Wini membawa tumpukkan bunga yang tidak sengaja dijatuhkannya, “Aku—ke dalam dulu.” Tania menatap Adrian, “Kamu kenapa tiba-tiba menciumku? Wini jadi lihat.” “Jadi kamu mau Wini tidak melihat setiap aku menciummu?” Tania membuang nafas pelan. Ia berjalan menjauhi Adrian. Ia lebih memilih memupuk bunga yang dilakukan petani dari pada melayani pembeli. “Permisi, bu, ini yang siram pupuk, biar saya saja.” “Jangan, mbak. Ini pupuk kandang, kotor dan bau.” “Tapi saya—” “Mbak bukannya... istrinya pak Adrian?” Tania enggan menjawab. “Mbak duduk saja, ini biar ibu yang siram. Kalo mbak maksa, nanti ibu yang dimarahin sama bapak.” “Nggak akan marah, bu, percaya sama saya.” “Mbak sih belum tahu marahnya pak Adrian. Ini biar saya saja, mbak bisa duduk disana.” ibu petani menunjuk kursi besi dibawah pohon Mangga yang teduh. Tania menyerah. Apalagi Adrian masih disini menatap ke arahnya. Ia memang belum tahu marahnya Adrian seperti apa. Tapi ia bisa tahu, lelaki tipikal suam
Tania merebahkan diri di kasur sepulangnya dari Florist. Adrian terus menemaninya hingga ia dipaksa Wini untuk pulang. “Padahal aku bisa bekerja seperti karyawan lainnya sampai malam. Apa Wini mengusirku karena—Adrian terus membantuku? Dia cemburu?” Tania tertawa. Ia senang Wini menunjukkan rasa cemburunya. Itu akan membuatnya semakin mudah menolak setiap titah madunya untuk dekat dengan Adrian. Entahlah, ia rasa sampai kapanpun tidak akan pernah siap memperlakukan Adrian seperti suaminya jika tidak terpaksa. Ia tidak mau terbawa perasaan. Ia tidak mau mengambil kebahagiaan orang lain. “...Tan! Tania!” “Wini?” Tania bangkit, ia keluar dari kamar dan menatap Wini yang kerepotan sendiri dengan koper dan tas tangannya, “Kenapa? Kamu—mau kemana?” “Papa aku masuk rumah sakit, kecelakaan. Aku harus menginap karena—papaku duda, Tan, tidak ada yang mengurus, dan kebetulan aku anak tunggal.” “Oh begitu. Mau aku antar?” “Tidak-tidak, aku pergi dengan pak Udin. Aku hanya minta
Tania memencet tombol lift dengan ragu. Ia ingin sekali kembali ke kamar dan pura-pura melupakan ucapannya tadi sore. Tapi justru Adrian akan senang. Ia pasti akan datang ke kamarnya dan membuat kegaduhan. Membuat namanya jadi semakin buruk didepan ART rumah ini. Begitu keluar lift, Adrian ternyata sudah menunggunya. Ia berjalan mundar-mandir seolah sedang panik. “Kamu sedang apa?’ Adrian terkejut mendengar suara itu, “Kamu—menepati janji?” Tania berjalan melewati Adrian. Ia memasuki kamar yang sudah kembali rapi. Matanya mengedar, mencari sesuatu untuk dilakukan. Ia akan membuat Adrian tidur duluan. “Kamu cari apa?” “Kamu suka nonton film?” Adrian mengangguk, “Lumayan.” “Kita nonton malam ini.” Mereka duduk bersebelahan di sofa dekat ranjang. Tania sejujurnya suka film yang sedang diputar. Ia bisa melihatnya dengan senang meski sudah ditonton puluhan kali. Tapi kali ini rasanya berbeda. Ia tidak menikmati film sama sekali. Tangan Adrian mendekati bahunya, sehingga
Sedari pagi, Adrian terus menatap Tania yang duduk disampingnya di meja makan. Ia merasa puas dengan bantuan Tania semalam. “Kamu bisa diam? Orang akan berpikir jika kita sudah melakukan itu.” “Apa salahnya? Kita suami istri.” Tania tak lagi melirik Adrian. Ia tersenyum diam-diam saat mengingat kejadian malam, dimana ia membantu suaminya mengakhiri hawa nafsu. Tidak. Ia belum menyerahkan tubuhnya. Ia menggunakan cara lain untuk memuaskannya. Kini ia sibuk makan. Kebetulan pagi ini sarapannya adalah menu yang mama kirimkan dari rumah. Ia begitu merindukan rumah dan semua isinya. “Nanti saat luang, kita main ke rumah orang tuamu, lalu ke rumah orang tuaku.” Tania mengangguk. “Aku berangkat agak siang hari ini.” “Kenapa?” “Tidak papa.” “Karena kamu pemilik perusahaan, jadi kamu bisa seenaknya masuk kantor?” “Ya begitulah.” Tania mendelik sok kesal saat Adrian tertawa sombong setelahnya. Ia ikut tertawa. Ternyata Adrian tidak sekaku itu. “Orang tua kamu suka apa?
Adrian menghampiri Tania. Ia menatap wajah istrinya lekat, “Apa aku boleh menciummu?” Tania tak menjawab. Ia sibuk menghalau egonya untuk menguasai Adrian, “Aku mau tanya.” “Apa?” “Jika kamu mencintaiku tujuh tahun lalu, kenapa kamu tidak mendekatiku? Kenapa kamu malah menikahi Wini?” Adrian diam. “Aku akan membiarkan kamu melakukan apa yang kamu mau, kalau kamu jawab.” Adrian membuang nafas dengan teratur, “Karena papamu.” “Kenapa sama papa?” “Semua orang tahu bagaimana Hadi Winata menjaga anak perempuannya. Tidak sembarang laki-laki bisa mendekatinya. Bukan begitu?” Tania kaget, Adrian bisa tahu papa seketat itu mengatur hidupnya, apalagi perihal laki-laki. “Kamu dijodohkan dengan Romi karena papa kamu bersahabat baik dengan orang tuanya. Sedangkan orang tuaku? Mereka tidak saling mengenal dengan baik.” “Kamu adalah pewaris tunggal keluarga Kiehl, Adrian. Aku tahu baik papa seperti apa. Dia bahkan menikahkah aku secara sepihak dengan kamu, tanpa bertanya apa ak
Tania kembali ke kamar setelah Adrian berangkat kerja. Tadi ia melihat Adrian malah duduk santai dan enggan pergi, tapi ia memakasanya segera berangkat dan mencari nafkah yang banyak, menjelang kelahiran pewaris keluarga. Untungnya Adrian menurut. Di kamar, Tania berdiri didepan cermin panjang. Ia mengangkat baju blousnya, menampilkan perut yang mulai membuncit. Ia menyentuhnya perlahan dengan tangan bergetar. “Harusnya kamu gak pernah ada diperut ini. Kamu tahu, kamu adalah anak yang tidak diharapkan. Apalagi sampai detik ini aku tidak tahu siapa ayah sialan kamu!” Tania menangis. Ia memukul-mukul perutnya. “Gara-gara kamu, aku menderita. Aku di caci, di hina, dikatai jalang. Kamu pikir aku baik-baik saja dan rela berkorban untuk kamu? Tidak. Aku mungkin satu dari beberapa ibu di dunia yang mau kamu mati!” Tania diam sejenak, “Mati?” Tania lekas membawa ponsel yang tergeletak diatas kasur. Ia mencari obat aborsi yang dijual di internet. “Jangan, sampainya lama. Aku yaki
Tania merasakan perutnya bagai dililit tali. Ia berusaha berteriak tapi terlalu sakit. Nafasnya tidak beraturan. Ia mengambil gelas berharap saat mendengar suara pecahan terjatuh, ada mbok Sayem atau yang lain masuk kamar. Ia sangat membutuhkan pertolongan. “Ma-ma, tolong aku...” Tania berusaha bangkit agar bisa menggapai gelas. Tapi tangannya sibuk memegangi perut yang kini terasa digoncang keras-keras. “Adrian.... to-long.” Tania yang memakai dress selutut, bisa merasakan ada air mengalir diantara pahanya. Ia berusaha melihat. Tubuhnya makin lemas ketika kedua matanya menangkap ada banyak darah yang keluar. “To-loooong.” bisiknya. Ia merasakan nyawanya ada di ujung tanduk. Mungkin sebentar lagi ia akan mati. Pandangan matanya semakin tak karuan. Bayangan barang-barang dikamar berubah tidak jelas. Nafasnya yang ia usahakan baik, kini mulai terasa sesak. “To—looong aku. Siapapun, to-loong.” Bayangan yang tidak jelas itu kini berubah gelap. Tubuh Tania sudah tidak bisa
Adrian melihat papa dan mama datang. Ia tersenyum menyambut kedatangan mertuanya. “Nak Adrian, Tania dimana?” “Tania baru dipindahkan ke ruang ranap, ma, mari. Mari, pa.” Mama langsung memeluk Tania yang sudah sedikit segar di ranjang, “Tan?” “Ma...” Adrian melirik papa yang menahan marah di ujung ranjang. “Pa...” “Puas kamu nyaris mati demi membunuh janin itu?” “Pa, jaga bicaranya. Tania masih sakit.” “Siapa yang suruh dia aborsi? Dari awal papa sudah bilang untuk menjaga anak itu, meskipun kita belum tahu siapa lelaki brengsek yang harus dipanggil anak itu ayah.” “Pa, gak enak sama nak Adrian.” Papa melirik Adrian, “Maaf, nak Adrian. Papa terbawa emosi.” “Tidak papa, pa, saya paham. Untungnya setelah observasi lanjutan, dokter bilang janinnya baik-baik saja.” Papa dan mama menghembuskan nafas perlahan. “Sudah, Tan, jangan cari mati lagi. Kamu lihat, janin itu baik-baik saja, kamu yang malah celaka seperti ini.” Tania tak menjawab hardikan papa. “Maaf
Tania berjalan pagi sendiri ketika sinar matahari masih malu-malu menampakkan diri. Ia di ikuti dua bodyguard untuk berkeliling komplek. Adrian harus bersiap ke kantor, karena selama ia di rumah sakit, suaminya itu sama sekali tak memerdulikan pekerjaan. “Bu, apa ibu belum lelah?” tanya salah satu bodyguard yang berjalan dibelakang Tania. Tania membalikkan badan, “Lumayan, tapi saya masih kuat.” “Lebih baik ibu istirahat. Biar ibu minum dulu.” Tania mengangguk. Bodyguard lainnya yang sedari tadi mendorong kursi roda, memberikannya pada Tania, “Silakan, bu.” Tania duduk di kursi roda. “Minumnya mana?” tanya bodyguard pada rekannya. “Saya tidak bawa minum.” “Kan tadi saya suruh kamu bawa minum untuk bu Tania.” Tania tertawa, “Tidak perlu bertengkar. Kalian bisa membelinya di depan.” “Baik, bu. Saya belikan dulu.” satu bodyguard berlari menuju minimarket depan komplek. Tania melirik bodyguard lainnya, “Pak, saya boleh minta tolong?” “Boleh, bu, ada yang bisa say
Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera
Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid
Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu
“Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.
Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua
Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar
Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang
Papa bangkit dari kursi dengan cepat, membuat kursinya terjatuh dan membuat Tania nyaris jantungan. “Pa, tahan emosi papa. Ingat, Tania sedang hamil.” mama takut papa akan menampar Tania. Tania menahan air matanya ketika papa mendekatinya, “Pa—” Papa mengelus perut Tania, “Anak ini—membutuhkan Adrian.” Tania menitikan air matanya. Ia pikir papa akan marah besar. Ternyata suaranya sangat tenang. “Semua orang tahu ini anak Adrian. Kalau kamu berniat memberikan anak ini untuk kakakmu, apa kata orang?” Mama mendekati Tania, “Tan, papamu benar. Masalah Angga dan Isti yang—akan sulit punya keturunan, itu bukan urusan kamu. Tidak ada kewajiban kamu sedikitpun untuk membahagiakan mereka dengan kamu memberikan anakmu pada mereka.” “Tania, dengar papa, alasan papa menikahkan kamu dengan Adrian bukan hanya karena untuk menutupi aib keluarga, tapi lebih dari itu. Kamu pasti merasakan sikap baik mereka ‘kan? Adrian adalah suami yang baik, kedua orang tuanya juga. Kamu tidak bahagia m