak cocok saja, Wajendra juga sudah memiliki nyonya baru menggantikanku. Semuanya berjalan normal kembali." Potong Naura, kedua matanya menatap lauk makan malam miliknya dengan dingin. Mela tersenyum, dia tidak bisa membayangkan sehancur apa perasaan anaknya saa
Naura mengerjapkan matanya pelan, hanya ada atap putih khas rumah sakit di pengelihatannya. Belum ada lebih dari tiga detik, otak wanita itu secara otomatis mengingat Arjuna lalu menyusul pada pekerjaannya. Tubuh Naura mendadak menegang. Saat berusaha mengambil posisi duduk, ia tersadar bahwa sekarang dirinya berada di rumah sakit dengan selang infus di tangan. Menoleh ke samping, ia melihat sosok Althaf yang duduk tertidur di kursi dekat ranjangnya. Pria itu terlihat sangat lelah dan tenang, hingga tak lama kedua mata Althaf tiba-tiba terbuka, membuat pandangan mereka jatuh bersama di satu titik. "Kamu sudah sadar?" ucap Althaf sambil mengambil posisi tegak, wajahnya menatap penuh khawatir ke arah Naura. Naura mengangguk. "Iya. Apa aku sebelumnya pingsan?"Hening sejenak, sampai akhirnya Althaf mendengus tipis dan menatap Naura seolah marah. "Kamu bertanya padaku? Astaga! Ini semua karena pola makanmu yang berantakan, aku curiga sebenarnya sejak dulu pola makanmu seperti ini, y
"Selamat datang, nyonya Tirta. Mohon maaf karena kami tidak sempat menyambut Anda--""Tidak masalah, wakil manajer." Potong Kate mewakili Naura, membuat sang wakil manajer itu terdiam. "Di mana manajer Frank?" tanya Naura, matanya memperhatikan satu persatu wajah yang menyambutnya. "Ah... Beliau sedang memiliki urusan penting di luar, nyonya. Setelah mendengar kabar bahwa Anda akan datang beliau bergegas menuju kemari, mohon pengertiannya karena belakangan ini perusahaan sedang sibuk-sibuknya," jawab sang wakil manajer. Naura ataupun Kate tidak ada lagi yang membalas, sementara Althaf sejak awal hanya diam dan mengamati di belakang Naura. Mereka pun akhirnya dipersilahkan masuk menuju ruang utama manajer Frank, di sana Naura duduk dengan tenang di sofa tengah ruangan mereka. "Berikan aku laporan terkini," pinta Naura secara tiba-tiba. Sang wakil manajer dengan cepat melipat keningnya bingung. "Laporan mengenai apa, nyonya?"Naura menaikkan alis kirinya, pertanyaan macam apa itu?
Naura tiba di Sulawesi dengan selamat bersama Kate dan Althaf. Menunggu pagi, ketiganya pun singgah di salah satu hotel kota setempat. Tidak memungkinkan untuk langsung bergerak di tengah malam menuju pagi ini. Keesokan harinya begitu siang, mereka berkumpul di ruang tengah hotel Naura untuk membahas urusan hari ini. "Nyonya, apa tidur Anda nyaman?" tanya Kate khawatir karena menyadari raut wajah Naura yang tidak begitu baik. Naura mengangguk singkat. "Aku baik-baik saja." Lalu matanya melirik Althaf. "Apa hal yang kamu tunda sampaikan semalam?" Althaf tersenyum tipis sambil menyesap kopi hitamnya, kedua matanya membalas tatapan Naura seperti biasa. "Aku memiliki rekan yang berpengaruh, dia Gubernur di kota ini. Dia bisa menekan pergerakan media atau hukum yang sekiranya dikendalikan pelaku. Pion kuda juga sudah dikerahkan sejak pagi."Kate yang mendengar ini pun merasa penasaran. "Pion kuda?"Althaf mengangguk cepat. "Hal yang paling digilai pria itu selain uang adalah wanita,
Naura tertegun menatap Althaf, apa-apaan jawaban pria itu? Sementara Althaf tak lama kemudian tertawa, lalu ia menggeleng pelan. "Aku bercanda." Naura pun akhirnya perlahan ikut tertawa tipis meskipun perasaannya sudah terlanjur canggung. "Jadi siapa dia?" tanya Naura lagi, berusaha mengalihkan suasana canggung mereka. Althaf perlahan berhenti dari tawanya, lalu bersandar pada sofa sambil memejamkan mata. "Entahlah, terlalu menyakitkan untuk disebut," jawab pria itu seolah kejadian menyakitkan itu baru terjadi kemarin. Naura menaikkan alis kirinya. "Dia rekan kerjamu atau kerabat jauh mungkin?" Althaf membuka sebelah matanya sekilas untuk menatap Naura. "Sudah aku katakan, dia terlalu sakit untuk disebutkan." Naura terkekeh tipis. "Mengapa mendadak dramatis?" Althaf ikut tertawa. "Aku tidak dramatis, tetapi memang kenyataannya sangat menyakitkan!" Naura hanya menggeleng pelan melihat kelakuan pria itu, lalu lanjut memasukkan sesendok makanan ke mulutnya. "Tapi." Althaf
"Maaf, aku harus segera kembali ke kantor," ucap Naura setelah menyimpan kembali ponselnya. Althaf mengangguk ringan. "Tentu saja, tidak masalah. Aku juga memiliki beberapa pekerjaan lain." Naura balas tersenyum, lalu saat ia hendak mengucapkan kalimat perpisahan, Althaf tiba-tiba kembali bicara. "Apa aku boleh menemuimu kapanpun sebagai teman kecil setelah ini?" Naura menaikkan alis kirinya, lalu tanpa keberatan mengangguk. "Iya, mengapa tidak?" Althaf terkekeh. "Baiklah, terima kasih banyak. Aku hanya takut mengganggu waktu nyonya besar Tirta." Naura ikut terkekeh tipis. "Jangan mengolokku, Althaf." Berikutnya ia melirik ke jam analog di tangan kirinya. "Maaf, aku harus segera ke kantor." Althaf yang masih memiliki senyum lembut mengangguk. "Iya, hati-hati di jalan. Segera kabari aku jika terjadi sesuatu." Naura balas mengangguk juga, kemudian mereka akhirnya berpisah setelah dua hingga tiga kalimat pamit. Sampai di kantor Tirta, Naura dengan cepat menyerahkan seluruh
Selesai mendonorkan darahnya, Althaf meminta izin pada Naura untuk melihat kondisi Arjuna. Tidak merasa keberatan, Naura pun mengizinkannya. Mereka melangkah bersama menuju ruangan Arjuna. Begitu pintu dibuka, hanya ada hening yang diiringi suara mesin pendeteksi detak jantung. Pandangan Naura otomatis melembut saat melihat sosok Arjuna yang masih tebaring memejamkan matanya. Tanpa Naura ketahui, Althaf menyadari tatapannya beberapa saat. Lalu ia pun beralih ikut menatap Arjuna. Naura duduk di kursi tidak jauh dari ranjang Arjuna, sementara Althaf berdiri di belakangnya. "Sudah berapa lama beliau tidak sadarkan diri?" tanya Althaf. Naura memandangi Arjuna semakin dalam, lalu meraih tangan hangat pria itu. "Tiga hari.""Sebuah keajaiban beliau masih dapat bertahan di tengah kondisinya yang kekurangan darah," balas Althaf takjub. Naura tersenyum tipis, tidak menjawab. Tetapi dia setuju mengenai keajaiban yang disebutkan Althaf, karena Arjuna memang selalu membuatnya terkejut. "A
Sehari setelahnya, Naura seperti biasa sibuk mengurus berbagai macam pekerjaan. Masalah internal Tirta sudah mereda berkat dana investasi yang diberikan Althaf. Perusahaan pun dapat kembali berjalan seperti sedia kala.Damian pun secara rutin selalu mengirimkan laporan mengenai perkembangan Renjana, pria itu mengabarkan bahwa Renjana menggelar rapat tertutup. Helena meminta Naura untuk hadir, namun dengan hati-hati ia menolaknya. Meskipun Helena sendiri yang mengundangnya, rapat itu tetaplah bersifat internal. Naura segan untuk bergabung, dia belum menjadi istri sah Arjuna. Helena sepertinya telah memantapkan hatinya, wanita itu berhasil bangkit dari keterpurukannya untuk berdiri melindungi Arjuna. Situasi anak dan ibu itu memang sedang berada di ujung tanduk. Di tengah kesibukannya, ponsel Naura lagi-lagi berdering. Naura hanya melirik sekilas, keningnya terlipat bingung karena penghubungnya adalah nomor tak tak dikenal. "Tolong angkat untukku, Kate," pinta Naura sambil kembal
Senyum Jordan yang semula ramah kini berubah sama dinginnya dengan Naura, kilatan kebencian muncul selintas di matanya. "Nyonya Tirta, alangkah baiknya jika Anda tidak ikut campur lebih dalam. Internal Renjana adalah sesuatu yang tidak bisa diusik pihak manapun, saya peringat--""Tuan Jordan, apa kalimat saya yang sebelumnya kurang jelas untuk Anda?" potong Naura, tidak takut pada penekanan Jordan. "Aku adalah bibi Arjuna, berani-beraninya kamu memperlakukanku seperti ini?! Aku sungguh tidak akan rela jika ternyata keponakanku menikahi wanita angkuh sepertimu!" balas Lina sambil terus menatap tajam Naura. Naura tersenyum tipis. "Tidak ada maksud sedikitpun untuk dianggap angkuh. Tetapi amanah tetaplah amanah, saya hanya ingin menjaga kepercayaan calon ibu mertua saya." Jordan mengerutkan keningnya. "Apa kami menurutmu adalah kekonyolan Renjana? Saya adalah sepupu yang jelas memiliki darah kental Renjana seperti Arjuna, di mana etika Anda--""Tuan Jordan, jika itu yang memang Anda
Naura menatap Zafir dingin, saat pandangan mata mereka bertemu perasaan jauh yang membeku semakin terasa. Pria itu benar-benar memutuskan untuk mengakhiri kerjasama Wajendra dan Tirta hanya karena darah untuk Arjuna? Jika kerjasama dibatalkan maka kemungkinan besar kedua belah pihak akan rugi puluhan miliar dalam sekejap, Naura tidak mengerti jalan pikiran Zafir saat ini. Naura kemudian menarik kasar tangannya dari Zafir, membuat kembali jarak di antara mereka. "Itu keputusanmu?" tanya Naura. Zafir tidak menjawab, matanya hanya menatap tajam Naura. Naura tersenyum tipis. "Kalau begitu terima kasih banyak atas waktu yang telah Anda sisihkan untuk saya. Mohon maaf jika mengganggu--""Justru harusnya aku yang bertanya. Apa ini keputusan yang kamu ambil? Pria itu sedang berada di ambang kehancuran dan--""Saya permisi, tuan Wajendra. Masalah pembatalan kerjasama, mari kita bicarakan setelah ini. Saya masih memiliki keperluan lain, terima kasih." Potong Naura balik, lalu melangkah ke