Setelah puas menikmati hamparan sawah dan memetik buah jambu, mereka memutuskan kembali ke rumah.Suasana masih sepi, Risa masih belum pulang sementara sang ibu masih tertidur pulas."Bun, beli makanan atau minuman apa gitu yuk. Pengen jalan-jalan naik motor, aku boncengin," ucap Revan setelah selesai bersih-bersih."Mau ke mana emang?" Rania masih asyik menikmati jambu air yang baru di petik Revan. Beruntung puhonnya pendek, jadi Revan bisa mengambil buahnya."Ke mana aja, yang penting jalan-jalan. Lihat sekolah Bunda dulu, atau beli makanan yang Bunda suka. Sambil nostalgia gitu Bun," rayu Revan. Kerena selama di sini mereka belum pernah jalan berdua, Revan juga ingin tahu cerita sang Bunda di masa lalu."Boleh, Bunda ganti baju dulu," ucap Rania.Revan mengangguk lalu memilih mengeluarkan sepeda motor Roni.Saat tengah asyik memanasi motor, datang dua orang tetangga yang belum dikenali oleh Revan."Anaknya Rania ya?" tanya salah satu dari mereka."Iya pak," jawab Revan."Ternyata b
"Mau banget, udah laper juga. Pokoknya hari ini hari nostalgia jaman muda Bunda, jadi Revan nurut aja," jawab Revan.Revan juga begitu antusias bisa mendengar keceriaan sang Bunda, ia merasa wajah Bundanya berubah menjadi begitu ceria."Depan itu loh Van sekolahnya, sebelahnya ada tulisan bakso itu. Kita makan di sana ya, dulu Bunda suka dijajanin sama temen di sana," ujar Rania antusias.Selama perjalanan mengelilingi kenangan Rania, ia memang tidak berhenti bercerita dan tersenyum."Bunda dulu bandel nggak sih?" tanya Revan saat mereka menunggu pesanan bakso."Enggak lah, Bunda dulu sekolah ya sekolah. Jarang main ke mana-mana, almarhum kakek orangnya tegas. Pulang sekolah nggak boleh keluyuran, nggak kayak kamu sekarang," jelas Rania."Aku juga nggak bandel loh Bun, pulang telat juga karena ada les atau palingan nonton sama temen-temen. Nggak yang nakal gitu," bela Revan.Meski anak lelaki tapi Revan memang tergolong anak rumahan, terbiasa hidup hanya dengan ibunya membuat Revan me
Rania hanya melihat sekilas pada orang yang menyapanya. Entah nasib sial apa lagi kerena harus bertemu dengan orang yang sangat ingin ia hindari."Boleh aku duduk?" tanya Andra pada Rania.Lagi, Rania hanya diam tanpa menjawab. Sebenarnya ia ingin mengusir saja orang ini, tapi ini tempat umum dan dia tidak ingin membuat keributan lalu menjadi tontonan."Diammu aku anggap boleh," ucap Andra menjawab pertanyaannya sendiri."Kamu nggak banyak berubah, masih seperti Raniaku yang dulu," ucap Andra, ia berhenti sejenak saat melihat Rania menoleh sebentar lalu kembali memandang ke depan. "Hanya sekarang kamu sangat dingin."Rania mulai muak, orang yang tidak punya perasaan di samping Rania itu kini bertambah tidak punya malu. Bagaimana bisa dia masih bersikap biasa saja setelah banyak kesalahan yang ia buat."Apa itu berpengaruh untuk anda?" tanya Rania tanpa menoleh."Aku mau kamu tau sesuatu, mungkin itu bisa merubah penilaianmu terhadapku. Aku nggak sekejam yang kamu kira selama ini," uca
"Buktinya sampai sekarang kamu masih sendiri, kamu belum bisa lupain aku. Apalagi anak kita sangat mirip sama aku," jelas Andra."Anak kita? Anda sedang bercanda? Lucu sekali." Rania tertawa mendengar ucapan Andra."Aku senang masih bisa mendengar tawamu, kamu masih secantik dulu. Bukan, sekarang kamu jauh lebih cantik dan itu membuatku makin cinta sama kamu," ujar Andra."Terimakasih, tapi saya sudah tidak punya rasa sama anda," ucap Rania."Kamu masih cinta sama aku, sekarang kamu masih belum sadar aja. Aku bakal buktiin kalau kita masih saling cinta, dan kita bakal nikah suatu saat nanti," ucap Andra percaya diri."Silahkan, apapun yang anda lakukan tidak akan merubah apapun. Cinta itu sudah mati empat belas tahun yang lalu, tidak tersisa sedikitpun. Sampai kapanpun saya tidak akan menikah dengan anda, saya akan memilih pria yang baik bukan malah memungut sampah yang sudah membusuk," ujar Rania cukup keras."Kamu cukup menunggu aja, aku bakal nikahin kamu apapun yang terjadi," caka
"Nggak lah, ngapain? Di sana aku nggak pernah belanja, tinggal ambil dari dapur aja. Belinya langsung karungan sama kardusan, udah biarin aja di sini," putus Rania. Ia tahu sebenarnya sang kakak merasa tidak enak padanya."Uang bulanan dari kamu itu udah lebih dari cukup, kamu nggak perlu beliin kayak gini. Malah harusnya aku yang traktir kamu kalau main ke sini, kamu tabung aja uangmu. Buat kebutuhan kalian nanti."Risa masih terus menolak pemberian Rania. Ia tahu betul betapa kerasnya perjuangan Rania. Ia merasa tidak berhak menikmati hasil kerja keras adiknya itu. Selama ini Risa hanya memberi dukungan atas apa yang Rania kerjakan, tidak dapat membantunya secara materi."Itu udah aku pikirin. Uang ini emang aku rencanain buat bahagiain keluargaku, kita udah lama nggak ketemu. Lagian sekarang aku sedang mampu, jadi aku pengen kalian juga ngerasain hasil usahaku," jelas Rania seraya menggenggam tangan sang kakak.Mereka menangis, padahal tidak ada kejadian yang menyakitkan. Rania mem
"Apa dia orangnya?" tanya Revan setelah ibunya hanya diam."Bunda ceritain semuanya, tapi Bunda mau kamu janji untuk tetap berpikir positif."Revan mengangguk mengiyakan ucapan ibunya."Kamu ada karena kesalahan Bunda, Bunda yang nggak bisa menjaga diri akhirnya membuat kesalahan besar. Bunda dalam pengaruh obat bius jadi Bunda nggak tau apa yang terjadi." Rania menghela nafas berat.Meski cerita ini sudah tidak membuatnya sakit tapi bercerita pada Revan membuat ia masih merasa ketakutan. Takut akan reaksi yang Revan berikan."Lelaki itu berjanji untuk bertanggung jawab atas kehamilan Bunda tapi nyatanya ia justru menikah dengan orang lain. Nenek marah sama Bunda dan akhirnya Bunda pergi dari rumah karena nggak mau nyakitin banyak orang." Sekitar satu jam waktu yang Rania butuhkan untuk menceritakan masa lalu yang ia alami."Apapun yang terjadi dulu, satu yang harus kamu tahu. Bunda nggak pernah menyesal mempunyai kamu, meski sesakit apapun masa lalu Bunda akan tetap memilih memperta
"Semoga saja tidak seperti itu. Usia Revan memang rawan, tapi aku yakin dengan didikanmu selama ini, Revan bisa menjaga diri. Jangan berhenti berdoa dan berusaha untuk memberi pengertian dan mendampingi dia."Risa memeluk jiwa rapuh sang adik. Sekuat apapun Rania selama ini, ia tetap butuh tempat bersandar. Selama ini Rania hanya berusaha kuat agar tidak dikasihani orang lain.***"Kami pulang dulu ya bu, nanti kalau ibu sudah sehat ibu bisa main ke rumah Rania. Atau nanti kalau Revan libur sekolah kita bisa ke sini lagi," ucap Rania pada sang ibu.Sabtu pagi dan mereka harus kembali. Pekerjaan Rania sudah menunggu, hari senin nanti Revan juga sudah masuk sekolah."Doakan saja semoga ibu cepat sehat. Kamu sama Revan juga harus jaga kesehatan, jangan lupa kabarin kalau sudah sampek," tutur ibu Rania."Iya bu, Rania selalu mendoakan ibu dan semua keluarga di sini. Rania pamit ya bu." Rania memeluk ibunya erat. Setetes air mata jatuh tanpa bisa ditahan, selama empat belas tahun mereka ti
"Siap, Bos," jawab Rania seraya mengangkat tangan membentuk sikap hormat."Jangan ngeledek deh," protes Yati dan akhirnya mereka tertawa bersama."Bulan depan ada pesanan buat acara nikahan bosnya Mbak Linda, kemarin udah bayar DP," ucap Yati seraya membuka buku catatan. Di buku itu tertulis semua pesanan untuk RR katering."Oh, iya. Kemarin udah dikabarin, acaranya tanggal berapa, Mbak?" "Tanggal enam kalau nggak salah, bentar aku cari dulu. Acaranya di rumah katanya." Yati mulai mencari tanggal di mana catatan pesanan Linda berada.Rania mengangguk. "Kalau gitu aku mau mandi dulu ya, Mbak. Mbak Yati bisa pulang kalau udah selesai," ujar Rania, ia lalu memilih membersihkan diri, setelah itu beristirahat. Revan sudah tertidur pulas setelah makan siang tadi.Baru saja duduk di ranjang, ponsel Rania berdering. Panggilan masuk dari Linda."Mbak Rania udah pulang?" tanya Linda setelah panggilan tersambung."Udah, tadi siang. Ada apa, Lin?" Rania berjalan menuju meja rias. Ia lupa belum