Tania tak berhenti menangis di kamar. Sedari ijab kabul, ia tak menemui siapapun diluar. Ia bahkan belum bertemu suaminya sendiri.
Adrian Kiehl, pria beristri yang Tania kenal karena sering bertemu dalam pertemuan bisnis papa, sudah meminta waktu sebelum akad untuk bertemu dengannya. Tapi ia menolak mentah-mentah. Ia terlalu malu untuk menunjukkan wajah pada suaminya yang adalah suami orang. Pintu terbuka, mama berjalan resah mendekati ranjang, “Tan, papa minta kamu keluar.” “Ma,” Tania menggeleng, air matanya terus berderai, “Aku gak mau.” “Tan, banyak orang yang menanyakan kamu. Papa juga marah karena kamu tidak mau menemui tamu.” “Mama bilang ‘kan sama orang-orang kalau aku—sakit?” “Iya, tapi kamu tahu papamu seperti apa ‘kan?” Tania membuang mukanya. Ia jelas tahu sifat papa seperti apa. Mau dilawan bagaimana pun, papa akan tetap menguasai siapapun. “Kita sebentar saja disana. Nanti kamu bisa kembali kesini.” Tania terpaksa bangkit. Ia menuntun mama yang memiliki perasaan yang sama : malu. Mereka terus menarik nafas begitu menuruni tangga. Karena di adakan mendadak, pesta pernikahan di gelar ala kadarnya di rumah. Papa hanya ingin anaknya menikah segera sebelum perutnya membesar. Dibawah tangga, ternyata sudah banyak yang menunggu turunnya Tania, si pengantin yang memakai dress brukat sederhana. Ada Adrian juga, bersama istrinya yang selalu setia tersenyum, Wini. “Tania, kamu sudah gak terlalu pusing?” Wini bertanya dengan lembut. Tania memang sering mendengar mengenai perempuan yang kini menjadi madunya itu adalah seorang yang ramah. “Lumayan.” Tania menjawab singkat. Matanya yang sembab berpindah melirik Adrian yang tersenyum menyambutnya. “Kalau kamu masih pusing, kamu bisa duduk.” Adrian tak kalah ramah padanya. Tania tak bisa lama-lama berdiri berhadapan dengan mereka. Ia harus mendekati papa yang sedang berbincang bersama kolega bisnisnya. Papa tertawa seolah pernikahan ini terjadi sewajarnya, bukan pernikahan penuh duka seperti yang anak bungsunya rasakan. “Nah ini mantennya baru turun.” “Halo, om-tante, terima kasih ya, sudah menyempatkan datang.” Perempuan usia mama itu mengusap lengan Tania, “Harus dong, tante datang. Ini ‘kan pernikahan yang kami tunggu-tunggu. Tapi sayang, kamu—malah menikah sama pria beristri.” Senyum yang sedari tadi dipaksakan, kini luntur dengan cepat, berubah dengan raut penuh amarah yang harus ditahan entah sampai kapan. Tania dan mama sama-sama tidak nyaman ada di situasi ini. “Tidak masalah mau jadi istri ke berapa pun, mungkin sudah jodohnya seperti ini. Yang penting Tania dan Adrian bisa bahagia.” Papa membela diri, melindungi anaknya yang sudah kehilangan minat sama sekali untuk berbasa-basi pada tamu. “Om, tante, saya permisi.” Tania berjalan cepat meninggalkan mama yang terpaksa harus tetap tinggal disamping papa. Tanpa menghiraukan sapaan keluarga lainnya, Tania menaiki tangga menahan tangis. Apalagi ia mendengar dengan jelas hinaan dan kalimat simpati palsu yang dilontarkan para tamu. “Cantik, sukses, tapi sayang, suaminya harus ambil punya orang.” “Gak nyangka ya, padahal dia dikenal baik, tapi tega menikahi suami orang.” “Hidup memang tidak ada yang tahu. Anak dari keluarga terpandang saja rela jadi madu. Kalau kita sih, mending jadi orang biasa, tapi punya harga diri dengan menikahi pria single.” Tania berang. Ia kembali menuruni tangga, berniat menghadapi mulut para tamu yang sebagian besar adalah keluarga dari pihak papa. Adrian menahannya. “Aku pikir kamu masih terlalu pusing untuk ikut bergabung. Aku antarkan ke kamar.” “Jangan halangi aku.” mata Tania menatap penuh intimidasi ke arah Adrian. “Kamu mau semakin dicaci? Mereka senang kalau kamu tersulut emosi. Tinggalkan, dan kamu tidak perlu mendengar ucapan mereka lagi.” Tania tak bereaksi. Benar juga ucapan Adrian. “Aku antarkan ke kamar.” Adrian menuntun lengan istrinya menaiki tangga. Di ujung tangga atas, Tania melepaskan lengan Adrian, “Kamu puas melihat umpatan semua orang padaku?” “Aku tidak bilang begitu. Apa untungnya untukku senang melihat kamu direndahkan?” “Kalau kamu menolak menikahiku, aku tidak akan jadi bahan gunjingan orang-orang!” suara Tania meninggi, mengalahkan alunan instrumen musik yang diputar dibawah. Adrian melipat kedua tangannya. Meski begitu wajahnya tidak terlihat ingin mengintimidasi sama sekali. Ekspresinya malah menunjukkan kalau ia siap mendengarkan semua keluh kesah Tania. “Tania, kamu dengar, kita menjalin simbiosis mutualisme disini. Kita sama-sama di untungkan.” “Aku tahu, tapi hanya aku disini yang di hina. Sedangkan nama baik kamu tetap terjaga.” “Jadi kamu mau namaku juga jelek karena memiliki dua istri?” Tania melengos pergi. Tidak ada gunanya beradu argumen dengan pria yang tidak tahu sifatnya seperti apa. Kini, baru lima menit bersama, ia bisa menilai bahwa Adrian Kiehl bukanlah pria sembarangan. Selain memiliki paras yang rupawan, ia juga memiliki otak yang brilian. Tidak heran, perusahaan semakin pesat berada dalam kendalinya. Tania akui, berargumen dengan Adrian membuatnya kalah telak. Apalagi emosinya terjaga dengan baik. Tutur katanya berirama, seolah sudah diatur sedemikian rupa. “Tania.” Adrian menarik lengan Tania. Tania membalikkan badannya, “Apa lagi? Tadi kamu minta aku istirahat, tapi sekarang malah menggangguku seperti ini.” “Aku hanya ingin mengingatkan, sore ini kamu harus ikut ke rumahku.” “Untuk apa?” Adrian melepaskan genggaman tangannya dilengan Tania, “Itu lah pentingnya kamu menyaksikan ijab qabul pernikahan sendiri. Kamu lupa sekarang kita sudah sah menjadi suami istri?” Tania diam untuk mencerna ucapan Adrian. Ia tentu tahu ini adalah hari pernikahannya dengan pria beristri. Tapi ia lupa jika statusnya sudah berubah menjadi istri Adrian. Istri keduanya. “Aku ingat.” “Oh, begitukah? Terus kenapa kamu bertanya untuk apa kamu ikut ke rumahku?” Tania gelagapan. Ia tidak tahu apakah Adrian bisa ia ajak bercanda atau tidak, “Aku... sepertinya kurang minum.” “Kalau begitu, minum yang cukup. Aku tidak mau terjadi apa-apa pada anakku.” Kedua mata Tania membelalak, “A-nak?” “Terhitung hari ini kamu jadi istriku. Dan aku harap kamu tidak lupa, bahwa kesepakatan kita menikah adalah anakmu akan menjadi anakku, pewaris perusahaan keluarga Kiehl.” “Oh. Tentu, aku ingat itu. Aku hanya—” “Minumlah yang banyak, aku ambilkan.” Adrian bergegas mengambil air mineral. Ia kembali ketika membawa satu botol air, “Duduk. Kamu harus dalam keadaan rileks ketika minum, agar anakku tidak mendengar cegukan dari dalam perut.” Tania tidak tahu itu adalah sebuah guyonan atau apa. Ia menyambar botol minum yang Adrian bawakan dan minum dengan perlahan. “Aku boleh bertanya?” tanya Adrian ketika Tania masih meneguk air mineral. “Hm.” “Kamu bahagia menikah denganku hari ini?” Tania tersedak. Ia cepat-cepat menurunkan botol minum dan menenangkan dirinya. “Kamu tidak papa?” Tania mengangguk. Ia melirik wajah Adrian yang duduk disampingnya. Jika ia menjawab pertanyaan Adrian dengan jujur, bahwa hari ini adalah salah satu hari terburuk yang pernah ia jalani, apakah Adrian akan marah dan menyebutnya perempuan tidak tahu diri?Selesai acara, Tania memasuki mobil yang dibukakan supir. Ia begitu berat melepaskan pelukkan mama. Ia melambaikan tangan di jendela mobil pada mama, papa, dan Angga, kakaknya, serta Isti, iparnya.“Kamu baik-baik ya disana. Mama akan sering menjenguk kamu.”Tania mengangguk. Mobil berjalan diiringi air mata perpisahan Tania dan mama. Tania tak pernah membayangkan sebelumnya jika ia akan berpisah dengan mama secepat ini. “Kalian bisa bertemu satu minggu tiga kali. Aku tidak masalah.”Tania melirik Adrian yang duduk disampingnya, “Aku tidak bertanya pendapat kamu.”“Aku tidak akan melarang kamu melakukan apapun. Tapi aku lebih senang jika kamu selalu minta izin, atas setiap yang akan kamu lakukan. Itu artinya kamu menghargaiku.”Tania tak berniat membalas ucapan Adrian. Pikirannya jauh memikirkan kenapa bisa ia mengalami takdir ini. Ia tidak akan pernah lupa umpatan, cacian dan hinaan yang didengar sendiri ketika tak sengaja mendengar bahwa hampir semua asisten rumah tangga d
Tania tak membukakan pintu kamarnya ketika Adrian mengetuk. Ia enggan diganggu.“Kita harus tidur satu kamar, Tania.” Adrian berusaha merayu.“Kata siapa?”“Kita suami istri.”“Wini istrimu juga, tidur saja sama dia.”Adrian memainkan cincin nikah dijemarinya. Wini dan orang tuanya meminta ia tidur bersama Tania, sekalian mendekatinya secara alami. Tapi kalau begini mana mungkin ia bisa mendekati istri barunya.“Aku sudah hamil, kamu tidak perlu melakukan apapun.”“Aku hanya akan menemani kamu.”“Aku tidak biasa ditemani siapapun. Masuk saja ke kamar Wini.”“Tapi—”“Kamu akan membiarkan aku tidak tidur semalaman?”“Oke, aku ke kamar Wini. Kalau ada apa-apa kamu bisa telpon aku.”Tania tak menjawab.“Aku pergi.”Tania tak lagi menatap pintu setelah suara lift terdengar. Ia masih setia duduk di window seat sedari datang kesini. Memperhatikan dedaunan tertiup angin lebih menyenangkan dari pada bertemu dengan orang-orang di rumah ini.Tania membuka jendela, merasakan angin
Tania hanya menghabiskan waktu seharian di kamar. Ia tidak tahu aktivitas apa yang cocok dilakukan disini untuk membuang rasa bosannya. Pintu diketuk, “Tania. Ayo kita makan siang.” Tania bangkit. Ketika melangkah menuju pintu, ia berhenti. Sungguh tidak tahu malu ia menjadi nyonya di rumah ini. Ia hanya makan, tidur, dan berdiam diri di kamar. “Tan, ayo, mumpung masih hangat.” Pintu terbuka, Tania menatap Wini yang tersenyum menunggunya, “Aku akan makan nanti. Kamu duluan saja.” “Ada mas Adrian, dia mau kita makan bertiga.” Mendengar namanya, Tania justru ingin menghindar, bukan semangat untuk makan bersama. Wini menarik tangan Tania, “Tan, aku senang kalau kamu mau bergabung dengan kami. Yuk. Mas Adrian akan kembali ke kantor sebentar lagi.” Tania duduk disebelah Adrian. Ia hanya berdiam diri ketika Wini menyiukkan nasi dan lauknya, “Cukup.” Wini terus menyiukkan nasi dan lauk yang banyak untuk madunya, “Kamu harus makan yang banyak dan bergizi. Aku sengaja masak
Tania sudah menghabiskan dua porsi steik Sapi yang ia pesan online. Ia makan buru-buru sebelum Adrian pulang dari kantor. Ia tidak tahu jam kepulangan suaminya itu. Semenjak hamil, porsi makan Tania memang meningkat tajam. Ia sangat tersiksa ketika harus makan bersama Wini dan Adrian, karena ia jadi tidak bebas menambah porsi. Tania menutup dus steik dan mengelap mulutnya dengan tisu. Ketika itu Wini menghampirinya. “Kamu... habis makan apa, Tan?” Tania diam sejenak, ia takut Wini tersinggung karena ia memesan makanan online tanpa menawarinya. “Hmmm... bau apa ini, kamu masak Steik?” Adrian datang. Ia berjalan melipat lengan kemejanya. Wini melirikku, “Eum... enggak, mas, itu—” Mata Adrian menatap dua buah dus steik dan beberapa wadah makanan lain yang tersebar di meja sofa ruang santai. Tania membereskan semua sampah miliknya dan bangkit, “Maaf, aku permisi.” Adrian menahan lengan Tania, “Kamu masih lapar?” “Hm?” “Untuk merayakan keberadaan Tania di rumah ini,
Semalam, Tania masih aman. Ia tidak menjawab ucapan Adrian sama sekali dan berjalan cepat menuju kamar dan menguncinya. Jangan sampai mereka tidur satu kamar. Selain untuk menjaga perasaan Wini, ia juga enggan berbagi ranjang dengan lelaki asing. Masih terekam jelas kebodohannya satu bulan lalu, karena ia terlalu mabuk, Tania membiarkan dirinya dibawa pria asing ke sebuah kamar haram di diskotek. Sialnya ia tidak mengingat wajah itu sama sekali. Pagi ini, Tania bangun seperti biasa. Ia hanya terus diam di kamar dan tak menjawab semua orang seolah masih tidur. Ia menunggu mobil Adrian pergi. Dan barusan, mobil itu terdengar menjauhi pekarangan rumah. “Kamu sudah bangun?” Tania terperanjat ketika Wini tahu-tahu duduk di sofa yang tak jauh dari letak kamarnya, begitu ia keluar kamar. “Ya. Aku tidak akan keluar kalau masih tidur.” Wini bangkit, “Kamu kenapa seperti ini?” “Apanya?” “Kamu keluar kamar menunggu mas Adrian pergi? Kenapa?” Tania berjalan tanpa memerdulikan
Tania tidak bisa tidur nyenyak sedari tadi. Siang, setelah makan banyak masakan Wini, ia merebahkan diri dan berharap tidur karena tidak ada hal yang bisa ia kerjakan di rumah ini. Ia masih malu untuk melakukan apa yang disukai. Dan kini, ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, matanya masih terjaga. “Aku kenapa, ya? Dari siang aku tidak ngantuk sama sekali.” Tania bangkit. Ia mengambil air dan minum yang banyak, berharap setelah itu kantuk akan menghampirinya. Air tidak membuatnya ngantuk, malah sebaliknya. Tubuhnya merasa segar dan ingin beraktivitas. “Apa aku—minum susu hangat? Mama biasanya membuatkan itu, dan selalu berhasil.” Tangan Tania sudah membuka handel pintu, namun tertahan, “Kalau—Adrian masih di lantai satu gimana?” ia menggeleng, “Pasti dia sudah tidur.” Tania berjalan cepat ke dapur. Ia tidak terlalu memperhatikan bunyi lift, sehingga tidak bisa menghitung pergerakan Wini dan Adri
Tania mendekati ruang makan ketika Wini sibuk menata meja makan. “Ada yang bisa aku bantu?” Wini menoleh. Ia tersenyum, “Kamu menepati janji kamu.” Tania membawa piring yang masih tertumpuk. Ia menyimpannya diatas alas piring, “Apa aku harus masukkan nasinya sekarang?” Wini menggeleng, “Tunggu mas Adrian duduk.” Tania menurut. Ia orang baru di rumah ini, sehingga semua kebiasaan, ia yang harus mengikuti aturan disini. Adrian berjalan mendekati ruang makan. Ia yang sedang mengaitkan dasi ke kerah sambil mendekati meja, berhenti melangkah melihat Tania tengah tertawa dengan Wini. “Pagi, istri-istriku.” Adrian berusaha terlihat jadi suami yang ramah dan bisa berbagi. “Pagi, mas.” Tania tak menjawab. Adrian menunggu jawaban Tania. Setelah menunggu beberapa menit, ia tahu istri keduanya tidak akan menjawab sapaannya, “Selamat pagi, Tania.” “Pagi.” Semua suda
Tania pergi begitu saja saat Adrian masih belum beranjak untuk berangkat kerja. Ia tidak bisa menahan tatapan penuh pengertian itu. Ia mencari Wini untuk meminta maaf. Ia jadi tidak enak sendiri. Wini adalah tipikal perempuan sabar. Tadi ia membentaknya pasti karena sudah lelah. Tania menyadari, ia memang kelewatan karena bersikap seolah ia boleh melakukan apapun disini, di rumah Wini dan Adrian. “Wini, kamu mau kemana?” Tania berdiri menatap madunya yang baru keluar dari lift dengan pakaian rapi dan membawa tas. “Aku? Aku mau pergi ke toko.” “Belanja? Aku temani, ya?” “Aku punya toko bunga, Wini Florist, di jalan Pattimura. Kamu mungkin pernah lihat?” Tania menggeleng, “Aku jarang ke daerah itu.” “Oh begitu. Ya sudah, aku pergi.” Tania menahan lengan Wini. Mereka jadi berdiri berhadapan, “Aku—mau minta maaf.” “Untuk?” “Aku membuat kamu marah tadi. Aku seharusnya membantu kamu mengurus—Adrian.” “Tidak papa, kamu masih baru jadi istri mas Adrian, aku paham.” “T
Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera
Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid
Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu
“Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.
Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua
Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar
Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang
Papa bangkit dari kursi dengan cepat, membuat kursinya terjatuh dan membuat Tania nyaris jantungan. “Pa, tahan emosi papa. Ingat, Tania sedang hamil.” mama takut papa akan menampar Tania. Tania menahan air matanya ketika papa mendekatinya, “Pa—” Papa mengelus perut Tania, “Anak ini—membutuhkan Adrian.” Tania menitikan air matanya. Ia pikir papa akan marah besar. Ternyata suaranya sangat tenang. “Semua orang tahu ini anak Adrian. Kalau kamu berniat memberikan anak ini untuk kakakmu, apa kata orang?” Mama mendekati Tania, “Tan, papamu benar. Masalah Angga dan Isti yang—akan sulit punya keturunan, itu bukan urusan kamu. Tidak ada kewajiban kamu sedikitpun untuk membahagiakan mereka dengan kamu memberikan anakmu pada mereka.” “Tania, dengar papa, alasan papa menikahkan kamu dengan Adrian bukan hanya karena untuk menutupi aib keluarga, tapi lebih dari itu. Kamu pasti merasakan sikap baik mereka ‘kan? Adrian adalah suami yang baik, kedua orang tuanya juga. Kamu tidak bahagia m
Ibu memegani dua bahu Tania, “Bilang pada kami, apa yang Adrian lakukan, Tania?” “Mas Adrian—hampir mencelakai anak ini, bu. Dia—bermain sangat kasar tadi, heu heu heu.” Ibu dan ayah beradu pandang. “Adrian!” Ayah berteriak kencang, “Kemari kamu!” Ibu bergerak memeluk Tania, “Maafkan ibu yang tidak bisa menjaga kamu, sayang.” Adrian keluar dari kamar dengan mata merah. Ia baru saja terlelap setelah bertarung, kenapa ayah memanggilnya seperti akan marah? Ayah menampar Adrian dengan kencang, “Keterlaluan kamu!” “Yah? Kenapa ayah tampar aku?” “Berani kamu bertanya begitu? Kamu tidak berpikir, tindakanmu bisa membahayakan Tania dan anaknya!” Mbok Sayem dan dua ART, serta dua bodyguard mendekati ruang tengah. Mereka penasaran apa yang sedang terjadi dengan tuan-tuan mereka. Melihat banyak orang menguping, ayah mengkode Adrian untuk mengikutinya ke ruangan khusus. “Kalian kembali ke kamar.” pinta ibu. “Ba-baik, bu.” Ibu mengajak Tania pergi ke ruang kerja Adrian.