Beranda / Rumah Tangga / Berbagi Suami / 1. Pria Asing di Bar

Share

Berbagi Suami
Berbagi Suami
Penulis: Rahmani Rima

1. Pria Asing di Bar

Penulis: Rahmani Rima
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-07 21:02:24

1 bulan sebelumnya...

"Kamu akan mati, Romi!" teriak Tania dengan suara kencang mengalahkan musik. Beberapa pengunjung menoleh risih.

Pekerja bar perempuan yang melayani Tania sedikit takut. Bodyguard yang berjaga terus melirik ke arah mereka, siap mengambil tindakan karena sedari tadi Tania terus bicara dan khawatir mengganggu yang lain.

"Mati? Siapa yang akan mati?" pria yang baru datang itu duduk disebelah Tania. Tangannya mengangkat, "Pesanan seperti biasa."

Pekerja bar yang berdiri memantau Tania mengangguk. Ia tentu tahu pesanan pelanggan setianya.

"Silakan, pak."

Pria itu meneguk air haram pesanannya dengan ringan. Wajahnya tak berubah masam. Ia sudah terlalu sering minum, sehingga terasa seperti air mineral dimulutnya.

"Kamu datang sendiri?"

Tania bergeming. Ia asyik sendiri dengan gelasnya yang tinggal setengah minuman.

"Aku bisa menemani kamu dan—”

Tania melirik sekilas, "Saya tidak bicara dengan orang asing."

Pria itu manggut-manggut. Ia menjulurkan tangannya, "Maka dari itu, kenalkan, saya—”

Tania menepak tangan itu kasar, "Dengar, semua laki-laki itu brengsek. Romi saja kekasihku yang katanya sangat mencintaiku, malah selingkuh dengan sekretarisnya. Apalagi kamu orang asing yang tidak ku tahu asal-usulnya."

Pria itu tersenyum, "Kalau begitu kamu salah. Saya bukan laki-laki seperti itu. Saya setia pada pasangan meskipun—”

Tania bangkit dari kursi. Ia berjalan sempoyongan tak tentu arah, "Tidak ada yang bertanya. Mbak, sudah saya bayar tadi. Ambil saja kembaliannya."

"Hei, kamu mau kemana?"

"Pulang."

Pria itu menahan lengan Tania, "Biar saya antarkan."

Tania menatap pria itu acuh tak acuh. Lengannya mendorong pelan tubuhnya, "Saya tidak butuh bantuan anda."

Tania menjauhi area meja bar. Ia berjalan sempoyongan mengikuti arah. Sejujurnya ia lupa kemana jalan keluar, ditambah lampu disko mengganggu penglihatannya yang tiba-tiba memburuk efek minuman haram itu.

“Sial! Lampunya sangat mengganggu.”

Masih setengah sadar, Tania berjalan sambil merogoh remot mobilnya di tas. Sudah dicari beberapa kali, remot itu tak pernah terjamah oleh tangannya. Ia pun terpaksa berjongkok di pojok ruangan.

Suara langkah kaki terdengar, "Mana remot mobilnya, biar saya antarkan pulang." pria itu berdiri dihadapan Tania, sengaja agar Tania tak punya pilihan untuk pergi.

Tania menggeleng, "Aku bisa pulang sendiri."

"Saya sebenarnya tidak begini, tapi pekerja bar memaksa saya membantu anda. Dia pasti khawatir karena punya kakak perempuan seusia anda Jadi izinkan saya bantu."

Tania berdiri mendorong tubuh pria itu, "Aku bilang bisa sendiri."

Pria itu membiarkan Tania berjalan ke depan. Ia ingin tahu sejauh apa perempuan keras kepala yang baru dikenalnya mampu melakukan semuanya sendiri.

Di parkiran, Tania malah terduduk lemas disamping mobil miliknya. Ia tak lagi merogoh tas tangannya untuk mencari remot mobil.

Pria itu bergerak mendekati, "Sudah ku bilang aku bantu."

Tak ada jawaban. Tania langsung hilang kesadaran karena tubuhnya tidak biasa menerima hampir tiga botol minuman yang sama sekali tak pernah disentuhnya selama 27 tahun hidup.

"Mbak?" pria itu berusaha membangunkan Tania dengan menepuk kedua sisi pipinya.

Mata Tania mengerjap. Pandangannya terasa berputar. Lampu diskotek sudah tak lagi menggangggu penglihatannya, tapi ia tetap tidak bisa melihat dengan jelas.

Pria berbadan jangkung itu merundukkan badan dihadapannya yang terkulai lemas. Wajahnya terlihat seperti Romi.

“Rom?”

“Hm? Mbak panggil saya—Romi?”

Tania berusaha bangkit dibantu pria itu. Ia melirik tamu yang baru datang, juga dua penjaga diskotek berbadan besar. Seketika wajah mereka berubah menjadi seperti Romi semua.

Tania menggelengkan kepala untuk mendapatkan kesadarannya, tapi yang terjadi malah badannya ambruk hingga harus dipangku pria asing yang sedari tadi mengganggunya.

Kini kesadaran Tania tak sepenuhnya hilang. Ia hanya merasakan kantuk yang teramat sehingga pasrah ketika tubuhnya dibawa kembali masuk ke dalam sebuah ruangan di diskotek.

Ketika tubuhnya diturunkan ke ranjang, Tania memegangi pipi pria yang membawanya, "Romi, aku sayang padamu, kamu tahu itu ‘kan?"

Pria itu menahan nafasnya ketika jaraknya dengan wajah Tania sangat dekat. Ia bahkan bisa merasakan hembusan nafas Tania yang bau alkohol bercampur dengan aroma Berry dari lipstik nude itu.

"Rom, apa yang harus aku lakukan untukmu? Kita akan tunangan satu bulan lagi, tapi kamu malah selingkuh. Apa kurangku?"

Pria itu tersenyum, "Mbak, saya bukan Romi."

Tania menaruh jari telunjuk dibibir pria itu, "Sssst. Kalau alasan kamu selingkuh dariku karena aku tak pernah memberikan tubuhku, maka lakukanlah sekarang."

"Hm?" mata pria itu membulat kaget.

Tania membuka satu persatu kancing blouse kerjanya, "Lakukan seperti yang kamu mau, Rom. Asal jangan pernah tinggalkan aku."

Pria itu meneguk ludahnya lagi ketika mata elangnya menatap dua aset Tania yang menyembul indah.

Tania mengambil kedua tangan pria itu dan menuntunnya untuk melakukan pemanasan, "Lakukanlah, Rom."

Mata pria itu fokus menatap dua benda yang tak pernah ia bayangkan akan ada sedekat ini dari pandangannya.

"Rom...." suara lenguhan Tania tak bisa membohongi. Sesuatu dibawah sana mendesak keluar tidak tahan, "Aku percaya kamu bisa membuatku suka dengan apapun yang kamu lakukan."

Pria itu menutup matanya.

“Sayang... aku cuma mau kamu malam ini.”

Pria itu bergerak membuka kancing kemejanya. Mumpung ada kesempatan, ia melumat bibir Tania dengan liar, dan semua terjadi seperti pinta Tania.

Bab terkait

  • Berbagi Suami   2. Penemuan Tespek

    Tania menuruni tangga dengan wajah pucat pasi. Ia baru saja memuntahkan semua sarapan yang baru saja masuk ke dalam perutnya. Itu sudah terjadi selama dua minggu terakhir.“Tan, kalau sakit kamu gak perlu kerja.” Mama menahan anak bungsunya diujung tangga.“Aku gak papa, ma."Mama mengusap lengan Tania yang terbalut blazer, “Mama tahu ini berat untukmu. Masalah Romi.... tidak perlu dipikirkan. Mama yakin kamu akan bertemu dengan pria yang tepat suatu saat.”Tania tersenyum kecut, “Aku berangkat, ma.”“Tan, mending kamu berangkat dengan papamu, ya? Kalian memang tidak satu kantor, tapi itu pasti gak masalah.”Tania mengangguk. Perutnya terlalu mual untuk banyak bicara, “Aku tunggu di ruang tamu.”Di ruang tamu, Tania belum sempat duduk di sofa, karena terdengar langkah kaki besar berasal dari tangga. Dimana ketika ia membalikkan badan, papanya yang dikenal sangat tegas menuruni tangga dengan wajah yang sudah lama tak ia lihat menahan marah seperti ini.Tania melihat mama menung

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Berbagi Suami   3. Keputusan Sepihak

    Sore hari selepas pulang dari kantor setelah mengurus surat pengunduran diri, Tania dipaksa menemui papa. Meski enggan, ia harus memenuhi perintah itu, dengan syarat mama harus ada disampingnya. Ia tidak akan pernah bisa menghadapi papa seorang diri.Di ruang keluarga, papa sudah menunggu. Papa tidak duduk. Beliau berdiri, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.“Karena Tania tidak tahu ayah dari janin yang dikandungnya, maka papa akan menikahkan Tania dengan Adrian Kiehl!” suara itu langsung meninggi. Papa benar-benar tak memberikan waktu Tania untuk bernafas.Tania yang belum sempat duduk, mendekati papa siap konfrontasi, “Pa! Adrian Kiehl bukannya sudah menikah?”Mama juga mendekati papa, “Papa tega menikahkan Tania dengan laki-laki beristri?”Papa membalikkan badan, “Kalian pikir ada lelaki yang mau menerima perempuan hamil yang tidak tahu siapa ayahnya, seperti Tania?”Tania dan mama terhenyak mendengar pertanyaan papa.“Tapi, pa—apa yang harus mama bilang ke keluarga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Berbagi Suami   4. Pernikahan Penuh Duka

    Tania tak berhenti menangis di kamar. Sedari ijab kabul, ia tak menemui siapapun diluar. Ia bahkan belum bertemu suaminya sendiri. Adrian Kiehl, pria beristri yang Tania kenal karena sering bertemu dalam pertemuan bisnis papa, sudah meminta waktu sebelum akad untuk bertemu dengannya. Tapi ia menolak mentah-mentah. Ia terlalu malu untuk menunjukkan wajah pada suaminya yang adalah suami orang.Pintu terbuka, mama berjalan resah mendekati ranjang, “Tan, papa minta kamu keluar.”“Ma,” Tania menggeleng, air matanya terus berderai, “Aku gak mau.”“Tan, banyak orang yang menanyakan kamu. Papa juga marah karena kamu tidak mau menemui tamu.”“Mama bilang ‘kan sama orang-orang kalau aku—sakit?”“Iya, tapi kamu tahu papamu seperti apa ‘kan?”Tania membuang mukanya. Ia jelas tahu sifat papa seperti apa. Mau dilawan bagaimana pun, papa akan tetap menguasai siapapun.“Kita sebentar saja disana. Nanti kamu bisa kembali kesini.”Tania terpaksa bangkit. Ia menuntun mama yang memiliki peras

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Berbagi Suami   5. Malam Pertama di Rumah Kiehl

    Selesai acara, Tania memasuki mobil yang dibukakan supir. Ia begitu berat melepaskan pelukkan mama. Ia melambaikan tangan di jendela mobil pada mama, papa, dan Angga, kakaknya, serta Isti, iparnya.“Kamu baik-baik ya disana. Mama akan sering menjenguk kamu.”Tania mengangguk. Mobil berjalan diiringi air mata perpisahan Tania dan mama. Tania tak pernah membayangkan sebelumnya jika ia akan berpisah dengan mama secepat ini. “Kalian bisa bertemu satu minggu tiga kali. Aku tidak masalah.”Tania melirik Adrian yang duduk disampingnya, “Aku tidak bertanya pendapat kamu.”“Aku tidak akan melarang kamu melakukan apapun. Tapi aku lebih senang jika kamu selalu minta izin, atas setiap yang akan kamu lakukan. Itu artinya kamu menghargaiku.”Tania tak berniat membalas ucapan Adrian. Pikirannya jauh memikirkan kenapa bisa ia mengalami takdir ini. Ia tidak akan pernah lupa umpatan, cacian dan hinaan yang didengar sendiri ketika tak sengaja mendengar bahwa hampir semua asisten rumah tangga d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Berbagi Suami   6. Kedatangan Romi

    Tania tak membukakan pintu kamarnya ketika Adrian mengetuk. Ia enggan diganggu.“Kita harus tidur satu kamar, Tania.” Adrian berusaha merayu.“Kata siapa?”“Kita suami istri.”“Wini istrimu juga, tidur saja sama dia.”Adrian memainkan cincin nikah dijemarinya. Wini dan orang tuanya meminta ia tidur bersama Tania, sekalian mendekatinya secara alami. Tapi kalau begini mana mungkin ia bisa mendekati istri barunya.“Aku sudah hamil, kamu tidak perlu melakukan apapun.”“Aku hanya akan menemani kamu.”“Aku tidak biasa ditemani siapapun. Masuk saja ke kamar Wini.”“Tapi—”“Kamu akan membiarkan aku tidak tidur semalaman?”“Oke, aku ke kamar Wini. Kalau ada apa-apa kamu bisa telpon aku.”Tania tak menjawab.“Aku pergi.”Tania tak lagi menatap pintu setelah suara lift terdengar. Ia masih setia duduk di window seat sedari datang kesini. Memperhatikan dedaunan tertiup angin lebih menyenangkan dari pada bertemu dengan orang-orang di rumah ini.Tania membuka jendela, merasakan angin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Berbagi Suami   7. Berbagi Suami

    Tania hanya menghabiskan waktu seharian di kamar. Ia tidak tahu aktivitas apa yang cocok dilakukan disini untuk membuang rasa bosannya. Pintu diketuk, “Tania. Ayo kita makan siang.” Tania bangkit. Ketika melangkah menuju pintu, ia berhenti. Sungguh tidak tahu malu ia menjadi nyonya di rumah ini. Ia hanya makan, tidur, dan berdiam diri di kamar. “Tan, ayo, mumpung masih hangat.” Pintu terbuka, Tania menatap Wini yang tersenyum menunggunya, “Aku akan makan nanti. Kamu duluan saja.” “Ada mas Adrian, dia mau kita makan bertiga.” Mendengar namanya, Tania justru ingin menghindar, bukan semangat untuk makan bersama. Wini menarik tangan Tania, “Tan, aku senang kalau kamu mau bergabung dengan kami. Yuk. Mas Adrian akan kembali ke kantor sebentar lagi.” Tania duduk disebelah Adrian. Ia hanya berdiam diri ketika Wini menyiukkan nasi dan lauknya, “Cukup.” Wini terus menyiukkan nasi dan lauk yang banyak untuk madunya, “Kamu harus makan yang banyak dan bergizi. Aku sengaja masak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Berbagi Suami   8. Menjaga Perasaan Madu

    Tania sudah menghabiskan dua porsi steik Sapi yang ia pesan online. Ia makan buru-buru sebelum Adrian pulang dari kantor. Ia tidak tahu jam kepulangan suaminya itu. Semenjak hamil, porsi makan Tania memang meningkat tajam. Ia sangat tersiksa ketika harus makan bersama Wini dan Adrian, karena ia jadi tidak bebas menambah porsi. Tania menutup dus steik dan mengelap mulutnya dengan tisu. Ketika itu Wini menghampirinya. “Kamu... habis makan apa, Tan?” Tania diam sejenak, ia takut Wini tersinggung karena ia memesan makanan online tanpa menawarinya. “Hmmm... bau apa ini, kamu masak Steik?” Adrian datang. Ia berjalan melipat lengan kemejanya. Wini melirikku, “Eum... enggak, mas, itu—” Mata Adrian menatap dua buah dus steik dan beberapa wadah makanan lain yang tersebar di meja sofa ruang santai. Tania membereskan semua sampah miliknya dan bangkit, “Maaf, aku permisi.” Adrian menahan lengan Tania, “Kamu masih lapar?” “Hm?” “Untuk merayakan keberadaan Tania di rumah ini,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Berbagi Suami   9. Kaktus Pertahanan

    Semalam, Tania masih aman. Ia tidak menjawab ucapan Adrian sama sekali dan berjalan cepat menuju kamar dan menguncinya. Jangan sampai mereka tidur satu kamar. Selain untuk menjaga perasaan Wini, ia juga enggan berbagi ranjang dengan lelaki asing. Masih terekam jelas kebodohannya satu bulan lalu, karena ia terlalu mabuk, Tania membiarkan dirinya dibawa pria asing ke sebuah kamar haram di diskotek. Sialnya ia tidak mengingat wajah itu sama sekali. Pagi ini, Tania bangun seperti biasa. Ia hanya terus diam di kamar dan tak menjawab semua orang seolah masih tidur. Ia menunggu mobil Adrian pergi. Dan barusan, mobil itu terdengar menjauhi pekarangan rumah. “Kamu sudah bangun?” Tania terperanjat ketika Wini tahu-tahu duduk di sofa yang tak jauh dari letak kamarnya, begitu ia keluar kamar. “Ya. Aku tidak akan keluar kalau masih tidur.” Wini bangkit, “Kamu kenapa seperti ini?” “Apanya?” “Kamu keluar kamar menunggu mas Adrian pergi? Kenapa?” Tania berjalan tanpa memerdulikan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04

Bab terbaru

  • Berbagi Suami   77. Keputusan Wini

    Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera

  • Berbagi Suami   76. Kekecewaan Tania

    Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid

  • Berbagi Suami   75. Pulang

    Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu

  • Berbagi Suami   74. Mengancam Tania

    “Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.

  • Berbagi Suami   73. Diujung Nyawa

    Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua

  • Berbagi Suami   72. Kehamilan yang Beresiko

    Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar

  • Berbagi Suami   71. Cinta Tulus Wini

    Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang

  • Berbagi Suami   70. Memaksa Tania Pulang

    Papa bangkit dari kursi dengan cepat, membuat kursinya terjatuh dan membuat Tania nyaris jantungan. “Pa, tahan emosi papa. Ingat, Tania sedang hamil.” mama takut papa akan menampar Tania. Tania menahan air matanya ketika papa mendekatinya, “Pa—” Papa mengelus perut Tania, “Anak ini—membutuhkan Adrian.” Tania menitikan air matanya. Ia pikir papa akan marah besar. Ternyata suaranya sangat tenang. “Semua orang tahu ini anak Adrian. Kalau kamu berniat memberikan anak ini untuk kakakmu, apa kata orang?” Mama mendekati Tania, “Tan, papamu benar. Masalah Angga dan Isti yang—akan sulit punya keturunan, itu bukan urusan kamu. Tidak ada kewajiban kamu sedikitpun untuk membahagiakan mereka dengan kamu memberikan anakmu pada mereka.” “Tania, dengar papa, alasan papa menikahkan kamu dengan Adrian bukan hanya karena untuk menutupi aib keluarga, tapi lebih dari itu. Kamu pasti merasakan sikap baik mereka ‘kan? Adrian adalah suami yang baik, kedua orang tuanya juga. Kamu tidak bahagia m

  • Berbagi Suami   69. Menghakimi Adrian

    Ibu memegani dua bahu Tania, “Bilang pada kami, apa yang Adrian lakukan, Tania?” “Mas Adrian—hampir mencelakai anak ini, bu. Dia—bermain sangat kasar tadi, heu heu heu.” Ibu dan ayah beradu pandang. “Adrian!” Ayah berteriak kencang, “Kemari kamu!” Ibu bergerak memeluk Tania, “Maafkan ibu yang tidak bisa menjaga kamu, sayang.” Adrian keluar dari kamar dengan mata merah. Ia baru saja terlelap setelah bertarung, kenapa ayah memanggilnya seperti akan marah? Ayah menampar Adrian dengan kencang, “Keterlaluan kamu!” “Yah? Kenapa ayah tampar aku?” “Berani kamu bertanya begitu? Kamu tidak berpikir, tindakanmu bisa membahayakan Tania dan anaknya!” Mbok Sayem dan dua ART, serta dua bodyguard mendekati ruang tengah. Mereka penasaran apa yang sedang terjadi dengan tuan-tuan mereka. Melihat banyak orang menguping, ayah mengkode Adrian untuk mengikutinya ke ruangan khusus. “Kalian kembali ke kamar.” pinta ibu. “Ba-baik, bu.” Ibu mengajak Tania pergi ke ruang kerja Adrian.

DMCA.com Protection Status