Beranda / Rumah Tangga / Berbagi Suami / 26. Amarah Papa

Share

26. Amarah Papa

Penulis: Rahmani Rima
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-12 16:00:07

Adrian melihat papa dan mama datang. Ia tersenyum menyambut kedatangan mertuanya.

“Nak Adrian, Tania dimana?”

“Tania baru dipindahkan ke ruang ranap, ma, mari. Mari, pa.”

Mama langsung memeluk Tania yang sudah sedikit segar di ranjang, “Tan?”

“Ma...”

Adrian melirik papa yang menahan marah di ujung ranjang.

“Pa...”

“Puas kamu nyaris mati demi membunuh janin itu?”

“Pa, jaga bicaranya. Tania masih sakit.”

“Siapa yang suruh dia aborsi? Dari awal papa sudah bilang untuk menjaga anak itu, meskipun kita belum tahu siapa lelaki brengsek yang harus dipanggil anak itu ayah.”

“Pa, gak enak sama nak Adrian.”

Papa melirik Adrian, “Maaf, nak Adrian. Papa terbawa emosi.”

“Tidak papa, pa, saya paham. Untungnya setelah observasi lanjutan, dokter bilang janinnya baik-baik saja.”

Papa dan mama menghembuskan nafas perlahan.

“Sudah, Tan, jangan cari mati lagi. Kamu lihat, janin itu baik-baik saja, kamu yang malah celaka seperti ini.”

Tania tak menjawab hardikan papa.

“Maaf
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Berbagi Suami   27. Lebih Protektif

    Adrian masih setia menemani Tania di ruangan. Sudah dua hari ia tidak pulang, tidak juga ke kantor. Bahkan untuk keluar ruangan untuk bertemu karyawan kantor yang membutuhkan tanda tangannya pun, ia berpamitan seolah akan pergi ke luar negara. “Adrian.” “Kenapa? Kamu butuh sesuatu? Katakan.” “Aku sudah lebih baik, kamu bisa pulang.” Adrian menunjuk koper yang berisi semua keperluannya, “Rumahku sementara pindah kesini. Aku tidak masalah sama sekali.” “Aku yang masalah. Aku merasa—kamu berlebihan.” “Mana mungkin aku pulang saat istriku dirawat begini. Meski dokter mengatakan perdarahan sudah berhenti dari kemarin, aku tetap khawatir.” Tania tersenyum tidak enak, “Apa kamu juga begini pada Wini?” “Wini tidak pernah berbuat sesuatu yang ekstrem.” Tania membuang nafas kasar. Adrian tertawa, “Tentu aku akan melakukan hal yang sama. Kalian istri-istriku.” Ponsel Tania berdering kencang. Ia menatap penelpon, “Kak Angga? Halo, kak?” “Bagaiamana ini, aku tidak masuk ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Berbagi Suami   28. Permintaan Maaf Masal

    Adrian menuntun Tania sepelan mungkin ketika turun dari mobil. Mereka disambut oleh seluruh pegawai di rumah. Wajah mereka terus menunduk, karena takut pada Adrian. “Mari non, mbok bantu.” Mbok Sayem mendekati Tania, berusaha cari muka. “Jangan sentuh istri saya!” Mbok Sayem melotot takut, “Ba-baik, den.” “Adrian, kamu kenapa? Mbok berniat baik mau membantuku.” “Mereka ‘kan yang membuat kamu melakukan aborsi?” Tania menatap raut marah Adrian. Ia jadi ingat ucapan beberapa orang yang mengatakan ia belum tahu marahnya Adrian. Kini ia tahu. “Aku akan pecat mereka semua. Siapa yang mau mengaku, maka saya berikan bonus lebih. Katakan pada saya, siapa saja yang terlibat dalam perundungan istri saya!” Suara bariton Adrian membuat semua orang takut. Mereka mundur teratur. Tania sadar, sikap Adrian yang seperti ini justru akan membuat para ART si biang gosip itu akan semakin memojokannya. Ia berusaha menenangkan Adrian dengan cara menyentuh lengannya. “Aku mau mereka teta

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Berbagi Suami   29. Adu Marah

    Tania mendekati Wini yang sedang menyiram bunga dihalaman belakang. Ia sarapan di kamar setelah mengeluh perutnya sakit, padahal ia hanya alasan karena tidak siap melihat ketegangan di meja makan. Malam, ketika ia dan Adrian berciuman, Wini membuka pintu. Ia langsung masuk kamar dan tidak bicara sampai pagi ini. “Wini?” “Hm?” “Kamu bisa berhenti menyiram? Aku mau bicara.” Wini menaruh ceret siram dan membalikkan badan, “Kamu sudah minum obatnya?” Tania mengangguk. “Aku harap tidak ada drama lain lagi setelah ini. Ke depannya, kalau kamu aborsi lagi—aku tidak akan bantu.” Tania tahu, maksud Wini baik. Ia tidak benar-benar ingin mengatakan itu. “Semalam—” “Semalam aku pulang karena—mamaku datang ke rumah sakit dan minta aku pulang.” Tania mengernyit, kenapa Wini malah membahas tentang dirinya? Apakah ia sedang berusaha menahannya mengatakan soal ciuman itu? “Tan, aku lupa, soal kamar—kamu mungkin mau pindah ke atas, ke sebelah kamarku. Aku bisa bereskan sekarang,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Berbagi Suami   30. Rencana Bekerja

    Dua minggu kemudian... Tania selalu makan di kamar atau ruangan lain. Ia masih melakukan gencatan senjata dengan Wini yang selalu berusaha mendekatinya. Ia tidak siap berteriak dan merendahkan diri demi menjaga perasaan madunya. Pagi ini, berbeda. Tania keluar dari kamar sepagi mungkin, berniat membantu Wini dan makan bersama bertiga seperti biasa. “Apa yang bisa aku bantu?” Wini melirik Tania. Ia tersenyum, “Kamu—bisa potong buah mangga?” Tania mengangguk. Ia mengambil buah mangga yang sudah disiapkan, sedangkan Wini sibuk mematangkan masakannya. “Kamu lagi ngidam apa, Tan? Biar aku buatkan.” “Aku tidak ngidam apa-apa. Aku akan makan semua yang kamu masak.” Wini selalu melirik Tania diam-diam. Ia senang, tapi juga terkejut, karena madunya tiba-tiba bersikap seperti biasa. Adrian datang. Ia yang lesu selama dua minggu terakhir karena pertengkaran istri-istrinya, tersenyum sumringah mendapati Tania dan Wini sedang berbincang di dapur. “Selamat pagi istri-istriku yan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Berbagi Suami   31. Menjadi Boss Romi

    Tania berjalan berdampingan dengan Adrian memasuki gedung kantor. Semua karyawan mengangguk sopan dan menyapa. Tania merasa risih diperlakukan berlebihan. Ia tidak biasa di sapa sebegitunya sebelum ini. “Ini ruangan kamu. Nanti mbak Tika akan membantu kamu mengurus ruangan dan yang lainnya.” Mbak Tika, selaku orang kepercayaan di kantor ini mengangguk, “Betul, bu. Jika ibu membutuhkan apapun, bisa meminta bantuan saya.” Mata Tania tak berhenti mengedar. Ia mencari satu orang yang membuatnya bersikeras ingin bekerja di kantor ini. “Kamu cari seseorang?” tanya Adrian. “Tidak. Pergilah, aku akan mulai bekerja.” “Aku akan disini.” Tania mengernyit, “Bukankah biasanya kamu—” “Aku bebas melakukan apapun, bukan?” “Terserah.” Tania memasuki ruangan yang sudah disiapkan. Di meja kebangsaannya tertulis namanya besar-besar, sebagai Direktur? Ia tergelak sendiri dalam hati. Hidup orang kaya begitu mudah begini. Pantas papa memaksanya menikahi Adrian. Adrian duduk di sofa.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Berbagi Suami   32. Andai Saat Itu...

    Tania sibuk memeriksa seluruh lembar track record pegawai yang sudah dirangkum tim HRD, bersama Adrian. “Kamu serius mau membuat PHK besar-besaran?” Tania melirik Adrian, “Kamu tidak setuju?” “Bukan begitu.” “Aku tidak akan melakukan apapun tanpa persetujuan kamu.” “Apa tujuan kamu melakukan ini?” “Menunjukkan diri sebagai istri Adrian Kiehl.” “Bukan untuk Romi?” Tania membuang nafas pelan. Ia menatap suaminya, “Adrian, dengar, kamu tidak tahu rasanya jadi aku. Romi berselingkuh dengan setiap sekretarisnya. Sekitar empat atau lima.” “Tujuh sekretaris lebih tepatnya.” Tania diam sejenak, “Kamu tahu?” “Aku tahu banyak soal Romi.” “Dan kamu masih mempekerjakan dia?” “Kinerjanya lumayan.” “Tapi dia tidak menghargai sebuah komitmen. Dia bisa menghianati perusahaan.” Adrian tertawa, “Jadi istriku sedang marah dan ingin balas dendam?” “Adrian...” “Aku paham, lakukan yang kamu mau.” “Apa perusahaan tidak papa jika aku buat keputusan ini?” “Semuanya akan b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Berbagi Suami   33. Meminta Adrian dari Wini

    Sejak siang itu, Tania jadi tidak bisa jauh dari Adrian. Ditinggal membuatnya uring-uringan. Ia terus mengikuti kemana suaminya pergi. Tania melendot manja pada Adrian di mobil, “Aku mau besok kamu tetap ke kantor.” Adrian tertawa, “Besok aku harus rapat di pabrik obat.” “Aku akan ikut.” “Ikutlah. Aku akan sangat senang.” Tania mencium pipi Adrian. Pak Udin yang menyetir senyum-senyum sendiri. “Kenapa, pak Udin?” “Gak papa, pak Adrian.” Saat menuruni mobil, Adrian menuntun Tania. Mereka melihat Wini yang baru keluar dari rumah dengan wajah marah. “Kalian kenapa tidak pulang saat jam makan siang?” “Kami makan di kantor. Jaraknya jauh, jadi kita—” “Mas, lima tahun kamu selalu pulang saat jam makan siang. Dan hari ini kamu beralasan begitu?” Tania memegangi lengan Adrian, “Aku yang minta mas Adrian makan di kantor.” “Mas?” Wini kaget dengan panggilan baru itu. “Aku istrinya juga, ‘kan?” Wini menatap Adrian meminta penjelasan. “Ini ‘kan yang kamu mau? Tania

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Berbagi Suami   34. Perhatian yang Melimpah

    Tania menyambut kedatangan ayah dan ibu yang datang membawa banyak sekali oleh-oleh dari luar negeri. “Duduk, bu, yah.” Mereka duduk bersama Adrian yang tak henti menatap Tania yang tampil cantik mengenakan dress yang ia belikan diam-diam saat awal menikah. “Wini mana?” tanya ibu. “Wini tadi—lagi siapin pudding, bu. Aku panggilkan.” Tania hampir beranjak, tapi ibu menahannya. “Kamu jangan banyak gerak, Tan, masih rentan. Apalagi kemarin ada insiden.” Tania tersenyum tidak enak, “Bu, yah, maaf soal kejadian kemarin. Aku—sangat menyesal.” “Tidak papa, kami paham. Untungnya calon pewaris keluarga Kiehl sangat kuat.” tutur ayah. Wini datang bersama mbok Sayem yang membawa nampan berisi pudding mangga dan suguhan lain. “Bu, yah, apa kabar?” Wini mencium dan memeluk mertuanya. “Baik. Kamu apa kabar, Win? Bagaimana rasanya punya madu sebaik dan secantik Tania?” tanya ibu. Senyum Wini hilang, “Hmmm, aku baik, bu. Soal Tania—aku senang memiliki madu sepertinya.” Wini me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15

Bab terbaru

  • Berbagi Suami   79. Kondisi yang Buruk

    Orang yang berpura-pura menjadi ODGJ langsung pergi ketika banyak orang mendekati TKP, dimana Tania pingsan setelah di dorongnya. “Bu Tania, bu?” Bodyguard yang lain datang membawa banyak cup bubur kacang yang dipesan Tania, “Bu Tania!” “Telpon pak Adrian cepat!” Bodyguard dengan sigap memangku Tania yang tak sadarkan diri. Darah mengalir deras seperti sebelumnya setiap kali ia stress. Karena kalut, dan kebetulan ada taksi yang berhenti untuk melihat kerumunan, bodyguard membawa Tania ke rumah sakit menggunakan taksi. Untungnya di dekat sini ada rumah sakit. Kedua bodyguard memasang wajah takut pada kondisi Tania yang lebih buruk dari sebelumnya. Baru kali ini istri tuannya pingsan. Mereka tahu Adrian akan marah besar sebentar lagi. “Tania?” “Pak Adrian.” salah satu bodyguard mengangkat tangannya memberi petunjuk keberadaan mereka. “Bagaimana keadaannya?” “Dokter belum keluar, pak. Tadi samar kami dengar, bu Tania akan—dilakukan bedah caesar emergency sekarang.”

  • Berbagi Suami   78. Usaha Melenyapkan Tania

    Tania berjalan pagi sendiri ketika sinar matahari masih malu-malu menampakkan diri. Ia di ikuti dua bodyguard untuk berkeliling komplek. Adrian harus bersiap ke kantor, karena selama ia di rumah sakit, suaminya itu sama sekali tak memerdulikan pekerjaan. “Bu, apa ibu belum lelah?” tanya salah satu bodyguard yang berjalan dibelakang Tania. Tania membalikkan badan, “Lumayan, tapi saya masih kuat.” “Lebih baik ibu istirahat. Biar ibu minum dulu.” Tania mengangguk. Bodyguard lainnya yang sedari tadi mendorong kursi roda, memberikannya pada Tania, “Silakan, bu.” Tania duduk di kursi roda. “Minumnya mana?” tanya bodyguard pada rekannya. “Saya tidak bawa minum.” “Kan tadi saya suruh kamu bawa minum untuk bu Tania.” Tania tertawa, “Tidak perlu bertengkar. Kalian bisa membelinya di depan.” “Baik, bu. Saya belikan dulu.” satu bodyguard berlari menuju minimarket depan komplek. Tania melirik bodyguard lainnya, “Pak, saya boleh minta tolong?” “Boleh, bu, ada yang bisa say

  • Berbagi Suami   77. Keputusan Wini

    Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera

  • Berbagi Suami   76. Kekecewaan Tania

    Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid

  • Berbagi Suami   75. Pulang

    Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu

  • Berbagi Suami   74. Mengancam Tania

    “Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.

  • Berbagi Suami   73. Diujung Nyawa

    Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua

  • Berbagi Suami   72. Kehamilan yang Beresiko

    Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar

  • Berbagi Suami   71. Cinta Tulus Wini

    Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang

DMCA.com Protection Status