Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan
1 bulan sebelumnya... "Kamu akan mati, Romi!" teriak Tania dengan suara kencang mengalahkan musik. Beberapa pengunjung menoleh risih. Pekerja bar perempuan yang melayani Tania sedikit takut. Bodyguard yang berjaga terus melirik ke arah mereka, siap mengambil tindakan karena sedari tadi Tania terus bicara dan khawatir mengganggu yang lain. "Mati? Siapa yang akan mati?" pria yang baru datang itu duduk disebelah Tania. Tangannya mengangkat, "Pesanan seperti biasa."Pekerja bar yang berdiri memantau Tania mengangguk. Ia tentu tahu pesanan pelanggan setianya."Silakan, pak." Pria itu meneguk air haram pesanannya dengan ringan. Wajahnya tak berubah masam. Ia sudah terlalu sering minum, sehingga terasa seperti air mineral dimulutnya. "Kamu datang sendiri?" Tania bergeming. Ia asyik sendiri dengan gelasnya yang tinggal setengah minuman. "Aku bisa menemani kamu dan—”Tania melirik sekilas, "Saya tidak bicara dengan orang asing." Pria itu manggut-manggut. Ia menjulurkan tangan
Tania menuruni tangga dengan wajah pucat pasi. Ia baru saja memuntahkan semua sarapan yang baru saja masuk ke dalam perutnya. Itu sudah terjadi selama dua minggu terakhir.“Tan, kalau sakit kamu gak perlu kerja.” Mama menahan anak bungsunya diujung tangga.“Aku gak papa, ma."Mama mengusap lengan Tania yang terbalut blazer, “Mama tahu ini berat untukmu. Masalah Romi.... tidak perlu dipikirkan. Mama yakin kamu akan bertemu dengan pria yang tepat suatu saat.”Tania tersenyum kecut, “Aku berangkat, ma.”“Tan, mending kamu berangkat dengan papamu, ya? Kalian memang tidak satu kantor, tapi itu pasti gak masalah.”Tania mengangguk. Perutnya terlalu mual untuk banyak bicara, “Aku tunggu di ruang tamu.”Di ruang tamu, Tania belum sempat duduk di sofa, karena terdengar langkah kaki besar berasal dari tangga. Dimana ketika ia membalikkan badan, papanya yang dikenal sangat tegas menuruni tangga dengan wajah yang sudah lama tak ia lihat menahan marah seperti ini.Tania melihat mama menung
Sore hari selepas pulang dari kantor setelah mengurus surat pengunduran diri, Tania dipaksa menemui papa. Meski enggan, ia harus memenuhi perintah itu, dengan syarat mama harus ada disampingnya. Ia tidak akan pernah bisa menghadapi papa seorang diri.Di ruang keluarga, papa sudah menunggu. Papa tidak duduk. Beliau berdiri, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.“Karena Tania tidak tahu ayah dari janin yang dikandungnya, maka papa akan menikahkan Tania dengan Adrian Kiehl!” suara itu langsung meninggi. Papa benar-benar tak memberikan waktu Tania untuk bernafas.Tania yang belum sempat duduk, mendekati papa siap konfrontasi, “Pa! Adrian Kiehl bukannya sudah menikah?”Mama juga mendekati papa, “Papa tega menikahkan Tania dengan laki-laki beristri?”Papa membalikkan badan, “Kalian pikir ada lelaki yang mau menerima perempuan hamil yang tidak tahu siapa ayahnya, seperti Tania?”Tania dan mama terhenyak mendengar pertanyaan papa.“Tapi, pa—apa yang harus mama bilang ke keluarga
Tania tak berhenti menangis di kamar. Sedari ijab kabul, ia tak menemui siapapun diluar. Ia bahkan belum bertemu suaminya sendiri. Adrian Kiehl, pria beristri yang Tania kenal karena sering bertemu dalam pertemuan bisnis papa, sudah meminta waktu sebelum akad untuk bertemu dengannya. Tapi ia menolak mentah-mentah. Ia terlalu malu untuk menunjukkan wajah pada suaminya yang adalah suami orang.Pintu terbuka, mama berjalan resah mendekati ranjang, “Tan, papa minta kamu keluar.”“Ma,” Tania menggeleng, air matanya terus berderai, “Aku gak mau.”“Tan, banyak orang yang menanyakan kamu. Papa juga marah karena kamu tidak mau menemui tamu.”“Mama bilang ‘kan sama orang-orang kalau aku—sakit?”“Iya, tapi kamu tahu papamu seperti apa ‘kan?”Tania membuang mukanya. Ia jelas tahu sifat papa seperti apa. Mau dilawan bagaimana pun, papa akan tetap menguasai siapapun.“Kita sebentar saja disana. Nanti kamu bisa kembali kesini.”Tania terpaksa bangkit. Ia menuntun mama yang memiliki peras
Selesai acara, Tania memasuki mobil yang dibukakan supir. Ia begitu berat melepaskan pelukkan mama. Ia melambaikan tangan di jendela mobil pada mama, papa, dan Angga, kakaknya, serta Isti, iparnya.“Kamu baik-baik ya disana. Mama akan sering menjenguk kamu.”Tania mengangguk. Mobil berjalan diiringi air mata perpisahan Tania dan mama. Tania tak pernah membayangkan sebelumnya jika ia akan berpisah dengan mama secepat ini. “Kalian bisa bertemu satu minggu tiga kali. Aku tidak masalah.”Tania melirik Adrian yang duduk disampingnya, “Aku tidak bertanya pendapat kamu.”“Aku tidak akan melarang kamu melakukan apapun. Tapi aku lebih senang jika kamu selalu minta izin, atas setiap yang akan kamu lakukan. Itu artinya kamu menghargaiku.”Tania tak berniat membalas ucapan Adrian. Pikirannya jauh memikirkan kenapa bisa ia mengalami takdir ini. Ia tidak akan pernah lupa umpatan, cacian dan hinaan yang didengar sendiri ketika tak sengaja mendengar bahwa hampir semua asisten rumah tangga d
Tania tak membukakan pintu kamarnya ketika Adrian mengetuk. Ia enggan diganggu.“Kita harus tidur satu kamar, Tania.” Adrian berusaha merayu.“Kata siapa?”“Kita suami istri.”“Wini istrimu juga, tidur saja sama dia.”Adrian memainkan cincin nikah dijemarinya. Wini dan orang tuanya meminta ia tidur bersama Tania, sekalian mendekatinya secara alami. Tapi kalau begini mana mungkin ia bisa mendekati istri barunya.“Aku sudah hamil, kamu tidak perlu melakukan apapun.”“Aku hanya akan menemani kamu.”“Aku tidak biasa ditemani siapapun. Masuk saja ke kamar Wini.”“Tapi—”“Kamu akan membiarkan aku tidak tidur semalaman?”“Oke, aku ke kamar Wini. Kalau ada apa-apa kamu bisa telpon aku.”Tania tak menjawab.“Aku pergi.”Tania tak lagi menatap pintu setelah suara lift terdengar. Ia masih setia duduk di window seat sedari datang kesini. Memperhatikan dedaunan tertiup angin lebih menyenangkan dari pada bertemu dengan orang-orang di rumah ini.Tania membuka jendela, merasakan angin
Tania hanya menghabiskan waktu seharian di kamar. Ia tidak tahu aktivitas apa yang cocok dilakukan disini untuk membuang rasa bosannya. Pintu diketuk, “Tania. Ayo kita makan siang.” Tania bangkit. Ketika melangkah menuju pintu, ia berhenti. Sungguh tidak tahu malu ia menjadi nyonya di rumah ini. Ia hanya makan, tidur, dan berdiam diri di kamar. “Tan, ayo, mumpung masih hangat.” Pintu terbuka, Tania menatap Wini yang tersenyum menunggunya, “Aku akan makan nanti. Kamu duluan saja.” “Ada mas Adrian, dia mau kita makan bertiga.” Mendengar namanya, Tania justru ingin menghindar, bukan semangat untuk makan bersama. Wini menarik tangan Tania, “Tan, aku senang kalau kamu mau bergabung dengan kami. Yuk. Mas Adrian akan kembali ke kantor sebentar lagi.” Tania duduk disebelah Adrian. Ia hanya berdiam diri ketika Wini menyiukkan nasi dan lauknya, “Cukup.” Wini terus menyiukkan nasi dan lauk yang banyak untuk madunya, “Kamu harus makan yang banyak dan bergizi. Aku sengaja masak
Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan
Tiga tahun kemudian.... “Mama! Aku mau liat mama Wini ke rumah sakit!” teriak Noah sambil berlari-lari membawa selembar kertas yang sudah ia gambar. “Iya, tapi adek harus mandi dulu.” tutur Tania sambil membuka baju Seraphina, adik Noah. “Memang adek boleh ikut?” “Nggak, adek di rumah sama nenek. Tapi adek harus mandi dulu. Kakak Noah tunggu di depan ya, sama pak Udin.” “Oke.” Noah berlari ke depan, memamerkan gambarnya berisi dua mama, satu ayah, dirinya dan Seraphina. “Sayang...” “Aku di kamar bawah, mas!” Adrian menghampiri Tania. Ia mengecup pucuk kepala istrinya dari belakang, “Noah mana?” “Dia di depan. Dia begitu tidak sabar bertemu Wini.” Adrian tertawa. “Dia begitu tidak sabaran mirip kamu.” “Apa yang kamu katakan? Bukankah itu kamu?” Tania mendelik kesal, “Kalau kita tidak sabaran, Seraphina tidak akan ada di dunia ini.” “Mau aku tolong mandikan Sera?” “Tidak. Kamu temani Noah saja. Dia membawa oleh-oleh untuk Wini.” “Baiklah. Aku tunggu di de
Sudah satu minggu semua masih sama. Wini masih di ICU setelah dilakukan operasi untuk mengeluarkan pendarahan dalam jaringan otaknya. Ia terus berada di kesadaran koma, membuat Adrian dan Tania kehilangan minat hidup seperti semestinya. Mereka sama-sama tidak bicara dengan siapapun. Baik Adrian maupun Tania, merasa apa yang menimpa Wini belum bisa mereka terima. “Tania, Adrian, lebih baik kalian pulang. Mama yakin Wini akan segera bangun.” “Betul. Kita tidak pernah putus mendoakannya disini. Pulanglah, demi Noah.” Adrian melirik mama dan papa. Mereka terus menemaninya dan Tania di rumah sakit. Sedang ayah dan ibu belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan urusan mereka di luar negeri. “Mama tahu kalian terpukul. Tapi Wini tidak akan pernah mau kalian begini. Sudah satu minggu kalian tidak pulang. Kasihan Noah.” Adrian menggenggam tangan Tania, “Mama dan papa ada benarnya. Kita pulang. Kita masih memiliki tanggung jawab pada Noah.” “Wini...” “Iya, aku tahu kamu
Tania tidak bisa tidur mengingat ancaman mama Wini. Tadi begitu ia jatuh, ia langsung bangkit dan pergi. Ia menahan rasa nyeri dan takut pada Wini dan Adrian. Ia tidak mau merusak momen. Ceklek. “Kamu belum tidur?” Adrian mendekati ranjang. “Mas? Kenapa kesini? Ini jadwalmu bersama Wini.” Adrian tersenyum, “Kami sudah selesai.” “Lalu?” Tania takut Adrian akan minta jatah saat pikirannya sedang kalut. Adrian mengelus lengan Tania, “Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin tidur disini, memelukmu sampai pagi.” “Mas, lebih baik kamu tidur bersama Wini. Kamu bisa memeluknya sampai pagi.” “Dia memintaku kesini. Dia kelelahan dan tidak ingin diganggu.” “Hm begitu. Tidurlah disini.” Adrian benar-benar memeluk Tania sampai pagi. Malam ini Noah tidak terbangun untuk minum susu. Ketika di cek popoknya di pagi hari, tidak begitu penuh. Suaminya masih tidur. Tania yang terjaga semalaman enggan membangunkannya. Pintu terbuka. Wini tampak berbeda hari ini. Rambutn
Tania mengumumkan ia dan Adrian tidak jadi bercerai pada semua orang di rumah, juga pada mama-papa. Mereka menyambut berita dengan penuh suka cita. “Bagaimana untuk merayakan ini kita semua makan diluar?” Adrian menawari. “Aku setuju, mas. Aku rasa sedang malas masak. Jadi idemu sangatlah bagus.” “Aku juga setuju. Sepertinya kita perlu menunjukkan pada orang-orang, kalau memiliki dua istri dan berbagi suami tidak selamanya buruk.” Adrian tersenyum. Ia merentangkan kedua tangannya siap dipeluk kedua istrinya. Wini dan Tania memeluk Adrian. “Aku harap hubungan kita terus seperti ini, mas.” Wini menuturkan doanya. “Aku juga. Masalah pasti ada, tapi aku percaya kalau kita pasti selalu bisa melalui semuanya dengan baik.” Tania juga menuturkan doanya. “Pasti. Kita hanya perlu bersabar. Ayo bersiap. Aku tunggu istri-istri cantikku bersama tuan muda, Noah.” Semua tertawa. Wini dan Tania sudah siap. Mereka mengenakan gaun yang sudah dipesan Adrian secara khusus. Semua asi
Tania melirik Adrian, “Mas Adrian bilang, Noah—sakit.” Wini tersenyum, “Noah sehat. Mas Adrian yang sakit.” Tania lagi-lagi melirik Adrian, “Kamu tega membohongiku?” “Aku pikir kamu tidak akan datang, jika aku tidak bilang Noah sakit.” “Kamu tidak perlu bohong!” “Gendonglah Noah. Kamu berikan asi langsung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa jika dia bertanya ketika besar, siapakah yang mengurusnya saat ia masih bayi.” Tania menatap Noah. Ia menerimanya dari Wini, “Jaket ini...” “Noah selalu menangis jika baumu hilang, Tan. Mamamu sering datang kesini membawa baju-baju bekasmu untuk menemani Noah dan—mas Adrian tidur.” Wajah Adrian merah padam. “Jadi sekarang yang merindukanku ada dua orang?” pancing Tania. Wini tertawa, “Aku tinggal, aku akan buatkan kamu masakan yang enak. Berbincanglah dengan mas Adrian.” Tania dan Adrian diam saja setelah Wini pergi. Masing-masing dari mereka tidak tahu harus membicarakan apa. “Kamu tidak perlu memberikanku bodyguard lagi.
Dua bulan kemudian... Tania belum juga berani mengurus perceraiannya dengan Adrian. Ia malah menyibukkan diri bekerja di sebuah perusahaan yang masih terpaut dengan keluarga Kiehl. Ia tentu sudah mencari perusahaan yang tak mengenal Adrian sama sekali, tapi sulit. Ia pun akhirnya tahu, kalau kuasa keluarga Kiehl sangatlah besar, hingga koneksinya ada dimana-mana. Ia bekerja di divisi finance. “Tan, asi untuk Noah sudah ‘kan? Mama akan pergi sebentar lagi.” “Sudah, ma.” Tania melirik mama yang siap pergi, “Aku—akan ke kantor sekarang.” “Iya, hati-hati.” Tania menunggu mama menawarinya ikut ke rumah Wini, “Ma, aku belum sarapan.” “Kamu bisa bekal makan dari rumah dan sarapan di kantor. Nanti akan mbok siapkan.” Mama menenteng tas berisi asi dan baju-baju yang Tania belikan untuk Noah, “Mama pergi sekarang, ya? Mama kangen sekali dengan Noah. Papamu juga. Papa akan kesana sekalian ke kantor.” Tania mengangguk. Ia menatap punggung mama yang bergerak mendekati mobil. Tan
Tania selalu terbangun setiap jam karena mencari orang yang tidur disebelahnya. Kasur kosong dan terasa dingin. Hatinya menjadi sedih, mengingat biasanya Adrian atau Noah ada disampingnya, kini ia hanya tidur sendirian. “Tidak, Tan, kamu hanya belum terbiasa. Setelah ini kamu pasti akan menikmati hidup menjadi single parents dan independent woman.” Ia tak sabar mengurus perpindahan kerja dari perusahaan Adrian ke kantor lain. Ia akan berdiri diatas kakinya sendiri. Pengalaman kerjanya sudah cukup mumpuni untuk kembali memulai hidup yang baru. Ia akan membuktikan pada orang-orang, bahwa ia bisa hidup tanpa Adrian. Semalaman Tania merasa tidur bukanlah pilihan yang baik. Ia duduk termenung diatas ranjang, menatap kosong ke arah televisi yang menyala. “Noah sekarang sedang apa, ya?” ia melirik ponsel yang sedari tadi mati. Tidak ada notifikasi pesan masuk dari Wini ataupun Adrian yang memberi kabar soal Noah. “Apa mereka akan membawa Noah jauh dariku? Apa mereka akan pergi ke s
Tania menatap Noah yang sedang dipangku papa. Papa dan mama sama sekali tak mengecam keputusan Tania untuk memberikan Noah pada Adrian dan Wini. Mereka ingin melihat seberapa yakin anaknya ingin berpisah dengan Noah. Mobil Adrian datang. Ia masuk ke dalam rumah bersama Wini. Mata Adrian sama sekali dan melirik Tania, “Hai Noah. Mulai hari ini kamu ikut papa dan mama—Wini, ya?” Wini menatap Tania, “Tan, aku tidak akan membawa Noah jika kamu tidak mengizinkan.” “Ambillah. Aku tidak bisa menerima ayahnya. Aku takut sifat Noah akan menurun dengan baik. Aku takut menyakitinya. Semua baju, dan stok asi sudah aku taruh di tas. Aku akan kirimkan ke rumah melalui kurir, dan sesekali menjenguknya.” Papa memberikan Noah pada Wini. “Halo Noah, untuk sementara kamu sama mama Wini dulu, ya. Nanti kita akan hidup bersama lagi dengan papa Adrian dan mama Tania.” “Tidak ada kesempatan itu lagi, Win. Aku juga tidak akan membawa Noah. Adrian adalah papa kandungnya. Dia bilang ingin mene