"Nggak lah, ngapain? Di sana aku nggak pernah belanja, tinggal ambil dari dapur aja. Belinya langsung karungan sama kardusan, udah biarin aja di sini," putus Rania. Ia tahu sebenarnya sang kakak merasa tidak enak padanya."Uang bulanan dari kamu itu udah lebih dari cukup, kamu nggak perlu beliin kayak gini. Malah harusnya aku yang traktir kamu kalau main ke sini, kamu tabung aja uangmu. Buat kebutuhan kalian nanti."Risa masih terus menolak pemberian Rania. Ia tahu betul betapa kerasnya perjuangan Rania. Ia merasa tidak berhak menikmati hasil kerja keras adiknya itu. Selama ini Risa hanya memberi dukungan atas apa yang Rania kerjakan, tidak dapat membantunya secara materi."Itu udah aku pikirin. Uang ini emang aku rencanain buat bahagiain keluargaku, kita udah lama nggak ketemu. Lagian sekarang aku sedang mampu, jadi aku pengen kalian juga ngerasain hasil usahaku," jelas Rania seraya menggenggam tangan sang kakak.Mereka menangis, padahal tidak ada kejadian yang menyakitkan. Rania mem
"Apa dia orangnya?" tanya Revan setelah ibunya hanya diam."Bunda ceritain semuanya, tapi Bunda mau kamu janji untuk tetap berpikir positif."Revan mengangguk mengiyakan ucapan ibunya."Kamu ada karena kesalahan Bunda, Bunda yang nggak bisa menjaga diri akhirnya membuat kesalahan besar. Bunda dalam pengaruh obat bius jadi Bunda nggak tau apa yang terjadi." Rania menghela nafas berat.Meski cerita ini sudah tidak membuatnya sakit tapi bercerita pada Revan membuat ia masih merasa ketakutan. Takut akan reaksi yang Revan berikan."Lelaki itu berjanji untuk bertanggung jawab atas kehamilan Bunda tapi nyatanya ia justru menikah dengan orang lain. Nenek marah sama Bunda dan akhirnya Bunda pergi dari rumah karena nggak mau nyakitin banyak orang." Sekitar satu jam waktu yang Rania butuhkan untuk menceritakan masa lalu yang ia alami."Apapun yang terjadi dulu, satu yang harus kamu tahu. Bunda nggak pernah menyesal mempunyai kamu, meski sesakit apapun masa lalu Bunda akan tetap memilih memperta
"Semoga saja tidak seperti itu. Usia Revan memang rawan, tapi aku yakin dengan didikanmu selama ini, Revan bisa menjaga diri. Jangan berhenti berdoa dan berusaha untuk memberi pengertian dan mendampingi dia."Risa memeluk jiwa rapuh sang adik. Sekuat apapun Rania selama ini, ia tetap butuh tempat bersandar. Selama ini Rania hanya berusaha kuat agar tidak dikasihani orang lain.***"Kami pulang dulu ya bu, nanti kalau ibu sudah sehat ibu bisa main ke rumah Rania. Atau nanti kalau Revan libur sekolah kita bisa ke sini lagi," ucap Rania pada sang ibu.Sabtu pagi dan mereka harus kembali. Pekerjaan Rania sudah menunggu, hari senin nanti Revan juga sudah masuk sekolah."Doakan saja semoga ibu cepat sehat. Kamu sama Revan juga harus jaga kesehatan, jangan lupa kabarin kalau sudah sampek," tutur ibu Rania."Iya bu, Rania selalu mendoakan ibu dan semua keluarga di sini. Rania pamit ya bu." Rania memeluk ibunya erat. Setetes air mata jatuh tanpa bisa ditahan, selama empat belas tahun mereka ti
"Siap, Bos," jawab Rania seraya mengangkat tangan membentuk sikap hormat."Jangan ngeledek deh," protes Yati dan akhirnya mereka tertawa bersama."Bulan depan ada pesanan buat acara nikahan bosnya Mbak Linda, kemarin udah bayar DP," ucap Yati seraya membuka buku catatan. Di buku itu tertulis semua pesanan untuk RR katering."Oh, iya. Kemarin udah dikabarin, acaranya tanggal berapa, Mbak?" "Tanggal enam kalau nggak salah, bentar aku cari dulu. Acaranya di rumah katanya." Yati mulai mencari tanggal di mana catatan pesanan Linda berada.Rania mengangguk. "Kalau gitu aku mau mandi dulu ya, Mbak. Mbak Yati bisa pulang kalau udah selesai," ujar Rania, ia lalu memilih membersihkan diri, setelah itu beristirahat. Revan sudah tertidur pulas setelah makan siang tadi.Baru saja duduk di ranjang, ponsel Rania berdering. Panggilan masuk dari Linda."Mbak Rania udah pulang?" tanya Linda setelah panggilan tersambung."Udah, tadi siang. Ada apa, Lin?" Rania berjalan menuju meja rias. Ia lupa belum
Damar. Lelaki yang baru tiba dan disambut hangat oleh perempuan cantik yang ia ketahui sebagai pemilik rumah dan seorang anak lelaki berumur tujuh tahun yang kini bergelayut di gendongan Damar, mereka terlihat begitu dekat selayaknya keluarga.Entah mengapa hati Rania tidak rela saat melihat Damar bersama wanita lain, padahal ia juga tidak merasakan cinta untuk Damar. Pertemuan tiga tahun lalu masih membekas di ingatan Rania, panggilan sayang itu masih ia ingat dengan jelas.Suara ketukan pintu mengagetkan Rania yang sedang tertidur, ia segera merapikan rambut dan wajah yang sedikit berantakan karena keningnya ia sandarkan pada setir mobil."Acaranya udah mau mulai, Mbak," jelas salah satu karyawan Rania.Rania mengangguk lalu berjalan mengikuti pegawainya, mereka berada di stand makanan yang sudah tersedia. Rania tidak membantu, ia hanya mengawasi kinerja pegawainya. Karena satu kesalahan yang mereka lakukan bisa merusak nama usaha Rania.Tidak sengaja pandangan Rania tertuju pada pa
"Sama-sama, Mbak Tania, dengan senang hati saya pasti melayani kalau Mbak Tania mau pesan lagi," jawab Rania.Meski perasaannya tidak nyaman, tetapi ia harus tetap profesional dalam bekerja."Kok nggak sadar kalau nama kita mirip ya mbak, mbak cantik banget lagi. Udah ada pasangan belum sih mbak? Aku punya ipar yang masih single loh kalau mbak Rania mau?" ucap Tania panjang lebar.Belum sempat Rania menjawab, mereka harus berhenti karena panggilan seseorang."Tan, ikut mas bentar. Ada tamu nyariin kamu," ucap seorang lelaki tampan pada Tania.Hanya sekilas, tapi pandangan itu cukup membuat mereka terkejut. Rania hanya diam, sementara lelaki itu segera pergi bersama Tania."Aku pergi dulu ya mbak, nanti kapan-kapan di sambung lagi. Mas Damar orangnya nggak sabaran, jadi aku harus segera ke sana. Sekali lagi makasih ya mbak," ucap Tania lalu berlalu dari hadapan Rania.Pasangan yang cocok, batin Rania.Pukul sembilan malam acara selesai, Rania dan para pegawainya sudah bersiap untuk pul
Pagi ini Rania membuat roti isi untuk menu sarapan. Revan harus berangkat pagi karena akan bermain futsal bersama teman-temannya."Mau bekal nggak?" tawar Rania.Revan yang tengah memakai sepatunya, kini menengakkan tubuhnya demi melihat sang ibu. "Enggak usah, Bun. Nanti rencana mau makan bakso sama anak-anak," jawabnya."Ya udah, Bunda mau siap-siap ke katering dulu."Rania terlebih dahulu mengantar Revan, setelah itu ia bergegas menuju katering."Pesanan kue lumayan banyak hari ini, kue ulang tahun ada tiga," jelas Yati pada Rania."Yang nasi kotak udah dianter?" tanya Rania. Ia sedang menghias kue ulang tahun karakter untuk anak temannya."Belum, masih nunggu mobil dateng," ucap Yati.Biasanya hari minggu kebanyakan orang akan mendapat libur, tapi berbeda dengan usaha Rania. Saat hari minggu atau hari libur ia justru akan mendapat banyak orderan, baik itu kue ataupun nasi kotak. Karena banyak orang akan melangsungkan acara di hari itu."Mobil pak Ali belum bisa di ambil?""Belum,
"Istri? Istri siapa yang kamu maksud?" tanya Damar kebingungan.Sekian lama menunggu seseorang yang ingin ia jadikan istri, kenapa sekarang Rania justru menanyakan hal yang tidak ia mengerti?"Istri Mas Damar. Mbak Tania," jelas Rania dengan raut serius.Damar tertawa, ternyata terjadi kesalahpahaman di sini. Ia menghentikan tanya setelah menyadari Rania menatapnya. "Kamu ingat Bimo?"Apa hubungannya? Kenapa Damar malah membahas adiknya? "Iya."Rania masih ingat adik Damar satu-satunya itu. Dulu mereka sering main bersama saat kecil. Bimo yang rese, tetapi selalu baik hati dengan berbagi makanan pada Rania. "Tania itu istrinya Bimo, kebetulan kemarin Bimo ada urusan di luar kota jadi aku yang gantiin dia di acara ulang tahun anaknya," jelas Damar.Ah, mungkin saja itu hanya karangan Damar demi menutupi pernikahannya. Pokoknya Rania nggak mau menjadi duri dalam rumah tangga orang lain!"Kamu masih nggak percaya?" tanya Damar setelah melihat raut Rania masih dingin.Damar menyerahkan g