Arjuna tidak memiliki kegiatan penting apa pun yang mengharuskan ia keluar Mansion. Pria itu hanya berkutat di ruang kerjanya sambil sesekali menggeser kursor laptop. "Sudah semua?" tanya Arjuna, melirik Damian yang terlihat suntuk di depan komputer kerjanya. Damian mengangguk singkat. "Ya, sudah. Semua laporan bulan ini baik-baik saja, bahkan melebihi target."Arjuna balas mengangguk puas, lalu berdiri dari kursinya. "Kunci mobil?"Damian menaikkan alis kirinya sekilas, lalu meraih kunci mobil yang ada di atas mejanya untuk ia lempar ke arah Arjuna. "Menjemput nyonya Tirta?" tanya Damian. Arjuna mengangguk, setelah itu melangkah keluar ruang kerjanya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Helena yang sedang sibuk bercengkerama dengan pegawai toko perhiasan langganan wanita itu di ruang tamu. "Kamu mau menjemput Naura?" tanya Helena begitu melihat putranya. "Iya," jawab Arjuna, lalu melangkah mendekati ibunya. Berbagai macam bentuk perhiasan dipamerkan di atas meja. Perak, emas,
Naura mampir ke salah satu restoran bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Mereka duduk di meja VIP, para pelayan sibuk mondar-mandir menyiapkan segalanya untuk membuat konglomerat besar dunia itu merasa nyaman. "Sepertinya karena kedatanganmu mereka jadi bekerja jauh lebih keras," ucap Naura sambil memandang Arjuna yang duduk di hadapannya. Arjuna masih menatap ke arah menu. "Benarkah?" Naura mengangguk sambil tertawa tipis. "Iya, mereka terlihat ketaku--" "Bagaimana jika kita menikah bulan depan?" Potong Arjuna tiba-tiba saat mengangkat pandangannya dari buku menu. Naura menaikkan alis kirinya sekilas, terkejut. "Apa? Maksudku-- tentu saja tidak masalah, tetapi kenapa tiba-tiba?" Arjuna menutup buku menu acuh. "Tidak ada lagi urusan yang membuat rencana itu terhambat, bukan? Apa kamu memiliki keluhan lain?" Naura menggeleng. "Tidak ada, bagaimana dengan tanggapan ibumu?" Arjuna mengerutkan keningnya tipis. "Justru ibu orang pertama yang akan berteriak cepat meni
Keesokan harinya saat matahari belum sempurna bertengger di langit, kediaman Wajendra telah sibuk lebih dulu. Mereka membantu Zafir dan Evelyn bersiap untuk menghadiri acara pertemuan penting antara Wajendra dan Homas. Setelah menerima berbagai macam email laporan ganjil dan pertentangan dari Homas, Zafir pun memutuskan untuk mengadakan pertemuan. Evelyn duduk di meja riasnya, dua pelayan di sisinya sibuk membantunya bersiap. "Nyonya, softlens cokelat yang biasa Anda pakai sepertinya sudah tidak terlalu layak digunakan lagi," ucap Mona saat membuka tutup kontak lensa Evelyn Evelyn mengerutkan keningnya, bola mata hitam pekat miliknya melirik Mona datar. "Gunakan yang lain."Mona menghela napas tipis. "Tetapi... Anda belum memesan untuk stok--""Gunakan saja itu." Potong Evelyn cepat, membuat Mona dan satu pelayan lainnya sedikit terkejut. "Namun bagaimana jika mata Anda--""Apa aku harus mengulang kalimat, Mona? Gunakan softlens yang tersisa." Potong Evelyn lagi, lalu matanya k
"Masih tidak ada jawaban apa pun dari pihak Homas, tuan," ujar Stave setelah cukup lama memandangi layar laptop miliknya. Zafir memijit keningnya frustasi, pria itu duduk di meja kerja sambil bersandar lelah. Masalah dengan keluarga Homas semakin memanas, sampai sekarang Zafir masih belum mengerti pemicunya. Zafir sama sekali tidak merasa menjual lahan apa pun menggunkan nama Wajendra, laporan ini dapat dipastikan palsu. Tetapi jika benar Zafir juga tidak bisa menemukan alasan Homas melakukan hal itu. Hubungan kedua keluarga terjalin sangat baik sebelumnya. "Sudah periksa seluruh transaksi atas nama Wajendra?" tanya Zafir dingin pada Stave. Stave mengangguk cepat. "Sudah, tuan. Tidak ada laporan yang menyatakan bahwa kita menjual lahan ataupun menerima bayaran dari transaksi tersebut." Zafir memijit keningnya lagi. "Lalu di mana letak kesalahannya? Homas tidak mungkin salah jika mereka terlihat sangat yakin seperti itu." "Atau mungkin ada bagian dari kita yang di
Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya acara pertunangan Naura dan Arjuna digelar. Acara itu dilaksanakan di kediaman sang wanita, yaitu Mansion Tirta. Saat pihak keluarga Arjuna datang, Mela didampingi oleh Kate dan tuan Benjamin menyambut mereka. Beberapa tetua Tirta pun hadir di sana, sementara Naura masih bersembunyi di ruangannya. Tamu-tamu penting telah tiba lebih dulu dan menunggu di aula Mansion. Semuanya mengucapkan selamat saat sosok Arjuna muncul, suasana terlihat sangat meriah. Setelah rangkaian acara pembuka berhasil dilaksanakan, kini giliran Naura yang muncul ke permukaan. Pintu aula dibuka, semua orang memperhatikan Naura yang melangkah masuk seorang diri. Naura tersenyum sempurna, matanya jatuh pada Arjuna yang seolah terpaku menatapnya. Wanita itu mengenakan dress berwarna perak, rambutnya disanggul modern anggun. Mereka sengaja tidak mengizinkan media manapun masuk dan meliput acara, tamu undangan hari ini benar-benar hanya rekan bisnis, sahabat, dan kelu
Bukan Mansion Tirta, Renjana, ataupun Wajendra, suasana dingin menyelimuti Mansion keluarga Homas. Keluarga pilar negara keempat itu tengah berdiskusi panas di ruang kerja utama sang tuan besar. Broto Homas, tuan besar keluarga Homas itu melirik menantunya dingin. "Bagaimana hasilnya?" Felizia menggeleng pelan. "Tidak ada itikad baik apapun dari Wajendra. Mereka menolak mengaku."Mata dingin Broto Homas pun bergeser ke putra sulungnya, Danar Homas. "Jadi benar Zafir Wajendra lebih memilih melindungi istrinya daripada perdamaian dua keluarga?"Danar mengangguk. "Iya, ayah. Pertemuan sebelumnya juga menjadi runyam karena sikap bodoh istrinya, perilakunya jauh dari kata pantas untuk berada di posisi itu.""Asal usulnya tidak jelas, Zafir telah melakukan kesalahan besar karena menceraikan Naura," balas Felizia, dia sedikit terbawa emosi setiap kali membahas ini. "Kejadian di rapat kemarin kamu yang menyulut lebih dulu, benar?" tanya Broto Homas langsung, membuat Felizia tersenyum tip
"Maaf, kamu menunggu lama?" tanya Naura begitu ia memasuki mobil Arjuna. Arjuna menggeleng pelan. "Tidak."Langit telah menguning sekarang, pria itu kembali menjemput Naura seperti biasa. "Bagaimana dengan gedungnya?" tanya Naura, membahas progres persiapan mereka menjelang pernikahan. "Sampoerna Strategic Square, gedung itu cukup untuk menampung seribu undangan," jawab Arjuna, matanya masih fokus menyetir. Naura mengangguk mengerti, dia tahu gedung itu. Sampoerna Strategic Square adalah salah satu gedung pernikahan termahal di Jakarta. "Apa ibumu ada saran tambahan untuk acara nanti?" Kini giliran Arjuna yang bertanya. Naura menggeleng. "Tidak ada, bagaimana dengan ibumu?"Arjuna balas menggeleng juga. "Tidak. Lalu, bagaimana dengan adatnya? Tirta sepertinya memiliki ketentuan tertentu."Naura mengangguk. "Tentu saja, ingin menggunakan adat Jawa keluargaku?"Arjuna menaikkan alis kirinya. "Kenapa tidak?" Naura terkekeh. "Kamu bisa bahasa Jawa?"Arjuna terdiam beberapa detik, d
Setelah penetapan tanggal pernikahan Naura dan Arjuna sepakat akan dilaksanakan pada akhir tahun nanti, keduanya pun semakin sibuk. Pasalnya tinggal beberapa minggu lagi dan kini mereka harus melaksanakan prosesi adat sebelum menikah dari Tirta. Naura tiba lebih dulu di kampung halamannya, Jawa Tengah. Wanita itu berangkat dengan muatan terpisah dengan Arjuna. Di sana ia melewati berbagai macam prosesi calon mempelai wanita yang siap 'dijemput' oleh calon mempelai pria. Naura harus melewati prosesi luluran, mandi kembang dan sebagainya. Semua itu didampingi oleh Mela, ibunya. "Cantik," ucap Mela saat memandangi putrinya di cermin, bibirnya tersenyum tipis. Naura menyentuh tangan Mela yang berada di atas pundaknya lembut. Naura mengenakan kebaya adat Jawa, rambutnya disanggul dan diberikan hiasan melati serta beberapa perhiasan sederhana berwarna perak. Dia belum bisa dipaes karena belum memasuki acara pernikahan sungguhan. Tujuan dari prosesi adat ini adalah untuk meminta izin
Naura berbaring di ranjang besarnya dengan kaki dan tangan yang dirantai. Matanya menatap kosong ke arah jendela kamar, dia benar-benar seperti setengah mati. Tak lama pintu kamarnya dibuka, Naura tetap tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dia tetap berbaring memunggungi pintu. Suara langkah kaki pria terdengar, tanpa menoleh pun Naura tahu siapa yang datang. Althaf. Hanya pria itu yang dapat dengan mudah masuk dan keluar tanpa mengetuk pintu. "Kamu belum bangun?" Pria itu berbisik di telinga Naura, tangannya mengusap lembut bahu Naura. Naura memejamkan matanya erat, tidak berkenan menjawab. Napas lembut pria itu menabrak telinga serta kulit leher Naura, membuat lipatan ringan terbentuk di dahinya. "Sudah dua hari kamu tidak bicara, mau sampai kapan seperti ini?" tanya Althaf sambil mencium helaian rambut Naura. "Kamu tahu, aku tidak akan menyakitimu, tetapi justru melindungimu. Apa yang kamu pikirkan, Naura? Mengapa kamu tidak mau menerima kemuliaan ini dengan patuh?" sambung
Dua hari setelah kejadian besar, yaitu hilangnya sang nyonya besar Tirta secara misterius, kini gelombang baru kembali muncul. Saham perusahaan raksasa Renjana, hari ini resmi menurun dengan sangat tajam. Total kerugian mereka tak terhitung jumlahnya, membuat jajaran dan investor besar kepalang gila. Rapat besar diadakan secara mendadak, tidak ada yang tahu hari sial seperti ini akan menimpa Renjana. Tidak hanya dalam satu jenis bisnis, tetapi hampir seluruh bisnis yang dinaungi Renjana mengalami kerugian besar.Semua berdiri begitu Arjuna memasuki ruang rapat, tidak ada yang berani duduk sebelum sang pemimpin besar itu duduk. Rapat dimulai begitu Arjuna melirik Damian untuk membuka topik yang akan mereka bahas. Damian mengangguk cepat, lalu tangannya gesit menggerakkan kursor laptop untuk menjelaskan data yang baru saja ia buat. "Sesuai angka saham hari ini, titik terendah perusahaan dipegang oleh 'Renjana Oil', ia berada di angka lima ribu rupiah per lot dari lima belas ribu r
Naura menatap tajam Althaf, meskipun raut wajahnya nampak tenang, kini kedua tangannya diam-diam gemetar. Althaf menyadari ketakutan Naura. Matanya berubah menjadi sangat berbeda, seperti hewan buas, tak jauh berbeda dengan apa yang dia rasakan dari orang-orang sekitar sebelumnya. Pria itu menatap tangan Naura yang gemetar, lalu semakin menyeringai tipis. "Kamu takut?" tanya Althaf. "Bajingan," balas Naura tajam, membuat Althaf mengerutkan keningnya. "Harus aku akui, kamu hebat karena hampir membuatku tertipu," ucap Althaf lalu melirik pecahan tajam vas bunga, dia masih berada di atas tubuh Naura untuk menahan gerakan wanita itu. "Menjijikkan," ucap Naura, matanya memerah penuh kebencian. Althaf terkekeh, lalu melepaskan pecahan vas itu dengan sangat hati-hati dari genggaman tangan Naura. "Apa ada yang terluka karena ini?" tanya Althaf sambil terus memastikan tidak ada luka di tangan Naura meskipun tangannya sendiri telah berdarah-darah. Naura menarik tangannya cepat, napasny
"Nyonya sempat keluar berkeliling, tetapi kemudian ia kembali ke dalam kamar dengan patuh." Dua pria penjaga di depan pintu melaporkan kegiatan Naura begitu Althaf kembali. Althaf hanya mengangguk singkat, lalu membuka pintu bilik Naura. Bibirnya kembali tersenyum lembut, tatapan mati dan dinginnya berubah menjadi hangat. "Naura?" Suaranya lembut seperti malaikat. Sosok Naura yang tengah berdiri di dekat jendela besar menatap pemandangan kosong di luar pun segera menoleh. "Kamu sudah kembali?" tanya Naura, lalu tersenyum tipis ke arah Althaf. Althaf mengangguk. "Maaf jika aku terlalu lama, pihak dapur tidak menyiapkannya dengan baik tadi." Kemudian dia memberi kode di belakangnya untuk segera masuk. Pelayan datang dengan troli makanan, lalu meletakkan satu persatu piring dan gelas di atas meja. Sepergian pelayan, Althaf pun melangkah menghampiri Naura. "Ada apa? Kamu tidak nyaman?" tanya Althaf. Naura menggeleng. "Tidak, aku hanya merindukan ibu dan Kate. Kapan mereka akan m
Naura melangkah menuju pintu kamarnya, ia kemudian menempelkan kupingnya untuk memeriksa suara di luar sana. Sepi. Tidak ada suara kegiatan atau percakapan apa pun kecuali langkah kaki yang berat dan sibuk. Tempat apa ini? Mengapa Althaf membawanya ke tempat seperti ini?Penjualan manusia? Memilih seorang nyonya keluarga berkuasa adalah pilihan ceroboh, Althaf tidak mungkin sebodoh itu. Saat tangan Naura iseng menarik gagang pintu, dia sedikit terkejut karena ternyata pintunya tidak terkunci. Meskipun ragu, Naura memberanikan dirinya untuk membuka pintu tersebut dan langsung mendapati dua sosok pria asing yang berjaga di depannya. Mata Naura menatap dingin ke arah keduanya, dua pria itu memperhatikannya sangat intens. Tetapi hal yang lebih mengejutkan terjadi begitu keduanya tiba-tiba membungkuk ke arah Naura. Naura menatap mereka heran, kenapa mereka membungkuk ke arahnya? Ada apa?"Siapa kalian?" tanya Naura, nada bicaranya penuh dengan kewaspadaan. "Apa ada sesuatu yang And
Naura membuka matanya cepat begitu mendapatkan kesadaran. Tubuhnya seolah tersentak kaget, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Kamu baik-baik saja?" Suara Althaf yang lembut dan hangat terdengar, membuat Naura menoleh cepat dan mendapati sosok pria itu yang bersandar di jendela ruangan. Angin lembut menerpa wajahnya, membuat rambut hitam pria itu menari indah. Matanya yang cokelat pun selalu berhasil menyalurkan kehangatan. Naura tidak menjawab, matanya langsung sibuk memperhatikan sekelilingnya. Ini di mana? Jelas sekali bukan bagian dari Mansion Tirta. Tatapannya bergeser pada cermin, Naura tertegun saat melihat dirinya kini sudah memakai dress putih polos. Pakaian yang ia gunakan sebelum sadarkan diri di sini adalah kemeja kerja, namun entah bagaimana sekarang berubah?Banyak sekali pikiran kasar yang menumpuk di kepala Naura. Dia masih belum bisa mencerna, terakhir kali mengingat bahwa dirinya sadar adalah setelah mengangkat panggilan Kate. Berikutnya dia memakan cheesec
"Sebenarnya ini... Ada apa? Naura menghilang?" Suara Mela yang khawatir terdengar, membuat semuanya menoleh ke ambang pintu. Kate dengan cepat menghampiri Mela. "Nyonya, Anda--""Naura...." gumam Mela sambil meletakkan tangan kanannya di atas dada sebagai bentuk takut dan khawatir. "Aku akan mencarinya, ibu." Arjuna berusaha menenangkan Mela. Kedua mata Mela mulai berkaca-kaca, matanya menatap Arjuna. "Putriku... Putriku dalam bahaya...." Lalu perlahan tubuhnya mulai berdiri tidak stabil. Kate dengan sigap menahan tubuh Mela bersama pelayan pribadinya. "Cepat, bawa nyonya besar ke kamar."Begitu Mela pergi, mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke Mansion Renjana. Arjuna tetap menjalankan mobil dengan kecepatan yang sama, matanya menatap tajam ke sekitar. Phantom. Dia tidak akan mengizinkan mereka mengambil wanitanya.Kali ini Arjuna tidak akan menahan diri, karena mereka sendirilah yang telah melanggar perjanjian. Mereka berjanji tidak akan menyentuh Naura jika A
Arjuna berlari cepat menuju mobilnya, seluruh pelayan menatap heran ke arahnya.Selain karena hujan dan petir, malam itu terasa sangat mencekam untuk Arjuna karena ini menyangkut keselamatan Naura. Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tak masuk akal, kedua tangannya mencengkeram kuat stir mobil. Sampai di Mansion Tirta, Arjuna turun tanpa peduli guyuran air hujan. Seluruh pelayan dibuat terkejut oleh kehadiran Arjuna, sampai akhirnya Mela muncul. "Ada apa ini?" tanya Mela khawatir begitu mendapati sosok Arjuna yang basah karena hujan. "Di mana Naura, bu?" tanya Arjuna cepat. Mela mengerutkan keningnya bingung. "Naura... Dia ada di ruang kerja. Ada apa, nak?"Arjuna tetap terlihat sangat khawatir. "Apa ibu baik-baik saja?" Mela mengangguk kebingungan. "Iya... Aku baik-baik saja, ada ap--""Perketat keamanan Mansion, bu." Potong Arjuna, lalu melangkah cepat menuju ruang kerja Arjuna. Mela masih mematung bingung di posisinya, hingga tak lama Kate dan Damian muncul. "Nyon
Kate tiba di studio kerja pribadinya, kemudian meletakkan tas dan mulai menyalakan mesin komputer. Sesuai perintah Naura, wanita itu meneliti rekaman CCTV yang diberikan atasannya. Tatapan Kate berubah tajam, sesekali menyipit untuk mendeteksi keanehan di rekaman. Tetapi seperti yang Naura katakan, dia juga tidak berhasil menemukan keanehan, kecuali saat adegan penusukan Arjuna. "Di mana bagian yang salah?" gumam Kate sambil terus memaju mundurkan kursor. Tak lama suara dering ponselnya terdengar, Kate berdecak kesal karena pekerjaannya terganggu. Dengan malas dia meraih tas-nya dan mengeluarkan ponsel, namun saat melihat nama kontak yang menghubunginya, amarahnya seketika menghilang. "Iya, tuan Damian? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kate, matanya kembali menatap layar komputer lagi. "Mengantarkan obat? Terima kasih banyak, namun saya baik-baik saja." Kate melirik sekilas ke arah ponselnya begitu mendengar Damian hendak mengantarkan obat. Mendengar Damian yang sepertinya tid