Tania berjalan berdampingan dengan Adrian memasuki gedung kantor. Semua karyawan mengangguk sopan dan menyapa. Tania merasa risih diperlakukan berlebihan. Ia tidak biasa di sapa sebegitunya sebelum ini. “Ini ruangan kamu. Nanti mbak Tika akan membantu kamu mengurus ruangan dan yang lainnya.” Mbak Tika, selaku orang kepercayaan di kantor ini mengangguk, “Betul, bu. Jika ibu membutuhkan apapun, bisa meminta bantuan saya.” Mata Tania tak berhenti mengedar. Ia mencari satu orang yang membuatnya bersikeras ingin bekerja di kantor ini. “Kamu cari seseorang?” tanya Adrian. “Tidak. Pergilah, aku akan mulai bekerja.” “Aku akan disini.” Tania mengernyit, “Bukankah biasanya kamu—” “Aku bebas melakukan apapun, bukan?” “Terserah.” Tania memasuki ruangan yang sudah disiapkan. Di meja kebangsaannya tertulis namanya besar-besar, sebagai Direktur? Ia tergelak sendiri dalam hati. Hidup orang kaya begitu mudah begini. Pantas papa memaksanya menikahi Adrian. Adrian duduk di sofa.
Tania sibuk memeriksa seluruh lembar track record pegawai yang sudah dirangkum tim HRD, bersama Adrian. “Kamu serius mau membuat PHK besar-besaran?” Tania melirik Adrian, “Kamu tidak setuju?” “Bukan begitu.” “Aku tidak akan melakukan apapun tanpa persetujuan kamu.” “Apa tujuan kamu melakukan ini?” “Menunjukkan diri sebagai istri Adrian Kiehl.” “Bukan untuk Romi?” Tania membuang nafas pelan. Ia menatap suaminya, “Adrian, dengar, kamu tidak tahu rasanya jadi aku. Romi berselingkuh dengan setiap sekretarisnya. Sekitar empat atau lima.” “Tujuh sekretaris lebih tepatnya.” Tania diam sejenak, “Kamu tahu?” “Aku tahu banyak soal Romi.” “Dan kamu masih mempekerjakan dia?” “Kinerjanya lumayan.” “Tapi dia tidak menghargai sebuah komitmen. Dia bisa menghianati perusahaan.” Adrian tertawa, “Jadi istriku sedang marah dan ingin balas dendam?” “Adrian...” “Aku paham, lakukan yang kamu mau.” “Apa perusahaan tidak papa jika aku buat keputusan ini?” “Semuanya akan b
Sejak siang itu, Tania jadi tidak bisa jauh dari Adrian. Ditinggal membuatnya uring-uringan. Ia terus mengikuti kemana suaminya pergi. Tania melendot manja pada Adrian di mobil, “Aku mau besok kamu tetap ke kantor.” Adrian tertawa, “Besok aku harus rapat di pabrik obat.” “Aku akan ikut.” “Ikutlah. Aku akan sangat senang.” Tania mencium pipi Adrian. Pak Udin yang menyetir senyum-senyum sendiri. “Kenapa, pak Udin?” “Gak papa, pak Adrian.” Saat menuruni mobil, Adrian menuntun Tania. Mereka melihat Wini yang baru keluar dari rumah dengan wajah marah. “Kalian kenapa tidak pulang saat jam makan siang?” “Kami makan di kantor. Jaraknya jauh, jadi kita—” “Mas, lima tahun kamu selalu pulang saat jam makan siang. Dan hari ini kamu beralasan begitu?” Tania memegangi lengan Adrian, “Aku yang minta mas Adrian makan di kantor.” “Mas?” Wini kaget dengan panggilan baru itu. “Aku istrinya juga, ‘kan?” Wini menatap Adrian meminta penjelasan. “Ini ‘kan yang kamu mau? Tania
Tania menyambut kedatangan ayah dan ibu yang datang membawa banyak sekali oleh-oleh dari luar negeri. “Duduk, bu, yah.” Mereka duduk bersama Adrian yang tak henti menatap Tania yang tampil cantik mengenakan dress yang ia belikan diam-diam saat awal menikah. “Wini mana?” tanya ibu. “Wini tadi—lagi siapin pudding, bu. Aku panggilkan.” Tania hampir beranjak, tapi ibu menahannya. “Kamu jangan banyak gerak, Tan, masih rentan. Apalagi kemarin ada insiden.” Tania tersenyum tidak enak, “Bu, yah, maaf soal kejadian kemarin. Aku—sangat menyesal.” “Tidak papa, kami paham. Untungnya calon pewaris keluarga Kiehl sangat kuat.” tutur ayah. Wini datang bersama mbok Sayem yang membawa nampan berisi pudding mangga dan suguhan lain. “Bu, yah, apa kabar?” Wini mencium dan memeluk mertuanya. “Baik. Kamu apa kabar, Win? Bagaimana rasanya punya madu sebaik dan secantik Tania?” tanya ibu. Senyum Wini hilang, “Hmmm, aku baik, bu. Soal Tania—aku senang memiliki madu sepertinya.” Wini me
Malam, Wini langsung masuk kamarnya. Ia tidak keluar sampai pagi saat Tania dan Adrian sarapan. Mbok Sayem yang buatkan sarapan. “Mas, kamu gak mau menemui Wini dulu?” “Aku akan biarkan dia tenang dulu dan mengambil jarak dari kita.” “Apa malam ucapanku menyakitinya?” “Wini hanya sedang sensitif. Papanya masih dirawat. Kita berangkat sekarang.” Begitu sampai kantor, Tania menahan Adrian sebelum mereka masuk lift. “Kenapa?” “Kamu langsung ke pabrik?” “Nanti siang.” “Aku akan memecat Romi hari ini, mas.” “Kamu serius?” “Aku menemukan bukti bahwa dia terlibat dalam penggelapan dana yang kamu curigai. Dia juga terbukti selalu mangkir pada rapat penting perusahaan.” “Jika menurut kamu dia layak dipecat, aku tidak masalah.” Di dalam ruang rapat khusus direksi, Tania sudah menyampaikan kecurigaannya melihat dari riwayat para staf yang direncanakan akan di PHK. Pihak HRD pun menerima banyak pengaduan dari karyawan lain, bahwa nama-nama tersebut memang sering bekerja
Tania menggenggam erat tangan Adrian selama perjalanan pulang dari kantor. Adrian kembali dengan cepat dari pabrik dan menjemputnya. Kini, tangan mereka masih bertaut saat memasuki rumah dan mendapati suasananya terasa sepi. “Wini?” teriak Tania. “Kamu kenapa memanggilnya?” “Aku lapar, mas, dan mau steik. Wini bilang aku bisa bilang padanya mau apa, karena dia akan buatkan.” “Oh begitu.” “Wini?” Mbok Sayem menghampiri Tania, “Maaf, non, ada perlu apa?” “Wini mana? Aku memanggilnya, bukan mbok.” Wajah mbok Sayem tampak gusar. “Ada apa, mbok?” tanya Adrian. “Anu, den—” BRAK! “Itu suara apa?” Adrian melepaskan tangan Tania dan berjalan mendekati lokasi, “Win, ada apa?” “Kamar kamu pindah ke sini mulai sekarang.” “Tapi tidak perlu kamu bawa semua barangnya ‘kan?” “Kamar terasa sempit, ketika orangnya tidak tidur di kamar.” Wini buru-buru membalikkan badan. “Win, kamu kenapa?” Wini masuk ke dalam lift. Adrian menatap mbok Sayem yang berjalan dibelaka
Tania tidak akan pergi ke kantor setelah muntah hebat. Adrian ingin sekali menemani, tapi harus datang ke acara rapat khusus para investor. Ia janji akan cepat pulang. Tania ditemani mbok Sayem yang kini sedang memijat kakinya. “Non bener gak mau mbok bikinin minuman jahe?” Tania menggeleng. “Padahal biasanya mual bisa hilang loh pake jahe.” Pintu kamar yang terbuka, membuat Tania yang sedang menatap pintu, bisa melihat Wini berjalan dengan lesu sepulangnya dari rumah sakit. “Wini?” Wini menoleh, “Kamu—disini?” Tania bangkit, “Bagaimana keadaan papamu?” “Sudah membaik, operasinya lancar.” “Syukurlah.” Wini menunduk. “Terus kenapa kamu—sedih?” Wini menatap Tania, “Karena—lupakan.” Tania menggenggam tangan Wini, “Kita saudara bukan? Ada yang harus aku tahu?” Mereka duduk berdampingan di kursi samping kolam renang. “Sampai saat ini, mas Adrian masih belum bisa menerima orang tuaku.” Tania mengernyit, “Oyah?” “Mas Adrian sering mengirimkan uang bulan
Adrian membacakan hasil rapat tadi siang pada Tania. Ia penasaran, ingin tahu dengan perkembangan perusahaan milik keluarga suaminya. “Sejauh ini keuntungan perusahaan naik enam persen dari bulan lalu.” “Hm, tidak terlalu buruk.” “Itu besar, sayang. Bulan-bulan sebelumnya kenaikan hanya dua persen.” “Itu karena di kantormu ada tikus besar.” Adrian tertawa, “Romi?” “Dan kawan-kawannya.” “Kamu begitu dendam padanya?” “Lumayan.” Tania bersusah payah bangkit dari sofa. “Aku bantu.” Tania duduk diam merasakan sesuatu yang berbeda sebelumnya. “Kamu kenapa? Kamu mual?” Tania menggeleng, “Aku merasakan—aw!” “Sayang?” Adrian memegangi kedua pipi Tania, “Kamu kenapa?” Tania tertawa memegangi perutnya, “Mas, dia menendang.” Adrian menatap perut Tania, “Kamu—serius?” Tania menangis, “Mas, dia—tumbuh baik disana?” “Tentu.” Adrian mencium kening Tania lalu memeluknya. “Mas, aku sayang sama dia.” “Harus. Semua orang sayang padanya.” Tania merasakan tubuhnya
Orang yang berpura-pura menjadi ODGJ langsung pergi ketika banyak orang mendekati TKP, dimana Tania pingsan setelah di dorongnya. “Bu Tania, bu?” Bodyguard yang lain datang membawa banyak cup bubur kacang yang dipesan Tania, “Bu Tania!” “Telpon pak Adrian cepat!” Bodyguard dengan sigap memangku Tania yang tak sadarkan diri. Darah mengalir deras seperti sebelumnya setiap kali ia stress. Karena kalut, dan kebetulan ada taksi yang berhenti untuk melihat kerumunan, bodyguard membawa Tania ke rumah sakit menggunakan taksi. Untungnya di dekat sini ada rumah sakit. Kedua bodyguard memasang wajah takut pada kondisi Tania yang lebih buruk dari sebelumnya. Baru kali ini istri tuannya pingsan. Mereka tahu Adrian akan marah besar sebentar lagi. “Tania?” “Pak Adrian.” salah satu bodyguard mengangkat tangannya memberi petunjuk keberadaan mereka. “Bagaimana keadaannya?” “Dokter belum keluar, pak. Tadi samar kami dengar, bu Tania akan—dilakukan bedah caesar emergency sekarang.”
Tania berjalan pagi sendiri ketika sinar matahari masih malu-malu menampakkan diri. Ia di ikuti dua bodyguard untuk berkeliling komplek. Adrian harus bersiap ke kantor, karena selama ia di rumah sakit, suaminya itu sama sekali tak memerdulikan pekerjaan. “Bu, apa ibu belum lelah?” tanya salah satu bodyguard yang berjalan dibelakang Tania. Tania membalikkan badan, “Lumayan, tapi saya masih kuat.” “Lebih baik ibu istirahat. Biar ibu minum dulu.” Tania mengangguk. Bodyguard lainnya yang sedari tadi mendorong kursi roda, memberikannya pada Tania, “Silakan, bu.” Tania duduk di kursi roda. “Minumnya mana?” tanya bodyguard pada rekannya. “Saya tidak bawa minum.” “Kan tadi saya suruh kamu bawa minum untuk bu Tania.” Tania tertawa, “Tidak perlu bertengkar. Kalian bisa membelinya di depan.” “Baik, bu. Saya belikan dulu.” satu bodyguard berlari menuju minimarket depan komplek. Tania melirik bodyguard lainnya, “Pak, saya boleh minta tolong?” “Boleh, bu, ada yang bisa say
Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera
Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid
Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu
“Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.
Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua
Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar
Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang