"Mau banget, udah laper juga. Pokoknya hari ini hari nostalgia jaman muda Bunda, jadi Revan nurut aja," jawab Revan.Revan juga begitu antusias bisa mendengar keceriaan sang Bunda, ia merasa wajah Bundanya berubah menjadi begitu ceria."Depan itu loh Van sekolahnya, sebelahnya ada tulisan bakso itu. Kita makan di sana ya, dulu Bunda suka dijajanin sama temen di sana," ujar Rania antusias.Selama perjalanan mengelilingi kenangan Rania, ia memang tidak berhenti bercerita dan tersenyum."Bunda dulu bandel nggak sih?" tanya Revan saat mereka menunggu pesanan bakso."Enggak lah, Bunda dulu sekolah ya sekolah. Jarang main ke mana-mana, almarhum kakek orangnya tegas. Pulang sekolah nggak boleh keluyuran, nggak kayak kamu sekarang," jelas Rania."Aku juga nggak bandel loh Bun, pulang telat juga karena ada les atau palingan nonton sama temen-temen. Nggak yang nakal gitu," bela Revan.Meski anak lelaki tapi Revan memang tergolong anak rumahan, terbiasa hidup hanya dengan ibunya membuat Revan me
Rania hanya melihat sekilas pada orang yang menyapanya. Entah nasib sial apa lagi kerena harus bertemu dengan orang yang sangat ingin ia hindari."Boleh aku duduk?" tanya Andra pada Rania.Lagi, Rania hanya diam tanpa menjawab. Sebenarnya ia ingin mengusir saja orang ini, tapi ini tempat umum dan dia tidak ingin membuat keributan lalu menjadi tontonan."Diammu aku anggap boleh," ucap Andra menjawab pertanyaannya sendiri."Kamu nggak banyak berubah, masih seperti Raniaku yang dulu," ucap Andra, ia berhenti sejenak saat melihat Rania menoleh sebentar lalu kembali memandang ke depan. "Hanya sekarang kamu sangat dingin."Rania mulai muak, orang yang tidak punya perasaan di samping Rania itu kini bertambah tidak punya malu. Bagaimana bisa dia masih bersikap biasa saja setelah banyak kesalahan yang ia buat."Apa itu berpengaruh untuk anda?" tanya Rania tanpa menoleh."Aku mau kamu tau sesuatu, mungkin itu bisa merubah penilaianmu terhadapku. Aku nggak sekejam yang kamu kira selama ini," uca
"Buktinya sampai sekarang kamu masih sendiri, kamu belum bisa lupain aku. Apalagi anak kita sangat mirip sama aku," jelas Andra."Anak kita? Anda sedang bercanda? Lucu sekali." Rania tertawa mendengar ucapan Andra."Aku senang masih bisa mendengar tawamu, kamu masih secantik dulu. Bukan, sekarang kamu jauh lebih cantik dan itu membuatku makin cinta sama kamu," ujar Andra."Terimakasih, tapi saya sudah tidak punya rasa sama anda," ucap Rania."Kamu masih cinta sama aku, sekarang kamu masih belum sadar aja. Aku bakal buktiin kalau kita masih saling cinta, dan kita bakal nikah suatu saat nanti," ucap Andra percaya diri."Silahkan, apapun yang anda lakukan tidak akan merubah apapun. Cinta itu sudah mati empat belas tahun yang lalu, tidak tersisa sedikitpun. Sampai kapanpun saya tidak akan menikah dengan anda, saya akan memilih pria yang baik bukan malah memungut sampah yang sudah membusuk," ujar Rania cukup keras."Kamu cukup menunggu aja, aku bakal nikahin kamu apapun yang terjadi," caka
"Nggak lah, ngapain? Di sana aku nggak pernah belanja, tinggal ambil dari dapur aja. Belinya langsung karungan sama kardusan, udah biarin aja di sini," putus Rania. Ia tahu sebenarnya sang kakak merasa tidak enak padanya."Uang bulanan dari kamu itu udah lebih dari cukup, kamu nggak perlu beliin kayak gini. Malah harusnya aku yang traktir kamu kalau main ke sini, kamu tabung aja uangmu. Buat kebutuhan kalian nanti."Risa masih terus menolak pemberian Rania. Ia tahu betul betapa kerasnya perjuangan Rania. Ia merasa tidak berhak menikmati hasil kerja keras adiknya itu. Selama ini Risa hanya memberi dukungan atas apa yang Rania kerjakan, tidak dapat membantunya secara materi."Itu udah aku pikirin. Uang ini emang aku rencanain buat bahagiain keluargaku, kita udah lama nggak ketemu. Lagian sekarang aku sedang mampu, jadi aku pengen kalian juga ngerasain hasil usahaku," jelas Rania seraya menggenggam tangan sang kakak.Mereka menangis, padahal tidak ada kejadian yang menyakitkan. Rania mem
"Apa dia orangnya?" tanya Revan setelah ibunya hanya diam."Bunda ceritain semuanya, tapi Bunda mau kamu janji untuk tetap berpikir positif."Revan mengangguk mengiyakan ucapan ibunya."Kamu ada karena kesalahan Bunda, Bunda yang nggak bisa menjaga diri akhirnya membuat kesalahan besar. Bunda dalam pengaruh obat bius jadi Bunda nggak tau apa yang terjadi." Rania menghela nafas berat.Meski cerita ini sudah tidak membuatnya sakit tapi bercerita pada Revan membuat ia masih merasa ketakutan. Takut akan reaksi yang Revan berikan."Lelaki itu berjanji untuk bertanggung jawab atas kehamilan Bunda tapi nyatanya ia justru menikah dengan orang lain. Nenek marah sama Bunda dan akhirnya Bunda pergi dari rumah karena nggak mau nyakitin banyak orang." Sekitar satu jam waktu yang Rania butuhkan untuk menceritakan masa lalu yang ia alami."Apapun yang terjadi dulu, satu yang harus kamu tahu. Bunda nggak pernah menyesal mempunyai kamu, meski sesakit apapun masa lalu Bunda akan tetap memilih memperta
"Semoga saja tidak seperti itu. Usia Revan memang rawan, tapi aku yakin dengan didikanmu selama ini, Revan bisa menjaga diri. Jangan berhenti berdoa dan berusaha untuk memberi pengertian dan mendampingi dia."Risa memeluk jiwa rapuh sang adik. Sekuat apapun Rania selama ini, ia tetap butuh tempat bersandar. Selama ini Rania hanya berusaha kuat agar tidak dikasihani orang lain.***"Kami pulang dulu ya bu, nanti kalau ibu sudah sehat ibu bisa main ke rumah Rania. Atau nanti kalau Revan libur sekolah kita bisa ke sini lagi," ucap Rania pada sang ibu.Sabtu pagi dan mereka harus kembali. Pekerjaan Rania sudah menunggu, hari senin nanti Revan juga sudah masuk sekolah."Doakan saja semoga ibu cepat sehat. Kamu sama Revan juga harus jaga kesehatan, jangan lupa kabarin kalau sudah sampek," tutur ibu Rania."Iya bu, Rania selalu mendoakan ibu dan semua keluarga di sini. Rania pamit ya bu." Rania memeluk ibunya erat. Setetes air mata jatuh tanpa bisa ditahan, selama empat belas tahun mereka ti
"Siap, Bos," jawab Rania seraya mengangkat tangan membentuk sikap hormat."Jangan ngeledek deh," protes Yati dan akhirnya mereka tertawa bersama."Bulan depan ada pesanan buat acara nikahan bosnya Mbak Linda, kemarin udah bayar DP," ucap Yati seraya membuka buku catatan. Di buku itu tertulis semua pesanan untuk RR katering."Oh, iya. Kemarin udah dikabarin, acaranya tanggal berapa, Mbak?" "Tanggal enam kalau nggak salah, bentar aku cari dulu. Acaranya di rumah katanya." Yati mulai mencari tanggal di mana catatan pesanan Linda berada.Rania mengangguk. "Kalau gitu aku mau mandi dulu ya, Mbak. Mbak Yati bisa pulang kalau udah selesai," ujar Rania, ia lalu memilih membersihkan diri, setelah itu beristirahat. Revan sudah tertidur pulas setelah makan siang tadi.Baru saja duduk di ranjang, ponsel Rania berdering. Panggilan masuk dari Linda."Mbak Rania udah pulang?" tanya Linda setelah panggilan tersambung."Udah, tadi siang. Ada apa, Lin?" Rania berjalan menuju meja rias. Ia lupa belum
Damar. Lelaki yang baru tiba dan disambut hangat oleh perempuan cantik yang ia ketahui sebagai pemilik rumah dan seorang anak lelaki berumur tujuh tahun yang kini bergelayut di gendongan Damar, mereka terlihat begitu dekat selayaknya keluarga.Entah mengapa hati Rania tidak rela saat melihat Damar bersama wanita lain, padahal ia juga tidak merasakan cinta untuk Damar. Pertemuan tiga tahun lalu masih membekas di ingatan Rania, panggilan sayang itu masih ia ingat dengan jelas.Suara ketukan pintu mengagetkan Rania yang sedang tertidur, ia segera merapikan rambut dan wajah yang sedikit berantakan karena keningnya ia sandarkan pada setir mobil."Acaranya udah mau mulai, Mbak," jelas salah satu karyawan Rania.Rania mengangguk lalu berjalan mengikuti pegawainya, mereka berada di stand makanan yang sudah tersedia. Rania tidak membantu, ia hanya mengawasi kinerja pegawainya. Karena satu kesalahan yang mereka lakukan bisa merusak nama usaha Rania.Tidak sengaja pandangan Rania tertuju pada pa
"Lain kali jangan makan sambal terlalu banyak ya, kasihan kalau ibu hamil sakit perut, rasanya pasti tidak nyaman," ucap dokter yang menangani Rania.Memang kemarin Rania memakan rujak buah, sambalnya sangat pedas karena memakai cabai lima. Rania begitu menikmati makanannya hingga ia menghabiskan semua sendiri, hingga akhirnya ia sakit perut.Rania mengangguk, hal ini cukup membuatnya malu karena mengira akan melahirkan.Setelah mendapat resep vitamin, Rania dan Damar pamit pada dokter tersebut."Aku tadi ngiranya kamu bener-bener mau lahiran," ucap Damar saat mereka sudah masuk mobil."Aku juga gitu, kirain si adik mau lahir sebelum waktunya. Perut mules, pinggang sakit, udah kayak mau lahiran Revan dulu," jelas Rania."Lain kali jangan gitu lagi, kasian adek kalau diajakin makan pedes mulu." Rania hanya tersenyum mendengar nasihat suaminya, karena ia tahu kalau kali ini ia memang membuat kesalahan.Hari ini Damar memilih memasak sendiri untuk makan siang mereka, ikan goreng dan osen
Semakin hari nafsu makan Rania semakin meningkat, selama dua bulan saja berat badannya sudah naik enam kilo, perutnya sudah semakin membuncit seperti hamil tujuh bulan, padahal kehamilannya baru memasuki bulan ke empat."Nanti mau dibawain apa?" tanya Damar saat akan berangkat bekerja."Mau roti bakar rasa coklat," jawab Rania. Saat ini ia masih sibuk merajut, baru satu bulan yang lalu Rania memutuskan untuk belajar merajut."Mau bikin apalagi?" Damar mendekat pada istrinya yang masih sibuk sendiri."Bikin topi, baru dapet satu. Besok mau bikin sepatu," jawab Rania. Ini adalah dunia baru dan Rania sangat menikmatinya. Rania sangat bersungguh-sungguh untuk belajar merajut."Kok warnanya merah sama merah muda, kalau anaknya cowok gimana?""Ya nanti aku bikin warna biru, jadi kalau anaknya cowok masih bisa dipakek," jawab Rania tanpa menoleh pada Damar."Iya deh. Kalau gitu mas berangkat dulu, ya." Saat Damar berpamitan, Rania baru merespon dengan menerima uluran tangan dari suaminya lal
"Selamat ya, Bu, usia kehamilan Ibu sudah masuk enam tujuh minggu," ucap seorang dokter kandungan pada Rania.Hari ini Rania menuruti ucapan Yati, ia memang merasa ada sesuatu yang mengganjal pada perutnya. Sebelum ini Rania mengira itu hanya karena buang air besarnya yang selama ini kurang lancar, ternyata ada janin dalam rahimnya yang saat ini sedang bertumbuh."Terimakasih, dok," ucap Rania terbata, ia masih belum percaya pada kenyataan yang ia alami."Mulai sekarang asupan makanan harus di jaga, jangan banyak pikiran dan hindari pekerjaan yang berat. Di trimester awal biasanya akan mengalami mual dan tidak berselera makan, itu hal yang biasa, jadi Ibu tidak perlu khawatir," jelas dokter itu pada Rania."Tapi saya tidak mengalami mual-mual atau tidak nafsu makan, justru saya sangat suka makan. Apa itu wajar, dok?" tanya Rania."Kalau begitu Ibu harus bersyukur, tidak banyak calon Ibu yang tidak mengalami gejala muntah dan mual pada trimester pertama, tapi itu tetap termasuk hal yan
"Kamu beneran mau makan ini?" tanya Damar pada Rania.Rania saat ini sedang menyantap nasi goreng petai dengan lahap, ia sama sekali tidak terganggu dengan bau menyengat dan rasa getir pada petai itu.Revan dan Damar hanya saling pandang, mereka heran dengan tingkah Rania. Biasanya dia akan sangat marah hanya dengan mencium aroma petai, tapi sekarang Rania justru sangat menikmati seakan petai adalah makanan ternikmat di dunia."Enak, Bun?" tanya Revan."Enak banget, Bunda mau nambah petenya aja bisa nggak ya?" "Bisa, mau Revan pesenin?" Revan sangat antusias karena selama ini dia begitu menyukai makanan itu tapi Ibunya selalu melarang tiap kali dia ingin memakannya.Rania segera mengangguk, ia juga tidak tahu mengapa begitu menikmati makanan yang biasanya sangat ia benci. Yang Rania rasakan saat ini makanan itu adalah makanan ternikmat dari banyaknya makanan yang sudah ia makan.Setelah selesai makan, mereka memilih untuk pulang. Rania sudah mengeluh kalau kakinya terasa pegal, Reva
Dua minggu setelah kejadian kebakaran di toko Rania, fakta baru terungkap. Polisi akhirnya menetapkan Mely sebagai tersangka bersama dua orang temannya.Teman Mely adalah orang yang pernah dipecat oleh Damar karena kasus korupsi di kantornya, latar belakang sakit hati membuatnya mendukung Mely untuk melenyapkan istri Damar.Mely terancam hukuman seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun penjara seperti yang tertuang dalam pasal 340 KUHP karena tuduhan berencana merampas nyawa orang lain."Kamu yakin mau ketemu sama dia?" tanya Damar pada Rania.Hari ini rencananya Rania akan menemui Mely bersama Tania, Tania yang mengatakan pada Rania kalau Mely ingin bertemu dengannya."Iya, lagian nanti di sana ada Tania juga," jawab Rania.Damar hanya bisa mengizinkan istrinya.Rania berangkat bersama Tania yang menjemputnya di rumah."Mbak, maafin Mely ya, aku sebagai sahabat merasa ikut bersalah karena kenekatan Mely. Aku nggak nyangka kalau dia bisa berbuat sejauh itu,
"Bunda!" Revan segera berlari mendekat pada Ibunya dan seseorang yang tidak ia kenal, dengan sekuat tenaga Revan mendorong tubuh Mely hingga Mely terhuyung ke samping."Bunda nggak apa-apa?" tanya Revan saat membantu Ibunya berdiri.Rania segera memeluk anaknya, sekuat apapun Rania, jika yang dihadapi membawa senjata sementara dirinya hanya dengan tangan kosong, apa yang bisa Rania lakukan selain minta tolong dan pasrah?"Alhamdulillah, Bunda nggak apa-apa sayang. Makasih banyak karena Revan datang tepat waktu," ucap Rania.Mely mencoba untuk berdiri, ia masih berusaha mencari pisau yang terpental jauh darinya. Benturan yang cukup keras membuat kaki Mely terkilir, dengan susah payah dia menyeimbangkan tubuhnya."Siapa kamu? Kenapa ikut campur urusan orang lain? Anak kecil, lebih baik pergi sana!" bentak Mely pada Revan. Ia masih menyeimbangkan tubuhnya dengan berpegangan pada tiang teras rumah Rania."Anda yang siapa? Bagaimana bisa anda berbuat kejahatan di rumah orang lain!" bentak
"Aku tuh nggak ngerti maksud mas apa, tolong jangan mencari alasan untuk menutupi hubungan kalian berdua. Kalau emang mas ada hubungan sama dia, aku harap mas mau jujur," ucap Rania, ia mulai terbawa emosi karena penjelasan suaminya yang bertele-tele."Aku mau jelasin, tapi kamu jangan marah dulu. Kamu dengerin semua penjelasan aku sampai selesai," jawab Damar.Rania mengangguk, ia memang ingin segera tahu kenyataan yang sebenarnya."Sebelum aku jelasin, aku mau tanya dulu dari mana kamu tau kalau aku ketemu sama Mely?" tanya Damar.Rania tidak menjawab, ia segera meraih ponselnya, lalu ia menunjukkan dua buah foto yang dikirim Linda pada Damar."Linda yang ngirim ini?"Rania mengangguk."Sejujurnya untuk foto yang pertama ini, aku sama sekali nggak tau kalau Mely ada di belakangku," ucap Damar menunjuk foto pertama yang ditunjukkan Rania."Saat itu aku sedang membahas progres pembangunan hotel dengan pak Yogi, saat itupun Mely tidak mendekatiku atau menyapaku sama sekali. Andai aku n
[Lin, kamu kenal sama wanita yang ada di belakang suamiku itu?] tanya Rania melalui pesan pada Linda.Panggilan masuk dari Linda, Rania segera meraihnya dan menggeser tombol hijau di layar ponselnya."Assalamualaikum," sapa Linda dari seberang."Waalaikumsalam," jawab Rania."Yang mana sih, mbak? Linda nggak ngerti yang mbak maksud," tanya Linda menanggapi pesan dari Rania."Yang pakai baju biru, duduk di belakangnya mas Damar. Kamu tau nggak dia siapa?" "Oh, yang itu. Nggak kenal aku mbak. Sepertinya pak Damar sama Bapak juga nggak kenal, emang mbak kenal sama dia?""Kok kayak temen mbak sama mas Damar, kamu nggak liat mereka saling sapa?" tanya Rania, ia masih berusaha mencari informasi tentang Mely dan suaminya."Sejauh ini sih enggak mbak, tapi emang dari tadi mbaknya merhatiin pak Damar terus. Temen deket atau gimana mbak?" tanya Linda, ia jadi lebih memperhatikan wanita di belakang rekan bisnis sekaligus suami dari kenalannya itu."Temen lama, udah lama nggak ketemu. Apa mungki
"Mas mau liat proyek pembangunan hotel, mungkin dua sampai tiga hari. Mau ikut nggak?" tanya Damar saat mereka sudah berbaring di ranjang."Nggak bisa, mas. Kasian Revan kalau ditinggal, tiga hari nggak lama. Lagian mas kan di sana kerja, nanti kalau aku ikut malah ganggu mas kerja. Aku ke toko aja, bantuin anak-anak. Aku kuat kok kalau cuma pisah tiga hari," jelas Rania."Sebenarnya aku yang nggak bisa pisah lama-lama sama kamu," ucap Damar, ia lalu mencubit hidung sang istri."Gombal banget," jawab Rania. Ia mencubit pinggang sang suami."Aduh, sakit sayang. Jangan nyubit di situ, nanti ada yang bangun," ucap Damar menggoda sang istri."Ih, dasar mesum. Udah sana, cepet tidur, besok kesiangan loh," peringatan Rania untuk suaminya.Damar mendekap tubuh mungil sang istri, ia lalu mengecup pipi istrinya. "Mau minta bekal dulu, biar tenang saat jauh dari kamu.""Apaan? Uang mas habis? Aku nggak pegang uang, mas. Mau bawa ATMku?" tanya Rania."Bukan itu, bekal yang lain. Kok malah ngomon