1 bulan sebelumnya...
"Kamu akan mati, Romi!" teriak Tania dengan suara kencang mengalahkan musik. Beberapa pengunjung menoleh risih. Pekerja bar perempuan yang melayani Tania sedikit takut. Bodyguard yang berjaga terus melirik ke arah mereka, siap mengambil tindakan karena sedari tadi Tania terus bicara dan khawatir mengganggu yang lain. "Mati? Siapa yang akan mati?" pria yang baru datang itu duduk disebelah Tania. Tangannya mengangkat, "Pesanan seperti biasa." Pekerja bar yang berdiri memantau Tania mengangguk. Ia tentu tahu pesanan pelanggan setianya. "Silakan, pak." Pria itu meneguk air haram pesanannya dengan ringan. Wajahnya tak berubah masam. Ia sudah terlalu sering minum, sehingga terasa seperti air mineral dimulutnya. "Kamu datang sendiri?" Tania bergeming. Ia asyik sendiri dengan gelasnya yang tinggal setengah minuman. "Aku bisa menemani kamu dan—” Tania melirik sekilas, "Saya tidak bicara dengan orang asing." Pria itu manggut-manggut. Ia menjulurkan tangannya, "Maka dari itu, kenalkan, saya—” Tania menepak tangan itu kasar, "Dengar, semua laki-laki itu brengsek. Romi saja kekasihku yang katanya sangat mencintaiku, malah selingkuh dengan sekretarisnya. Apalagi kamu orang asing yang tidak ku tahu asal-usulnya." Pria itu tersenyum, "Kalau begitu kamu salah. Saya bukan laki-laki seperti itu. Saya setia pada pasangan meskipun—” Tania bangkit dari kursi. Ia berjalan sempoyongan tak tentu arah, "Tidak ada yang bertanya. Mbak, sudah saya bayar tadi. Ambil saja kembaliannya." "Hei, kamu mau kemana?" "Pulang." Pria itu menahan lengan Tania, "Biar saya antarkan." Tania menatap pria itu acuh tak acuh. Lengannya mendorong pelan tubuhnya, "Saya tidak butuh bantuan anda." Tania menjauhi area meja bar. Ia berjalan sempoyongan mengikuti arah. Sejujurnya ia lupa kemana jalan keluar, ditambah lampu disko mengganggu penglihatannya yang tiba-tiba memburuk efek minuman haram itu. “Sial! Lampunya sangat mengganggu.” Masih setengah sadar, Tania berjalan sambil merogoh remot mobilnya di tas. Sudah dicari beberapa kali, remot itu tak pernah terjamah oleh tangannya. Ia pun terpaksa berjongkok di pojok ruangan. Suara langkah kaki terdengar, "Mana remot mobilnya, biar saya antarkan pulang." pria itu berdiri dihadapan Tania, sengaja agar Tania tak punya pilihan untuk pergi. Tania menggeleng, "Aku bisa pulang sendiri." "Saya sebenarnya tidak begini, tapi pekerja bar memaksa saya membantu anda. Dia pasti khawatir karena punya kakak perempuan seusia anda Jadi izinkan saya bantu." Tania berdiri mendorong tubuh pria itu, "Aku bilang bisa sendiri." Pria itu membiarkan Tania berjalan ke depan. Ia ingin tahu sejauh apa perempuan keras kepala yang baru dikenalnya mampu melakukan semuanya sendiri. Di parkiran, Tania malah terduduk lemas disamping mobil miliknya. Ia tak lagi merogoh tas tangannya untuk mencari remot mobil. Pria itu bergerak mendekati, "Sudah ku bilang aku bantu." Tak ada jawaban. Tania langsung hilang kesadaran karena tubuhnya tidak biasa menerima hampir tiga botol minuman yang sama sekali tak pernah disentuhnya selama 27 tahun hidup. "Mbak?" pria itu berusaha membangunkan Tania dengan menepuk kedua sisi pipinya. Mata Tania mengerjap. Pandangannya terasa berputar. Lampu diskotek sudah tak lagi menggangggu penglihatannya, tapi ia tetap tidak bisa melihat dengan jelas. Pria berbadan jangkung itu merundukkan badan dihadapannya yang terkulai lemas. Wajahnya terlihat seperti Romi. “Rom?” “Hm? Mbak panggil saya—Romi?” Tania berusaha bangkit dibantu pria itu. Ia melirik tamu yang baru datang, juga dua penjaga diskotek berbadan besar. Seketika wajah mereka berubah menjadi seperti Romi semua. Tania menggelengkan kepala untuk mendapatkan kesadarannya, tapi yang terjadi malah badannya ambruk hingga harus dipangku pria asing yang sedari tadi mengganggunya. Kini kesadaran Tania tak sepenuhnya hilang. Ia hanya merasakan kantuk yang teramat sehingga pasrah ketika tubuhnya dibawa kembali masuk ke dalam sebuah ruangan di diskotek. Ketika tubuhnya diturunkan ke ranjang, Tania memegangi pipi pria yang membawanya, "Romi, aku sayang padamu, kamu tahu itu ‘kan?" Pria itu menahan nafasnya ketika jaraknya dengan wajah Tania sangat dekat. Ia bahkan bisa merasakan hembusan nafas Tania yang bau alkohol bercampur dengan aroma Berry dari lipstik nude itu. "Rom, apa yang harus aku lakukan untukmu? Kita akan tunangan satu bulan lagi, tapi kamu malah selingkuh. Apa kurangku?" Pria itu tersenyum, "Mbak, saya bukan Romi." Tania menaruh jari telunjuk dibibir pria itu, "Sssst. Kalau alasan kamu selingkuh dariku karena aku tak pernah memberikan tubuhku, maka lakukanlah sekarang." "Hm?" mata pria itu membulat kaget. Tania membuka satu persatu kancing blouse kerjanya, "Lakukan seperti yang kamu mau, Rom. Asal jangan pernah tinggalkan aku." Pria itu meneguk ludahnya lagi ketika mata elangnya menatap dua aset Tania yang menyembul indah. Tania mengambil kedua tangan pria itu dan menuntunnya untuk melakukan pemanasan, "Lakukanlah, Rom." Mata pria itu fokus menatap dua benda yang tak pernah ia bayangkan akan ada sedekat ini dari pandangannya. "Rom...." suara lenguhan Tania tak bisa membohongi. Sesuatu dibawah sana mendesak keluar tidak tahan, "Aku percaya kamu bisa membuatku suka dengan apapun yang kamu lakukan." Pria itu menutup matanya. “Sayang... aku cuma mau kamu malam ini.” Pria itu bergerak membuka kancing kemejanya. Mumpung ada kesempatan, ia melumat bibir Tania dengan liar, dan semua terjadi seperti pinta Tania.Tania menuruni tangga dengan wajah pucat pasi. Ia baru saja memuntahkan semua sarapan yang baru saja masuk ke dalam perutnya. Itu sudah terjadi selama dua minggu terakhir.“Tan, kalau sakit kamu gak perlu kerja.” Mama menahan anak bungsunya diujung tangga.“Aku gak papa, ma."Mama mengusap lengan Tania yang terbalut blazer, “Mama tahu ini berat untukmu. Masalah Romi.... tidak perlu dipikirkan. Mama yakin kamu akan bertemu dengan pria yang tepat suatu saat.”Tania tersenyum kecut, “Aku berangkat, ma.”“Tan, mending kamu berangkat dengan papamu, ya? Kalian memang tidak satu kantor, tapi itu pasti gak masalah.”Tania mengangguk. Perutnya terlalu mual untuk banyak bicara, “Aku tunggu di ruang tamu.”Di ruang tamu, Tania belum sempat duduk di sofa, karena terdengar langkah kaki besar berasal dari tangga. Dimana ketika ia membalikkan badan, papanya yang dikenal sangat tegas menuruni tangga dengan wajah yang sudah lama tak ia lihat menahan marah seperti ini.Tania melihat mama menung
Sore hari selepas pulang dari kantor setelah mengurus surat pengunduran diri, Tania dipaksa menemui papa. Meski enggan, ia harus memenuhi perintah itu, dengan syarat mama harus ada disampingnya. Ia tidak akan pernah bisa menghadapi papa seorang diri.Di ruang keluarga, papa sudah menunggu. Papa tidak duduk. Beliau berdiri, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.“Karena Tania tidak tahu ayah dari janin yang dikandungnya, maka papa akan menikahkan Tania dengan Adrian Kiehl!” suara itu langsung meninggi. Papa benar-benar tak memberikan waktu Tania untuk bernafas.Tania yang belum sempat duduk, mendekati papa siap konfrontasi, “Pa! Adrian Kiehl bukannya sudah menikah?”Mama juga mendekati papa, “Papa tega menikahkan Tania dengan laki-laki beristri?”Papa membalikkan badan, “Kalian pikir ada lelaki yang mau menerima perempuan hamil yang tidak tahu siapa ayahnya, seperti Tania?”Tania dan mama terhenyak mendengar pertanyaan papa.“Tapi, pa—apa yang harus mama bilang ke keluarga
Tania tak berhenti menangis di kamar. Sedari ijab kabul, ia tak menemui siapapun diluar. Ia bahkan belum bertemu suaminya sendiri. Adrian Kiehl, pria beristri yang Tania kenal karena sering bertemu dalam pertemuan bisnis papa, sudah meminta waktu sebelum akad untuk bertemu dengannya. Tapi ia menolak mentah-mentah. Ia terlalu malu untuk menunjukkan wajah pada suaminya yang adalah suami orang.Pintu terbuka, mama berjalan resah mendekati ranjang, “Tan, papa minta kamu keluar.”“Ma,” Tania menggeleng, air matanya terus berderai, “Aku gak mau.”“Tan, banyak orang yang menanyakan kamu. Papa juga marah karena kamu tidak mau menemui tamu.”“Mama bilang ‘kan sama orang-orang kalau aku—sakit?”“Iya, tapi kamu tahu papamu seperti apa ‘kan?”Tania membuang mukanya. Ia jelas tahu sifat papa seperti apa. Mau dilawan bagaimana pun, papa akan tetap menguasai siapapun.“Kita sebentar saja disana. Nanti kamu bisa kembali kesini.”Tania terpaksa bangkit. Ia menuntun mama yang memiliki peras
Selesai acara, Tania memasuki mobil yang dibukakan supir. Ia begitu berat melepaskan pelukkan mama. Ia melambaikan tangan di jendela mobil pada mama, papa, dan Angga, kakaknya, serta Isti, iparnya.“Kamu baik-baik ya disana. Mama akan sering menjenguk kamu.”Tania mengangguk. Mobil berjalan diiringi air mata perpisahan Tania dan mama. Tania tak pernah membayangkan sebelumnya jika ia akan berpisah dengan mama secepat ini. “Kalian bisa bertemu satu minggu tiga kali. Aku tidak masalah.”Tania melirik Adrian yang duduk disampingnya, “Aku tidak bertanya pendapat kamu.”“Aku tidak akan melarang kamu melakukan apapun. Tapi aku lebih senang jika kamu selalu minta izin, atas setiap yang akan kamu lakukan. Itu artinya kamu menghargaiku.”Tania tak berniat membalas ucapan Adrian. Pikirannya jauh memikirkan kenapa bisa ia mengalami takdir ini. Ia tidak akan pernah lupa umpatan, cacian dan hinaan yang didengar sendiri ketika tak sengaja mendengar bahwa hampir semua asisten rumah tangga d
Tania tak membukakan pintu kamarnya ketika Adrian mengetuk. Ia enggan diganggu.“Kita harus tidur satu kamar, Tania.” Adrian berusaha merayu.“Kata siapa?”“Kita suami istri.”“Wini istrimu juga, tidur saja sama dia.”Adrian memainkan cincin nikah dijemarinya. Wini dan orang tuanya meminta ia tidur bersama Tania, sekalian mendekatinya secara alami. Tapi kalau begini mana mungkin ia bisa mendekati istri barunya.“Aku sudah hamil, kamu tidak perlu melakukan apapun.”“Aku hanya akan menemani kamu.”“Aku tidak biasa ditemani siapapun. Masuk saja ke kamar Wini.”“Tapi—”“Kamu akan membiarkan aku tidak tidur semalaman?”“Oke, aku ke kamar Wini. Kalau ada apa-apa kamu bisa telpon aku.”Tania tak menjawab.“Aku pergi.”Tania tak lagi menatap pintu setelah suara lift terdengar. Ia masih setia duduk di window seat sedari datang kesini. Memperhatikan dedaunan tertiup angin lebih menyenangkan dari pada bertemu dengan orang-orang di rumah ini.Tania membuka jendela, merasakan angin
Tania hanya menghabiskan waktu seharian di kamar. Ia tidak tahu aktivitas apa yang cocok dilakukan disini untuk membuang rasa bosannya. Pintu diketuk, “Tania. Ayo kita makan siang.” Tania bangkit. Ketika melangkah menuju pintu, ia berhenti. Sungguh tidak tahu malu ia menjadi nyonya di rumah ini. Ia hanya makan, tidur, dan berdiam diri di kamar. “Tan, ayo, mumpung masih hangat.” Pintu terbuka, Tania menatap Wini yang tersenyum menunggunya, “Aku akan makan nanti. Kamu duluan saja.” “Ada mas Adrian, dia mau kita makan bertiga.” Mendengar namanya, Tania justru ingin menghindar, bukan semangat untuk makan bersama. Wini menarik tangan Tania, “Tan, aku senang kalau kamu mau bergabung dengan kami. Yuk. Mas Adrian akan kembali ke kantor sebentar lagi.” Tania duduk disebelah Adrian. Ia hanya berdiam diri ketika Wini menyiukkan nasi dan lauknya, “Cukup.” Wini terus menyiukkan nasi dan lauk yang banyak untuk madunya, “Kamu harus makan yang banyak dan bergizi. Aku sengaja masak
Tania sudah menghabiskan dua porsi steik Sapi yang ia pesan online. Ia makan buru-buru sebelum Adrian pulang dari kantor. Ia tidak tahu jam kepulangan suaminya itu. Semenjak hamil, porsi makan Tania memang meningkat tajam. Ia sangat tersiksa ketika harus makan bersama Wini dan Adrian, karena ia jadi tidak bebas menambah porsi. Tania menutup dus steik dan mengelap mulutnya dengan tisu. Ketika itu Wini menghampirinya. “Kamu... habis makan apa, Tan?” Tania diam sejenak, ia takut Wini tersinggung karena ia memesan makanan online tanpa menawarinya. “Hmmm... bau apa ini, kamu masak Steik?” Adrian datang. Ia berjalan melipat lengan kemejanya. Wini melirikku, “Eum... enggak, mas, itu—” Mata Adrian menatap dua buah dus steik dan beberapa wadah makanan lain yang tersebar di meja sofa ruang santai. Tania membereskan semua sampah miliknya dan bangkit, “Maaf, aku permisi.” Adrian menahan lengan Tania, “Kamu masih lapar?” “Hm?” “Untuk merayakan keberadaan Tania di rumah ini,
Semalam, Tania masih aman. Ia tidak menjawab ucapan Adrian sama sekali dan berjalan cepat menuju kamar dan menguncinya. Jangan sampai mereka tidur satu kamar. Selain untuk menjaga perasaan Wini, ia juga enggan berbagi ranjang dengan lelaki asing. Masih terekam jelas kebodohannya satu bulan lalu, karena ia terlalu mabuk, Tania membiarkan dirinya dibawa pria asing ke sebuah kamar haram di diskotek. Sialnya ia tidak mengingat wajah itu sama sekali. Pagi ini, Tania bangun seperti biasa. Ia hanya terus diam di kamar dan tak menjawab semua orang seolah masih tidur. Ia menunggu mobil Adrian pergi. Dan barusan, mobil itu terdengar menjauhi pekarangan rumah. “Kamu sudah bangun?” Tania terperanjat ketika Wini tahu-tahu duduk di sofa yang tak jauh dari letak kamarnya, begitu ia keluar kamar. “Ya. Aku tidak akan keluar kalau masih tidur.” Wini bangkit, “Kamu kenapa seperti ini?” “Apanya?” “Kamu keluar kamar menunggu mas Adrian pergi? Kenapa?” Tania berjalan tanpa memerdulikan
Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan
Tiga tahun kemudian.... “Mama! Aku mau liat mama Wini ke rumah sakit!” teriak Noah sambil berlari-lari membawa selembar kertas yang sudah ia gambar. “Iya, tapi adek harus mandi dulu.” tutur Tania sambil membuka baju Seraphina, adik Noah. “Memang adek boleh ikut?” “Nggak, adek di rumah sama nenek. Tapi adek harus mandi dulu. Kakak Noah tunggu di depan ya, sama pak Udin.” “Oke.” Noah berlari ke depan, memamerkan gambarnya berisi dua mama, satu ayah, dirinya dan Seraphina. “Sayang...” “Aku di kamar bawah, mas!” Adrian menghampiri Tania. Ia mengecup pucuk kepala istrinya dari belakang, “Noah mana?” “Dia di depan. Dia begitu tidak sabar bertemu Wini.” Adrian tertawa. “Dia begitu tidak sabaran mirip kamu.” “Apa yang kamu katakan? Bukankah itu kamu?” Tania mendelik kesal, “Kalau kita tidak sabaran, Seraphina tidak akan ada di dunia ini.” “Mau aku tolong mandikan Sera?” “Tidak. Kamu temani Noah saja. Dia membawa oleh-oleh untuk Wini.” “Baiklah. Aku tunggu di de
Sudah satu minggu semua masih sama. Wini masih di ICU setelah dilakukan operasi untuk mengeluarkan pendarahan dalam jaringan otaknya. Ia terus berada di kesadaran koma, membuat Adrian dan Tania kehilangan minat hidup seperti semestinya. Mereka sama-sama tidak bicara dengan siapapun. Baik Adrian maupun Tania, merasa apa yang menimpa Wini belum bisa mereka terima. “Tania, Adrian, lebih baik kalian pulang. Mama yakin Wini akan segera bangun.” “Betul. Kita tidak pernah putus mendoakannya disini. Pulanglah, demi Noah.” Adrian melirik mama dan papa. Mereka terus menemaninya dan Tania di rumah sakit. Sedang ayah dan ibu belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan urusan mereka di luar negeri. “Mama tahu kalian terpukul. Tapi Wini tidak akan pernah mau kalian begini. Sudah satu minggu kalian tidak pulang. Kasihan Noah.” Adrian menggenggam tangan Tania, “Mama dan papa ada benarnya. Kita pulang. Kita masih memiliki tanggung jawab pada Noah.” “Wini...” “Iya, aku tahu kamu
Tania tidak bisa tidur mengingat ancaman mama Wini. Tadi begitu ia jatuh, ia langsung bangkit dan pergi. Ia menahan rasa nyeri dan takut pada Wini dan Adrian. Ia tidak mau merusak momen. Ceklek. “Kamu belum tidur?” Adrian mendekati ranjang. “Mas? Kenapa kesini? Ini jadwalmu bersama Wini.” Adrian tersenyum, “Kami sudah selesai.” “Lalu?” Tania takut Adrian akan minta jatah saat pikirannya sedang kalut. Adrian mengelus lengan Tania, “Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin tidur disini, memelukmu sampai pagi.” “Mas, lebih baik kamu tidur bersama Wini. Kamu bisa memeluknya sampai pagi.” “Dia memintaku kesini. Dia kelelahan dan tidak ingin diganggu.” “Hm begitu. Tidurlah disini.” Adrian benar-benar memeluk Tania sampai pagi. Malam ini Noah tidak terbangun untuk minum susu. Ketika di cek popoknya di pagi hari, tidak begitu penuh. Suaminya masih tidur. Tania yang terjaga semalaman enggan membangunkannya. Pintu terbuka. Wini tampak berbeda hari ini. Rambutn
Tania mengumumkan ia dan Adrian tidak jadi bercerai pada semua orang di rumah, juga pada mama-papa. Mereka menyambut berita dengan penuh suka cita. “Bagaimana untuk merayakan ini kita semua makan diluar?” Adrian menawari. “Aku setuju, mas. Aku rasa sedang malas masak. Jadi idemu sangatlah bagus.” “Aku juga setuju. Sepertinya kita perlu menunjukkan pada orang-orang, kalau memiliki dua istri dan berbagi suami tidak selamanya buruk.” Adrian tersenyum. Ia merentangkan kedua tangannya siap dipeluk kedua istrinya. Wini dan Tania memeluk Adrian. “Aku harap hubungan kita terus seperti ini, mas.” Wini menuturkan doanya. “Aku juga. Masalah pasti ada, tapi aku percaya kalau kita pasti selalu bisa melalui semuanya dengan baik.” Tania juga menuturkan doanya. “Pasti. Kita hanya perlu bersabar. Ayo bersiap. Aku tunggu istri-istri cantikku bersama tuan muda, Noah.” Semua tertawa. Wini dan Tania sudah siap. Mereka mengenakan gaun yang sudah dipesan Adrian secara khusus. Semua asi
Tania melirik Adrian, “Mas Adrian bilang, Noah—sakit.” Wini tersenyum, “Noah sehat. Mas Adrian yang sakit.” Tania lagi-lagi melirik Adrian, “Kamu tega membohongiku?” “Aku pikir kamu tidak akan datang, jika aku tidak bilang Noah sakit.” “Kamu tidak perlu bohong!” “Gendonglah Noah. Kamu berikan asi langsung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa jika dia bertanya ketika besar, siapakah yang mengurusnya saat ia masih bayi.” Tania menatap Noah. Ia menerimanya dari Wini, “Jaket ini...” “Noah selalu menangis jika baumu hilang, Tan. Mamamu sering datang kesini membawa baju-baju bekasmu untuk menemani Noah dan—mas Adrian tidur.” Wajah Adrian merah padam. “Jadi sekarang yang merindukanku ada dua orang?” pancing Tania. Wini tertawa, “Aku tinggal, aku akan buatkan kamu masakan yang enak. Berbincanglah dengan mas Adrian.” Tania dan Adrian diam saja setelah Wini pergi. Masing-masing dari mereka tidak tahu harus membicarakan apa. “Kamu tidak perlu memberikanku bodyguard lagi.
Dua bulan kemudian... Tania belum juga berani mengurus perceraiannya dengan Adrian. Ia malah menyibukkan diri bekerja di sebuah perusahaan yang masih terpaut dengan keluarga Kiehl. Ia tentu sudah mencari perusahaan yang tak mengenal Adrian sama sekali, tapi sulit. Ia pun akhirnya tahu, kalau kuasa keluarga Kiehl sangatlah besar, hingga koneksinya ada dimana-mana. Ia bekerja di divisi finance. “Tan, asi untuk Noah sudah ‘kan? Mama akan pergi sebentar lagi.” “Sudah, ma.” Tania melirik mama yang siap pergi, “Aku—akan ke kantor sekarang.” “Iya, hati-hati.” Tania menunggu mama menawarinya ikut ke rumah Wini, “Ma, aku belum sarapan.” “Kamu bisa bekal makan dari rumah dan sarapan di kantor. Nanti akan mbok siapkan.” Mama menenteng tas berisi asi dan baju-baju yang Tania belikan untuk Noah, “Mama pergi sekarang, ya? Mama kangen sekali dengan Noah. Papamu juga. Papa akan kesana sekalian ke kantor.” Tania mengangguk. Ia menatap punggung mama yang bergerak mendekati mobil. Tan
Tania selalu terbangun setiap jam karena mencari orang yang tidur disebelahnya. Kasur kosong dan terasa dingin. Hatinya menjadi sedih, mengingat biasanya Adrian atau Noah ada disampingnya, kini ia hanya tidur sendirian. “Tidak, Tan, kamu hanya belum terbiasa. Setelah ini kamu pasti akan menikmati hidup menjadi single parents dan independent woman.” Ia tak sabar mengurus perpindahan kerja dari perusahaan Adrian ke kantor lain. Ia akan berdiri diatas kakinya sendiri. Pengalaman kerjanya sudah cukup mumpuni untuk kembali memulai hidup yang baru. Ia akan membuktikan pada orang-orang, bahwa ia bisa hidup tanpa Adrian. Semalaman Tania merasa tidur bukanlah pilihan yang baik. Ia duduk termenung diatas ranjang, menatap kosong ke arah televisi yang menyala. “Noah sekarang sedang apa, ya?” ia melirik ponsel yang sedari tadi mati. Tidak ada notifikasi pesan masuk dari Wini ataupun Adrian yang memberi kabar soal Noah. “Apa mereka akan membawa Noah jauh dariku? Apa mereka akan pergi ke s
Tania menatap Noah yang sedang dipangku papa. Papa dan mama sama sekali tak mengecam keputusan Tania untuk memberikan Noah pada Adrian dan Wini. Mereka ingin melihat seberapa yakin anaknya ingin berpisah dengan Noah. Mobil Adrian datang. Ia masuk ke dalam rumah bersama Wini. Mata Adrian sama sekali dan melirik Tania, “Hai Noah. Mulai hari ini kamu ikut papa dan mama—Wini, ya?” Wini menatap Tania, “Tan, aku tidak akan membawa Noah jika kamu tidak mengizinkan.” “Ambillah. Aku tidak bisa menerima ayahnya. Aku takut sifat Noah akan menurun dengan baik. Aku takut menyakitinya. Semua baju, dan stok asi sudah aku taruh di tas. Aku akan kirimkan ke rumah melalui kurir, dan sesekali menjenguknya.” Papa memberikan Noah pada Wini. “Halo Noah, untuk sementara kamu sama mama Wini dulu, ya. Nanti kita akan hidup bersama lagi dengan papa Adrian dan mama Tania.” “Tidak ada kesempatan itu lagi, Win. Aku juga tidak akan membawa Noah. Adrian adalah papa kandungnya. Dia bilang ingin mene