Share

Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri
Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri
Penulis: Elmietaka

Lima Menit Penentu

Penulis: Elmietaka
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

     

    Papan tulis hitam yang semakin memudar. Dilapisi sisa kapur putih yang bergelut dengan debu. Membuat bangunan tua nan usang, terasa pengap. Napas wanita itu tersendat. Gegas berlari kecil ke arah luar. Tangan kiri menutup hidungnya dengan bantuan ujung jilbab lebar warna kuning keemasan. Sementara tangan lain sibuk menggenggam sapu ijuk yang menyisakan separuh rambutnya. 



   Kedua netra masih terpejam. Usai bersin-bersin akibat butiran debu yang menggelitik dua lubang hidungnya. Sembari menanti ruang sempit itu kembali berudara segar. Rizquna berpindah pada kelas lain. Sebelum senja menghilang dari awang cakrawala. 



   Kertas-kertas bekas membentuk origami pesawat terbang, terlihat berserakan di lantai tanpa keramik. Hanya campuran pasir lembut dan semen yang diratakan di atas tanah. Wanita bergamis hitam itu bergegas menyapunya dengan sukarela. 



   Srek! 



   Meja paling depan bergeser tanpa sepengetahuan Una—panggilannya. Sontak ia menjerit kaget. Sapu terlempar dengan sendirinya ke arah sembarangan. 



   "Astaghfirullah, Pak Fajrul!" 



   Untuk kedua kalinya, Una terjingkat. Kini kedua pipinya makin memerah bak buah ceri yang sudah matang. Malu tak bisa disembunyikan. Di hadapan lelaki yang menjadi rekan perjuangannya selama tiga tahun terakhir. 



   Bukan hanya Una, lelaki itu tak menyangka ada orang di kelas paling ujung. Sontak keduanya membuang pandang. Canggung menguasai suasana sore ini. 



   "Maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau Bu Una sedang menyapu di kelas ini. Saya hanya ingin mengambil kamus yang ketinggalan," tutur pria itu sembari mendekap kamus tebal bersampul biru tua. 



   Anggukan pelan memberi jawaban bahwa Una paham dengan perkataan Fajrul. Masih membelakangi pria itu dengan kesepuluh jari tangan saling memaut rapat. Peluh kecil menampakkan wujud di kening Una dengan sendirinya. Dilanda rasa grogi yang tak kunjung pergi dari sana. 



   Pria berpeci hitam memutar badan. Segera enyah dari ruang serba guna bagi penduduk desa. Namun, saat ia mulai melangkah keluar, seorang pria dengan tongkat kayu yang mulus, tengah berdiri di ambang pintu dengan kondisi membungkuk. 



   Tatapan tak suka, tepat mengenai kedua manik mata Fajrul. Suasana canggung disulap menjadi tegang dalam sekejap. Tanpa basa-basi, pria muda dengan balutan koko warna abu muda mengulurkan tangan untuk berjabat. 



   Sekian detik berlalu tanpa suara. Pria renta itu tak menerima uluran tangan Fajrul. Beliau masih diam dengan tatapan yang sama. 



   Pria muda menurunkan tangannya kembali. Sedikit rasa kecewa karena tak biasanya kakek itu bertindak demikian. 



    "Kakek tak habis pikir dengan kalian berdua. Jadi ini perbuatan tercela yang kalian sembunyikan selama ini. Berduaan di dalam kelas setelah semua murid pulang. Apa kalian sudah tak mengerti batasan!?" 



   Nada tegas penuh tekanan itu berhasil menggetarkan batin Una. Ia mendongak ke arah sang kakek dengan raut bingung. Sementara dirinya tak melakukan apapun kecuali membersihkan sampah di dalam ruangan itu. 



   Mempercepat langkah saat menghampiri kakek. Dengan hati-hati wanita itu meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. Panjang lebar Una membeberkan kebenaran, namun pria renta itu tetap tak percaya. 



   "Fajrul ikut ke rumah, kita selesaikan masalah ini secepatnya!" titah kakek tua yang tak lain adalah bapak kandung dari mendiang ayah Rizquna Salsabila. 



   Alang-alang menari dengan lunglai. Terkibas angin senja yang menyejukkan. Menjadi saksi bisu atas perjalanan empat manusia menuju gubuk yang selama ini disinggahi kakek dan Una. Tak terlalu jauh, namun terasa lelah jika ditempuh dengan jalan kaki. 



   Dua sepeda motor membuntuti sepeda butut warna merah pudar. Una memimpin di depan. Diikuti motor Fajrul juga satu motor tetangga kakek yang setia mengantar pria renta ke manapun yang beliau kehendaki  



   Pikiran Una berjelajah tanpa arah. Ia harus berasalan apalagi agar kakeknya percaya. Sungguh nasib malang memihak gadis yang terus mengayuh sepeda di bawah kendali kegundahan berlebih. 



   Istana sederhana yang setia meneduhkan hari-hari Una, telah terlihat dengan sempurna. Bangunan dengan dua kamar tidur, ruang tamu, juga dapur super mini yang dimanfaatkan sebisa mungkin. Tak membuat gadis cantik itu berkecil hati atas kehidupan yang tak semulus orang lain. 



   Berhenti sejenak sebelum kaki kanannya melangkah masuk lewat pintu depan. Mengatur napas lalu membuangnya secara perlahan. Hanya kata pasrah yang bisa diandalkan saat ini. 



   "Panggil Pak RT!" titah kakek pada pria yang baru saja mematikan mesin motornya. 



   Netra Fajrul tak bisa berbohong. Terus saja membola setiap kali mendengar kalimat-kalimat kakek yang salah menafsirkan keadaan. Langkah tanpa kebebasan memberontak, membawanya masuk dalam rumah yang akan menjadi saksi takdir untuknya hari ini. 



   Kedatangan Pak RT membuat suasana terasa hangat. Bak di dalam ruang sidang lengkap dengan palu yang siap diketuk. 



   "Tak perlu basa-basi lagi, kita akan melangsungkan akad nikah secara agama hari ini juga!" tutur kakek dengan kemantapan hati. 



   Pria yang kini duduk berseberangan dengan kakek itu, sontak mendongak kaget. Dugaannya meleset jauh. Ia mengira akan diusir dari kampung yang telah ditumpanginya selama tiga tahun. 



   Tek! 



   Tek! 



   Tek! 



   Gelas-gelas berisi teh manis buatan Una, tak mau berdiam diri di atas nampan. Gemetar hebat pada tubuh gadis itu, membuat gelas-gelas menari kikuk. Hingga menimbulkan suara yang berhasil membuat semua kepala menoleh ke arahnya. 



   "Akad? Maksud Kakek apa?!" sambarnya, setelah menyuguhkan teh manis yang masih berkepul asap. 



   Tak mau membuang waktu. Sang kakek enggan merespon cucu kesayangannya tersebut. Malah sibuk menatap wajah Fajrul yang sangat merah. 



   "Mohon maaf jika saya lancang, Kek. Tapi  apakah semua ini bisa dikatakan sebuah pemaksaan? Sedangkan dalam aturan agama dan negara, tidak boleh ada paksaan di antara dua belah pihak," sergah Fajrul mencoba meloloskan diri. 



   Dua manusia tengah beradu pandang dalam suasana yang menegangkan. Sementara Una meratap di sudut ruang tamu. Ia tak habis pikir dengan keputusan sang kakek yang dianggap berlebihan. 



   "Una, duduklah di samping calon suamimu!" 



   Deg! Calon suami? Telinga Una terasa digelitik mendengarnya. Diikuti getaran batin yang mengiris perasaannya. Tanpa sepatah kata, Una tunduk dengan perintah sang kakek. 



   Sepasang calon pengantin kini duduk dengan jarak satu meter saja. Tanpa saling pandang atau melirik sekalipun. Dua kepala makin tertunduk dalam. Bak seorang murid yang tengah menghadap guru BK untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya. 



   "Kakek beri waktu lima menit. Silakan kalian saling menatap, tanpa percakapan sedikitpun. Tatap dengan saksama. Kerahkan hati kalian untuk ikut serta dalam waktu lima menit ini!" tegas kakek, sekali lagi. 



   Ketiga lelaki beranjak dari duduknya. Meninggalkan sepasang calon mempelai dalam ruang tamu yang semakin panas. Bak terjebak dalam suasana, Una ingin sekali mengambil kesempatan untuk kabur. Namun, satu menit pertama telah berjalan tanpa rasa. 



   Dentuman jarum jam terus terdengar. Memasuki menit kedua yang menggerakkan hati tanpa mereka sadari. Beralih dari manik mata satu ke manik yang lain. Hingga melempar pikiran mereka pada kenangan indah yang telah terukir selama mereka mengabdi untuk agama. 



   "Sudah cukup! Lima menit telah berlalu. Sekali lagi, apakah masih ada keterpaksaan di hati kalian?" 



   Dua pasang mata dengan segera mengalihkan wajah mereka. Kembali menghadap sang kakek dan dua lelaki yang duduk di sebelah kanan kirinya. 



   Sedetik kemudian, Fajrul menoleh ke arah Una. Sebelum ia menjawab pertanyaan kakek yang harus segera mendapat kepastian. 

Bab terkait

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Mendadak Akad

    Bukan saat yang tepat untuk berpikir lama. Sementara harus ada kemantapan hati yang segera diutarakan. Dengan suara bariton yang tegas, pria itu telah menentukan sebuah keputusan besar. Menatap wajah-wajah yang menunggu jawabannya, secara bergantian. Hingga tatapan Fajrul berhenti pada pria tua dengan kumis juga jenggot tipis yang memutih. "Baiklah, saya bersedia menikahi Rizquna saat ini juga. Bukan karena paksaan atau desakan dari siapapun." Ujung netra Una memanas seketika. Ada cairan yang memberontak ingin meloloskan diri dari sana. Membuat pandangan semakin buram disertai rasa perih. Setetes air asin telah meluncur bebas mengenai kedua pipi Una yang memerah. Gegas wanita itu mengusapnya. Tak pernah terbesit tentang persoalan asmara. Selama ini, Una belum pernah merasakan jatuh cinta. Kecuali, rasa cintanya pada lelaki yang kini menatapnya dalam. Beban tanggungan akan segera diserahkan pada pria yang sudah siap mengikrarkan akad untuk cucu kesayangannya. "Se

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Perjodohan

    Setelah semua usai, satu persatu pamit undur diri. Tapi tidak dengan pria yang sekarang hanya bisa membatu di atas kursi kayu yang mulai keropos dimakan rayap. Bingung, ia harus berbuat apa setelah statusnya berubah menjadi seorang suami. Ada wanita yang kini menjadi haknya. Ada keluarga yang sebelumnya bukan siapa-siapa untuknya. "Pak Fajrul, sepertinya ponsel Anda berbunyi," tutur Una, masih berdiri di ambang pintu setelah mengangkat jemuran sebelum langit semakin petang. Gegas pria itu mengambil gawai yang diletakkan di jok motornya. Panggilan yang sebenarnya tak terlalu diharapkan. Namun harus diterima karena biar bagaimanapun, statusnya masih seorang anak yang memiliki kedua orang tua di kota. Kabar yang tak sedap baru saja diterima. Ayah Fajrul tengah terkapar di sumah sakit sore ini. Mengharuskan Fajrul untuk kembali ke kota asalnya. Namun, bagaimana dengan sang istri? Mana mungkin dia pergi di hari pertama pernikahannya. "Mohon maaf, bukannya saya menolak a

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Menikahlah!

    Tangan kanan dengan permukaan kulit sedikit kasar, baru saja mendarat di pipi kiri Fajrul. Tak bisa mengendalikan kegusarannya, Luqman memberikan sebuah tamparan pada putra semata wayangnya. Tak ada balas dendam. Hanya meninggalkan sebuah senyum manis juga ucapan terima kasih pada sang ayah. Begitulah kelembutan hati Fajrul, yang tak mau memperkeruh masalah dengan mengalah. Masih bertolak pinggang dengan darah yang mendidih. Kepulan asap amarah masih bergerombol di kepala Luqman. Lelaki itu bahkan menepis tangan putranya yang hanya ingin bersalaman. "Fajrul berangkat dulu, Bunda," pamitnya, lembut. Disertai tarikan sembir yang sebenarnya masih sakit akibat tamparan keras dari ayahnya. "Hati-hati di jalan, Nak. Semoga Allah memberkahi perjalananmu," bisik Bu Fatimah dengan kedua netra yang berkaca. Tak lupa memeluk putranya walau hanya beberapa detik saja. Dengan segala kesabaran yang tak terbatas, Fajrul melangkahkan kaki untuk kembali. Bukan karena tindak durha

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Gaun untuk Bridesmaid

    Dua purnama berlalu diiringi awan kelabu. Hari-hari Una terasa biasa saja, tak ada yang istimewa. Sejak sang suami menuruti permintaannya untuk menikah dengan wanita yang dijodohkan dengannya. Hanya lewat panggilan telepon juga pesan singkat, sekadar menanyakan kabar kesehatan. Sedikit mengobati rindu yang tak berani diungkap. Untung saja, tawa anak-anak kampung yang selalu bersemangat untuk mengaji. Menjadi obat bagi Una yang tengah diuji kekuatan cintanya. Hanya kesetian juga rasa saling percaya, yang bisa melanggengkan hubungan jarak jauh yang sedang dijalaninya. Sementara hari-hari Fajrul disibukkan dengan berbagai persiapan. Pesta megah seorang putra jutawan itu, pasti membutuhkan persiapan yang matang. "Bu, Pak Fajrul lama sekali perginya. Apa beliau lupa sama kita?" Pertanyaan yang selalu menghampiri telinga Una. Tiap sore ia harus menjawab desakan anak-anak yang memang merindukan sosok guru sebaik Fajrul. Tak jarang mereka menangis, merengek di hadapan U

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Sahabat Jadi Madu

    Bukan perkara mudah menerima kenyataan yang pahit. Namun keputusan tak bisa diralat. Bukan salah orang lain, melainkan murni dari kesalahannya sendiri. Andaikan wanita itu mencari tahu siapa yang akan menjadi madu untuknya, pasti Una akan berpikir dua kali untuk mengizinkan sang suami menikah lagi. Terlanjur, kayu sudah menjadi abu. Tak bisa dikembalikan agar menjadi kayu yang utuh. Kata terlambat pun belum bisa disebutkan, karena maaih ada waktu untuk merubah takdir yang memang tak diharapkan. Namun setelah berpikir lebih jernih. Dengan segala pertimbangan dan keteguhan batin, Una akhirnya tetap bersikukuh dengan pilihannya. "Jika Mas Fajrul tetap ingin membatalkan pernikahan dengan Qia, dengan terang-terangan saya minta berpisah!" sergah Una, cukup menentang mental suaminya. Protes yang tak kunjung selesai. Fajrul tak tahu harus menyikapi Una dengan cara apa lagi. Kegundahan terus memihak pada lelaki yang akan beristri dua itu. Perceraian bukanlah jalan yang diing

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Sendu Pasca Dimadu

    Ratusan tamu undangan memenuhi rumah yang disulap menjadi istana pernikahan. Hiasan bunga putih dan merah yang dirangkai menjadi senada. Alunan piano menggema di tiap sudut ruang tertutup. Tak sembarang orang bisa masuk ke sana. Bapak-bapak dengan jasnya yang klimis. Ibu-ibu sosialita yang tak kalah mewahnya. Duduk tenang di kursi mewah dengan meja bundar yang dipenuhi aneka hidangan lezat. Sungguh, Fajrul tak menyukainya sama sekali. Kemewahan dunia yang membuatnya semakin enggan pulang ke rumah. Juga kehidupan keluarga besar yang mengedepankan kekayaan harta juga penampilan. Lelaki itu tertunduk di depan penghulu. Netranya mengembun tatkala teringat wajah Una yang terus menghantui pikirannya. Pikir mereka, wajah mempelai pria yang tampak menangis tangis haru. Terbuai akan hari bahagia yang diimpikan banyak manusia. Pesta mewah, juga semua yang serba ada. Siapa yang tak menginginkan resepsi dengan budget ratusan hingga milyaran juta? Dua hari sebelum hari ini, Fajr

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Malam Pertama untuk Una

    Dua pasang mata terperanjat tak percaya. Mendengar pengakuan dari sepasang calon pengantin yang akan melangsungkan akad untuk mengikat hubungan keduanya. Murka, Mbah Aab belum bisa menerima sikap pasangan yang baru saja tiba. Terlalu berlebihan dan melampaui batas. Mereka belum halal, namun dengan santai dan tanpa merasa bersalah, bergandengan mesra di tempat umum. Wanita yang empat tahun lebih tua dari Una. Sudah lama ia tak kembali ke kampung Sahara yang asri. Kedatangannya membuat Una cemas. Khawatir jika tiba-tiba Fajrul datang saat kakak perempuannya berada di rumah. Sementara mereka memiliki kesepakatan, bahwa Una tak akan menikah sebelum kakaknya pensiun dari status lajangnya. Niswa, begitulah orang-orang memanggilnya. Anak pertama dari sepasang suami istri yang kini hanya meninggalkan nama. Mengembara ke tanah seberang, untuk mengabdikan diri demi agama. Kepulangannya dengan menggandeng pria yang dikenalkan sebagai calon suami, membuat Mbah Aab jengkel. Sela

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Kejutan untuk Fajrul

    Enggan melanjutkan kalimatnya. Sekali lagi, wanita itu mengamati bibir merah milik suaminya. Bayangan melayang-layang ke arah sana. Kembali merasakan tekanan batin yang tak bisa disembunyikannya. Kepala Una merunduk, pilu. Entah karena apa, wajah sahabat lamanya terus memenuhi kelopak matanya. Ia tak bisa menatap sang suami dengan ketulusan hati. Ternyata, seperti ini rasanya dimadu. Pantas saja, Allah telah menyiapkan ganjaran istimewa bagi para wanita yang ikhlas jika suami menikah kembali. Nyatanya, Una belum setulus itu. Masih saja terpukul dengan kenyataan yang terasa pahit. Ikhlas, mudah dikata namun sangat sulit dijalankan. 'Mereka sudah menikah cukup lama. Pasti tiap malam mereka sedekat ini. Dan bibir itu ….' gumam Una dengan segala prasangka yang menyayat hatinya. Cemburu itu nyata, walau tanpa melihat dengan kedua mata. Membayangkan hari-hari sang suami bersama wanita lain, adalah hal paling menyesakkan. "Dek, bukankah tadi kita salat berjamaah? Itu a

Bab terbaru

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Buah Hati Cahaya Mata

    *Beberapa bulan kemudian* Perut Una kian membesar. Wanita itu jauh lebih sehat dari sebelumnya. Semua keluarga besar Una dan Fajrul tak sabar menantikan kehadiran malaikat kecil di tengah keluarga mereka. Pipinya yang sempat tirus, kini makin berisi nan menggemaskan. Aura kecantikan terpancar dari wajah Una yang berseri. Hari-hari dihabiskan bersama sang suami juga Sulaiman yang mulai mengerti bahwa ia akan dikaruniai adik dari rahim bundanya. Malam semakin sunyi, sepasang suami istri masih bercengkerama di dalam kamar dengan pencahayaan remang. Duduk berdua sembari bersenandung kecil melantunkan salawat. Fajrul tergugah dari duduk bersandarnya. Rona kebahagiaan muncul saat tangannya merasakan gerakan kecil dari perut Una. "Nendang-nendang, Dek," girang Fajrul sambil meraba perut istrinya. Una tersenyum tipis, lalu memainkan anak rambut sang suami dengan lembut. Tatapan Una begitu dalam, dengan perasaan campur aduk dalam dada. Haru, bahagia, takut, khawatir, cemas dan l

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Bahagia Selepas Lara

    "Loh, Mbak Laila!" panggil Una dengan raut tak menduga. Wanita yang berdiri di samping lelaki paruh baya itu gegas menoleh ke arah Una. Ia juga terkejut bisa bertemu Una secara tak sengaja. "Ya Allah, Rizquna. Akhirnya kita bertemu di sini," girang wanita itu sembari merentangkan dua tangan ingin melepas kerinduan dengan berpelukan. Tubuh keduanya langsung menyatu di atas halaman berkabin. Pelukan mereka begitu erat, membuat Fajrul langsung turun dari mobilnya. Gegas berlari menghampiri Una dan Laila. Lalu memberi peringatan untuk mereka, agar tak kegirangan berlebihan. "Jangan lupa, Dek. Kamu sedang hamil, dijaga perutnya!" seru Fajrul sebelum berhenti di dekat mereka. Laila pun langsung melepaskan pelukannya. Ia tak berhenti meminta maaf atas kelalaian yang ia lakukan. Una pun menganggapnya bukan masalah serius, tak perlu khawatir berlebih dengan kondisi perut yang memang sedikit terhimpit. Ada satu hal yang membuat Una merasa kecewa. Saat mendapati Laila s

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Ar-Rahmah

    Tiga purnama berlalu penuh haru biru. Wanita yang tengah berbadan dua itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Tiap pagi disambut rasa mual yang berkepanjangan. Tiap satu suap makanan yang masuk lewat mulutnya, hanya berhenti di kerongkongan kemudian muntah dengan sendirinya. Beberapa kali Una harus jatuh pingsang karena metabolisme menurun secara tiba-tiba. Belum lagi kandungan yang ada dalam rahim, mengalami perkembangan yang lemah. Tak jarang istri dari Fajrul itu harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi yang mengkhawatirkan. Semua dilewati Una dengan sabar. Tak pernah sekalipun ia mengeluh atas kondisinya yang tengah hamil muda. Syukurlah, dalam dua minggu terakhir ini, kondisi Una makin membaik. Wanita itu tak harus lagi memaksa diri untuk makan. Tubuhnya yang kurus perlahan menggembul. Pipi Una yang tembam membuatnya semakin menggemaskan. "Mas … bagaimana perkembangan pembangunan madrasah di kampung Sahara?" tanya Una saat keduanya tengah bersantai ria d

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Positif

    Masih berdiri dengan benda pipih di tangan. Tiba-tiba kepala pening, mata kunang-kunang. Gegas meraba tembok dan bersandar di sana. Ringis kesakitan karena tak biasanya ia seperti itu. Sejenak menenangkan diri, Una merasa pening di kepala sudah berkurang. Beranjak menemui Rani yang sudah menunggunya di luar. Tak enak hati belama-lama meninggalkan tamunya, dengan langkah tertatih Una menuju taman. Wajah cantik tak lagi memancarkan rona kebugaran, Una tampak pucat pasi. Perubahan jelas dapat dilihat Rani. Gegas wanita berbadan dua itu memapah Una dengan cekatan. "Ada apa, Mbak?" tanya Rani, khawatir. Una menggeleng, berlagak dirinya baik-baik saja padahal kepalanya kembali pusing. Rani berinisiatif meminta bantuan pada Bu Fatimah. Tanpa permisi, wanita bercadar itu mencarinya sambil berteriak memanggil. Terlihat Pak Luqman dan istrinya panik, menenuhi panggilan Rani. Langsung membawa anak menantunya ke rumah sakit karena takut terjadi apa-apa. Pak Luqman menge

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Pasal Cemburu

    Langkah wanita itu semakin lamban. Masih dengan tatapan kosong ke depan. Sulaiman terduduk di atas ubin yang disusun rapi menutupi tanah di pelataran. Tangisnya sudah reda, namun ia masih mengamati pintu gerbang yang terbuka. Berharap sosok ayahnya segera kembali dalam dekapannya. Rani, berjalan menghampiri Una yang tampak terperangah. Tetap dengan jubah besar warna hitam dilengkapi nikab yang menutupi parasnya nan ayu. "Assalamualaikum, Mbak," salamnya dengan uluran kedua tangan untuk bersalaman. Una gegas menyalaminya. Namun senyum belum muncul dari sudut bibirnya yang bungkam. Rani merasa tak enak hati, karena dirasa ia datang disaat yang tidak tepat. Ia bisa menafsirkan keadaan, jika di dalam rumah itu baru saja terjadi pertikaian. "Waalaikumsalam," jawab Una, singkat. Tak ada imbuhan kata lain untuk sekadar menanyakan kabar. Detik terus berlalu, Una masih dengan keadaan yang sama. Membuat Rani makin serba salah. Ia pun beranjak pamit. Karena Una tak menyamb

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Murka Sang Suami

    Tit … tit! Takdir tak sesuai harap. Bayangan hangat dari bibir lembut Handanu kini lenyap. Belum sampai sang buah hati terlahir ke dunia, sang ayah lebih dulu berpulang tanpa berpamitan. Sesak, dada Rani semakin kesulitan mengatur napasnya. Tubuh tak bernyawa belum sempat ditangani. Namun kematian menghampiri tepat di gerbang rumah sakit yang ramai. Tangan Fajrul gemetar setelah mematikan mesin mobilnya. Menoleh ke bangku belakang. Jasad dalam pangkuan wanita bercadar terlihat melotot sempurna. Sedetik kemudian, Rani mengusap wajah Handanu untuk terakhir kalinya. Dua netra tertutup bersamaan. "Innalillahi wainnailaihi rajiun." Sepenggal kalimah Tarji terdengar lirih dari mulut Una yang hanya berkecamuk. Untuk kali pertama, ia menjadi saksi nyata manusia mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sementara Rani masih memeluk jasad lelaki yang semakin lemas. Perut besarnya terhimpit namun tak dihiraukan. Gegas Fajrul turun dari mobilnya. Memanggil petugas untuk memban

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Lumpuh

    Serempak menoleh ke arah wanita bercadar hitam dengan perut besar. Melangkah setengah berlari ke arah kerumunan. Tatapan tegas siap untuk membela yang dianggap benar. Menuntaskan semua tuduhan yang selama ini mendarah daging di otak para warga kampung Sahara. Alih-alih unjuk kebolehan, wanita itu tak membalas buruk. Cukup dengan satu kalimat, mampu melumpuhkan mulut manusia yang dengan kasar mengusir Una. "Sungguh fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, pasti pertanggung jawabannya jauh lebih berat, bukan?" tegas Rani, dengan tubuh tegapnya ia berdiri di samping Una. Wanita berbadan gemuk tampak membuang muka. Lalu pergi tanpa meninggalkan permintaan maafnya. Tak ada rasa bersalah yang disadari. Hanya karena sungkan berhadapan dengan wanita bertahta di kampung itu, gegas berlalu dengan langkah menggebu. Sebuah pelukan hangat Una berikan pada Rani. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk mempersatukan Una dan Fajrul kembali. Perutnya yang besar, membuat pelukan U

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Dua Ratus Juta

    Mengalah, Fajrul tak lagi menentang pendapat Una. Akhirnya perhelatan berakhir damai. Tanpa ada rasa ingin memenangkan pendapat masing-masing. Beranjak pulang sebelum Sulaiman merengek untuk kesekian kalinya. Meninggalkan makam Qia yang selalu mengeluarkan bau harum. Mobil melaju tanpa halangan. Mempercepat perjalanan pulang mereka. Ketiganya pulang dengan selamat lahir dan batin. Begitupun dengan Sulaiman yang terlihat lebih semringah dari sebelumnya. Aura kebahagiaan dapat dilihat dari sinaran matanya. "Mas mau minum jus atau teh manis?" tawar Una sebelum melangkah ke dapur. "Em, sepertinya jus lebih menggoda, Dek." Una tersenyum sejenak. Sebelum pergi dari hadapan sang suami. Bergerak cepat memenuhi apa yang diinginkan Fajrul, karena tak mau jika suaminya harus menunggu lama. Sekitar tujuh menit berlalu, akhirnya jus sudah siap diteguk. Tenggorokan Fajrul makin tercekat karena tak sabar ingin menikmati sensasi dinginnya jus mangga dikala terik matahari ki

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Aku Bukan Ibu Kandungmu, Nak

    Apa yang lebih indah dari kebahagian? Mungkin semua orang akan menjawab, tak ada. Sejatinya hidup tetap butuh bahagia. Begitupun Una, terus berharap akan kebahagiaan juga ketenangan dalam menjalani hari-harinya. Liku-liku kehidupan sudah sering ia lalui. Tanjakan hingga turunan terjal, hampir membuatnya pasrah dan putus asa. Namun kesabaran untuk bertahan kini membuahkan hasil yang nyata. "Sulaiman sudah pernah diajak ke makam Qia, Mas?" tanya Una di sela-sela menyiapkan sarapan pagi ini. "Sudah beberapa kali. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menolak untuk ikut." Dahi Una mengernyit tipis. Sembari menyajikan nasi goreng buatannya, ia melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Mas sudah menjelaskan ke Sulaiman, soal bundanya?" Fajrul menggeleng pelan. Karena ia merasa belum saatnya menjelaskan semua itu pada Sulaiman. Ia masih kecil, Fajrul menunggu saat yang pas untuk membeberkan semuanya. "Nanti kita ke makam Qia, ya, Mas. Una belum pernah ke sana soalnya," pi

DMCA.com Protection Status