“TANIA!” Romi berteriak dan melotot saat Tania berani menamparnya didepan karyawan Florist. “Apa? Kamu tidak ada hak sedikitpun bicara seperti itu, Romi!” Tania tak kalah berteriak. “Kenapa? Kamu tersinggung? Kamu mulai sadar kalau kehadiran kamu dalam rumah tangga mereka itu buruk?” Tania menunjuk Romi, “Kamu orang lain. Kamu tidak ada urusan dengan pernikahanku. Berhenti bicara atau aku—” “Atau apa? Kamu mau melakukan apa? Kamu pikir aku takut padamu, Tan? Tidak. Aku bahkan masih ingat bagaimana kamu menghadapi orang-orang yang selalu merendahkan kamu. Hal yang sama akan terjadi juga padaku. Aku tahu kamu tidak akan melakukan apapun.” Wajah Tania merah menahan marah. Ia maju satu langkah untuk kembali memberi perhitungan pada Romi. Ia berniat mendorong tubuh mantan kekasih yang sangat dibencinya ke hamparan bunga mawar yang penuh duri. Biarlah dia kesakitan. Itu tidak pernah setara dengan apa yang Romi katakan padanya. Belum sempat tangan Tania menyentuh Romi, Adrian be
Sebelum Adrian sempat menjawab tanya Tania, Wini datang. “Kalian ngapain disini? Mas, aku pikir karyawan aku mimpi, bilang kamu kesini.” Adrian tersenyum, “Aku cuma mau memberi kabar kalau perusahaan berhutang budi pada Tania.” Wini melirik Tania, “Maksudnya?” “Malam, dimana aku bingung melihat hasil laporan keuangan perusahaan, Tania membantu. Aku baru ingat kalau Tania manager keuangan di kantornya dulu. Tania juga memberi saran bagaimana aku menangkap basah pelaku. Caranya berhasil.” Wini tersenyum mengelus punggung Tania, “Kamu hebat, Tan. Makasih ya, sudah bantu mas Adrian dan perusahaannya.” “Itu bukan apa-apa. Aku hanya melakukan yang aku bisa.” “Padahal malam, Tania sedang mual karena minum susu, tapi dia membantu dengan sangat baik.” Tania tidak enak terus di puji. Ia takut Wini cemburu. Apalagi kini ia paham, kalau Wini tidak mengerti sedikit pun dengan jenis pekerjaan Adrian. “Jangan berlebihan. Aku memang suka bekerja.” “Kalau kamu suka, kenapa kamu ti
Tania duduk berdampingan dengan Adrian di mobil. “Kamu sudah memeriksakan kandungan?” Tania menggeleng. “Belum pernah sama sekali?” “Aku tidak berniat tahu kondisinya. Tidak penting.” Adrian memutar balikkan mobilnya. “Ini bukan jalan pulang.” protes Tania, “Kamu mau bawa aku kemana?” “Kita akan memeriksakan kehamilan kamu.” “Aku tidak mau.” “Aku tidak bertanya. Aku hanya ingin melihat langsung calon anakku melalui USG.” “Adrian! Aku bilang tidak mau! Ini anakku, aku berhak menolak memeriksakan kehamilanku.” Adrian tak menggubris. Ia melajukan mobil dengan santainya. “Aku akan lompat!” “Silakan.” Tania membuka pintu mobil yang terkunci, “Buka!” “Sebelum melompat, pikirkan kalau kamu tidak mati, tapi cacat seumur hidup. Aku tahu kamu tidak senang menylulitkan siapapun. Setelah cacat, kamu akan terus meminta bantuanku dan Wini. Kami tidak keberatan, tapi aku tahu kamu tidak nyaman. Selain itu, menjatuhkan diri dari mobil akan membuat kepala kamu cedera, seh
Adrian menuntun Tania memasuki mobil. Ia kesakitan setelah diambil sampel darah beberapa kali karena gagal. Adrian memakaikan sabuk pengaman. Untungnya Tania tidak protes dan mengusirnya. Di perjalanan, mereka tak saling bicara. “Kamu mau makan diluar?” “Aku lupa, tadi kamu bilang harus ke kantor. Kenapa kamu malah mengajakku ke rumah sakit, dan sekarang menawari makan diluar?” “Aku pemilik perusahaan, aku bisa pergi kapanpun.” “Aku makan di rumah saja.” “Wini belum pulang. Dia biasanya pulang sore.” “Aku bisa pesan makanan online.” “Baiklah.” Begitu sampai rumah, Tania menunggu Adrian membukakan pintu. Ia berjalan cepat memasuki rumah. “Aku sudah pesan makan siang kita. Aku mau buat lemon tea, kamu mau?” “Biar aku yang buatkan.” Tania menahan Adrian, “Aku juga ingin seperti Wini yang membuatkan sesuatu untuk suaminya. Hanya buat minuman yang aku bisa.” Adrian mengangguk, “Baiklah.” Tania mengambil lemon di kulkas. Ia membuat teh dan mengiris lemon, “Adr
Tania menyanggupi pinta Wini tadi siang. Ia bersedia satu kamar dengan Adrian. “Hanya malam ini. Awas saja kalau Wini atau Adrian memaksaku lagi besok. Aku akan pergi dari rumah ini.” Tok-Tok-Tok Nafas Tania terasa tersenggal. Itu pasti Adrian. Suaminya langsung berangkat ke kantor selepas makan siang, dan berjanji akan pulang lebih cepat. Sekarang baru pukul sembilan. Kepulangannya memang lebih cepat dari malam-malam sebelumnya. Tok-Tok-Tok Pintu diketuk lagi. “Sebentar.” Tania mendekati pintu. Dengan ragu ia menekan handel pintu dan menatap Adrian yang berdiri masih mengenakan pakaian kerjanya, “Kamu tidak bisa mandi disini.” Adrian tersenyum. Ia memberikan paper bag pada Tania, “Aku mampir ke butik langganan keluarga, dan tidak sengaja melihat dress tidur yang cantik. Ambil.” Tania sama sekali tak melirik paper bag itu, “Berikan saja pada Wini. Baju tidurku banyak.” Adrian mengangkat paper bag lainnya, “Memiliki dua istri sama seperti memiliki dua anak. Aku tid
Tania memainkan ponselnya. Ia bertanya pada mama, apakah papa masih ada di rumah. Ia bilang akan bermalam di rumah karena sedang merindukan mama. Tak lama mama membalas. Mama mengatakan bahwa papa sedang pergi ke luar kota untuk beberapa hari. “Bagus. Aku tidak perlu berdebat dengan papa.” Tania menatap spion dalam, “Pak, tolong lebih cepat.” “Baik, mbak.” Perjalanan dari rumah Adrian menuju rumahnya lumayan jauh. Ia berharap sebelum Adrian menghubungi dan menanyakan sesuatu padanya, taksi sudah berhasil mengantarkannya ke rumah. Ia yakin, satpam pasti mengadu ia pergi, sampai membawa koper segala. “Aduh, ada apa ini?” keluh supir taksi. “Kenapa, pak?” “Itu, mbak, kok ada mobil dan motor yang ngikutin kita, ya?” Tania mengedarkan mata ke sisi kanan-kiri mobil, melihat satu mobil dan tiga motor mengikuti taksi. Mereka semua berpakaian serba hitam. “Ini bahaya.” Tania melongo tak percaya. “Mbak, apa kita terlibat dengan Mafia?” “Bu-bukan, pak, tapi—” “Tolong hentik
Wini membawa tumpukkan bunga yang tidak sengaja dijatuhkannya, “Aku—ke dalam dulu.” Tania menatap Adrian, “Kamu kenapa tiba-tiba menciumku? Wini jadi lihat.” “Jadi kamu mau Wini tidak melihat setiap aku menciummu?” Tania membuang nafas pelan. Ia berjalan menjauhi Adrian. Ia lebih memilih memupuk bunga yang dilakukan petani dari pada melayani pembeli. “Permisi, bu, ini yang siram pupuk, biar saya saja.” “Jangan, mbak. Ini pupuk kandang, kotor dan bau.” “Tapi saya—” “Mbak bukannya... istrinya pak Adrian?” Tania enggan menjawab. “Mbak duduk saja, ini biar ibu yang siram. Kalo mbak maksa, nanti ibu yang dimarahin sama bapak.” “Nggak akan marah, bu, percaya sama saya.” “Mbak sih belum tahu marahnya pak Adrian. Ini biar saya saja, mbak bisa duduk disana.” ibu petani menunjuk kursi besi dibawah pohon Mangga yang teduh. Tania menyerah. Apalagi Adrian masih disini menatap ke arahnya. Ia memang belum tahu marahnya Adrian seperti apa. Tapi ia bisa tahu, lelaki tipikal suam
Tania merebahkan diri di kasur sepulangnya dari Florist. Adrian terus menemaninya hingga ia dipaksa Wini untuk pulang. “Padahal aku bisa bekerja seperti karyawan lainnya sampai malam. Apa Wini mengusirku karena—Adrian terus membantuku? Dia cemburu?” Tania tertawa. Ia senang Wini menunjukkan rasa cemburunya. Itu akan membuatnya semakin mudah menolak setiap titah madunya untuk dekat dengan Adrian. Entahlah, ia rasa sampai kapanpun tidak akan pernah siap memperlakukan Adrian seperti suaminya jika tidak terpaksa. Ia tidak mau terbawa perasaan. Ia tidak mau mengambil kebahagiaan orang lain. “...Tan! Tania!” “Wini?” Tania bangkit, ia keluar dari kamar dan menatap Wini yang kerepotan sendiri dengan koper dan tas tangannya, “Kenapa? Kamu—mau kemana?” “Papa aku masuk rumah sakit, kecelakaan. Aku harus menginap karena—papaku duda, Tan, tidak ada yang mengurus, dan kebetulan aku anak tunggal.” “Oh begitu. Mau aku antar?” “Tidak-tidak, aku pergi dengan pak Udin. Aku hanya minta
Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan
Tiga tahun kemudian.... “Mama! Aku mau liat mama Wini ke rumah sakit!” teriak Noah sambil berlari-lari membawa selembar kertas yang sudah ia gambar. “Iya, tapi adek harus mandi dulu.” tutur Tania sambil membuka baju Seraphina, adik Noah. “Memang adek boleh ikut?” “Nggak, adek di rumah sama nenek. Tapi adek harus mandi dulu. Kakak Noah tunggu di depan ya, sama pak Udin.” “Oke.” Noah berlari ke depan, memamerkan gambarnya berisi dua mama, satu ayah, dirinya dan Seraphina. “Sayang...” “Aku di kamar bawah, mas!” Adrian menghampiri Tania. Ia mengecup pucuk kepala istrinya dari belakang, “Noah mana?” “Dia di depan. Dia begitu tidak sabar bertemu Wini.” Adrian tertawa. “Dia begitu tidak sabaran mirip kamu.” “Apa yang kamu katakan? Bukankah itu kamu?” Tania mendelik kesal, “Kalau kita tidak sabaran, Seraphina tidak akan ada di dunia ini.” “Mau aku tolong mandikan Sera?” “Tidak. Kamu temani Noah saja. Dia membawa oleh-oleh untuk Wini.” “Baiklah. Aku tunggu di de
Sudah satu minggu semua masih sama. Wini masih di ICU setelah dilakukan operasi untuk mengeluarkan pendarahan dalam jaringan otaknya. Ia terus berada di kesadaran koma, membuat Adrian dan Tania kehilangan minat hidup seperti semestinya. Mereka sama-sama tidak bicara dengan siapapun. Baik Adrian maupun Tania, merasa apa yang menimpa Wini belum bisa mereka terima. “Tania, Adrian, lebih baik kalian pulang. Mama yakin Wini akan segera bangun.” “Betul. Kita tidak pernah putus mendoakannya disini. Pulanglah, demi Noah.” Adrian melirik mama dan papa. Mereka terus menemaninya dan Tania di rumah sakit. Sedang ayah dan ibu belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan urusan mereka di luar negeri. “Mama tahu kalian terpukul. Tapi Wini tidak akan pernah mau kalian begini. Sudah satu minggu kalian tidak pulang. Kasihan Noah.” Adrian menggenggam tangan Tania, “Mama dan papa ada benarnya. Kita pulang. Kita masih memiliki tanggung jawab pada Noah.” “Wini...” “Iya, aku tahu kamu
Tania tidak bisa tidur mengingat ancaman mama Wini. Tadi begitu ia jatuh, ia langsung bangkit dan pergi. Ia menahan rasa nyeri dan takut pada Wini dan Adrian. Ia tidak mau merusak momen. Ceklek. “Kamu belum tidur?” Adrian mendekati ranjang. “Mas? Kenapa kesini? Ini jadwalmu bersama Wini.” Adrian tersenyum, “Kami sudah selesai.” “Lalu?” Tania takut Adrian akan minta jatah saat pikirannya sedang kalut. Adrian mengelus lengan Tania, “Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin tidur disini, memelukmu sampai pagi.” “Mas, lebih baik kamu tidur bersama Wini. Kamu bisa memeluknya sampai pagi.” “Dia memintaku kesini. Dia kelelahan dan tidak ingin diganggu.” “Hm begitu. Tidurlah disini.” Adrian benar-benar memeluk Tania sampai pagi. Malam ini Noah tidak terbangun untuk minum susu. Ketika di cek popoknya di pagi hari, tidak begitu penuh. Suaminya masih tidur. Tania yang terjaga semalaman enggan membangunkannya. Pintu terbuka. Wini tampak berbeda hari ini. Rambutn
Tania mengumumkan ia dan Adrian tidak jadi bercerai pada semua orang di rumah, juga pada mama-papa. Mereka menyambut berita dengan penuh suka cita. “Bagaimana untuk merayakan ini kita semua makan diluar?” Adrian menawari. “Aku setuju, mas. Aku rasa sedang malas masak. Jadi idemu sangatlah bagus.” “Aku juga setuju. Sepertinya kita perlu menunjukkan pada orang-orang, kalau memiliki dua istri dan berbagi suami tidak selamanya buruk.” Adrian tersenyum. Ia merentangkan kedua tangannya siap dipeluk kedua istrinya. Wini dan Tania memeluk Adrian. “Aku harap hubungan kita terus seperti ini, mas.” Wini menuturkan doanya. “Aku juga. Masalah pasti ada, tapi aku percaya kalau kita pasti selalu bisa melalui semuanya dengan baik.” Tania juga menuturkan doanya. “Pasti. Kita hanya perlu bersabar. Ayo bersiap. Aku tunggu istri-istri cantikku bersama tuan muda, Noah.” Semua tertawa. Wini dan Tania sudah siap. Mereka mengenakan gaun yang sudah dipesan Adrian secara khusus. Semua asi
Tania melirik Adrian, “Mas Adrian bilang, Noah—sakit.” Wini tersenyum, “Noah sehat. Mas Adrian yang sakit.” Tania lagi-lagi melirik Adrian, “Kamu tega membohongiku?” “Aku pikir kamu tidak akan datang, jika aku tidak bilang Noah sakit.” “Kamu tidak perlu bohong!” “Gendonglah Noah. Kamu berikan asi langsung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa jika dia bertanya ketika besar, siapakah yang mengurusnya saat ia masih bayi.” Tania menatap Noah. Ia menerimanya dari Wini, “Jaket ini...” “Noah selalu menangis jika baumu hilang, Tan. Mamamu sering datang kesini membawa baju-baju bekasmu untuk menemani Noah dan—mas Adrian tidur.” Wajah Adrian merah padam. “Jadi sekarang yang merindukanku ada dua orang?” pancing Tania. Wini tertawa, “Aku tinggal, aku akan buatkan kamu masakan yang enak. Berbincanglah dengan mas Adrian.” Tania dan Adrian diam saja setelah Wini pergi. Masing-masing dari mereka tidak tahu harus membicarakan apa. “Kamu tidak perlu memberikanku bodyguard lagi.
Dua bulan kemudian... Tania belum juga berani mengurus perceraiannya dengan Adrian. Ia malah menyibukkan diri bekerja di sebuah perusahaan yang masih terpaut dengan keluarga Kiehl. Ia tentu sudah mencari perusahaan yang tak mengenal Adrian sama sekali, tapi sulit. Ia pun akhirnya tahu, kalau kuasa keluarga Kiehl sangatlah besar, hingga koneksinya ada dimana-mana. Ia bekerja di divisi finance. “Tan, asi untuk Noah sudah ‘kan? Mama akan pergi sebentar lagi.” “Sudah, ma.” Tania melirik mama yang siap pergi, “Aku—akan ke kantor sekarang.” “Iya, hati-hati.” Tania menunggu mama menawarinya ikut ke rumah Wini, “Ma, aku belum sarapan.” “Kamu bisa bekal makan dari rumah dan sarapan di kantor. Nanti akan mbok siapkan.” Mama menenteng tas berisi asi dan baju-baju yang Tania belikan untuk Noah, “Mama pergi sekarang, ya? Mama kangen sekali dengan Noah. Papamu juga. Papa akan kesana sekalian ke kantor.” Tania mengangguk. Ia menatap punggung mama yang bergerak mendekati mobil. Tan
Tania selalu terbangun setiap jam karena mencari orang yang tidur disebelahnya. Kasur kosong dan terasa dingin. Hatinya menjadi sedih, mengingat biasanya Adrian atau Noah ada disampingnya, kini ia hanya tidur sendirian. “Tidak, Tan, kamu hanya belum terbiasa. Setelah ini kamu pasti akan menikmati hidup menjadi single parents dan independent woman.” Ia tak sabar mengurus perpindahan kerja dari perusahaan Adrian ke kantor lain. Ia akan berdiri diatas kakinya sendiri. Pengalaman kerjanya sudah cukup mumpuni untuk kembali memulai hidup yang baru. Ia akan membuktikan pada orang-orang, bahwa ia bisa hidup tanpa Adrian. Semalaman Tania merasa tidur bukanlah pilihan yang baik. Ia duduk termenung diatas ranjang, menatap kosong ke arah televisi yang menyala. “Noah sekarang sedang apa, ya?” ia melirik ponsel yang sedari tadi mati. Tidak ada notifikasi pesan masuk dari Wini ataupun Adrian yang memberi kabar soal Noah. “Apa mereka akan membawa Noah jauh dariku? Apa mereka akan pergi ke s
Tania menatap Noah yang sedang dipangku papa. Papa dan mama sama sekali tak mengecam keputusan Tania untuk memberikan Noah pada Adrian dan Wini. Mereka ingin melihat seberapa yakin anaknya ingin berpisah dengan Noah. Mobil Adrian datang. Ia masuk ke dalam rumah bersama Wini. Mata Adrian sama sekali dan melirik Tania, “Hai Noah. Mulai hari ini kamu ikut papa dan mama—Wini, ya?” Wini menatap Tania, “Tan, aku tidak akan membawa Noah jika kamu tidak mengizinkan.” “Ambillah. Aku tidak bisa menerima ayahnya. Aku takut sifat Noah akan menurun dengan baik. Aku takut menyakitinya. Semua baju, dan stok asi sudah aku taruh di tas. Aku akan kirimkan ke rumah melalui kurir, dan sesekali menjenguknya.” Papa memberikan Noah pada Wini. “Halo Noah, untuk sementara kamu sama mama Wini dulu, ya. Nanti kita akan hidup bersama lagi dengan papa Adrian dan mama Tania.” “Tidak ada kesempatan itu lagi, Win. Aku juga tidak akan membawa Noah. Adrian adalah papa kandungnya. Dia bilang ingin mene