Beranda / Rumah Tangga / Berbagi Suami / 41. Ancaman Adrian 2

Share

41. Ancaman Adrian 2

Penulis: Rahmani Rima
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-19 09:03:34

Adrian membuka pintu mobil untuk Tania dan menggenggam tangannya saat berjalan berdampingan memasuki rumah.

“Acara besok malam kamu yakin kuat ikut?”

“Jadi kamu tidak mau aku ikut?”

Adrian tertawa, “Aku hanya bertanya.”

Langkah Adrian berhenti di ruang keluarga, menatap mama sedang membuka dus-dus yang berserakan paket belanjanya.

“Adrian, sudah pulang?”

Wini baru keluar dari lift. Ia menatap tidak enak pada suami dan mamanya, “Mas, mama—“

Mama menghampiri Adrian, “Masa kamu tega membuat mama tinggal sendiri di rumah kamu yang lain? Mama tidak akan lama disini. Bulan depan juga pulang.”

“Bulan depan?” Adrian bertanya untuk mengkonfirmasi pendengarannya.

“Iya. Mama ingin sekali ditemani anak dan mantu ketika masa sulit begini. Perceraian tidak pernah mudah, Adrian.”

Adrian membuang wajahnya.

“Mas, hanya satu bulan. Kasihan mama. Mama tidak akan setiap hari di rumah, karena—harus menunggu papa di rumah sakit.”

Adrian berjalan melewati Wini ke kamar. Tangannya dan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Berbagi Suami   42. Pertengkaran

    “Iya, mama bersedia Adrian. Mana uangnya? Mama tidak mau kemalaman di jalan.” Adrian melepaskan genggaman tangannya pada Tania, “Aku ke atas dulu.” Setelah memastikan Adrian menaiki lift, mama mendekati Tania. “Bu, jangan ganggu non Tania.” Mbok Sayem dan pak Udin pasang badan menghalangi mama Wini sebelum mengganggu majikan mereka. “Saya hanya akan bicara dengan jalang itu.” “Biarkan saja mbok, pak Udin.” Mbok Sayem dan pak Udin mundur. “Ma, jangan bikin mas Adrian marah. Tolong mama jaga sikap pada Tania.” Mama tak menggubris larangan Wini. Mumpung menantunya sedang membawa uang di kamar, mama akan mengambil kesempatan ini untuk mengancam Tania. “Kamu benar-benar tidak malu menikahi menantu saya? Janin di kandungan kamu itu anak laki-laki lain. Bisa-bisanya kamu bersikap seolah nyonya di rumah ini. Kamu harusnya tahu diri. Kamu harus membiarkan Adrian hanya mencintai dan bersikap baik pada anak saya, Wini.” “Oh, begitu? Kenapa tidak tante saja yang bicara seperti

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Berbagi Suami   43. Perang Dingin

    Tania duduk dipinggiran ranjang setelah memastikan Adrian benar tidur. Ia lalu melirik sebuah botol obat yang terbuka. “Ini... obat apa?” Tania membaca tulisan yang ada di kemasan, “Obat tidur?” ia melirik tubuh Adrian yang meringkuk memunggunginya, “Mas, kamu harus sampai seperti ini menghadapi mama Wini?” Tania mengelus lengan kekar suaminya. Ponsel Adrian bergetar pendek di atas nakas. Tania mengabaikannya. Ia belum pernah menyentuh ponselnya sama sekali. Biarkan saja, paling hanya urusan pekerjaan. Drrrt~ Drrrrt~ “Aduh, gimana ini? Ada yang telpon.” Tania menggeser tubuhnya untuk bisa melihat penelpon. Ia mengernyit membaca nama kontaknya, “Kak Angga?” Tania membawa ponsel itu keluar kamar. Setelah sampai dibelakang rumah, ia mengangkat telpon itu, “Halo?” “Tan?” “Kak?” “Kamu—Adrian mana?” “Dia—udah tidur, kak.” “Jam segini? Ini baru jam sembilan.” “Hmmm, mas Adrian sedang banyak pekerjaan di kantor.” “Ah, iya. Ya sudah aku telpon lagi dia besok pagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Berbagi Suami   44. Kepicikan Wini

    Acara pertemuan antar investor bisnis akan digelar malam ini. Adrian mengajak Tania pulang lebih cepat untuk bersiap. Mereka baru saja sampai rumah, dan Wini menyambut mereka dengan membawakan pie apel buatannya ke ruang tamu. “Kamu mau makan sekarang, mas? Aku potongkan ya?” “Aku mau mandi.” “Kamu bisa mencobanya sedikit.” Wini memohon. Tania tahu Adrian masih melakukan perang dingin dengan Wini. Ia bergerak mengambil pisau dan memotong pie yang masih Wini pegangi, “Baunya enak sekali. Aku cicipi ya?” Wini tahu Tania sedang membantunya. Ia tersenyum dan senang madunya sudah berusaha membuat Adrian mau berbaikkan dengannya. “Hm... enak sekali. Mas, kamu coba ya? Aaaa.” Adrian menggeleng. “Ayolah, mas.” Adrian terpaksa membuka mulutnya. Ia mengigit pie apel yang Tania pegangi, “Cukup, aku mau mandi.” Wini menaruh piring pie dan menatap Adrian ragu, “Mas, aku boleh ikut ‘kan ke acara malam ini?” “Hm. Aku diberikan tiga tiket.” “Aku bersiap sekarang. Aku juga s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Berbagi Suami   45. Tidak Becus Jadi Suami

    Tania duduk sendirian di kamar. Ia tidak menyangka, rencana gilanya untuk menghilangkan undangan itu akan membuat Adrian semakin bertengkar dengan Wini. Padahal tujuannya adalah suaminya itu pergi berdua saja dengan istri pertamanya, agar mereka bisa berbaikkan. Ia mau minta maaf pun merasa akan memperumit masalah. Tentu Wini tidak akan marah, tapi beda dengan Adrian. Ia akan dituduh ikut campur urusan rumah tangga mereka. Tania bangkit. Ia keluar kamar berniat mencari Adrian untuk membahas soal pekerjaan, berusaha mengalihkan kemarahannya. “Mas Adrian tidur di kamar mana, ya?” Tania baru keluar dari lift lantai dua. Tania mendengar suara deheman Adrian. Suara itu berasal dari kamar sebelah kamar utama. Ia baru ingat kata mbok Sayem tadi, kalau Adrian dan Wini kini pisah kamar. “Apa gak papa kalau aku samperin mas Adrian?” Ia mengelus perutnya, “Apa aku bilang saja ingin perutku di elus? Ide bagus.” Tok-Tok-Tok “Mas?” Pintu dibuka, “Tan? Masuk.” Tania melirik kese

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Berbagi Suami   46. Mulai Egois

    Tania bangun dengan perasaan tidak karuan. Ia tidak melihat Adrian disampingnya seperti malam-malam sebelumnya. Ia pun hanya cuci muka dan gosok gigi sebelum keluar kamar untuk sarapan. Ia yang baru sampai dapur, melihat Adrian dan Wini keluar dari lift bersama. Mereka saling bergandengan. Rambut keduanya sama-sama basah. ‘Mereka—tidur berdua semalam?’ batin Tania. “Tan?” “Sayang?” Adrian berusaha mencium kening Tania, tapi ia menghindar. Tania menutup hidungnya, “Kalian bau. Maaf aku ke kamar saja.” “Tan?” Adrian berusaha menahan Tania. “Mas, gak papa, kasian Tania. Itu bawaan hamil.” Tania menutup pintu dengan cepat. Ia menangis ketika meyakini Adrian dan Wini sudah melewati malam panjang. “Aku—mencintai kamu, mas. Tapi tidak dengan statusmu sebagai suami Wini.” Seharian Tania tidak keluar kamar. Ia tidak lapar. Ia tidak minum setetes pun. Karena ia hanya mau sesuatu yang tak mungkin terkabulkan. Ia mau Adrian sepenuhnya. Sikap baik Adrian padanya sudah membius

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Berbagi Suami   47. Pengakuan Tania

    “Kamu tanya?” Adrian diam sejenak, “Tadi terakhir kamu mual mencium bauku dan Wini. Kamu masih mual sekarang?” “Kamu tidak perlu pura-pura perhatian padaku.” Adrian tersenyum, “Kamu sebenarnya kenepa, sayang?” “Sayang? Bagaimana rasanya punya dua istri yang bisa kamu nikmati semau kamu?” Adrian diam. “Kamu tahu aku tidak suka berbohong, seperti istri pertama kamu itu.” “Maksud kamu?” “Aku—cemburu, Adrian!” Adrian terkejut mendengar pengakuan Tania. “Aku tahu kalian—sudah berbaikkan. Kalian menghabiskan malam yang panjang berdua.” “Wini istriku, aku berhak melakukannya.” “Tapi aku tidak suka.” Adrian diam. Tania berjalan menaiki tangga. Adrian mengejarnya. Ia masuk kamar dan membalikkan badan, “Aku—tidak bisa seperti ini. Aku tidak mau berbagi kamu dengan Wini.” Adrian tampak kebingungan. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk menghadapi emosi Tania yang tidak biasa. “Kamu boleh berpikir aku egois, karena aku si istri kedua ini berani-beraninya ingin me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Berbagi Suami   48. Menuduh Wini

    Tania sudah menghabiskan nasi goreng, bubur ayam dan kebab jumbo yang mama buatkan. Papa-mama, dan Adrian yang melihatnya, begitu tidak percaya. Tubuh ramping Tania terlihat tidak membutuhkan makanan sebanyak itu untuk masuk ke dalam perutnya. Mereka tahu Tania harus berbagi dengan anaknya, tapi biasanya tidak seperti ini. “Kamu pulang kapan, Tan?” tanya papa. Tania berhenti makan. Ia melirik Adrian, “Aku akan tinggal disini sampai melahirkan.” “Kenapa?” nada bicara papa meninggi. “Aku tidak mau nyawa bayiku jadi ancaman.” Mama mengernyit, “Maksud kamu? Siapa yang mau mencelaikai kamu, Tan?” Lagi-lagi Tania melirik Adrian. “Nak Adrian, apa ada asisten rumah tangga kalian yang tidak suka pada Tania dan berniat jahat dengan mencelakai calon anak kalian?” Adrian berdehem, “Tidak, ma. Mereka—tidak seperti itu.” “Terus—siapa yang mau mencelakai Tania?” Adrian menunduk. Ia tidak mungkin mengatakan aduan Tania semalam. “Wini, ma.” jawab Tania cepat. Papa melirik Tan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Berbagi Suami   49. Mimpi Buruk

    Tania menggeser tubuhnya mencari posisi nyaman beberapa kali di ranjang. Adrian tidak kesini lagi. Entah apa yang sedang dilakukannya bersama Wini di rumah. “Apa mereka—sedang bermesraan? Bagaimana kalau kebohonganku tadi terbongkar?” Tania bangkit. Ia mengelus perutnya, “Aku masih belum merasakan perasaan apapun padanya. Nak... mama... takut tidak bisa menyayangi kamu.” Air mata Tania turun perlahan. Ia masih belum menerima kenyataan dengan keberadaan mahluk kecil di dalam rahimnya. Itu terasa sangat berat, karena ia masih tidak tahu ini bibit siapa. Seharusnya malam itu ia tidak bodoh dengan pergi ke diskotek. Tapi percuma, mau menyesal pun semua tak akan bisa di ulang. Ia berusaha merebahkan lagi tubuhnya dan mulai tidur, karena jam menunjukkan pukul sebelas. Ia harus tidur cukup agar perkembangan janinnya optimal. “...lakukanlah, Rom." "Aku percaya kamu bisa membuatku suka dengan apapun yang kamu lakukan." Bayangan seseorang yang ia anggap Romi mulai hadir. Tapi w

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24

Bab terbaru

  • Berbagi Suami   79. Kondisi yang Buruk

    Orang yang berpura-pura menjadi ODGJ langsung pergi ketika banyak orang mendekati TKP, dimana Tania pingsan setelah di dorongnya. “Bu Tania, bu?” Bodyguard yang lain datang membawa banyak cup bubur kacang yang dipesan Tania, “Bu Tania!” “Telpon pak Adrian cepat!” Bodyguard dengan sigap memangku Tania yang tak sadarkan diri. Darah mengalir deras seperti sebelumnya setiap kali ia stress. Karena kalut, dan kebetulan ada taksi yang berhenti untuk melihat kerumunan, bodyguard membawa Tania ke rumah sakit menggunakan taksi. Untungnya di dekat sini ada rumah sakit. Kedua bodyguard memasang wajah takut pada kondisi Tania yang lebih buruk dari sebelumnya. Baru kali ini istri tuannya pingsan. Mereka tahu Adrian akan marah besar sebentar lagi. “Tania?” “Pak Adrian.” salah satu bodyguard mengangkat tangannya memberi petunjuk keberadaan mereka. “Bagaimana keadaannya?” “Dokter belum keluar, pak. Tadi samar kami dengar, bu Tania akan—dilakukan bedah caesar emergency sekarang.”

  • Berbagi Suami   78. Usaha Melenyapkan Tania

    Tania berjalan pagi sendiri ketika sinar matahari masih malu-malu menampakkan diri. Ia di ikuti dua bodyguard untuk berkeliling komplek. Adrian harus bersiap ke kantor, karena selama ia di rumah sakit, suaminya itu sama sekali tak memerdulikan pekerjaan. “Bu, apa ibu belum lelah?” tanya salah satu bodyguard yang berjalan dibelakang Tania. Tania membalikkan badan, “Lumayan, tapi saya masih kuat.” “Lebih baik ibu istirahat. Biar ibu minum dulu.” Tania mengangguk. Bodyguard lainnya yang sedari tadi mendorong kursi roda, memberikannya pada Tania, “Silakan, bu.” Tania duduk di kursi roda. “Minumnya mana?” tanya bodyguard pada rekannya. “Saya tidak bawa minum.” “Kan tadi saya suruh kamu bawa minum untuk bu Tania.” Tania tertawa, “Tidak perlu bertengkar. Kalian bisa membelinya di depan.” “Baik, bu. Saya belikan dulu.” satu bodyguard berlari menuju minimarket depan komplek. Tania melirik bodyguard lainnya, “Pak, saya boleh minta tolong?” “Boleh, bu, ada yang bisa say

  • Berbagi Suami   77. Keputusan Wini

    Pov Wini Wini meninggalkan rumah Tania dengan deraian air mata. Kepalanya sakit, hatinya nyeri, mendengar ucapan Adrian yang mengatakan secara tidak langsung kalau ia tidak mencintainya. “Pak, kita pulang sekarang.” katanya pada pak Heru yang sedang minum kopi dengan pak Udin yang tinggal disini. “Loh, bu, kok cepat sekali?” Wini berdiri di dekat pintu mobil sambil menyeka air matanya. Pak Heru membuka pintu mobil, “Silakan, bu.” Wini menangis semakin dalam saat mobil bergerak menjauhi rumah Tania. Pak Heru yang melihatnya kebingungan sendiri. “Bu, maaf, kondisi bu Tania sekarang bagaimana, ya? Saya pikir tadi saya bisa bertemu dan melihat kondisinya langsung.” “Tania baik, sangat baik.” “Syukurlah kalau begitu, bu. Saya ikut senang.” Wini tidak suka semua orang peduli pada Tania. Bahkan semua asisten rumah tangganya pamit untuk menyambut kepulangan Tania, membuatnya hanya tinggal sendiri di rumah. Ia pun terpaksa meminta mama dan papa menemaninya karena tidak bera

  • Berbagi Suami   76. Kekecewaan Tania

    Isti menghampiri kursi roda, ia duduk memohon pada Tania, “Aku mohon, Tan, bantu kami kali ini. Kamu bisa punya anak lagi, tidak seperti aku.” “Kak, mas Adrian itu—bermasalah. Kalian pikir bagaimana caranya aku akan hamil nanti?” Angga mendekati Tania, “Maka kamu tidak perlu anak. Kemarin, ketika kondisimu memburuk, dokter menjelaskan kemungkinan bayimu tidak selamat itu tinggi karena kamu tidak mau segera melahirkan. Dan kita bisa memakai alasan itu untuk—menganggap anakmu tidak pernah hidup. Kami akan merawatnya dengan baik, Tan, kami janji.” Tania tertawa meledek, “Kalian ingin hidup aman, tapi merelakan aku yang jadi tumbalnya?” “Ini bukan tumbal, Tan, aku sudah jelaskan dulu, kalau Adrian tidak secinta itu denganmu. Dia hanya pura-pura. Keluarga Kiehl hanya memerlukan anakmu.” “Dan aku memilikinya. Aku akan memberikan anakku pada keluarga Kiehl sesuai janji papa dulu.” Angga tertawa, “Apa aku perlu menunjukkan kebusukan Adrian padamu, supaya kamu percaya kalau dia—tid

  • Berbagi Suami   75. Pulang

    Selama dua hari ini, Tania tidak menghendaki siapapun masuk ke dalam ruangannya kecuali dokter dan perawat. Ia masih keukeuh dengan keputusannya untuk menunda persalinan. Ia ingin melahirkan di waktu yang tepat, ketika usia janinnya matang. Perawat masuk, “Selamat siang bu Tania. Sekarang waktunya minum obat, ya.” Tania terduduk tegap di ranjang, “Sus, diluar gak ada siapa-siapa, ‘kan?” “Di luar ada suami ibu. Apa perlu saya panggilkan?” “Dia—ada disini?” “Iya, bu. Sejak dua hari lalu pak Adrian selalu menunggu didepan ruangan. Sampai makan dan kerja pun dilakukannya di depan, bu.” Tania diam. “Pak Adrian sangat kalut ketika ibu mengatakan tidak mau bertemu siapapun. Untungnya dokter Lusi menjelaskan, kalau cara yang bu Tania ambil sudah benar, agar terhindar dari stress. Pak Adrian baru tenang.” Tania tersenyum. Ia mengambil obat yang dibawakan perawat. “Pak Adrian sampai bertanya pada perawat dan dokter jaga setiap sepuluh menit sekali, untuk memastikan kondisi ibu

  • Berbagi Suami   74. Mengancam Tania

    “Mas...” Tania berkata lirik. Saturasi oksigennya melemah. “Sayang?” Adrian menghampiri ranjang. Ia memencet bel memanggil dokter jaga. Tak lama dokter datang bersama perawat, “Pak Adrian, bu Wini, silakan tunggu diluar.” “Saya mau disini, dok.” “Maaf, pak, tidak bisa. Silakan.” Adrian terpaksa keluar. Ia didekati ayah dan ibu serta mama dan papa. Wini menatap Adrian sinis, “Kamu takut kehilangan istri dan anak haramnya?” Adrian menunjuk wajah Wini, “Wini! Jaga bicara kamu atau aku—” “Apa? Kamu mau menamparku lagi? Atau menggugat ceraiku?” Adrian membalikkan badan menatap pintu ruangan Tania, “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Pulanglah.” Wini menatap ibu-ayah, mama dan papa, “Saya—izin pulang. Kalau saya ada disini, mas Adrian mungkin—saya pamit.” Papa melirik sinis dengan kepergian Wini, “Sekarang sifat aslinya sudah terlihat. Bagaimana mungkin Tania sanggup satu rumah dengannya selama ini.” Ayah dan ibu melirik papa dan mama tidak enak. Dokter keluar.

  • Berbagi Suami   73. Diujung Nyawa

    Mama-papa, ayah-ibu, dan Wini berkumpul di ruang tunggu ruang ranap VIP. Mereka harus bergantian untuk membesuk Tania. Adrian belum juga keluar. Dari luar ruangan hanya terdengar tangisnya yang kencang. “Yah, bagaimana kalau—Tania harus melahirkan sekarang?” ibu menangis dipelukkan ayah. “Kita doakan yang terbaik saja, bu.” Mama menggenggam tangan papa yang bergetar. Mama tahu, meski tampak acuh, papa pasti sangat khawatir pada kondisi Tania. “Ma, kenapa Adrian lama sekali di dalam?” “Biarkan saja, pa, Adrian mungkin—sedang membujuk Tania agar mau segera melahirkan sekarang.” “Kita harus bisa bujuk Tania agar mau melahirkan sekarang. Dokter sudah menjelaskan kalau—Tania terus menahannya, anak itu akan—” Mama menangis. Mama tidak bisa membayangkan jika anak itu meninggal, akan seperti apa kedepannya. Tania begitu membenci anak itu, tapi mama tahu, perlahan, ia sudah bisa menerimanya. Dan saat begini, jika Tuhan mengambilnya, Tania sungguh malang sebagai seorang perempua

  • Berbagi Suami   72. Kehamilan yang Beresiko

    Dua bulan kemudian Tania berhenti berjalan menuju tangga lift, karena merasa perutnya nyeri. Ia menutup mata, berharap perasaan sakit itu akan mereda. Ada rapat besar yang harus melibatkannya siang ini. Ia tidak boleh absen. “Sayang?” Adrian yang baru kembali setelah membawa pesanan makan siang, melihat Tania yang kesakitan disamping lift, “Kamu—kenapa?” Tania tak menjawab. Keringat membanjiri seluruh dahinya. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tania mengangguk. Ketika tangannya memegangi lengan Adrian, tubuhnya perlahan ambruk. “Tania!” Adrian tak bisa berdiri tenang di depan ruang VK, IGD khusus ibu hamil dan melahirkan di rumah sakit. Saat hendak menggendong Tania menuju mobil, ia melihat ada darah yang mengalir diantara kedua kakinya. “Adrian.” dokter Lusi keluar dengan wajah cukup serius. Adrian menatap dokter Lusi, “Bagaimana Tania?” “Keadannya cukup—mengkhawatirkan. Tania—mengalami Plasenta Previa. Keadaan itu membuat Plasenta menutupi leher rahim. Kalau perdar

  • Berbagi Suami   71. Cinta Tulus Wini

    Selama Adrian demam, Wini memutuskan untuk menginap disini, tentu dengan izin Tania. Ia dengan telaten merawat Adrian, karena Tania sering merasakan perutnya terasa kencang. “Tan, masakan sudah siap. Kamu mau makan sekarang?” “Sebentar lagi, Win, aku masih tanggung harus mengikuti rapat online.” “Oh ya sudah. Mas Adrian—demamnya sudah turun?” Tania mengclose kamera aplikasi rapat onlinenya, “Aku—lupa, Win. Bisa tolong kamu cek?” “Iya, aku akan cek.” Wini melepas celemek dan berjalan ke kamar. Tania yang melihat itu sangat merasa bersalah pada Adrian. Ia terlalu fokus kerja hingga melupakan suaminya yang masih sakit. “Harusnya mas Adrian mau di rawat di rumah sakit, dengan begitu pasti dia akan cepat sembuh. Tapi tidak papa, untungnya ada Wini. Dia—terlihat begitu mencintai mas Adrian sampai sangat telaten mengurusnya. Sedangkan aku, mengecek keadaannya saja tidak sempat.” Tania kewalahan menghadapi banyak rapat di berbagai perusahaan keluarga Kiehl. Adrian yang sedang

DMCA.com Protection Status