Share

Bab 3 — Kamu Ngapain Nyari Suami Saya?

"Tidur?" tanya Glade dengan nada bicara yang tidak biasa. "Maksud kamu, kamu mau tidur sama suami saya? Berani kamu?"

Kiana kebingungan. Bukannya dia harus menyimpan benih dari suami Glade supaya terjadi kehamilan? Dari mana Kiana bisa menyimpan benih kalau dia tidak menerima benih itu?

"Saya ... saya nggak bermaksud begitu, Mbak. Tapi bukannya saya harus hamil agar bisa melahirkan?"

Glade berdecih, "Bukannya nilai kamu selama kuliah tidak ada yang di bawah B? Kenapa kamu nggak paham arti menyewa rahim? Nggak semua kehamilan harus dengan hubungan suami istri. Memangnya saya rela kamu menikmati tubuh suami saya? Enak saja. Sudah dapat uang sebanyak itu kamu masih mau tidur dengan suami saya?"

Jadi, maksud Glade adalah soal inseminasi buatan? Bodohnya Kiana sampai dia tidak tahu apa maksud dari penyewaan rahim.

"Maaf, Mbak. Saya nggak berpikir sampai ke arah sana," ucap Kiana malu.

Kemarahan Glade akhirnya bisa mereda karena dilihatnya Kiana benar-benar tidak memahami. "Baiklah. Saya paham. Siapkan diri kamu untuk cek kesehatan besok pagi. Jangan lupa selama kamu tinggal di sini, saya harap kamu menjaga kerahasiaan."

"Baik, Mbak. Saya paham soal menjaga rahasia."

"Tidurlah!"

Glade dan asisten pribadinya pergi meninggalkan Kiana sendirian. Wanita itu terpaku, masih tidak percaya dengan nominal yang dia terima.

"Ah, aku lupa soal mengemas barang-barangku di kos. Gimana ini? Aku pakai apa?" gumam Kiana sendiri.

Kiana beranjak dari sofanya yang nyaman. Dia penasaran dengan setiap ruangan yang ada di sana. Ada berapa banyak fasilitas yang akan dia dapatkan di rumah itu dan apa yang bisa dia lakukan untuk mengusir kebosanannya.

"Mari saya antar ke ruang tidur anda," ucap Anita tiba-tiba. Dia muncul entah dari mana mengejutkan Kiana. "Maaf, Bu Kia. Saya mengejutkan anda."

Kiana sampai harus menarik napas lalu membuangnya berkali-kali. "Mbak Anita dari mana tiba-tiba muncul."

"Saya dari depan. Kata Nyonya, Bu Kia boleh memakai semua perlengkapan di rumah ini karena untuk satu tahun ke depan rumah ini menjadi milik anda. Oh ya saya mengambil tas anda yang dititipkan di pos satpam, Bu Kia," jelas Anita sembari memberikan tas tangan milik Kiana.

Kiana menerimanya dengan perasaan aneh. Baru saja dia merasakan sesuatu yang luar biasa tapi mendadak dia menyesal telah melakukannya. Ada apa ini? Bukannya dia sudah menerima uang itu?

Melihat gelagat yang tidak biasa dari majikan barunya, Anita bertanya dengan sopan. "Ada apa, Bu? Ada yang kurang sesuai? Atau anda membutuhkan sesuatu?"

Kiana menghela napas berat sekali lagi lalu memberikan senyum tipis pada asisten rumah tangga di depannya itu. "Nggak ada apa-apa, Mbak. Saya mau langsung tidur saja."

"Tidak makan dulu, Bu?"

"Tidak. Saya kurang berselera, Mbak."

"Tapi nanti kalau Nyonya tanya gimana, Bu?" tanya Anita cemas. Pasalnya dia diminta untuk mengatur pola makan Kiana dan semua vitamin-vitamin yang harus diminum agar proses kehamilan itu segera terjadi. "Anda harus makan meskipun sedikit."

"Harus?"

"Iya, Bu Kia. Besok anda harus dalam keadaan fit."

Tidakkah orang di rumah itu tahu bahwa menyuapkan nasi ke dalam mulut adalah sesuatu keinginan dari dalam hati? Kiana sampai ingin menjelaskan bahwa makanan untuk dicerna bukan untuk diperintah.

"Baiklah. Saya harus makan apa?"

"Tunggu lima menit, makanan akan siap di meja makan, Bu Kia."

"Baik," jawab Kiana patuh.

'Tenanglah, Kia. Yang ingin pekerjaan ini adalah kamu. Kamu harus mengikuti aturan main dari orang yang membayar kamu. Ingat itu!'

Batin Kiana mencoba untuk mengingatkan aturan yang harus dia penuhi selama bekerja di rumah itu. Setidaknya dia berhak mengatakan bahwa dia bekerja karena dia dibayar untuk menghasilkan sesuatu. Ya, sesuatu yang sangat berharga.

°°°

Kiana menguap beberapa kali. Setelah selesai makan malam yang baginya sangat mewah itu, dia masuk ke kamarnya. Kamar yang ukurannya hampir sama dengan rumah orangtuanya. Mewah, besar dengan perabotan mahal yang tidak bisa disentuh sembarangan.

Bahkan tempat tidurnya seempuk itu sampai-sampai dia bisa tenggelam di dalamnya. Semua yang dia gunakan sekarang adalah hasil jerih payahnya. Hanya saja dia tidak bisa membawanya pulang karena itu bukan haknya.

Haknya hanyalah uang dua milyar yang akan dia dapatkan secara full setelah menjalankan tugasnya.

Kiana menguap lagi. Dia membaca hampir semua artikel yang menyangkut masalah inseminasi. Serasa pikirannya dicampur aduk, sekarang dia menjadi pusing.

"Harus mengonsumsi makanan tinggi asam folat sebelum melakukan inseminasi buatan, seperti kacang-kacangan dan susu. Wah, kenapa harus susu? Aku nggak terlalu suka," gumam Kiana. Dia mengucek matanya beberapa kali sebelum akhirnya dia mendengar suara deheman dari arah pintu. Wanita itu menoleh, "mbak Anita? Ada apa?"

"Nyonya meminta Bu Kia untuk segera tidur. Ini sudah waktunya istirahat," tukas Anita sopan. Terdengar ramah memang tapi ada paksaan di baliknya.

Kiana melihat layar ponselnya. Sudah jam sembilan. Ternyata sudah satu jam dia menggali informasi mengenai inseminasi buatan. Dia mengalah dan memilih untuk meletakkan ponselnya di atas meja kecil dia samping tempat tidur.

Anita melangkah maju untuk mematikan lampu. "Bu Kia tidak phobia gelap kan?"

"Nggak, Mbak," jawab Kiana pelan. Dia menarik selimut agar bisa menutupi tubuhnya.

Klik!

Semua lampu di ruangan itu padam kecuali lampu tidur. Anita mengucapkan selamat malam sebelum akhirnya pergi dari sana. Kiana berhasil mengendurkan saraf-sarafnya agar tidak memikirkan masalah besok. Sekarang saatnya dia tidur nyenyak dengan uang yang bisa dia gunakan untuk membiayai kuliahnya.

°°°

"Mbak Anita, saya boleh bertanya nggak?" tanya Kiana ketika dia sedang menikmati sarapan yang disiapkan oleh Anita. Sebelum pergi ke dokter, Kiana perlu mengisi perutnya agar bisa bertahan dalam situasi yang membuatnya tegang.

Anita yang selalu bersikap ramah pada Kiana, mengangguk pelan, "Silakan, Bu Kia. Mau tanya apa?"

"Em, suami Mbak Glade itu namanya Pak Ghazlan kan?"

"Betul, Bu Kia."

"Pak Ghazlan bekerja dimana, Mbak?" tanya Kiana penasaran. Dilihatnya muka Anita tampak biasa saja makanya dia berani mengutarakan pertanyaan itu. Lagi pula pertanyaannya normal untuk orang yang akan berinteraksi dengan mereka selama satu tahun penuh.

Anita masih dengan senyumnya, menjelaskan, "Tuan Ghazlan seorang dosen di jurusan matematika, Bu Kia. Beliau mengajar di sebuah universitas ternama di Jakarta tapi untuk tepatnya di universitas mana saya kurang tahu, Bu Kia."

"Oh, dosen ya?" gumam Kiana. Lalu dia teringat akan sesuatu yang mengganjal di hatinya semalaman. "Kalau boleh saya tahu lagi, memangnya Mbak Glade nggak bisa punya anak, Mbak? Kenapa butuh jasa saya?"

Asisten rumah tangga yang tengah berdiri tegak di seberang meja itu tersenyum canggung. "Kalau masalah itu, mohon maaf, Bu Kia, saya tidak punya hak untuk menjelaskan. Bu Kia tanyakan sendiri saja sama Nyonya Glade."

Kiana ikut memberikan senyum canggungnya. "Nanti saja, Mbak."

"Ngomong-ngomong kalau Bu Kia sudah selesai makan, sopir sudah menunggu di depan untuk mengantar Bu Kia ke rumah sakit. Tidak perlu membawa apa-apa karena semuanya sudah disiapkan oleh Nyonya."

"Lima menit lagi, Mbak. Saya perlu ke kamar mandi."

"Baik."

°°°

Ruang praktek dokter Saras, lantai dua...

"Silakan masuk, Bu Kia. Nyonya sudah menunggu di dalam," tukas asisten pribadi Glade yang menunggu di luar pintu.

"Ada Pak Ghazlan juga?"

Ceklek!

"Kamu ngapain nyari suami saya?" tanya Glade dengan muka kesalnya.

°°°

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status