Beranda / Rumah Tangga / Berbagi Suami / 38. Tendangan Pertama

Share

38. Tendangan Pertama

Penulis: Rahmani Rima
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-17 08:19:24

Adrian membacakan hasil rapat tadi siang pada Tania. Ia penasaran, ingin tahu dengan perkembangan perusahaan milik keluarga suaminya.

“Sejauh ini keuntungan perusahaan naik enam persen dari bulan lalu.”

“Hm, tidak terlalu buruk.”

“Itu besar, sayang. Bulan-bulan sebelumnya kenaikan hanya dua persen.”

“Itu karena di kantormu ada tikus besar.”

Adrian tertawa, “Romi?”

“Dan kawan-kawannya.”

“Kamu begitu dendam padanya?”

“Lumayan.” Tania bersusah payah bangkit dari sofa.

“Aku bantu.”

Tania duduk diam merasakan sesuatu yang berbeda sebelumnya.

“Kamu kenapa? Kamu mual?”

Tania menggeleng, “Aku merasakan—aw!”

“Sayang?” Adrian memegangi kedua pipi Tania, “Kamu kenapa?”

Tania tertawa memegangi perutnya, “Mas, dia menendang.”

Adrian menatap perut Tania, “Kamu—serius?”

Tania menangis, “Mas, dia—tumbuh baik disana?”

“Tentu.” Adrian mencium kening Tania lalu memeluknya.

“Mas, aku sayang sama dia.”

“Harus. Semua orang sayang padanya.”

Tania merasakan tubuhnya
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Berbagi Suami   39. Ancaman Adrian

    Air muka Adrian berubah masam ketika perempuan yang Tania yakini adalah ibu Wini mendekati mereka. “Adrian apa kabar?” “Baik.” “Mama baru saja mau cerai, dan putusan sidangnya akan digelar sebentar lagi. Wini memaksa mama tinggal disini, bersama kalian. Kamu tidak keberatan ‘kan?” Adrian melirik Wini lalu tersenyum menatap mama, “Saya tidak keberatan, ma. Silakan masuk. Nanti mbok akan membereskan kamar untuk mama.” Mama mengelus lengan Adrian, “Terima kasih, ya. Kamu memang anak mantu yang paling baik..” Tania melirik Wini yang terus memperhatikan ekspresi wajah Adrian. Untungnya Wini sudah cerita, mengenai suaminya yang konon bersikap acuh pada orang tuanya, jadinya ia tidak terkejut. Ia hanya bingung, kenapa Adrian bisa bersikap dingin pada orang tua istri tercintanya. “Mama masuk ya. Mama sedikit tidak enak badan, jadi mau pamit istirahat duluan.” “Silakan, ma.” Mama memasuki rumah tanpa menoleh sedikit pun pada Tania. Sebenarnya ia tidak ingin dikenalkan juga. I

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Berbagi Suami   40. Informasi Singkat dari Pak Udin

    Tania berjalan cepat ke depan rumah. Wini menyusulnya membawa kantong bekal. “Tan.” “Win, maaf ucapanku barusan. Aku tidak bermaksud bicara begitu.” “Tidak papa. Mama pasti hanya terkejut, karena kamu—ternyata bisa melawannya. Oyah, ini bekal sarapan kalian. Sudah aku masukkan buah dan camilan juga.” “Terima kasih, Win. Aku berangkat.” Di jalan karena macet, pak Udin terus menggerutu. “Pak Udin kenapa marah-marah?” “Saya takut bu Tania terlambat.” “Ini baru jam delapan. Kalau pun saya terlambat, pemilik perusahaan tidak akan marah.” “Iya, bu, benar juga. Bu, soal ucapan mamanya bu Wini, bu Tania tidak usah ambil hati ya?” “Iya, pak.” “Dulu, orang tua pak Adrian tidak menyetujui pernikahan anak tunggalnya dengan bu Wini.” “Oyah? Saya lihat sikap ibu dan ayah pada Wini baik-baik saja.” “Kalau bu Wini memang tidak ada masalah, tapi ya itu, orang tuanya. Mereka sangat matre dan tukang ngatur.” “Oyah?” “Betul, bu. Pak Adrian sempat gagal nikah dari bu Wini, t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Berbagi Suami   41. Ancaman Adrian 2

    Adrian membuka pintu mobil untuk Tania dan menggenggam tangannya saat berjalan berdampingan memasuki rumah. “Acara besok malam kamu yakin kuat ikut?” “Jadi kamu tidak mau aku ikut?” Adrian tertawa, “Aku hanya bertanya.” Langkah Adrian berhenti di ruang keluarga, menatap mama sedang membuka dus-dus yang berserakan paket belanjanya. “Adrian, sudah pulang?” Wini baru keluar dari lift. Ia menatap tidak enak pada suami dan mamanya, “Mas, mama—“ Mama menghampiri Adrian, “Masa kamu tega membuat mama tinggal sendiri di rumah kamu yang lain? Mama tidak akan lama disini. Bulan depan juga pulang.” “Bulan depan?” Adrian bertanya untuk mengkonfirmasi pendengarannya. “Iya. Mama ingin sekali ditemani anak dan mantu ketika masa sulit begini. Perceraian tidak pernah mudah, Adrian.” Adrian membuang wajahnya. “Mas, hanya satu bulan. Kasihan mama. Mama tidak akan setiap hari di rumah, karena—harus menunggu papa di rumah sakit.” Adrian berjalan melewati Wini ke kamar. Tangannya dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Berbagi Suami   42. Pertengkaran

    “Iya, mama bersedia Adrian. Mana uangnya? Mama tidak mau kemalaman di jalan.” Adrian melepaskan genggaman tangannya pada Tania, “Aku ke atas dulu.” Setelah memastikan Adrian menaiki lift, mama mendekati Tania. “Bu, jangan ganggu non Tania.” Mbok Sayem dan pak Udin pasang badan menghalangi mama Wini sebelum mengganggu majikan mereka. “Saya hanya akan bicara dengan jalang itu.” “Biarkan saja mbok, pak Udin.” Mbok Sayem dan pak Udin mundur. “Ma, jangan bikin mas Adrian marah. Tolong mama jaga sikap pada Tania.” Mama tak menggubris larangan Wini. Mumpung menantunya sedang membawa uang di kamar, mama akan mengambil kesempatan ini untuk mengancam Tania. “Kamu benar-benar tidak malu menikahi menantu saya? Janin di kandungan kamu itu anak laki-laki lain. Bisa-bisanya kamu bersikap seolah nyonya di rumah ini. Kamu harusnya tahu diri. Kamu harus membiarkan Adrian hanya mencintai dan bersikap baik pada anak saya, Wini.” “Oh, begitu? Kenapa tidak tante saja yang bicara seperti

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Berbagi Suami   43. Perang Dingin

    Tania duduk dipinggiran ranjang setelah memastikan Adrian benar tidur. Ia lalu melirik sebuah botol obat yang terbuka. “Ini... obat apa?” Tania membaca tulisan yang ada di kemasan, “Obat tidur?” ia melirik tubuh Adrian yang meringkuk memunggunginya, “Mas, kamu harus sampai seperti ini menghadapi mama Wini?” Tania mengelus lengan kekar suaminya. Ponsel Adrian bergetar pendek di atas nakas. Tania mengabaikannya. Ia belum pernah menyentuh ponselnya sama sekali. Biarkan saja, paling hanya urusan pekerjaan. Drrrt~ Drrrrt~ “Aduh, gimana ini? Ada yang telpon.” Tania menggeser tubuhnya untuk bisa melihat penelpon. Ia mengernyit membaca nama kontaknya, “Kak Angga?” Tania membawa ponsel itu keluar kamar. Setelah sampai dibelakang rumah, ia mengangkat telpon itu, “Halo?” “Tan?” “Kak?” “Kamu—Adrian mana?” “Dia—udah tidur, kak.” “Jam segini? Ini baru jam sembilan.” “Hmmm, mas Adrian sedang banyak pekerjaan di kantor.” “Ah, iya. Ya sudah aku telpon lagi dia besok pagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Berbagi Suami   44. Kepicikan Wini

    Acara pertemuan antar investor bisnis akan digelar malam ini. Adrian mengajak Tania pulang lebih cepat untuk bersiap. Mereka baru saja sampai rumah, dan Wini menyambut mereka dengan membawakan pie apel buatannya ke ruang tamu. “Kamu mau makan sekarang, mas? Aku potongkan ya?” “Aku mau mandi.” “Kamu bisa mencobanya sedikit.” Wini memohon. Tania tahu Adrian masih melakukan perang dingin dengan Wini. Ia bergerak mengambil pisau dan memotong pie yang masih Wini pegangi, “Baunya enak sekali. Aku cicipi ya?” Wini tahu Tania sedang membantunya. Ia tersenyum dan senang madunya sudah berusaha membuat Adrian mau berbaikkan dengannya. “Hm... enak sekali. Mas, kamu coba ya? Aaaa.” Adrian menggeleng. “Ayolah, mas.” Adrian terpaksa membuka mulutnya. Ia mengigit pie apel yang Tania pegangi, “Cukup, aku mau mandi.” Wini menaruh piring pie dan menatap Adrian ragu, “Mas, aku boleh ikut ‘kan ke acara malam ini?” “Hm. Aku diberikan tiga tiket.” “Aku bersiap sekarang. Aku juga s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Berbagi Suami   45. Tidak Becus Jadi Suami

    Tania duduk sendirian di kamar. Ia tidak menyangka, rencana gilanya untuk menghilangkan undangan itu akan membuat Adrian semakin bertengkar dengan Wini. Padahal tujuannya adalah suaminya itu pergi berdua saja dengan istri pertamanya, agar mereka bisa berbaikkan. Ia mau minta maaf pun merasa akan memperumit masalah. Tentu Wini tidak akan marah, tapi beda dengan Adrian. Ia akan dituduh ikut campur urusan rumah tangga mereka. Tania bangkit. Ia keluar kamar berniat mencari Adrian untuk membahas soal pekerjaan, berusaha mengalihkan kemarahannya. “Mas Adrian tidur di kamar mana, ya?” Tania baru keluar dari lift lantai dua. Tania mendengar suara deheman Adrian. Suara itu berasal dari kamar sebelah kamar utama. Ia baru ingat kata mbok Sayem tadi, kalau Adrian dan Wini kini pisah kamar. “Apa gak papa kalau aku samperin mas Adrian?” Ia mengelus perutnya, “Apa aku bilang saja ingin perutku di elus? Ide bagus.” Tok-Tok-Tok “Mas?” Pintu dibuka, “Tan? Masuk.” Tania melirik kese

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Berbagi Suami   46. Mulai Egois

    Tania bangun dengan perasaan tidak karuan. Ia tidak melihat Adrian disampingnya seperti malam-malam sebelumnya. Ia pun hanya cuci muka dan gosok gigi sebelum keluar kamar untuk sarapan. Ia yang baru sampai dapur, melihat Adrian dan Wini keluar dari lift bersama. Mereka saling bergandengan. Rambut keduanya sama-sama basah. ‘Mereka—tidur berdua semalam?’ batin Tania. “Tan?” “Sayang?” Adrian berusaha mencium kening Tania, tapi ia menghindar. Tania menutup hidungnya, “Kalian bau. Maaf aku ke kamar saja.” “Tan?” Adrian berusaha menahan Tania. “Mas, gak papa, kasian Tania. Itu bawaan hamil.” Tania menutup pintu dengan cepat. Ia menangis ketika meyakini Adrian dan Wini sudah melewati malam panjang. “Aku—mencintai kamu, mas. Tapi tidak dengan statusmu sebagai suami Wini.” Seharian Tania tidak keluar kamar. Ia tidak lapar. Ia tidak minum setetes pun. Karena ia hanya mau sesuatu yang tak mungkin terkabulkan. Ia mau Adrian sepenuhnya. Sikap baik Adrian padanya sudah membius

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22

Bab terbaru

  • Berbagi Suami   79. Kondisi yang Buruk

    Orang yang berpura-pura menjadi ODGJ langsung pergi ketika banyak orang mendekati TKP, dimana Tania pingsan setelah di dorongnya. “Bu Tania, bu?” Bodyguard yang lain datang membawa banyak cup bubur kacang yang dipesan Tania, “Bu Tania!” “Telpon pak Adrian cepat!” Bodyguard dengan sigap memangku Tania yang tak sadarkan diri. Darah mengalir deras seperti sebelumnya setiap kali ia stress. Karena kalut, dan kebetulan ada taksi yang berhenti untuk melihat kerumunan, bodyguard membawa Tania ke rumah sakit menggunakan taksi. Untungnya di dekat sini ada rumah sakit. Kedua bodyguard memasang wajah takut pada kondisi Tania yang lebih buruk dari sebelumnya. Baru kali ini istri tuannya pingsan. Mereka tahu Adrian akan marah besar sebentar lagi. “Tania?” “Pak Adrian.” salah satu bodyguard mengangkat tangannya memberi petunjuk keberadaan mereka. “Bagaimana keadaannya?” “Dokter belum keluar, pak. Tadi samar kami dengar, bu Tania akan—dilakukan bedah caesar emergency sekarang.”

  • Berbagi Suami   78. Usaha Melenyapkan Tania

    Tania berjalan pagi sendiri ketika sinar matahari masih malu-malu menampakkan diri. Ia di ikuti dua bodyguard untuk berkeliling komplek. Adrian harus bersiap ke kantor, karena selama ia di rumah sakit, suaminya itu sama sekali tak memerdulikan pekerjaan. “Bu, apa ibu belum lelah?” tanya salah satu bodyguard yang berjalan dibelakang Tania. Tania membalikkan badan, “Lumayan, tapi saya masih kuat.” “Lebih baik ibu istirahat. Biar ibu minum dulu.” Tania mengangguk. Bodyguard lainnya yang sedari tadi mendorong kursi roda, memberikannya pada Tania, “Silakan, bu.” Tania duduk di kursi roda. “Minumnya mana?” tanya bodyguard pada rekannya. “Saya tidak bawa minum.” “Kan tadi saya suruh kamu bawa minum untuk bu Tania.” Tania tertawa, “Tidak perlu bertengkar. Kalian bisa membelinya di depan.” “Baik, bu. Saya belikan dulu.” satu bodyguard berlari menuju minimarket depan komplek. Tania melirik bodyguard lainnya, “Pak, saya boleh minta tolong?” “Boleh, bu, ada yang bisa say

  • Berbagi Suami   77. Keputusan Wini

    Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera

  • Berbagi Suami   76. Kekecewaan Tania

    Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid

  • Berbagi Suami   75. Pulang

    Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu

  • Berbagi Suami   74. Mengancam Tania

    “Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.

  • Berbagi Suami   73. Diujung Nyawa

    Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua

  • Berbagi Suami   72. Kehamilan yang Beresiko

    Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar

  • Berbagi Suami   71. Cinta Tulus Wini

    Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang

DMCA.com Protection Status