Semalam, Tania masih aman. Ia tidak menjawab ucapan Adrian sama sekali dan berjalan cepat menuju kamar dan menguncinya. Jangan sampai mereka tidur satu kamar. Selain untuk menjaga perasaan Wini, ia juga enggan berbagi ranjang dengan lelaki asing. Masih terekam jelas kebodohannya satu bulan lalu, karena ia terlalu mabuk, Tania membiarkan dirinya dibawa pria asing ke sebuah kamar haram di diskotek. Sialnya ia tidak mengingat wajah itu sama sekali. Pagi ini, Tania bangun seperti biasa. Ia hanya terus diam di kamar dan tak menjawab semua orang seolah masih tidur. Ia menunggu mobil Adrian pergi. Dan barusan, mobil itu terdengar menjauhi pekarangan rumah. “Kamu sudah bangun?” Tania terperanjat ketika Wini tahu-tahu duduk di sofa yang tak jauh dari letak kamarnya, begitu ia keluar kamar. “Ya. Aku tidak akan keluar kalau masih tidur.” Wini bangkit, “Kamu kenapa seperti ini?” “Apanya?” “Kamu keluar kamar menunggu mas Adrian pergi? Kenapa?” Tania berjalan tanpa memerdulikan
Tania tidak bisa tidur nyenyak sedari tadi. Siang, setelah makan banyak masakan Wini, ia merebahkan diri dan berharap tidur karena tidak ada hal yang bisa ia kerjakan di rumah ini. Ia masih malu untuk melakukan apa yang disukai. Dan kini, ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, matanya masih terjaga. “Aku kenapa, ya? Dari siang aku tidak ngantuk sama sekali.” Tania bangkit. Ia mengambil air dan minum yang banyak, berharap setelah itu kantuk akan menghampirinya. Air tidak membuatnya ngantuk, malah sebaliknya. Tubuhnya merasa segar dan ingin beraktivitas. “Apa aku—minum susu hangat? Mama biasanya membuatkan itu, dan selalu berhasil.” Tangan Tania sudah membuka handel pintu, namun tertahan, “Kalau—Adrian masih di lantai satu gimana?” ia menggeleng, “Pasti dia sudah tidur.” Tania berjalan cepat ke dapur. Ia tidak terlalu memperhatikan bunyi lift, sehingga tidak bisa menghitung pergerakan Wini dan Adri
Tania mendekati ruang makan ketika Wini sibuk menata meja makan. “Ada yang bisa aku bantu?” Wini menoleh. Ia tersenyum, “Kamu menepati janji kamu.” Tania membawa piring yang masih tertumpuk. Ia menyimpannya diatas alas piring, “Apa aku harus masukkan nasinya sekarang?” Wini menggeleng, “Tunggu mas Adrian duduk.” Tania menurut. Ia orang baru di rumah ini, sehingga semua kebiasaan, ia yang harus mengikuti aturan disini. Adrian berjalan mendekati ruang makan. Ia yang sedang mengaitkan dasi ke kerah sambil mendekati meja, berhenti melangkah melihat Tania tengah tertawa dengan Wini. “Pagi, istri-istriku.” Adrian berusaha terlihat jadi suami yang ramah dan bisa berbagi. “Pagi, mas.” Tania tak menjawab. Adrian menunggu jawaban Tania. Setelah menunggu beberapa menit, ia tahu istri keduanya tidak akan menjawab sapaannya, “Selamat pagi, Tania.” “Pagi.” Semua suda
Tania pergi begitu saja saat Adrian masih belum beranjak untuk berangkat kerja. Ia tidak bisa menahan tatapan penuh pengertian itu. Ia mencari Wini untuk meminta maaf. Ia jadi tidak enak sendiri. Wini adalah tipikal perempuan sabar. Tadi ia membentaknya pasti karena sudah lelah. Tania menyadari, ia memang kelewatan karena bersikap seolah ia boleh melakukan apapun disini, di rumah Wini dan Adrian. “Wini, kamu mau kemana?” Tania berdiri menatap madunya yang baru keluar dari lift dengan pakaian rapi dan membawa tas. “Aku? Aku mau pergi ke toko.” “Belanja? Aku temani, ya?” “Aku punya toko bunga, Wini Florist, di jalan Pattimura. Kamu mungkin pernah lihat?” Tania menggeleng, “Aku jarang ke daerah itu.” “Oh begitu. Ya sudah, aku pergi.” Tania menahan lengan Wini. Mereka jadi berdiri berhadapan, “Aku—mau minta maaf.” “Untuk?” “Aku membuat kamu marah tadi. Aku seharusnya membantu kamu mengurus—Adrian.” “Tidak papa, kamu masih baru jadi istri mas Adrian, aku paham.” “T
“TANIA!” Romi berteriak dan melotot saat Tania berani menamparnya didepan karyawan Florist. “Apa? Kamu tidak ada hak sedikitpun bicara seperti itu, Romi!” Tania tak kalah berteriak. “Kenapa? Kamu tersinggung? Kamu mulai sadar kalau kehadiran kamu dalam rumah tangga mereka itu buruk?” Tania menunjuk Romi, “Kamu orang lain. Kamu tidak ada urusan dengan pernikahanku. Berhenti bicara atau aku—” “Atau apa? Kamu mau melakukan apa? Kamu pikir aku takut padamu, Tan? Tidak. Aku bahkan masih ingat bagaimana kamu menghadapi orang-orang yang selalu merendahkan kamu. Hal yang sama akan terjadi juga padaku. Aku tahu kamu tidak akan melakukan apapun.” Wajah Tania merah menahan marah. Ia maju satu langkah untuk kembali memberi perhitungan pada Romi. Ia berniat mendorong tubuh mantan kekasih yang sangat dibencinya ke hamparan bunga mawar yang penuh duri. Biarlah dia kesakitan. Itu tidak pernah setara dengan apa yang Romi katakan padanya. Belum sempat tangan Tania menyentuh Romi, Adrian be
Sebelum Adrian sempat menjawab tanya Tania, Wini datang. “Kalian ngapain disini? Mas, aku pikir karyawan aku mimpi, bilang kamu kesini.” Adrian tersenyum, “Aku cuma mau memberi kabar kalau perusahaan berhutang budi pada Tania.” Wini melirik Tania, “Maksudnya?” “Malam, dimana aku bingung melihat hasil laporan keuangan perusahaan, Tania membantu. Aku baru ingat kalau Tania manager keuangan di kantornya dulu. Tania juga memberi saran bagaimana aku menangkap basah pelaku. Caranya berhasil.” Wini tersenyum mengelus punggung Tania, “Kamu hebat, Tan. Makasih ya, sudah bantu mas Adrian dan perusahaannya.” “Itu bukan apa-apa. Aku hanya melakukan yang aku bisa.” “Padahal malam, Tania sedang mual karena minum susu, tapi dia membantu dengan sangat baik.” Tania tidak enak terus di puji. Ia takut Wini cemburu. Apalagi kini ia paham, kalau Wini tidak mengerti sedikit pun dengan jenis pekerjaan Adrian. “Jangan berlebihan. Aku memang suka bekerja.” “Kalau kamu suka, kenapa kamu ti
Tania duduk berdampingan dengan Adrian di mobil. “Kamu sudah memeriksakan kandungan?” Tania menggeleng. “Belum pernah sama sekali?” “Aku tidak berniat tahu kondisinya. Tidak penting.” Adrian memutar balikkan mobilnya. “Ini bukan jalan pulang.” protes Tania, “Kamu mau bawa aku kemana?” “Kita akan memeriksakan kehamilan kamu.” “Aku tidak mau.” “Aku tidak bertanya. Aku hanya ingin melihat langsung calon anakku melalui USG.” “Adrian! Aku bilang tidak mau! Ini anakku, aku berhak menolak memeriksakan kehamilanku.” Adrian tak menggubris. Ia melajukan mobil dengan santainya. “Aku akan lompat!” “Silakan.” Tania membuka pintu mobil yang terkunci, “Buka!” “Sebelum melompat, pikirkan kalau kamu tidak mati, tapi cacat seumur hidup. Aku tahu kamu tidak senang menylulitkan siapapun. Setelah cacat, kamu akan terus meminta bantuanku dan Wini. Kami tidak keberatan, tapi aku tahu kamu tidak nyaman. Selain itu, menjatuhkan diri dari mobil akan membuat kepala kamu cedera, seh
Adrian menuntun Tania memasuki mobil. Ia kesakitan setelah diambil sampel darah beberapa kali karena gagal. Adrian memakaikan sabuk pengaman. Untungnya Tania tidak protes dan mengusirnya. Di perjalanan, mereka tak saling bicara. “Kamu mau makan diluar?” “Aku lupa, tadi kamu bilang harus ke kantor. Kenapa kamu malah mengajakku ke rumah sakit, dan sekarang menawari makan diluar?” “Aku pemilik perusahaan, aku bisa pergi kapanpun.” “Aku makan di rumah saja.” “Wini belum pulang. Dia biasanya pulang sore.” “Aku bisa pesan makanan online.” “Baiklah.” Begitu sampai rumah, Tania menunggu Adrian membukakan pintu. Ia berjalan cepat memasuki rumah. “Aku sudah pesan makan siang kita. Aku mau buat lemon tea, kamu mau?” “Biar aku yang buatkan.” Tania menahan Adrian, “Aku juga ingin seperti Wini yang membuatkan sesuatu untuk suaminya. Hanya buat minuman yang aku bisa.” Adrian mengangguk, “Baiklah.” Tania mengambil lemon di kulkas. Ia membuat teh dan mengiris lemon, “Adr
Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera
Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid
Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu
“Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.
Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua
Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar
Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang
Papa bangkit dari kursi dengan cepat, membuat kursinya terjatuh dan membuat Tania nyaris jantungan. “Pa, tahan emosi papa. Ingat, Tania sedang hamil.” mama takut papa akan menampar Tania. Tania menahan air matanya ketika papa mendekatinya, “Pa—” Papa mengelus perut Tania, “Anak ini—membutuhkan Adrian.” Tania menitikan air matanya. Ia pikir papa akan marah besar. Ternyata suaranya sangat tenang. “Semua orang tahu ini anak Adrian. Kalau kamu berniat memberikan anak ini untuk kakakmu, apa kata orang?” Mama mendekati Tania, “Tan, papamu benar. Masalah Angga dan Isti yang—akan sulit punya keturunan, itu bukan urusan kamu. Tidak ada kewajiban kamu sedikitpun untuk membahagiakan mereka dengan kamu memberikan anakmu pada mereka.” “Tania, dengar papa, alasan papa menikahkan kamu dengan Adrian bukan hanya karena untuk menutupi aib keluarga, tapi lebih dari itu. Kamu pasti merasakan sikap baik mereka ‘kan? Adrian adalah suami yang baik, kedua orang tuanya juga. Kamu tidak bahagia m
Ibu memegani dua bahu Tania, “Bilang pada kami, apa yang Adrian lakukan, Tania?” “Mas Adrian—hampir mencelakai anak ini, bu. Dia—bermain sangat kasar tadi, heu heu heu.” Ibu dan ayah beradu pandang. “Adrian!” Ayah berteriak kencang, “Kemari kamu!” Ibu bergerak memeluk Tania, “Maafkan ibu yang tidak bisa menjaga kamu, sayang.” Adrian keluar dari kamar dengan mata merah. Ia baru saja terlelap setelah bertarung, kenapa ayah memanggilnya seperti akan marah? Ayah menampar Adrian dengan kencang, “Keterlaluan kamu!” “Yah? Kenapa ayah tampar aku?” “Berani kamu bertanya begitu? Kamu tidak berpikir, tindakanmu bisa membahayakan Tania dan anaknya!” Mbok Sayem dan dua ART, serta dua bodyguard mendekati ruang tengah. Mereka penasaran apa yang sedang terjadi dengan tuan-tuan mereka. Melihat banyak orang menguping, ayah mengkode Adrian untuk mengikutinya ke ruangan khusus. “Kalian kembali ke kamar.” pinta ibu. “Ba-baik, bu.” Ibu mengajak Tania pergi ke ruang kerja Adrian.