"Tidur?" tanya Glade dengan nada bicara yang tidak biasa. "Maksud kamu, kamu mau tidur sama suami saya? Berani kamu?"
Kiana kebingungan. Bukannya dia harus menyimpan benih dari suami Glade supaya terjadi kehamilan? Dari mana Kiana bisa menyimpan benih kalau dia tidak menerima benih itu? "Saya ... saya nggak bermaksud begitu, Mbak. Tapi bukannya saya harus hamil agar bisa melahirkan?" Glade berdecih, "Bukannya nilai kamu selama kuliah tidak ada yang di bawah B? Kenapa kamu nggak paham arti menyewa rahim? Nggak semua kehamilan harus dengan hubungan suami istri. Memangnya saya rela kamu menikmati tubuh suami saya? Enak saja. Sudah dapat uang sebanyak itu kamu masih mau tidur dengan suami saya?" Jadi, maksud Glade adalah soal inseminasi buatan? Bodohnya Kiana sampai dia tidak tahu apa maksud dari penyewaan rahim. "Maaf, Mbak. Saya nggak berpikir sampai ke arah sana," ucap Kiana malu. Kemarahan Glade akhirnya bisa mereda karena dilihatnya Kiana benar-benar tidak memahami. "Baiklah. Saya paham. Siapkan diri kamu untuk cek kesehatan besok pagi. Jangan lupa selama kamu tinggal di sini, saya harap kamu menjaga kerahasiaan." "Baik, Mbak. Saya paham soal menjaga rahasia." "Tidurlah!" Glade dan asisten pribadinya pergi meninggalkan Kiana sendirian. Wanita itu terpaku, masih tidak percaya dengan nominal yang dia terima. "Ah, aku lupa soal mengemas barang-barangku di kos. Gimana ini? Aku pakai apa?" gumam Kiana sendiri. Kiana beranjak dari sofanya yang nyaman. Dia penasaran dengan setiap ruangan yang ada di sana. Ada berapa banyak fasilitas yang akan dia dapatkan di rumah itu dan apa yang bisa dia lakukan untuk mengusir kebosanannya. "Mari saya antar ke ruang tidur anda," ucap Anita tiba-tiba. Dia muncul entah dari mana mengejutkan Kiana. "Maaf, Bu Kia. Saya mengejutkan anda." Kiana sampai harus menarik napas lalu membuangnya berkali-kali. "Mbak Anita dari mana tiba-tiba muncul." "Saya dari depan. Kata Nyonya, Bu Kia boleh memakai semua perlengkapan di rumah ini karena untuk satu tahun ke depan rumah ini menjadi milik anda. Oh ya saya mengambil tas anda yang dititipkan di pos satpam, Bu Kia," jelas Anita sembari memberikan tas tangan milik Kiana. Kiana menerimanya dengan perasaan aneh. Baru saja dia merasakan sesuatu yang luar biasa tapi mendadak dia menyesal telah melakukannya. Ada apa ini? Bukannya dia sudah menerima uang itu? Melihat gelagat yang tidak biasa dari majikan barunya, Anita bertanya dengan sopan. "Ada apa, Bu? Ada yang kurang sesuai? Atau anda membutuhkan sesuatu?" Kiana menghela napas berat sekali lagi lalu memberikan senyum tipis pada asisten rumah tangga di depannya itu. "Nggak ada apa-apa, Mbak. Saya mau langsung tidur saja." "Tidak makan dulu, Bu?" "Tidak. Saya kurang berselera, Mbak." "Tapi nanti kalau Nyonya tanya gimana, Bu?" tanya Anita cemas. Pasalnya dia diminta untuk mengatur pola makan Kiana dan semua vitamin-vitamin yang harus diminum agar proses kehamilan itu segera terjadi. "Anda harus makan meskipun sedikit." "Harus?" "Iya, Bu Kia. Besok anda harus dalam keadaan fit." Tidakkah orang di rumah itu tahu bahwa menyuapkan nasi ke dalam mulut adalah sesuatu keinginan dari dalam hati? Kiana sampai ingin menjelaskan bahwa makanan untuk dicerna bukan untuk diperintah. "Baiklah. Saya harus makan apa?" "Tunggu lima menit, makanan akan siap di meja makan, Bu Kia." "Baik," jawab Kiana patuh. 'Tenanglah, Kia. Yang ingin pekerjaan ini adalah kamu. Kamu harus mengikuti aturan main dari orang yang membayar kamu. Ingat itu!' Batin Kiana mencoba untuk mengingatkan aturan yang harus dia penuhi selama bekerja di rumah itu. Setidaknya dia berhak mengatakan bahwa dia bekerja karena dia dibayar untuk menghasilkan sesuatu. Ya, sesuatu yang sangat berharga. °°° Kiana menguap beberapa kali. Setelah selesai makan malam yang baginya sangat mewah itu, dia masuk ke kamarnya. Kamar yang ukurannya hampir sama dengan rumah orangtuanya. Mewah, besar dengan perabotan mahal yang tidak bisa disentuh sembarangan. Bahkan tempat tidurnya seempuk itu sampai-sampai dia bisa tenggelam di dalamnya. Semua yang dia gunakan sekarang adalah hasil jerih payahnya. Hanya saja dia tidak bisa membawanya pulang karena itu bukan haknya. Haknya hanyalah uang dua milyar yang akan dia dapatkan secara full setelah menjalankan tugasnya. Kiana menguap lagi. Dia membaca hampir semua artikel yang menyangkut masalah inseminasi. Serasa pikirannya dicampur aduk, sekarang dia menjadi pusing. "Harus mengonsumsi makanan tinggi asam folat sebelum melakukan inseminasi buatan, seperti kacang-kacangan dan susu. Wah, kenapa harus susu? Aku nggak terlalu suka," gumam Kiana. Dia mengucek matanya beberapa kali sebelum akhirnya dia mendengar suara deheman dari arah pintu. Wanita itu menoleh, "mbak Anita? Ada apa?" "Nyonya meminta Bu Kia untuk segera tidur. Ini sudah waktunya istirahat," tukas Anita sopan. Terdengar ramah memang tapi ada paksaan di baliknya. Kiana melihat layar ponselnya. Sudah jam sembilan. Ternyata sudah satu jam dia menggali informasi mengenai inseminasi buatan. Dia mengalah dan memilih untuk meletakkan ponselnya di atas meja kecil dia samping tempat tidur. Anita melangkah maju untuk mematikan lampu. "Bu Kia tidak phobia gelap kan?" "Nggak, Mbak," jawab Kiana pelan. Dia menarik selimut agar bisa menutupi tubuhnya. Klik! Semua lampu di ruangan itu padam kecuali lampu tidur. Anita mengucapkan selamat malam sebelum akhirnya pergi dari sana. Kiana berhasil mengendurkan saraf-sarafnya agar tidak memikirkan masalah besok. Sekarang saatnya dia tidur nyenyak dengan uang yang bisa dia gunakan untuk membiayai kuliahnya. °°° "Mbak Anita, saya boleh bertanya nggak?" tanya Kiana ketika dia sedang menikmati sarapan yang disiapkan oleh Anita. Sebelum pergi ke dokter, Kiana perlu mengisi perutnya agar bisa bertahan dalam situasi yang membuatnya tegang. Anita yang selalu bersikap ramah pada Kiana, mengangguk pelan, "Silakan, Bu Kia. Mau tanya apa?" "Em, suami Mbak Glade itu namanya Pak Ghazlan kan?" "Betul, Bu Kia." "Pak Ghazlan bekerja dimana, Mbak?" tanya Kiana penasaran. Dilihatnya muka Anita tampak biasa saja makanya dia berani mengutarakan pertanyaan itu. Lagi pula pertanyaannya normal untuk orang yang akan berinteraksi dengan mereka selama satu tahun penuh. Anita masih dengan senyumnya, menjelaskan, "Tuan Ghazlan seorang dosen di jurusan matematika, Bu Kia. Beliau mengajar di sebuah universitas ternama di Jakarta tapi untuk tepatnya di universitas mana saya kurang tahu, Bu Kia." "Oh, dosen ya?" gumam Kiana. Lalu dia teringat akan sesuatu yang mengganjal di hatinya semalaman. "Kalau boleh saya tahu lagi, memangnya Mbak Glade nggak bisa punya anak, Mbak? Kenapa butuh jasa saya?" Asisten rumah tangga yang tengah berdiri tegak di seberang meja itu tersenyum canggung. "Kalau masalah itu, mohon maaf, Bu Kia, saya tidak punya hak untuk menjelaskan. Bu Kia tanyakan sendiri saja sama Nyonya Glade." Kiana ikut memberikan senyum canggungnya. "Nanti saja, Mbak." "Ngomong-ngomong kalau Bu Kia sudah selesai makan, sopir sudah menunggu di depan untuk mengantar Bu Kia ke rumah sakit. Tidak perlu membawa apa-apa karena semuanya sudah disiapkan oleh Nyonya." "Lima menit lagi, Mbak. Saya perlu ke kamar mandi." "Baik." °°° Ruang praktek dokter Saras, lantai dua... "Silakan masuk, Bu Kia. Nyonya sudah menunggu di dalam," tukas asisten pribadi Glade yang menunggu di luar pintu. "Ada Pak Ghazlan juga?" Ceklek! "Kamu ngapain nyari suami saya?" tanya Glade dengan muka kesalnya. °°°Kiana mengerut takut. "Bukan begitu, Mbak Glade."Glade mendengus sebal, "Suami saya sudah melakukan cek kemarin. Tinggal kamu saja. Masuk!""Iya, Mbak." Kiana membatin dengan kesal kenapa dia harus menanyakan pria yang jelas-jelas tidak akan berhubungan langsung dengannya itu. Di dalam ruang praktek tersebut ada seorang wanita yang memakai jas putih dengan hijab berwarna senada tengah duduk. Begitu melihat Kiana, wanita tersebut menyapa dengan ramah. "Perkenalkan saya dokter Saras yang akan mendampingi anda dan keluarga dari Pak Ghazlan untuk menjalani inseminasi buatan ini. Silakan duduk, Bu Kia," sapa Saras. Glade lebih dulu duduk disusul oleh Kiana yang tampaknya canggung akibat pertanyaannya tadi. "Saya Kiana, Dok," ucap Kiana."Selamat datang Bu Kiana. Saya akan menjelaskan secara singkat apa prosedur yang akan dilakukan nanti. Tolong didengarkan baik-baik karena saya berharap tidak ada kesalahan ataupun kendala dalam melakukan prosedurnya. Siap, Bu Kia?" tanya Saras.Kiana
Kiana tertegun. Belum pernah dia dimarahi tanpa basa-basi seperti itu apalagi di depan orang lain. "Maaf, Mbak. Saya tidak pernah meminta Tere untuk datang.""Lalu siapa yang memintanya datang? Saya? Jangan berusaha menghindar," tegas Glade. Wanita itu tidak ingin duduk karena kemarahannya sudah mendarah daging. "Sekali lagi kamu berbuat begitu, saya akan membuat kamu menyesal. Jangan pernah berpikir kalau kebaikan saya tidak ada batasnya! Kamu salah, Kiana."Kiana semakin menundukkan kepalanya. Apa dia harus mundur sekarang? Bagaimana kalau dia diminta untuk mengembalikan uang yang sudah dia pakai? Terbersit di benak Kiana untuk menyicil uang yang sempat dia gunakan tapi sepertinya Glade mengetahui apa yang dia pikirkan."Saya tahu kamu sudah memakai uang yang saya berikan. Kalau kamu bisa kembalikan sekarang juga, saya akan mengampuni kamu dan membiarkan kamu pergi. Kecuali kalau kamu nggak mau mengakhiri perjanjian ini, maka bersikaplah yang baik," tegas Glade. Kiana menarik napa
"Siapa?" ulang suara bariton yang belum diketahui siapa orangnya dan bagaimana tampangnya. Pencahayaan yang remang-remang membuat Kiana tidak bisa melihat dengan jelas."Hanya pelayan," ucap Kiana akhirnya. Dia berharap orang itu percaya karena dia tidak memiliki alibi lain sekarang.Terdengar suara langkah kaki mendekat. Kaki yang memakai sepatu mahal karena suara tapak sepatunya sangat halus terdengar di telinga. Entah dari mana datangnya, pria bersuara bariton itu muncul di samping Kiana. Parfum maskulinnya langsung menguar. 'Ini bukan parfum murahan. Dari aromanya saja sudah jelas kalau pria ini orang kaya. Jangan-jangan salah satu tamu di pesta Glade?' batin Kiana menebak."Ngapain di sini?""Mencari angin, Pak. Saya kembali dulu ke tempat saya. Permisi," ucap Kiana. Kalau Glade sampai tahu dia berbuat onar, dia bisa kena masalah lagi. Ya Tuhan, kenapa dia harus datang ke sana? Padahal Anita sudah menyuruhnya untuk diam di rumah."Tunggu sebentar!"Mampus! Kiana berhenti dan be
Mungkin ada seorang malaikat tampan yang turun dari langit karena melihat Kiana yang terharu bahkan untuk sekedar melihat bunga. Pria itu mengerucutkan dahinya, penuh curiga. Tunggu! Kiana menghentikan kebiasaannya untuk melihat dengan seksama wajah orang yang menarik minatnya. Suara pria itu sangat mirip dengan suara pria semalam yang Kiana temui di taman. Apa mungkin?"Ngomong-ngomong saya bicara dengan ranting kering?" ulang pria itu. Posisinya serba salah. Kakinya terinjak, lengannya melebar ke kanan karena takut bersentuhan dengan Kiana, sedangkan tubuh mereka lumayan dekat hampir terhimpit. Kiana baru menyadari bahwa dia salah posisi ketika pria itu memperingatkannya lagi. "Oh, maaf." Refleks dia mundur. Tidak seperti semalam, Kiana malah memandangi mata pria itu. Betapa beruntungnya dia ketika dia berhasil melihat dengan jelas pria itu. Tapi ... siapa dia?"Melamun?" Suara bariton itu menyela. Kiana tergagap, "I-eh-enggak. Saya hanya melihat bunga." Lalu dia menunduk ke ara
Mengumpulkan orang-orang untuk mendekat tentu saja mudah. Kiana hanya tinggal menunjuk pria itu dengan tampang seakan dia yang paling benar."Dia. Dia malingnya, Mbak! Dia mau ngambil pot bunga ini. Kita harus kasih tahu satpam!" tegas Kiana. Para pelayan itu bukannya membela tapi justru menundukkan kepalanya. Mereka seolah takut untuk menyuarakan isi kepalanya.Pria yang ditunjuk maling hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda dia memaklumi tindakan Kiana. Wanita itu pasti tidak tahu apa-apa. "Kembali bekerja!"Sontak semua orang patuh dan berlari ke tempat semula. Mereka tidak berani membantah ataupun membela Kiana. Tinggallah Kiana yang melongo di sana. "Eh, kok pergi?" tukas Kiana kesal.Pria itu menaruh potnya ke tempat awal dan berjalan kembali ke arah Kiana. Sebelum dia bicara, Anita sudah mengambil langkah seribu untuk membawa majikan barunya kembali ke kediamannya. "Ayo, Bu Kia! Saya yang jelaskan!" tukas Anita malu. Dia menundukkan kepalanya pada pria itu dan lagi-lagi me
Hah?"Ma-maksudnya, Pak?" tanya Kiana terbata-bata. Ghazlan menggerakkan gelas ditangannya dengan tidak sabaran, "Katanya mau minum?""Eh, iya," gumam Kiana. Dia terpaksa menerima uluran tersebut dan kemudian menelan isinya sampai habis. Dia masih berkutat dengan pemikirannya. Apa benar suaminya mau menginap di rumah yang dia tinggali sekarang? Apa Glade tidak marah dan memperbolehkannya?"Saya hanya bercanda," tukas Ghazlan kemudian. Dia menyelami kedua mata Kiana, "diantara kita ada kontrak yang harus ditaati. Bagi saya, cinta pertama saya sangatlah berharga dan saya tidak mau menodai hanya karena masalah sepele ini. Kamu bisa tenang sekarang."Masalah sepele? Kiana tidak pernah berpikir bahwa mengandung anak orang lain adalah masalah sepele. Apalagi menjadi istri kedua yang bahkan tidak punya wewenang untuk mendapatkan haknya.Jujur Kiana merasa kesal ketika Ghazlan tidak menghargainya. Namun, dia tidak punya alasan untuk mendebat pria itu. "Jam sepuluh tutor kamu akan datang. Sa
"Besok jadwal anda menjalankan proses inseminasi selanjutnya, Bu Kia. Saya sudah mengatur jadwal agar Nyonya Glade bisa ikut ke rumah sakit. Sebelumnya, ada dilarang melakukan pekerjaan apapun di luar rumah. Hanya itu pesan yang ingin saya sampaikan. Silahkan beristirahat kembali." Penjelasan asisten pribadi Glade terlalu cepat untuk dipahami. Kiana belum sempat bertanya sekali lagi tapi wanita itu sudah pergi. Cara jalannya yang santai tapi terlihat terburu-buru menandakan bahwa dia harus segera kembali ke rumah utama. "Selamat, Bu Kia," ucap Anita tanpa pikir panjang."Untuk apa, Mbak?" tanya Kiana yang kemudian berbalik. Wajahnya tidak menunjukkan minat sama sekali. "Selamat karena sebentar lagi usaha Bu Kia berhasil.""Kamu senang karena Mbak Glade akan memiliki anak bukan?" tebak Kiana."Tentu saja. Siapa yang tidak senang? Saya selalu berharap yang terbaik untuk nyonya Glade dan juga Bu Kia." Anita tidak salah. Kiana saja yang terlalu sensitif. Wanita itu akhirnya kembali ke
Glade tertawa, hampir menggelegar. Dia lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Sembari melihat Kiana dengan tatapan tajam, wanita itu berkata, "Meskipun kamu punya niat busuk sekalipun, suami saya tidak akan pernah terpikat sama kamu. Ingat! Dunia kita berbeda. Kamu hanya sebatas alat, Kiana. Tolong, jangan buat saya tertawa."Kiana terdiam. Mulut tajam Glade yang tidak pernah salah berhasil menyadarkannya. Glade menoleh pada Saras untuk meminta maaf. "Kami memang suka sekali bercanda, Dok. Maaf ya terlalu kebawa suasana."Saras tersenyum maklum. Dia meminta mereka untuk duduk sembari dia menjelaskan langkah selanjutnya. "Saya akan resepkan obat pasca inseminasi. Anda boleh melakukan aktivitas seperti biasa, tidak ada yang perlu dihindari. Biasanya akan terjadi flek ringan selama kurang lebih satu sampai dua hari. Bu Kia tidak perlu cemas karena hal itu wajar. Kalau lebih dari dua hari belum juga reda, Bu Kia bisa langsung datang ke sini.""Apakah peluangnya besar, Dok?