Setelah semua usai, satu persatu pamit undur diri. Tapi tidak dengan pria yang sekarang hanya bisa membatu di atas kursi kayu yang mulai keropos dimakan rayap. Bingung, ia harus berbuat apa setelah statusnya berubah menjadi seorang suami. Ada wanita yang kini menjadi haknya. Ada keluarga yang sebelumnya bukan siapa-siapa untuknya.
"Pak Fajrul, sepertinya ponsel Anda berbunyi," tutur Una, masih berdiri di ambang pintu setelah mengangkat jemuran sebelum langit semakin petang.
Gegas pria itu mengambil gawai yang diletakkan di jok motornya. Panggilan yang sebenarnya tak terlalu diharapkan. Namun harus diterima karena biar bagaimanapun, statusnya masih seorang anak yang memiliki kedua orang tua di kota.
Kabar yang tak sedap baru saja diterima. Ayah Fajrul tengah terkapar di sumah sakit sore ini. Mengharuskan Fajrul untuk kembali ke kota asalnya. Namun, bagaimana dengan sang istri? Mana mungkin dia pergi di hari pertama pernikahannya.
"Mohon maaf, bukannya saya menolak ajakan Pak Fajrul untuk bertemu keluarga besar di kota. Tapi, saya rasa ini bukan saat yang tepat untuk memperkenalkan saya sebagai istri Pak Fajrul. Lagipula, Ayah Pak Fajrul sedang sakit, 'kan? Takutnya beliau malah down setelah mengetahui hubungan kita," kilah Una sebagai penolakan halus. Setelah Fajrul mencoba mengajaknya pulang ke kota.
Bukan hanya alasan itu. Una belum tega meninggalkan anak-anak di kampung yang setiap sore setia belajar ilmu agama dengannya. Sementara kondisi Mbah Aab yang renta, tak tega jika harus ditinggal seorang diri dalam waktu yang lama.
"Baiklah, saya mengerti maksud kamu, Dek. Tapi, apa tak masalah jika saya meninggalkanmu untuk sementara waktu? Sementara kita baru saja menikah," ujar Fajrul, tak enak hati.
Una menggeleng disertai senyuman ikhlas. Ia benar-benar tak masalah jika sang suami harus pergi. Ia pun mempersilakan pria itu untuk segera bersiap. Karena tak baik mengulur waktu sebelum semuanya terlambat.
Akhirnya, dengan berat hati Fajrul pamit dari hadapan istri juga kakek mertuanya. Sesekali menatap wanita cantik yang begitu teduh tiap kali dipandang.
Di atas motornya, ia bersiap untuk tancap gas. Namun urung sekejap. Ia belum rela meninggalkan Una di sana.
"Tunggu saya kembali. Nanti kalau kita berjumpa lagi, saya harap tak ada panggilan "Pak Fajrul". Sepertinya panggilan "Mas" lebih indah," gurau lelaki itu dengan senyum yang menawan.
Hanya bisa tertunduk malu. Dibuat mabuk kepayang oleh gombalan sang suami yang tak seberapa. Namun terasa menggelitik hati Una yang tengah berbunga.
***
Tergesa pria itu berjalan ke dalam rumah mewah berlantai tiga. Pagar besi nan kokoh menjulang tinggi. Penutup juga sebagai pengamanan untuk rumah pengusaha sukses yang tak lain adalah keluarga Fajrul Falah bin Luqmanul Falah.
Begitu kaki kanan memasuki ambang pintu yang terbuka lebar untuknya, kedua netra Fajrul disuguhkan dengan pemandangan tak sedap. Para manusia yang masih asing, duduk memenuhi ruang tamu yang luas. Dengan jamuan berbagai ragam makanan juga buah-buahan segar di atas meja kaca yang mengkilap.
Merasa dibohongi, hanya bisa menahan kecewa yang tak ada ujungnya. Marah, namun harus ditahan demi menjaga kehormatan nama baik keluarga Luqman yang terpandang. Fajrul melangkah pelan ke arah sang bunda. Bertekuk lutut untuk bersalaman dengannya. Lanjut pada sang ayah yang duduk di sebelahnya.
Tak ada senyum yang terulas. Perasaan tak enak melanda Fajrul karena mencium rencana tak sedap di dalam rumah ini. Sementara di ujung sana, ada gadis cantik yang menundukkan pandangannya.
"Alhamdulillah, akhirnya putra saya sudah pulang. Bisa kita mulai acaranya," tutur Pak Luqman dengan ramah. Tatapannya lurus pada pria yang duduk berseberangan dengan beliau.
Manggut-manggut bergantian, semuanya setuju nan lega. Namun tidak dengan raut Fajrul yang tak tahu apa-apa di sana. Ia menoleh ke arah wanita di sebelahnya—Bu Fatimah—sang bunda.
Bapak-bapak berkumis tipis dengan songkok putih susu, membuka dengan sambutan cukup panjang. Hingga sampai pada penyampaian inti kedatangan mereka di rumah itu.
Sontak wajah Fajrul memerah. Setelah telinganya berhasil diusik oleh kata perjodohan. Bukan terlalu percaya diri, namun ia yakin bahwa dirinyalah yang akan dijodohkan di sini. Karena Fajrul adalah anak semata wayang dari Luqman bersama istrinya.
Bu Fatimah meraih tangan putranya. Lanjut menggenggamnya dengan erat. Beliau mengangguk dengan senyum yang penuh arti. Kedua netra itu tak bisa berbohong, beliau sebenarnya tak sependapat dengan suaminya.
"Bagaimana, Nak Fajrul? Apakah kamu sudah siap hidup bersanding dengan putri saya?"
Pertanyaan itu menusuk kalbu pria yang baru beberapa jam lalu mengucap janji suci di hadapan kakek mertuanya. Kali ini, ia mendapat penawaran yang bisa membuatnya gila. Sementara ia tak bisa jujur dengan statusnya sebagai lelaki yang beristri. Karena hanya akan dianggap lelucon juga tameng untuk menghindar dari perjodohan.
Tenang, memutar pikiran untuk mencari jawaban yang tepat. Tanpa melukai pihak manapun, Fajrul harus bersikap bijak di hadapan keluarga besar wanita yang sama sekali tak dikenalnya.
Sedikit berdeham, lalu mengatur napasnya agar lancar. Fajrul menatap satu persatu wajah para insan di hadapannya. Kecuali wanita diujung yang memang belum mendongak sedari tadi.
"Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk bersilaturahmi di rumah kami. Dengan niat yang mulia juga ketulusan hati, patutlah kami sekeluarga merasa bangga. Namun, untuk masalah perjodohan yang saya rasa masih sepihak. Tentu kurang adil bagi saya karena saya sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Bukan bermaksud menolak atau menggantung. Tolong beri saya waktu," jawab Fajrul, cukup panjang.
Ada yang tak terima dengan jawaban Fajrul. Tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri. Beliau langsung menatap tajam putranya. Rahangnya menggertak hingga otot-otot terlihat dari luar.
"Bukan tanpa alasan, sekali lagi saya mohon maaf. Karena masih banyak anak-anak di kampung yang menjadi tanggung jawab saya sebagai pendidik. Tentu jika saya berumah tangga, pasti harus berpisah dengan mereka. Jujur, saya belum sanggup," imbuhnya, dengan nada memelas.
Belum adanya keputusan yang pasti, membuat keluarga pihak wanita bergegas pamit. Sedikit kecewa namun mereka masih bisa menerima alasan Fajrul yang memang masuk akal.
Firasat buruk kembali terbesit di benak Fajrul. Setelah para tamu pulang, pasti akan ada keributan di rumah bak istana itu. Memilih diam, karena sudah hafal dengan karakter orang tua yang cenderung keras terhadapnya.
"Siapa yang mengajarimu seperti itu. Mereka pasti malu karena tak mendapat jawaban darimu. Sebenarnya kau ini anak macam apa? Tak mau patuh pada orang tua sendiri, hah?!"
Sudah tak heran dengan kata-kata yang terdengar kasar. Itulah salah satu sebab mengapa Fajrul memilih hidup mandiri. Mengabdikan diri di sebuah kampung tanpa bayaran sepeserpun. Padahal, harta benda sang ayah yang jelas akan diwariskan padanya sebagai pewaris tahta tunggal.
Tak mau menentang sang ayah, Fajrul pun pamit untuk kembali ke kampung Sahara—julukannya.
"Fajrul pulang karena kabar bahwa Ayah sedang sakit. Namun, Alhamdulillah. Ternyata Ayah baik-baik saja. Jadi, Fajrul izin kembali."
Dengan tas ransel hitam yang mulai lusuh, Fajrul pergi dari hadapan kedua orang tuanya. Nahasnya, ia mendapat perlakuan kurang baik dari lelaki paruh baya yang kini mengepalkan kedua tangannya.
Plak!
Tangan kanan dengan permukaan kulit sedikit kasar, baru saja mendarat di pipi kiri Fajrul. Tak bisa mengendalikan kegusarannya, Luqman memberikan sebuah tamparan pada putra semata wayangnya. Tak ada balas dendam. Hanya meninggalkan sebuah senyum manis juga ucapan terima kasih pada sang ayah. Begitulah kelembutan hati Fajrul, yang tak mau memperkeruh masalah dengan mengalah. Masih bertolak pinggang dengan darah yang mendidih. Kepulan asap amarah masih bergerombol di kepala Luqman. Lelaki itu bahkan menepis tangan putranya yang hanya ingin bersalaman. "Fajrul berangkat dulu, Bunda," pamitnya, lembut. Disertai tarikan sembir yang sebenarnya masih sakit akibat tamparan keras dari ayahnya. "Hati-hati di jalan, Nak. Semoga Allah memberkahi perjalananmu," bisik Bu Fatimah dengan kedua netra yang berkaca. Tak lupa memeluk putranya walau hanya beberapa detik saja. Dengan segala kesabaran yang tak terbatas, Fajrul melangkahkan kaki untuk kembali. Bukan karena tindak durha
Dua purnama berlalu diiringi awan kelabu. Hari-hari Una terasa biasa saja, tak ada yang istimewa. Sejak sang suami menuruti permintaannya untuk menikah dengan wanita yang dijodohkan dengannya. Hanya lewat panggilan telepon juga pesan singkat, sekadar menanyakan kabar kesehatan. Sedikit mengobati rindu yang tak berani diungkap. Untung saja, tawa anak-anak kampung yang selalu bersemangat untuk mengaji. Menjadi obat bagi Una yang tengah diuji kekuatan cintanya. Hanya kesetian juga rasa saling percaya, yang bisa melanggengkan hubungan jarak jauh yang sedang dijalaninya. Sementara hari-hari Fajrul disibukkan dengan berbagai persiapan. Pesta megah seorang putra jutawan itu, pasti membutuhkan persiapan yang matang. "Bu, Pak Fajrul lama sekali perginya. Apa beliau lupa sama kita?" Pertanyaan yang selalu menghampiri telinga Una. Tiap sore ia harus menjawab desakan anak-anak yang memang merindukan sosok guru sebaik Fajrul. Tak jarang mereka menangis, merengek di hadapan U
Bukan perkara mudah menerima kenyataan yang pahit. Namun keputusan tak bisa diralat. Bukan salah orang lain, melainkan murni dari kesalahannya sendiri. Andaikan wanita itu mencari tahu siapa yang akan menjadi madu untuknya, pasti Una akan berpikir dua kali untuk mengizinkan sang suami menikah lagi. Terlanjur, kayu sudah menjadi abu. Tak bisa dikembalikan agar menjadi kayu yang utuh. Kata terlambat pun belum bisa disebutkan, karena maaih ada waktu untuk merubah takdir yang memang tak diharapkan. Namun setelah berpikir lebih jernih. Dengan segala pertimbangan dan keteguhan batin, Una akhirnya tetap bersikukuh dengan pilihannya. "Jika Mas Fajrul tetap ingin membatalkan pernikahan dengan Qia, dengan terang-terangan saya minta berpisah!" sergah Una, cukup menentang mental suaminya. Protes yang tak kunjung selesai. Fajrul tak tahu harus menyikapi Una dengan cara apa lagi. Kegundahan terus memihak pada lelaki yang akan beristri dua itu. Perceraian bukanlah jalan yang diing
Ratusan tamu undangan memenuhi rumah yang disulap menjadi istana pernikahan. Hiasan bunga putih dan merah yang dirangkai menjadi senada. Alunan piano menggema di tiap sudut ruang tertutup. Tak sembarang orang bisa masuk ke sana. Bapak-bapak dengan jasnya yang klimis. Ibu-ibu sosialita yang tak kalah mewahnya. Duduk tenang di kursi mewah dengan meja bundar yang dipenuhi aneka hidangan lezat. Sungguh, Fajrul tak menyukainya sama sekali. Kemewahan dunia yang membuatnya semakin enggan pulang ke rumah. Juga kehidupan keluarga besar yang mengedepankan kekayaan harta juga penampilan. Lelaki itu tertunduk di depan penghulu. Netranya mengembun tatkala teringat wajah Una yang terus menghantui pikirannya. Pikir mereka, wajah mempelai pria yang tampak menangis tangis haru. Terbuai akan hari bahagia yang diimpikan banyak manusia. Pesta mewah, juga semua yang serba ada. Siapa yang tak menginginkan resepsi dengan budget ratusan hingga milyaran juta? Dua hari sebelum hari ini, Fajr
Dua pasang mata terperanjat tak percaya. Mendengar pengakuan dari sepasang calon pengantin yang akan melangsungkan akad untuk mengikat hubungan keduanya. Murka, Mbah Aab belum bisa menerima sikap pasangan yang baru saja tiba. Terlalu berlebihan dan melampaui batas. Mereka belum halal, namun dengan santai dan tanpa merasa bersalah, bergandengan mesra di tempat umum. Wanita yang empat tahun lebih tua dari Una. Sudah lama ia tak kembali ke kampung Sahara yang asri. Kedatangannya membuat Una cemas. Khawatir jika tiba-tiba Fajrul datang saat kakak perempuannya berada di rumah. Sementara mereka memiliki kesepakatan, bahwa Una tak akan menikah sebelum kakaknya pensiun dari status lajangnya. Niswa, begitulah orang-orang memanggilnya. Anak pertama dari sepasang suami istri yang kini hanya meninggalkan nama. Mengembara ke tanah seberang, untuk mengabdikan diri demi agama. Kepulangannya dengan menggandeng pria yang dikenalkan sebagai calon suami, membuat Mbah Aab jengkel. Sela
Enggan melanjutkan kalimatnya. Sekali lagi, wanita itu mengamati bibir merah milik suaminya. Bayangan melayang-layang ke arah sana. Kembali merasakan tekanan batin yang tak bisa disembunyikannya. Kepala Una merunduk, pilu. Entah karena apa, wajah sahabat lamanya terus memenuhi kelopak matanya. Ia tak bisa menatap sang suami dengan ketulusan hati. Ternyata, seperti ini rasanya dimadu. Pantas saja, Allah telah menyiapkan ganjaran istimewa bagi para wanita yang ikhlas jika suami menikah kembali. Nyatanya, Una belum setulus itu. Masih saja terpukul dengan kenyataan yang terasa pahit. Ikhlas, mudah dikata namun sangat sulit dijalankan. 'Mereka sudah menikah cukup lama. Pasti tiap malam mereka sedekat ini. Dan bibir itu ….' gumam Una dengan segala prasangka yang menyayat hatinya. Cemburu itu nyata, walau tanpa melihat dengan kedua mata. Membayangkan hari-hari sang suami bersama wanita lain, adalah hal paling menyesakkan. "Dek, bukankah tadi kita salat berjamaah? Itu a
Keluarga kecil tak sehangat beberapa hari lalu. Tawa bahagia yang selalu menaungi rumah tangga Fajrul dan Qia, seketika lenyap entah ke mana. Dengan balutan piyama bermotif bunga mawar merah yang menggoda, wanita itu tetap bermanja tanpa sadar jika dirinya telah melakukan sebuah kesalahan. Alih-alih cemas akan sikap suaminya yang tiba-tiba berubah, Qia malah tersenyum genit pada lelaki yang sedari tadi bertolak pinggang. Rautnya yang memerah, belum menyadarkan sang istri bahwa Fajrul marah padanya. Tangan kekar yang biasa membelai lembut oipi istrinya, terus mengepal hingga otot-otot terlihat dari sisi luar. Sekejap, Fajrul mengelus dada bidangnya. Melambungkan istighfar untuk meredam emosi yang sempat menganak. Kepalanya dibenamkan di samping ranjang tidur Qia. Gegas wanita itu mendekati Fajrul seusai merapikan rambut yang terurai berantakan. Memainkan ujung kepala Fajrul, dengan belaian lembut. Sebelum akhirnya ia menanyakan sesuatu yang membuat sang suami mati ga
Sejak kejadian malam itu, Qia terus menguatkan rasa kepercayaan pada Fajrul. Fokus pada dirinya juga calon bayi yang masih dalam kandungan. Walau wajah Fajrul yang tak bisa berbohong atas keresahannya. Namun, sang istri tak berani membahas hal tersebut. Tak kalah panasnya, kehidupan Una harus dilalui di atas jalanan yang terjal. Fajrul yang tak kunjung datang, sementara kabar pernikahan siri telah menyebar. Mendatangkan segala macam fitnah dan tudingan tanpa pembuktian. Janda, istri tanpa bukti tertulis, wanita penggoda dan masih banyak panggilan baru untuk Una. Tak jarang, bebatuan kecil menyambar tubuhnya tatkala ia berangkat mengajar. Lebih parahnya, ada juga manusia yang bersikeras agar Una segera angkat kaki dari kampung Sahara. Seberapa hinanya istri yang masih sah secara agama? Apakah aku harus menghilang dari sini? Pertanyaan yang selalu berlalu-lalang dalam benak. Membuat cucu dari Mbah Aab dilanda kepedihan yang dalam. Tubuhnya tak sebugar dulu. Sering sakit,
*Beberapa bulan kemudian* Perut Una kian membesar. Wanita itu jauh lebih sehat dari sebelumnya. Semua keluarga besar Una dan Fajrul tak sabar menantikan kehadiran malaikat kecil di tengah keluarga mereka. Pipinya yang sempat tirus, kini makin berisi nan menggemaskan. Aura kecantikan terpancar dari wajah Una yang berseri. Hari-hari dihabiskan bersama sang suami juga Sulaiman yang mulai mengerti bahwa ia akan dikaruniai adik dari rahim bundanya. Malam semakin sunyi, sepasang suami istri masih bercengkerama di dalam kamar dengan pencahayaan remang. Duduk berdua sembari bersenandung kecil melantunkan salawat. Fajrul tergugah dari duduk bersandarnya. Rona kebahagiaan muncul saat tangannya merasakan gerakan kecil dari perut Una. "Nendang-nendang, Dek," girang Fajrul sambil meraba perut istrinya. Una tersenyum tipis, lalu memainkan anak rambut sang suami dengan lembut. Tatapan Una begitu dalam, dengan perasaan campur aduk dalam dada. Haru, bahagia, takut, khawatir, cemas dan l
"Loh, Mbak Laila!" panggil Una dengan raut tak menduga. Wanita yang berdiri di samping lelaki paruh baya itu gegas menoleh ke arah Una. Ia juga terkejut bisa bertemu Una secara tak sengaja. "Ya Allah, Rizquna. Akhirnya kita bertemu di sini," girang wanita itu sembari merentangkan dua tangan ingin melepas kerinduan dengan berpelukan. Tubuh keduanya langsung menyatu di atas halaman berkabin. Pelukan mereka begitu erat, membuat Fajrul langsung turun dari mobilnya. Gegas berlari menghampiri Una dan Laila. Lalu memberi peringatan untuk mereka, agar tak kegirangan berlebihan. "Jangan lupa, Dek. Kamu sedang hamil, dijaga perutnya!" seru Fajrul sebelum berhenti di dekat mereka. Laila pun langsung melepaskan pelukannya. Ia tak berhenti meminta maaf atas kelalaian yang ia lakukan. Una pun menganggapnya bukan masalah serius, tak perlu khawatir berlebih dengan kondisi perut yang memang sedikit terhimpit. Ada satu hal yang membuat Una merasa kecewa. Saat mendapati Laila s
Tiga purnama berlalu penuh haru biru. Wanita yang tengah berbadan dua itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Tiap pagi disambut rasa mual yang berkepanjangan. Tiap satu suap makanan yang masuk lewat mulutnya, hanya berhenti di kerongkongan kemudian muntah dengan sendirinya. Beberapa kali Una harus jatuh pingsang karena metabolisme menurun secara tiba-tiba. Belum lagi kandungan yang ada dalam rahim, mengalami perkembangan yang lemah. Tak jarang istri dari Fajrul itu harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi yang mengkhawatirkan. Semua dilewati Una dengan sabar. Tak pernah sekalipun ia mengeluh atas kondisinya yang tengah hamil muda. Syukurlah, dalam dua minggu terakhir ini, kondisi Una makin membaik. Wanita itu tak harus lagi memaksa diri untuk makan. Tubuhnya yang kurus perlahan menggembul. Pipi Una yang tembam membuatnya semakin menggemaskan. "Mas … bagaimana perkembangan pembangunan madrasah di kampung Sahara?" tanya Una saat keduanya tengah bersantai ria d
Masih berdiri dengan benda pipih di tangan. Tiba-tiba kepala pening, mata kunang-kunang. Gegas meraba tembok dan bersandar di sana. Ringis kesakitan karena tak biasanya ia seperti itu. Sejenak menenangkan diri, Una merasa pening di kepala sudah berkurang. Beranjak menemui Rani yang sudah menunggunya di luar. Tak enak hati belama-lama meninggalkan tamunya, dengan langkah tertatih Una menuju taman. Wajah cantik tak lagi memancarkan rona kebugaran, Una tampak pucat pasi. Perubahan jelas dapat dilihat Rani. Gegas wanita berbadan dua itu memapah Una dengan cekatan. "Ada apa, Mbak?" tanya Rani, khawatir. Una menggeleng, berlagak dirinya baik-baik saja padahal kepalanya kembali pusing. Rani berinisiatif meminta bantuan pada Bu Fatimah. Tanpa permisi, wanita bercadar itu mencarinya sambil berteriak memanggil. Terlihat Pak Luqman dan istrinya panik, menenuhi panggilan Rani. Langsung membawa anak menantunya ke rumah sakit karena takut terjadi apa-apa. Pak Luqman menge
Langkah wanita itu semakin lamban. Masih dengan tatapan kosong ke depan. Sulaiman terduduk di atas ubin yang disusun rapi menutupi tanah di pelataran. Tangisnya sudah reda, namun ia masih mengamati pintu gerbang yang terbuka. Berharap sosok ayahnya segera kembali dalam dekapannya. Rani, berjalan menghampiri Una yang tampak terperangah. Tetap dengan jubah besar warna hitam dilengkapi nikab yang menutupi parasnya nan ayu. "Assalamualaikum, Mbak," salamnya dengan uluran kedua tangan untuk bersalaman. Una gegas menyalaminya. Namun senyum belum muncul dari sudut bibirnya yang bungkam. Rani merasa tak enak hati, karena dirasa ia datang disaat yang tidak tepat. Ia bisa menafsirkan keadaan, jika di dalam rumah itu baru saja terjadi pertikaian. "Waalaikumsalam," jawab Una, singkat. Tak ada imbuhan kata lain untuk sekadar menanyakan kabar. Detik terus berlalu, Una masih dengan keadaan yang sama. Membuat Rani makin serba salah. Ia pun beranjak pamit. Karena Una tak menyamb
Tit … tit! Takdir tak sesuai harap. Bayangan hangat dari bibir lembut Handanu kini lenyap. Belum sampai sang buah hati terlahir ke dunia, sang ayah lebih dulu berpulang tanpa berpamitan. Sesak, dada Rani semakin kesulitan mengatur napasnya. Tubuh tak bernyawa belum sempat ditangani. Namun kematian menghampiri tepat di gerbang rumah sakit yang ramai. Tangan Fajrul gemetar setelah mematikan mesin mobilnya. Menoleh ke bangku belakang. Jasad dalam pangkuan wanita bercadar terlihat melotot sempurna. Sedetik kemudian, Rani mengusap wajah Handanu untuk terakhir kalinya. Dua netra tertutup bersamaan. "Innalillahi wainnailaihi rajiun." Sepenggal kalimah Tarji terdengar lirih dari mulut Una yang hanya berkecamuk. Untuk kali pertama, ia menjadi saksi nyata manusia mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sementara Rani masih memeluk jasad lelaki yang semakin lemas. Perut besarnya terhimpit namun tak dihiraukan. Gegas Fajrul turun dari mobilnya. Memanggil petugas untuk memban
Serempak menoleh ke arah wanita bercadar hitam dengan perut besar. Melangkah setengah berlari ke arah kerumunan. Tatapan tegas siap untuk membela yang dianggap benar. Menuntaskan semua tuduhan yang selama ini mendarah daging di otak para warga kampung Sahara. Alih-alih unjuk kebolehan, wanita itu tak membalas buruk. Cukup dengan satu kalimat, mampu melumpuhkan mulut manusia yang dengan kasar mengusir Una. "Sungguh fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, pasti pertanggung jawabannya jauh lebih berat, bukan?" tegas Rani, dengan tubuh tegapnya ia berdiri di samping Una. Wanita berbadan gemuk tampak membuang muka. Lalu pergi tanpa meninggalkan permintaan maafnya. Tak ada rasa bersalah yang disadari. Hanya karena sungkan berhadapan dengan wanita bertahta di kampung itu, gegas berlalu dengan langkah menggebu. Sebuah pelukan hangat Una berikan pada Rani. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk mempersatukan Una dan Fajrul kembali. Perutnya yang besar, membuat pelukan U
Mengalah, Fajrul tak lagi menentang pendapat Una. Akhirnya perhelatan berakhir damai. Tanpa ada rasa ingin memenangkan pendapat masing-masing. Beranjak pulang sebelum Sulaiman merengek untuk kesekian kalinya. Meninggalkan makam Qia yang selalu mengeluarkan bau harum. Mobil melaju tanpa halangan. Mempercepat perjalanan pulang mereka. Ketiganya pulang dengan selamat lahir dan batin. Begitupun dengan Sulaiman yang terlihat lebih semringah dari sebelumnya. Aura kebahagiaan dapat dilihat dari sinaran matanya. "Mas mau minum jus atau teh manis?" tawar Una sebelum melangkah ke dapur. "Em, sepertinya jus lebih menggoda, Dek." Una tersenyum sejenak. Sebelum pergi dari hadapan sang suami. Bergerak cepat memenuhi apa yang diinginkan Fajrul, karena tak mau jika suaminya harus menunggu lama. Sekitar tujuh menit berlalu, akhirnya jus sudah siap diteguk. Tenggorokan Fajrul makin tercekat karena tak sabar ingin menikmati sensasi dinginnya jus mangga dikala terik matahari ki
Apa yang lebih indah dari kebahagian? Mungkin semua orang akan menjawab, tak ada. Sejatinya hidup tetap butuh bahagia. Begitupun Una, terus berharap akan kebahagiaan juga ketenangan dalam menjalani hari-harinya. Liku-liku kehidupan sudah sering ia lalui. Tanjakan hingga turunan terjal, hampir membuatnya pasrah dan putus asa. Namun kesabaran untuk bertahan kini membuahkan hasil yang nyata. "Sulaiman sudah pernah diajak ke makam Qia, Mas?" tanya Una di sela-sela menyiapkan sarapan pagi ini. "Sudah beberapa kali. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menolak untuk ikut." Dahi Una mengernyit tipis. Sembari menyajikan nasi goreng buatannya, ia melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Mas sudah menjelaskan ke Sulaiman, soal bundanya?" Fajrul menggeleng pelan. Karena ia merasa belum saatnya menjelaskan semua itu pada Sulaiman. Ia masih kecil, Fajrul menunggu saat yang pas untuk membeberkan semuanya. "Nanti kita ke makam Qia, ya, Mas. Una belum pernah ke sana soalnya," pi