Share

Lumpuh

Penulis: Elmietaka
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Serempak menoleh ke arah wanita bercadar hitam dengan perut besar. Melangkah setengah berlari ke arah kerumunan. Tatapan tegas siap untuk membela yang dianggap benar. Menuntaskan semua tuduhan yang selama ini mendarah daging di otak para warga kampung Sahara.

Alih-alih unjuk kebolehan, wanita itu tak membalas buruk. Cukup dengan satu kalimat, mampu melumpuhkan mulut manusia yang dengan kasar mengusir Una.

"Sungguh fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, pasti pertanggung jawabannya jauh lebih berat, bukan?" tegas Rani, dengan tubuh tegapnya ia berdiri di samping Una.

Wanita berbadan gemuk tampak membuang muka. Lalu pergi tanpa meninggalkan permintaan maafnya. Tak ada rasa bersalah yang disadari. Hanya karena sungkan berhadapan dengan wanita bertahta di kampung itu, gegas berlalu dengan langkah menggebu.

Sebuah pelukan hangat Una berikan pada Rani. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk mempersatukan Una dan Fajrul kembali.

Perutnya yang besar, membuat pelukan U
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Murka Sang Suami

    Tit … tit! Takdir tak sesuai harap. Bayangan hangat dari bibir lembut Handanu kini lenyap. Belum sampai sang buah hati terlahir ke dunia, sang ayah lebih dulu berpulang tanpa berpamitan. Sesak, dada Rani semakin kesulitan mengatur napasnya. Tubuh tak bernyawa belum sempat ditangani. Namun kematian menghampiri tepat di gerbang rumah sakit yang ramai. Tangan Fajrul gemetar setelah mematikan mesin mobilnya. Menoleh ke bangku belakang. Jasad dalam pangkuan wanita bercadar terlihat melotot sempurna. Sedetik kemudian, Rani mengusap wajah Handanu untuk terakhir kalinya. Dua netra tertutup bersamaan. "Innalillahi wainnailaihi rajiun." Sepenggal kalimah Tarji terdengar lirih dari mulut Una yang hanya berkecamuk. Untuk kali pertama, ia menjadi saksi nyata manusia mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sementara Rani masih memeluk jasad lelaki yang semakin lemas. Perut besarnya terhimpit namun tak dihiraukan. Gegas Fajrul turun dari mobilnya. Memanggil petugas untuk memban

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Pasal Cemburu

    Langkah wanita itu semakin lamban. Masih dengan tatapan kosong ke depan. Sulaiman terduduk di atas ubin yang disusun rapi menutupi tanah di pelataran. Tangisnya sudah reda, namun ia masih mengamati pintu gerbang yang terbuka. Berharap sosok ayahnya segera kembali dalam dekapannya. Rani, berjalan menghampiri Una yang tampak terperangah. Tetap dengan jubah besar warna hitam dilengkapi nikab yang menutupi parasnya nan ayu. "Assalamualaikum, Mbak," salamnya dengan uluran kedua tangan untuk bersalaman. Una gegas menyalaminya. Namun senyum belum muncul dari sudut bibirnya yang bungkam. Rani merasa tak enak hati, karena dirasa ia datang disaat yang tidak tepat. Ia bisa menafsirkan keadaan, jika di dalam rumah itu baru saja terjadi pertikaian. "Waalaikumsalam," jawab Una, singkat. Tak ada imbuhan kata lain untuk sekadar menanyakan kabar. Detik terus berlalu, Una masih dengan keadaan yang sama. Membuat Rani makin serba salah. Ia pun beranjak pamit. Karena Una tak menyamb

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Positif

    Masih berdiri dengan benda pipih di tangan. Tiba-tiba kepala pening, mata kunang-kunang. Gegas meraba tembok dan bersandar di sana. Ringis kesakitan karena tak biasanya ia seperti itu. Sejenak menenangkan diri, Una merasa pening di kepala sudah berkurang. Beranjak menemui Rani yang sudah menunggunya di luar. Tak enak hati belama-lama meninggalkan tamunya, dengan langkah tertatih Una menuju taman. Wajah cantik tak lagi memancarkan rona kebugaran, Una tampak pucat pasi. Perubahan jelas dapat dilihat Rani. Gegas wanita berbadan dua itu memapah Una dengan cekatan. "Ada apa, Mbak?" tanya Rani, khawatir. Una menggeleng, berlagak dirinya baik-baik saja padahal kepalanya kembali pusing. Rani berinisiatif meminta bantuan pada Bu Fatimah. Tanpa permisi, wanita bercadar itu mencarinya sambil berteriak memanggil. Terlihat Pak Luqman dan istrinya panik, menenuhi panggilan Rani. Langsung membawa anak menantunya ke rumah sakit karena takut terjadi apa-apa. Pak Luqman menge

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Ar-Rahmah

    Tiga purnama berlalu penuh haru biru. Wanita yang tengah berbadan dua itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Tiap pagi disambut rasa mual yang berkepanjangan. Tiap satu suap makanan yang masuk lewat mulutnya, hanya berhenti di kerongkongan kemudian muntah dengan sendirinya. Beberapa kali Una harus jatuh pingsang karena metabolisme menurun secara tiba-tiba. Belum lagi kandungan yang ada dalam rahim, mengalami perkembangan yang lemah. Tak jarang istri dari Fajrul itu harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi yang mengkhawatirkan. Semua dilewati Una dengan sabar. Tak pernah sekalipun ia mengeluh atas kondisinya yang tengah hamil muda. Syukurlah, dalam dua minggu terakhir ini, kondisi Una makin membaik. Wanita itu tak harus lagi memaksa diri untuk makan. Tubuhnya yang kurus perlahan menggembul. Pipi Una yang tembam membuatnya semakin menggemaskan. "Mas … bagaimana perkembangan pembangunan madrasah di kampung Sahara?" tanya Una saat keduanya tengah bersantai ria d

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Bahagia Selepas Lara

    "Loh, Mbak Laila!" panggil Una dengan raut tak menduga. Wanita yang berdiri di samping lelaki paruh baya itu gegas menoleh ke arah Una. Ia juga terkejut bisa bertemu Una secara tak sengaja. "Ya Allah, Rizquna. Akhirnya kita bertemu di sini," girang wanita itu sembari merentangkan dua tangan ingin melepas kerinduan dengan berpelukan. Tubuh keduanya langsung menyatu di atas halaman berkabin. Pelukan mereka begitu erat, membuat Fajrul langsung turun dari mobilnya. Gegas berlari menghampiri Una dan Laila. Lalu memberi peringatan untuk mereka, agar tak kegirangan berlebihan. "Jangan lupa, Dek. Kamu sedang hamil, dijaga perutnya!" seru Fajrul sebelum berhenti di dekat mereka. Laila pun langsung melepaskan pelukannya. Ia tak berhenti meminta maaf atas kelalaian yang ia lakukan. Una pun menganggapnya bukan masalah serius, tak perlu khawatir berlebih dengan kondisi perut yang memang sedikit terhimpit. Ada satu hal yang membuat Una merasa kecewa. Saat mendapati Laila s

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Buah Hati Cahaya Mata

    *Beberapa bulan kemudian* Perut Una kian membesar. Wanita itu jauh lebih sehat dari sebelumnya. Semua keluarga besar Una dan Fajrul tak sabar menantikan kehadiran malaikat kecil di tengah keluarga mereka. Pipinya yang sempat tirus, kini makin berisi nan menggemaskan. Aura kecantikan terpancar dari wajah Una yang berseri. Hari-hari dihabiskan bersama sang suami juga Sulaiman yang mulai mengerti bahwa ia akan dikaruniai adik dari rahim bundanya. Malam semakin sunyi, sepasang suami istri masih bercengkerama di dalam kamar dengan pencahayaan remang. Duduk berdua sembari bersenandung kecil melantunkan salawat. Fajrul tergugah dari duduk bersandarnya. Rona kebahagiaan muncul saat tangannya merasakan gerakan kecil dari perut Una. "Nendang-nendang, Dek," girang Fajrul sambil meraba perut istrinya. Una tersenyum tipis, lalu memainkan anak rambut sang suami dengan lembut. Tatapan Una begitu dalam, dengan perasaan campur aduk dalam dada. Haru, bahagia, takut, khawatir, cemas dan l

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Lima Menit Penentu

    Papan tulis hitam yang semakin memudar. Dilapisi sisa kapur putih yang bergelut dengan debu. Membuat bangunan tua nan usang, terasa pengap. Napas wanita itu tersendat. Gegas berlari kecil ke arah luar. Tangan kiri menutup hidungnya dengan bantuan ujung jilbab lebar warna kuning keemasan. Sementara tangan lain sibuk menggenggam sapu ijuk yang menyisakan separuh rambutnya. Kedua netra masih terpejam. Usai bersin-bersin akibat butiran debu yang menggelitik dua lubang hidungnya. Sembari menanti ruang sempit itu kembali berudara segar. Rizquna berpindah pada kelas lain. Sebelum senja menghilang dari awang cakrawala. Kertas-kertas bekas membentuk origami pesawat terbang, terlihat berserakan di lantai tanpa keramik. Hanya campuran pasir lembut dan semen yang diratakan di atas tanah. Wanita bergamis hitam itu bergegas menyapunya dengan sukarela. Srek! Meja paling depan bergeser tanpa sepengetahuan Una—panggilannya. Sontak ia menjerit kaget. Sapu terlempar dengan sendirinya

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Mendadak Akad

    Bukan saat yang tepat untuk berpikir lama. Sementara harus ada kemantapan hati yang segera diutarakan. Dengan suara bariton yang tegas, pria itu telah menentukan sebuah keputusan besar. Menatap wajah-wajah yang menunggu jawabannya, secara bergantian. Hingga tatapan Fajrul berhenti pada pria tua dengan kumis juga jenggot tipis yang memutih. "Baiklah, saya bersedia menikahi Rizquna saat ini juga. Bukan karena paksaan atau desakan dari siapapun." Ujung netra Una memanas seketika. Ada cairan yang memberontak ingin meloloskan diri dari sana. Membuat pandangan semakin buram disertai rasa perih. Setetes air asin telah meluncur bebas mengenai kedua pipi Una yang memerah. Gegas wanita itu mengusapnya. Tak pernah terbesit tentang persoalan asmara. Selama ini, Una belum pernah merasakan jatuh cinta. Kecuali, rasa cintanya pada lelaki yang kini menatapnya dalam. Beban tanggungan akan segera diserahkan pada pria yang sudah siap mengikrarkan akad untuk cucu kesayangannya. "Se

Bab terbaru

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Buah Hati Cahaya Mata

    *Beberapa bulan kemudian* Perut Una kian membesar. Wanita itu jauh lebih sehat dari sebelumnya. Semua keluarga besar Una dan Fajrul tak sabar menantikan kehadiran malaikat kecil di tengah keluarga mereka. Pipinya yang sempat tirus, kini makin berisi nan menggemaskan. Aura kecantikan terpancar dari wajah Una yang berseri. Hari-hari dihabiskan bersama sang suami juga Sulaiman yang mulai mengerti bahwa ia akan dikaruniai adik dari rahim bundanya. Malam semakin sunyi, sepasang suami istri masih bercengkerama di dalam kamar dengan pencahayaan remang. Duduk berdua sembari bersenandung kecil melantunkan salawat. Fajrul tergugah dari duduk bersandarnya. Rona kebahagiaan muncul saat tangannya merasakan gerakan kecil dari perut Una. "Nendang-nendang, Dek," girang Fajrul sambil meraba perut istrinya. Una tersenyum tipis, lalu memainkan anak rambut sang suami dengan lembut. Tatapan Una begitu dalam, dengan perasaan campur aduk dalam dada. Haru, bahagia, takut, khawatir, cemas dan l

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Bahagia Selepas Lara

    "Loh, Mbak Laila!" panggil Una dengan raut tak menduga. Wanita yang berdiri di samping lelaki paruh baya itu gegas menoleh ke arah Una. Ia juga terkejut bisa bertemu Una secara tak sengaja. "Ya Allah, Rizquna. Akhirnya kita bertemu di sini," girang wanita itu sembari merentangkan dua tangan ingin melepas kerinduan dengan berpelukan. Tubuh keduanya langsung menyatu di atas halaman berkabin. Pelukan mereka begitu erat, membuat Fajrul langsung turun dari mobilnya. Gegas berlari menghampiri Una dan Laila. Lalu memberi peringatan untuk mereka, agar tak kegirangan berlebihan. "Jangan lupa, Dek. Kamu sedang hamil, dijaga perutnya!" seru Fajrul sebelum berhenti di dekat mereka. Laila pun langsung melepaskan pelukannya. Ia tak berhenti meminta maaf atas kelalaian yang ia lakukan. Una pun menganggapnya bukan masalah serius, tak perlu khawatir berlebih dengan kondisi perut yang memang sedikit terhimpit. Ada satu hal yang membuat Una merasa kecewa. Saat mendapati Laila s

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Ar-Rahmah

    Tiga purnama berlalu penuh haru biru. Wanita yang tengah berbadan dua itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Tiap pagi disambut rasa mual yang berkepanjangan. Tiap satu suap makanan yang masuk lewat mulutnya, hanya berhenti di kerongkongan kemudian muntah dengan sendirinya. Beberapa kali Una harus jatuh pingsang karena metabolisme menurun secara tiba-tiba. Belum lagi kandungan yang ada dalam rahim, mengalami perkembangan yang lemah. Tak jarang istri dari Fajrul itu harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi yang mengkhawatirkan. Semua dilewati Una dengan sabar. Tak pernah sekalipun ia mengeluh atas kondisinya yang tengah hamil muda. Syukurlah, dalam dua minggu terakhir ini, kondisi Una makin membaik. Wanita itu tak harus lagi memaksa diri untuk makan. Tubuhnya yang kurus perlahan menggembul. Pipi Una yang tembam membuatnya semakin menggemaskan. "Mas … bagaimana perkembangan pembangunan madrasah di kampung Sahara?" tanya Una saat keduanya tengah bersantai ria d

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Positif

    Masih berdiri dengan benda pipih di tangan. Tiba-tiba kepala pening, mata kunang-kunang. Gegas meraba tembok dan bersandar di sana. Ringis kesakitan karena tak biasanya ia seperti itu. Sejenak menenangkan diri, Una merasa pening di kepala sudah berkurang. Beranjak menemui Rani yang sudah menunggunya di luar. Tak enak hati belama-lama meninggalkan tamunya, dengan langkah tertatih Una menuju taman. Wajah cantik tak lagi memancarkan rona kebugaran, Una tampak pucat pasi. Perubahan jelas dapat dilihat Rani. Gegas wanita berbadan dua itu memapah Una dengan cekatan. "Ada apa, Mbak?" tanya Rani, khawatir. Una menggeleng, berlagak dirinya baik-baik saja padahal kepalanya kembali pusing. Rani berinisiatif meminta bantuan pada Bu Fatimah. Tanpa permisi, wanita bercadar itu mencarinya sambil berteriak memanggil. Terlihat Pak Luqman dan istrinya panik, menenuhi panggilan Rani. Langsung membawa anak menantunya ke rumah sakit karena takut terjadi apa-apa. Pak Luqman menge

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Pasal Cemburu

    Langkah wanita itu semakin lamban. Masih dengan tatapan kosong ke depan. Sulaiman terduduk di atas ubin yang disusun rapi menutupi tanah di pelataran. Tangisnya sudah reda, namun ia masih mengamati pintu gerbang yang terbuka. Berharap sosok ayahnya segera kembali dalam dekapannya. Rani, berjalan menghampiri Una yang tampak terperangah. Tetap dengan jubah besar warna hitam dilengkapi nikab yang menutupi parasnya nan ayu. "Assalamualaikum, Mbak," salamnya dengan uluran kedua tangan untuk bersalaman. Una gegas menyalaminya. Namun senyum belum muncul dari sudut bibirnya yang bungkam. Rani merasa tak enak hati, karena dirasa ia datang disaat yang tidak tepat. Ia bisa menafsirkan keadaan, jika di dalam rumah itu baru saja terjadi pertikaian. "Waalaikumsalam," jawab Una, singkat. Tak ada imbuhan kata lain untuk sekadar menanyakan kabar. Detik terus berlalu, Una masih dengan keadaan yang sama. Membuat Rani makin serba salah. Ia pun beranjak pamit. Karena Una tak menyamb

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Murka Sang Suami

    Tit … tit! Takdir tak sesuai harap. Bayangan hangat dari bibir lembut Handanu kini lenyap. Belum sampai sang buah hati terlahir ke dunia, sang ayah lebih dulu berpulang tanpa berpamitan. Sesak, dada Rani semakin kesulitan mengatur napasnya. Tubuh tak bernyawa belum sempat ditangani. Namun kematian menghampiri tepat di gerbang rumah sakit yang ramai. Tangan Fajrul gemetar setelah mematikan mesin mobilnya. Menoleh ke bangku belakang. Jasad dalam pangkuan wanita bercadar terlihat melotot sempurna. Sedetik kemudian, Rani mengusap wajah Handanu untuk terakhir kalinya. Dua netra tertutup bersamaan. "Innalillahi wainnailaihi rajiun." Sepenggal kalimah Tarji terdengar lirih dari mulut Una yang hanya berkecamuk. Untuk kali pertama, ia menjadi saksi nyata manusia mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sementara Rani masih memeluk jasad lelaki yang semakin lemas. Perut besarnya terhimpit namun tak dihiraukan. Gegas Fajrul turun dari mobilnya. Memanggil petugas untuk memban

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Lumpuh

    Serempak menoleh ke arah wanita bercadar hitam dengan perut besar. Melangkah setengah berlari ke arah kerumunan. Tatapan tegas siap untuk membela yang dianggap benar. Menuntaskan semua tuduhan yang selama ini mendarah daging di otak para warga kampung Sahara. Alih-alih unjuk kebolehan, wanita itu tak membalas buruk. Cukup dengan satu kalimat, mampu melumpuhkan mulut manusia yang dengan kasar mengusir Una. "Sungguh fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, pasti pertanggung jawabannya jauh lebih berat, bukan?" tegas Rani, dengan tubuh tegapnya ia berdiri di samping Una. Wanita berbadan gemuk tampak membuang muka. Lalu pergi tanpa meninggalkan permintaan maafnya. Tak ada rasa bersalah yang disadari. Hanya karena sungkan berhadapan dengan wanita bertahta di kampung itu, gegas berlalu dengan langkah menggebu. Sebuah pelukan hangat Una berikan pada Rani. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk mempersatukan Una dan Fajrul kembali. Perutnya yang besar, membuat pelukan U

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Dua Ratus Juta

    Mengalah, Fajrul tak lagi menentang pendapat Una. Akhirnya perhelatan berakhir damai. Tanpa ada rasa ingin memenangkan pendapat masing-masing. Beranjak pulang sebelum Sulaiman merengek untuk kesekian kalinya. Meninggalkan makam Qia yang selalu mengeluarkan bau harum. Mobil melaju tanpa halangan. Mempercepat perjalanan pulang mereka. Ketiganya pulang dengan selamat lahir dan batin. Begitupun dengan Sulaiman yang terlihat lebih semringah dari sebelumnya. Aura kebahagiaan dapat dilihat dari sinaran matanya. "Mas mau minum jus atau teh manis?" tawar Una sebelum melangkah ke dapur. "Em, sepertinya jus lebih menggoda, Dek." Una tersenyum sejenak. Sebelum pergi dari hadapan sang suami. Bergerak cepat memenuhi apa yang diinginkan Fajrul, karena tak mau jika suaminya harus menunggu lama. Sekitar tujuh menit berlalu, akhirnya jus sudah siap diteguk. Tenggorokan Fajrul makin tercekat karena tak sabar ingin menikmati sensasi dinginnya jus mangga dikala terik matahari ki

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Aku Bukan Ibu Kandungmu, Nak

    Apa yang lebih indah dari kebahagian? Mungkin semua orang akan menjawab, tak ada. Sejatinya hidup tetap butuh bahagia. Begitupun Una, terus berharap akan kebahagiaan juga ketenangan dalam menjalani hari-harinya. Liku-liku kehidupan sudah sering ia lalui. Tanjakan hingga turunan terjal, hampir membuatnya pasrah dan putus asa. Namun kesabaran untuk bertahan kini membuahkan hasil yang nyata. "Sulaiman sudah pernah diajak ke makam Qia, Mas?" tanya Una di sela-sela menyiapkan sarapan pagi ini. "Sudah beberapa kali. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menolak untuk ikut." Dahi Una mengernyit tipis. Sembari menyajikan nasi goreng buatannya, ia melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Mas sudah menjelaskan ke Sulaiman, soal bundanya?" Fajrul menggeleng pelan. Karena ia merasa belum saatnya menjelaskan semua itu pada Sulaiman. Ia masih kecil, Fajrul menunggu saat yang pas untuk membeberkan semuanya. "Nanti kita ke makam Qia, ya, Mas. Una belum pernah ke sana soalnya," pi

DMCA.com Protection Status