Share

Sahabat Jadi Madu

Author: Elmietaka
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bukan perkara mudah menerima kenyataan yang pahit. Namun keputusan tak bisa diralat. Bukan salah orang lain, melainkan murni dari kesalahannya sendiri. Andaikan wanita itu mencari tahu siapa yang akan menjadi madu untuknya, pasti Una akan berpikir dua kali untuk mengizinkan sang suami menikah lagi.

Terlanjur, kayu sudah menjadi abu. Tak bisa dikembalikan agar menjadi kayu yang utuh. Kata terlambat pun belum bisa disebutkan, karena maaih ada waktu untuk merubah takdir yang memang tak diharapkan.

Namun setelah berpikir lebih jernih. Dengan segala pertimbangan dan keteguhan batin, Una akhirnya tetap bersikukuh dengan pilihannya.

"Jika Mas Fajrul tetap ingin membatalkan pernikahan dengan Qia, dengan terang-terangan saya minta berpisah!" sergah Una, cukup menentang mental suaminya.

Protes yang tak kunjung selesai. Fajrul tak tahu harus menyikapi Una dengan cara apa lagi. Kegundahan terus memihak pada lelaki yang akan beristri dua itu. Perceraian bukanlah jalan yang diinginkan, namun menikah lagi juga bukan pilihan yang diharapkan.

"Bagaimana bisa kamu meminta bercerai dariku, Dek? Bukankah Allah akan membenci wanita yang demikian?!" tandasnya, mencoba mengobrak-abrik istrinya yang tetap bersikukuh.

"Jika Mas Fajrul tidak ingin saya menjadi wanita yang dibenci Allah, jangan batalkan pernikahan itu, Mas! Ada nama besar yang harus dijaga. Ada perasaan wanita yang harus dilindungi."

"Dan ada kamu yang berhak mendapatkan kebahagiaan," potong Fajrul di tengah-tengah perkataan Una.

Mulut wanita itu seketika terbungkam. Kedua matanya makin panas. Jika ada satu kata yang keluar dari pita suaranya, tentu ada juga air mata yang ikut keluar.

Kehadiran Mbah Aab di antara mereka, sangat menguntungkan bagi Una. Dengan berbagai alasan, wanita itu bisa meloloskan diri dari hadapan suaminya. Gegas ia pamit, tanpa tujuan yang jelas.

Tanpa sepeda kesayangannya, Una semakin jauh dari rumah. Berjalan kecil dengan alas kaki yang berdebu, menyusuri jalanan sepi siang ini. Terlihat burung-burung berjajar di atas kabel listrik yang saling berhubungan. Gelantungan dengan tiang-tiang penyangga. Menghiasi atas atap rumah warga yang sedang tak ada penghuninya.

Ting!

Benda pipih yang dikantongi dalam saku baju tunik warna abu muda. Terdengar berdering disertai getaran ringan. Gegas sang tuan gawai merogoh sakunya, lalu mengeluarkannya dari dalam sana.

Satu pesan masuk dari aplikasi hijau. Nomor baru tanpa nama, membuat Una penasaran dengan si pengirim.

[Assalamualaikum, Rizqunaku yang lucu. Bagaimana kabarmu di kejauhan sana? Semoga kebaikan selalu menaungimu, aamiin. Emm, paket dariku sudah sampai, kah?]

Pesan yang pernah ditunggu-tunggu oleh Una. Karena, hampir satu tahun terakhir, ia kehilangan semua kontak teman lamanya. Namun mengapa, membaca pesan singkat yang terkesan biasa, begitu menggores batin Una.

Niat hati ingin membalasnya, namun jari-jemarinya masih gemetar hebat. Dadanya semakin sesak. Una memutuskan untuk istirahat sejenak, di bawah pohon jambu di tepi jalan.

Ponselnya kembali berbunyi. Masih dari orang yang sama. Qia mengirim pesan selanjutnya.

[Kalau sudah, tolong luangkan waktumu sehari saja ya, Riz. Aku ingin kamu menjadi bagian di hari bahagiaku. Semoga takdir jodohmu disegerakan juga, he he he.]

Isinya lucu, tapi lebih menyesakkan kalbu wanita yang kini masih mengamati layar ponselnya. Sepenuh hati Una berusaha menerima kenyataan. Tak mau membalas pesan itu agar hatinya sedikit tenang.

Hampir saja ia mematikan benda pipih itu, namun sebuah panggilan dari Qia tak bisa ditolaknya.

"Huh, bismillah aku kuat," gumamnya sebelum menerima panggilan dari sahabat juga calon madu untuknya.

Sebisa mungkin, menahan sesenggukan yang sebenarnya terasa sakit di ulu hati. Jiwa tegarnya memberontak, ia harus bisa melawan kesedihan yang tak semestinya berkelanjutan.

Saling bertukar rindu via suara. Terdengar suara wanita di balik telepon, begitu ceria nan antusias mengabarkan persiapan hari bahagianya. Kali ini, Una banyak diam. Hanya menjadi pendengar setia, demi membuat senang sahabat lamanya.

[Semoga kamu dapat suami yang tak kalah romantisnya dengan Mas Fajrul ya, Riz. Sekali lagi, kamu harus datang di acaraku besok!]

Kata-kata penutup yang tak disemogakan oleh Una. Membuat napas berat, berlagak tak ada apa-apa dengan hati juga fisiknya.

Sempat berpikir, kenapa ia harus pergi dari rumah. Sementara ada suami yang jauh-jauh ingin menemuinya. Una pun segera enyah dari sana. Kembali melewati jalan yang sudah dilewatinya beberapa saat lalu.

Begitu sampai di pelataran rumah, ia melihat pemandangan yang hangat. Dua lelaki yang menjadi tokoh penting dalam kisah hidupnya, tengah bercengkerama di teras. Gelak tawa yang renyah, entah mereka membahas apa.

"Una, kenapa kamu berdiri di situ? Kemarilah! Suamimu ini ternyata jago ngelawak, ha ha ha," tawa sang kakek membuat Una tersenyum lega.

"Wah, sepertinya asyik sekali obrolan hari ini. Silakan dilanjutkan, Una izin ke dapur dulu," pamitnya segera. Ia belum siap menatap Fajrul lebih lama.

Sebelum pulang, Una sempat mampir ke warung kecil yang tak jauh dari rumahnya. Sekadar membeli gula pasir satu kilo. Untuk alasan jika dua lelaki itu mencurigai kepergiannya yang tiba-tiba.

Air belum juga mendidih, Una harus menunggu hingga anomali air berubah menjadi buih yang berkepulan asap. Termenung di atas kursi plastik berhias burung Merak di bagian belakang.

Ceria dari Qia masih terngiang dalam benaknya. Sikap Fajrul yang jauh berbeda dengan sosok suami yang dikenal Una selama ini. Sebatas mengenali bahwa Fajrul adalah sosok pekerja keras. Tak suka pembahasan yang tak ada faedahnya. Lebih menutup diri juga bukan orang yang suka bercanda.

Sedangkan cerita Qia, berhasil menyulut api kecemburuan. Fajrul yang perhatian, selalu membuat Qia terbuai oleh kata-kata indahnya, juga sikapnya yang tak kalah baik dengan keluarga besar Qia.

Entah perasaan apa yang sedang dirasakan Una, yang jelas lebih dari rasa cemburu. Lamunan membawanya hanyut lagi dalam jurang kepedihan. Tak siap menghadapi hari-hari yang akan datang. Tentu akan lebih menyakitkan dari sekarang.

"Dek, pancinya gosong!" sambar Fajrul tanpa permisi.

Kepulan asap yang menghitam, memenuhi dapur di rumah minimalis itu. Sedangkan Una masih dikuasai lamunan semu. Hingga sang suami membawanya keluar ruangan, dada lelaki itu mulai sesak dan kesulitan bernapas.

"Ya Allah, untung nggak kebakaran, Dek," ucapnya terengah.

Wanita itu hanya bisa melihat ke sana ke mari. Bagaimana bisa ia lupa dengan air yang masih di masak di atas kompor. Untung saja, Fajrul datang di saat yang tepat.

"Maafkan aku, Mas," lirihnya sangat menyesal.

Andaikan si jago merah melahap satu-satunya aset yang dimiliki Mbah Aab dan juga Una. Entah bagaimana nasib mereka. Takdir selamat masih memihak pada Una dan sang kakek yang renta.

Fajrul menatap istrinya dengan mata awas. Rasa iba atas kepedihan yang harus diterima sang istri, membuat Fajrul berkecil hati. Bagaimana mungkin, ia akan berbahagia di atas kepedihan Una. Jalan terakhir yang harus ia lewati hanyalah mampu bersikap adil.

"Semoga diberi kelancaran, ya, Mas. Dengan berat hati, Una meminta maaf dari ujung kaki hingga ujung kepala. Karena kemungkinan besar, Una tidak bisa hadir dalam pernikahan Mas Fajrul besok," tuturnya lembut. Tanpa melihat kedua manik mata suaminya.

Related chapters

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Sendu Pasca Dimadu

    Ratusan tamu undangan memenuhi rumah yang disulap menjadi istana pernikahan. Hiasan bunga putih dan merah yang dirangkai menjadi senada. Alunan piano menggema di tiap sudut ruang tertutup. Tak sembarang orang bisa masuk ke sana. Bapak-bapak dengan jasnya yang klimis. Ibu-ibu sosialita yang tak kalah mewahnya. Duduk tenang di kursi mewah dengan meja bundar yang dipenuhi aneka hidangan lezat. Sungguh, Fajrul tak menyukainya sama sekali. Kemewahan dunia yang membuatnya semakin enggan pulang ke rumah. Juga kehidupan keluarga besar yang mengedepankan kekayaan harta juga penampilan. Lelaki itu tertunduk di depan penghulu. Netranya mengembun tatkala teringat wajah Una yang terus menghantui pikirannya. Pikir mereka, wajah mempelai pria yang tampak menangis tangis haru. Terbuai akan hari bahagia yang diimpikan banyak manusia. Pesta mewah, juga semua yang serba ada. Siapa yang tak menginginkan resepsi dengan budget ratusan hingga milyaran juta? Dua hari sebelum hari ini, Fajr

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Malam Pertama untuk Una

    Dua pasang mata terperanjat tak percaya. Mendengar pengakuan dari sepasang calon pengantin yang akan melangsungkan akad untuk mengikat hubungan keduanya. Murka, Mbah Aab belum bisa menerima sikap pasangan yang baru saja tiba. Terlalu berlebihan dan melampaui batas. Mereka belum halal, namun dengan santai dan tanpa merasa bersalah, bergandengan mesra di tempat umum. Wanita yang empat tahun lebih tua dari Una. Sudah lama ia tak kembali ke kampung Sahara yang asri. Kedatangannya membuat Una cemas. Khawatir jika tiba-tiba Fajrul datang saat kakak perempuannya berada di rumah. Sementara mereka memiliki kesepakatan, bahwa Una tak akan menikah sebelum kakaknya pensiun dari status lajangnya. Niswa, begitulah orang-orang memanggilnya. Anak pertama dari sepasang suami istri yang kini hanya meninggalkan nama. Mengembara ke tanah seberang, untuk mengabdikan diri demi agama. Kepulangannya dengan menggandeng pria yang dikenalkan sebagai calon suami, membuat Mbah Aab jengkel. Sela

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Kejutan untuk Fajrul

    Enggan melanjutkan kalimatnya. Sekali lagi, wanita itu mengamati bibir merah milik suaminya. Bayangan melayang-layang ke arah sana. Kembali merasakan tekanan batin yang tak bisa disembunyikannya. Kepala Una merunduk, pilu. Entah karena apa, wajah sahabat lamanya terus memenuhi kelopak matanya. Ia tak bisa menatap sang suami dengan ketulusan hati. Ternyata, seperti ini rasanya dimadu. Pantas saja, Allah telah menyiapkan ganjaran istimewa bagi para wanita yang ikhlas jika suami menikah kembali. Nyatanya, Una belum setulus itu. Masih saja terpukul dengan kenyataan yang terasa pahit. Ikhlas, mudah dikata namun sangat sulit dijalankan. 'Mereka sudah menikah cukup lama. Pasti tiap malam mereka sedekat ini. Dan bibir itu ….' gumam Una dengan segala prasangka yang menyayat hatinya. Cemburu itu nyata, walau tanpa melihat dengan kedua mata. Membayangkan hari-hari sang suami bersama wanita lain, adalah hal paling menyesakkan. "Dek, bukankah tadi kita salat berjamaah? Itu a

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Kecurigaan Qia

    Keluarga kecil tak sehangat beberapa hari lalu. Tawa bahagia yang selalu menaungi rumah tangga Fajrul dan Qia, seketika lenyap entah ke mana. Dengan balutan piyama bermotif bunga mawar merah yang menggoda, wanita itu tetap bermanja tanpa sadar jika dirinya telah melakukan sebuah kesalahan. Alih-alih cemas akan sikap suaminya yang tiba-tiba berubah, Qia malah tersenyum genit pada lelaki yang sedari tadi bertolak pinggang. Rautnya yang memerah, belum menyadarkan sang istri bahwa Fajrul marah padanya. Tangan kekar yang biasa membelai lembut oipi istrinya, terus mengepal hingga otot-otot terlihat dari sisi luar. Sekejap, Fajrul mengelus dada bidangnya. Melambungkan istighfar untuk meredam emosi yang sempat menganak. Kepalanya dibenamkan di samping ranjang tidur Qia. Gegas wanita itu mendekati Fajrul seusai merapikan rambut yang terurai berantakan. Memainkan ujung kepala Fajrul, dengan belaian lembut. Sebelum akhirnya ia menanyakan sesuatu yang membuat sang suami mati ga

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Fitnah Besar

    Sejak kejadian malam itu, Qia terus menguatkan rasa kepercayaan pada Fajrul. Fokus pada dirinya juga calon bayi yang masih dalam kandungan. Walau wajah Fajrul yang tak bisa berbohong atas keresahannya. Namun, sang istri tak berani membahas hal tersebut. Tak kalah panasnya, kehidupan Una harus dilalui di atas jalanan yang terjal. Fajrul yang tak kunjung datang, sementara kabar pernikahan siri telah menyebar. Mendatangkan segala macam fitnah dan tudingan tanpa pembuktian. Janda, istri tanpa bukti tertulis, wanita penggoda dan masih banyak panggilan baru untuk Una. Tak jarang, bebatuan kecil menyambar tubuhnya tatkala ia berangkat mengajar. Lebih parahnya, ada juga manusia yang bersikeras agar Una segera angkat kaki dari kampung Sahara. Seberapa hinanya istri yang masih sah secara agama? Apakah aku harus menghilang dari sini? Pertanyaan yang selalu berlalu-lalang dalam benak. Membuat cucu dari Mbah Aab dilanda kepedihan yang dalam. Tubuhnya tak sebugar dulu. Sering sakit,

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Sengketa

    Tuan Handanu Nugroho, biasa dipanggil Tuan Danu. Pria beristri tiga dengan kekayaan yang melimpah ruah. Pewaris tahta tunggal dari Nugroho, sang tuan tanah di kampung Sahara. Beliau pemilik sah dari separuh wilayah di kampung yang lumayan besar. Semenjak kepulangannya pada Sang Maha Pemilik Hidup, harta benda dan semua aset berpindah tangan pada putranya. Sangat berbanding jauh dengan sang ayah, Tuan Danu tipe manusia yang keras kepala. Siapa yang tak takut dengan manusia yang satu ini? Dia banyak uang. Bisa melakukan apapun sesuai kemauan hati. Pernah ada yang melawannya karena dinilai tak punya hati nurani. Tak lama setelah itu, orang yang berani melawan Tuan Danu, diusir dari kampung tanpa membawa benda apapun kecuali seperangkat baju lusuh yang dikenakan. Lelaki itu menatap Una sekelebat. Setelah mengusap ujung sembirnya yang merah. Tamparan yang tak tanggung-tanggung. Semua tenaga Una keluarkan, karena merasa dilecehkan. Siapapun dia, jika tak menghargai kehor

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Cairan Merah dari Rahim Qia

    Masih berdiri menggenggam benda pipih di tangan kanan. Dahi wanita yang tengah berbadan dua itu mengerut. Kepercayaan yang sudah dibagun kokoh, ternyata masih goyah setelah menerima panggilan dari nomor wanita lain di ponsel suaminya. Gegas Qia menanyakan nama asing yang tak pernah diceritakan padanya selama ini. Menghampiri Fajrul di taman belakang, lelaki itu sibuk menaburkan butiran hitam kecokelatan untuk makanan ikan hias yang dipelihara beberapa minggu terakhir. Langkah Qia tak secepat dulu. Ada calon bayi di rahim yang mengharuskannya bergerak dengan hati-hati. Bukan tanpa sebab, kandungan Qia cukup lemah. Hampir seminggu sekali, ia harus memeriksakan kandungannya pada dokter spesialis ternama. "Mas, tadi ada telepon masuk. Tapi langsung terputus saat Qia menerimanya," tunjuk Qia sembari menyerahkan ponsel pada suaminya. Deg! Netra lelaki itu membulat sempurna. Senyum yang sempat terbesit, kini luntur dalam sekejap. Gegas meraih benda pipih dari tangan dang i

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Memilih Pergi

    Lagi dan lagi, Fajrul membungkam mulutnya setelah melakukan tindakan yang berlebihan. Rona merah di kedua pipi, perlahan memudar. Gegas mengatur napasnya lebih dalam. Menata kembali emosi jiwa agar bisa stabil seperti sedia kala. Fajrul berusaha agar tak terjadi kontak mata dengan Una. Menanti hingga panggilan telepon usai. Lelaki itu tak bisa diam, panik. Ketar-ketir jika Qia kembali curiga terhadapnya. Untung saja, ada panggilan mendadak untuk pendamping pasien atas nama Rifqiatul Istiqomah. Akhirnya, ia terbebas dari situasi menegangkan di dalam kamar inap kelas VIP. "Aneh sekali, kenapa Mas Fajrul sehisteris itu? Padahal, mereka belum pernah bertemu. Tak mungkin juga mereka saling mengenal tanpa sepengetahuanku," gumam Qia sembari menggaruk kepala bagian samping. Mengurus administrasi sudah beres. Kini Fajrul bisa bernapas lega di koridor Rumah Sakit. Memanfaatkan situasi yang sepi. Gegas menghubungi nomor Una untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di kamp

Latest chapter

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Buah Hati Cahaya Mata

    *Beberapa bulan kemudian* Perut Una kian membesar. Wanita itu jauh lebih sehat dari sebelumnya. Semua keluarga besar Una dan Fajrul tak sabar menantikan kehadiran malaikat kecil di tengah keluarga mereka. Pipinya yang sempat tirus, kini makin berisi nan menggemaskan. Aura kecantikan terpancar dari wajah Una yang berseri. Hari-hari dihabiskan bersama sang suami juga Sulaiman yang mulai mengerti bahwa ia akan dikaruniai adik dari rahim bundanya. Malam semakin sunyi, sepasang suami istri masih bercengkerama di dalam kamar dengan pencahayaan remang. Duduk berdua sembari bersenandung kecil melantunkan salawat. Fajrul tergugah dari duduk bersandarnya. Rona kebahagiaan muncul saat tangannya merasakan gerakan kecil dari perut Una. "Nendang-nendang, Dek," girang Fajrul sambil meraba perut istrinya. Una tersenyum tipis, lalu memainkan anak rambut sang suami dengan lembut. Tatapan Una begitu dalam, dengan perasaan campur aduk dalam dada. Haru, bahagia, takut, khawatir, cemas dan l

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Bahagia Selepas Lara

    "Loh, Mbak Laila!" panggil Una dengan raut tak menduga. Wanita yang berdiri di samping lelaki paruh baya itu gegas menoleh ke arah Una. Ia juga terkejut bisa bertemu Una secara tak sengaja. "Ya Allah, Rizquna. Akhirnya kita bertemu di sini," girang wanita itu sembari merentangkan dua tangan ingin melepas kerinduan dengan berpelukan. Tubuh keduanya langsung menyatu di atas halaman berkabin. Pelukan mereka begitu erat, membuat Fajrul langsung turun dari mobilnya. Gegas berlari menghampiri Una dan Laila. Lalu memberi peringatan untuk mereka, agar tak kegirangan berlebihan. "Jangan lupa, Dek. Kamu sedang hamil, dijaga perutnya!" seru Fajrul sebelum berhenti di dekat mereka. Laila pun langsung melepaskan pelukannya. Ia tak berhenti meminta maaf atas kelalaian yang ia lakukan. Una pun menganggapnya bukan masalah serius, tak perlu khawatir berlebih dengan kondisi perut yang memang sedikit terhimpit. Ada satu hal yang membuat Una merasa kecewa. Saat mendapati Laila s

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Ar-Rahmah

    Tiga purnama berlalu penuh haru biru. Wanita yang tengah berbadan dua itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Tiap pagi disambut rasa mual yang berkepanjangan. Tiap satu suap makanan yang masuk lewat mulutnya, hanya berhenti di kerongkongan kemudian muntah dengan sendirinya. Beberapa kali Una harus jatuh pingsang karena metabolisme menurun secara tiba-tiba. Belum lagi kandungan yang ada dalam rahim, mengalami perkembangan yang lemah. Tak jarang istri dari Fajrul itu harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi yang mengkhawatirkan. Semua dilewati Una dengan sabar. Tak pernah sekalipun ia mengeluh atas kondisinya yang tengah hamil muda. Syukurlah, dalam dua minggu terakhir ini, kondisi Una makin membaik. Wanita itu tak harus lagi memaksa diri untuk makan. Tubuhnya yang kurus perlahan menggembul. Pipi Una yang tembam membuatnya semakin menggemaskan. "Mas … bagaimana perkembangan pembangunan madrasah di kampung Sahara?" tanya Una saat keduanya tengah bersantai ria d

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Positif

    Masih berdiri dengan benda pipih di tangan. Tiba-tiba kepala pening, mata kunang-kunang. Gegas meraba tembok dan bersandar di sana. Ringis kesakitan karena tak biasanya ia seperti itu. Sejenak menenangkan diri, Una merasa pening di kepala sudah berkurang. Beranjak menemui Rani yang sudah menunggunya di luar. Tak enak hati belama-lama meninggalkan tamunya, dengan langkah tertatih Una menuju taman. Wajah cantik tak lagi memancarkan rona kebugaran, Una tampak pucat pasi. Perubahan jelas dapat dilihat Rani. Gegas wanita berbadan dua itu memapah Una dengan cekatan. "Ada apa, Mbak?" tanya Rani, khawatir. Una menggeleng, berlagak dirinya baik-baik saja padahal kepalanya kembali pusing. Rani berinisiatif meminta bantuan pada Bu Fatimah. Tanpa permisi, wanita bercadar itu mencarinya sambil berteriak memanggil. Terlihat Pak Luqman dan istrinya panik, menenuhi panggilan Rani. Langsung membawa anak menantunya ke rumah sakit karena takut terjadi apa-apa. Pak Luqman menge

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Pasal Cemburu

    Langkah wanita itu semakin lamban. Masih dengan tatapan kosong ke depan. Sulaiman terduduk di atas ubin yang disusun rapi menutupi tanah di pelataran. Tangisnya sudah reda, namun ia masih mengamati pintu gerbang yang terbuka. Berharap sosok ayahnya segera kembali dalam dekapannya. Rani, berjalan menghampiri Una yang tampak terperangah. Tetap dengan jubah besar warna hitam dilengkapi nikab yang menutupi parasnya nan ayu. "Assalamualaikum, Mbak," salamnya dengan uluran kedua tangan untuk bersalaman. Una gegas menyalaminya. Namun senyum belum muncul dari sudut bibirnya yang bungkam. Rani merasa tak enak hati, karena dirasa ia datang disaat yang tidak tepat. Ia bisa menafsirkan keadaan, jika di dalam rumah itu baru saja terjadi pertikaian. "Waalaikumsalam," jawab Una, singkat. Tak ada imbuhan kata lain untuk sekadar menanyakan kabar. Detik terus berlalu, Una masih dengan keadaan yang sama. Membuat Rani makin serba salah. Ia pun beranjak pamit. Karena Una tak menyamb

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Murka Sang Suami

    Tit … tit! Takdir tak sesuai harap. Bayangan hangat dari bibir lembut Handanu kini lenyap. Belum sampai sang buah hati terlahir ke dunia, sang ayah lebih dulu berpulang tanpa berpamitan. Sesak, dada Rani semakin kesulitan mengatur napasnya. Tubuh tak bernyawa belum sempat ditangani. Namun kematian menghampiri tepat di gerbang rumah sakit yang ramai. Tangan Fajrul gemetar setelah mematikan mesin mobilnya. Menoleh ke bangku belakang. Jasad dalam pangkuan wanita bercadar terlihat melotot sempurna. Sedetik kemudian, Rani mengusap wajah Handanu untuk terakhir kalinya. Dua netra tertutup bersamaan. "Innalillahi wainnailaihi rajiun." Sepenggal kalimah Tarji terdengar lirih dari mulut Una yang hanya berkecamuk. Untuk kali pertama, ia menjadi saksi nyata manusia mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sementara Rani masih memeluk jasad lelaki yang semakin lemas. Perut besarnya terhimpit namun tak dihiraukan. Gegas Fajrul turun dari mobilnya. Memanggil petugas untuk memban

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Lumpuh

    Serempak menoleh ke arah wanita bercadar hitam dengan perut besar. Melangkah setengah berlari ke arah kerumunan. Tatapan tegas siap untuk membela yang dianggap benar. Menuntaskan semua tuduhan yang selama ini mendarah daging di otak para warga kampung Sahara. Alih-alih unjuk kebolehan, wanita itu tak membalas buruk. Cukup dengan satu kalimat, mampu melumpuhkan mulut manusia yang dengan kasar mengusir Una. "Sungguh fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, pasti pertanggung jawabannya jauh lebih berat, bukan?" tegas Rani, dengan tubuh tegapnya ia berdiri di samping Una. Wanita berbadan gemuk tampak membuang muka. Lalu pergi tanpa meninggalkan permintaan maafnya. Tak ada rasa bersalah yang disadari. Hanya karena sungkan berhadapan dengan wanita bertahta di kampung itu, gegas berlalu dengan langkah menggebu. Sebuah pelukan hangat Una berikan pada Rani. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk mempersatukan Una dan Fajrul kembali. Perutnya yang besar, membuat pelukan U

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Dua Ratus Juta

    Mengalah, Fajrul tak lagi menentang pendapat Una. Akhirnya perhelatan berakhir damai. Tanpa ada rasa ingin memenangkan pendapat masing-masing. Beranjak pulang sebelum Sulaiman merengek untuk kesekian kalinya. Meninggalkan makam Qia yang selalu mengeluarkan bau harum. Mobil melaju tanpa halangan. Mempercepat perjalanan pulang mereka. Ketiganya pulang dengan selamat lahir dan batin. Begitupun dengan Sulaiman yang terlihat lebih semringah dari sebelumnya. Aura kebahagiaan dapat dilihat dari sinaran matanya. "Mas mau minum jus atau teh manis?" tawar Una sebelum melangkah ke dapur. "Em, sepertinya jus lebih menggoda, Dek." Una tersenyum sejenak. Sebelum pergi dari hadapan sang suami. Bergerak cepat memenuhi apa yang diinginkan Fajrul, karena tak mau jika suaminya harus menunggu lama. Sekitar tujuh menit berlalu, akhirnya jus sudah siap diteguk. Tenggorokan Fajrul makin tercekat karena tak sabar ingin menikmati sensasi dinginnya jus mangga dikala terik matahari ki

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Aku Bukan Ibu Kandungmu, Nak

    Apa yang lebih indah dari kebahagian? Mungkin semua orang akan menjawab, tak ada. Sejatinya hidup tetap butuh bahagia. Begitupun Una, terus berharap akan kebahagiaan juga ketenangan dalam menjalani hari-harinya. Liku-liku kehidupan sudah sering ia lalui. Tanjakan hingga turunan terjal, hampir membuatnya pasrah dan putus asa. Namun kesabaran untuk bertahan kini membuahkan hasil yang nyata. "Sulaiman sudah pernah diajak ke makam Qia, Mas?" tanya Una di sela-sela menyiapkan sarapan pagi ini. "Sudah beberapa kali. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menolak untuk ikut." Dahi Una mengernyit tipis. Sembari menyajikan nasi goreng buatannya, ia melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Mas sudah menjelaskan ke Sulaiman, soal bundanya?" Fajrul menggeleng pelan. Karena ia merasa belum saatnya menjelaskan semua itu pada Sulaiman. Ia masih kecil, Fajrul menunggu saat yang pas untuk membeberkan semuanya. "Nanti kita ke makam Qia, ya, Mas. Una belum pernah ke sana soalnya," pi

DMCA.com Protection Status