Share

Bab 6 — Tapi Bisakah Kamu Mundur?

"Siapa?" ulang suara bariton yang belum diketahui siapa orangnya dan bagaimana tampangnya. Pencahayaan yang remang-remang membuat Kiana tidak bisa melihat dengan jelas.

"Hanya pelayan," ucap Kiana akhirnya. Dia berharap orang itu percaya karena dia tidak memiliki alibi lain sekarang.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Kaki yang memakai sepatu mahal karena suara tapak sepatunya sangat halus terdengar di telinga. Entah dari mana datangnya, pria bersuara bariton itu muncul di samping Kiana.

Parfum maskulinnya langsung menguar.

'Ini bukan parfum murahan. Dari aromanya saja sudah jelas kalau pria ini orang kaya. Jangan-jangan salah satu tamu di pesta Glade?' batin Kiana menebak.

"Ngapain di sini?"

"Mencari angin, Pak. Saya kembali dulu ke tempat saya. Permisi," ucap Kiana. Kalau Glade sampai tahu dia berbuat onar, dia bisa kena masalah lagi. Ya Tuhan, kenapa dia harus datang ke sana? Padahal Anita sudah menyuruhnya untuk diam di rumah.

"Tunggu sebentar!"

Mampus! Kiana berhenti dan berdiri seperti robot.

"Duduklah! Saya lihat kaki kamu terluka biar saya lihat," ucap pria itu lagi.

"Maaf, Pak, tidak perlu. Saya bisa melakukannya sendiri. Terimakasih," tolak Kiana secara halus.

"Kamu mau saya adukan pada pemilik rumah ini? Saya tahu kamu bukan pelayan. Mana ada pelayan yang memakai pakaian seperti ini dan juga nggak pakai alas kaki."

Lagi-lagi Kiana tidak bisa berkilah. Dia memang bukan pelayan jadi pria itu pasti menyadarinya. Kiana langsung berbalik dan berlutut di depan pria itu. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya berjalan-jalan sebentar. Saya mohon jangan adukan saya sama Mbak Glade, oh, maksud saya Nyonya Glade."

Pria yang tertutup oleh sinar lampu remang-remang itu berusaha untuk membawa Kiana berdiri. Sepanjang perlakuan itu, kepala Kiana terus menunduk. Yang dia lihat hanyalah jam tangan mahal dan juga pakaian branded yang entah berapa harganya. Kalau dihitung juga percuma, Kiana tidak akan mampu membelinya.

"Saya cuma ada plester. Nanti kamu obati lagi," ucap pria itu. Dia menunduk dan melihat luka gores yang hanya tiga sentimeter itu dengan cepat. Lalu dia menempelkan plester di sana sembari berkata, "hanya tergores ranting tajam. Sepertinya tidak ada yang tertinggal di dalam. Kamu cukup membersihkannya dengan alkohol dan memberikan obat merah. Jangan lupa dibungkus lagi."

Kiana hanya mengangguk. Jantungnya semakin memompa cepat. Siapa pria itu? Tamu Glade? Kalau dia bercerita pada Glade bagaimana? Dari cerita singkat saja Glade sudah pasti tahu siapa yang dimaksud oleh pria itu.

Kiana, Kiana, kamu benar-benar sembrono.

"Selesai," tukas pria itu. Dia kemudian bangkit dan melepas sepatunya. "Pakai ini! Kalau kamu jalan tanpa alas kaki, luka kecil ini akan lebih serius nantinya."

"Tapi, Pak," elak Kiana.

"Pakai saja. Saya punya banyak di rumah."

"Tapi, Pak, nanti pestanya gimana?" tanya Kiana takut. Dengan tetap menunduk dia meremas telapak tangannya. Dia tidak bisa ketahuan. Ketidaksanggupan menghadapi Glade memakinya membuat dia cemas.

"Gampang. Saya sudah bilang kalau saya punya banyak di rumah. Pakai saja."

Ada keinginan yang membuat Kiana harus mendongak agar dia bisa melihat siapa pria itu. Dengan begitu dia bisa mengembalikan barang berharga miliknya. Tapi ketika dia memberanikan diri untuk melihat, sepasang kaki tersebut telah menjauh memperlihatkan punggung bidang yang terasa nyaman jika dipeluk dari belakang.

"Astaga, aku memikirkan apa?" pekik Kiana kesal. Bisa-bisanya dia memikirkan hal mustahil itu. Dengan cepat dia memakai sepatu kebesaran tersebut dan berjalan susah payah ke rumahnya.

"Sembunyikan dimana?" Kiana berpikir sejenak. Tidak ada tempat yang tidak mungkin terlewat pandangan Anita. Kecuali di dalam laci nakas samping tempat tidurnya. Di bawah sana, ada satu laci besar yang berhasil menyimpan sepatu bernomor 42 tersebut.

"Aku akan berterimakasih sekali lagi kalau bisa bertemu dengan kamu lagi," gumam Kiana senang. Meskipun singkat dia sangat yakin kalau pria itu pria baik.

°°°

Ketika senyum Kiana terus mengembang sepanjang makan pagi, Anita menaruh curiga pada majikan barunya itu. Pasalnya dia tidak datang untuk mengecek Kiana lagi setelah terakhir kali dia menaruh makan malam di atas meja.

"Bu Kia semalam pergi?" tanya Anita langsung mengenai sasaran.

Kiana terbatuk-batuk, dia mengambil air putih lalu meneguknya sampai tandas. "Ti-tidak. Kenapa aku harus pergi?"

"Tidak ke rumah utama kan?"

"Ti-tidak!" kilah Kiana.

"Baguslah kalau begitu. Nyonya Glade sangat lelah kemarin, kalau tahu Bu Kia pergi, nanti beliau marah. Ngomong-ngomong hari ini Nyonya ada kesibukan di luar rumah sepanjang hari jadi Bu Kia tetap harus menjaga sikap terutama untuk tidak menginjakkan kaki ke rumah utama."

Diam-diam Kiana bernapas lega karena Anita tidak lagi mencurigainya dan mengubah topik. "Iya, saya tahu, Mbak. Saya juga nggak ada kepentingan kok ke sana."

Anita tersenyum senang. "Terimakasih sudah mengikuti aturan Nyonya, Bu Kia."

"Iya. Lagi pula kenapa kamu sibuk menjelaskan kalau kamu saja bakal seharian di sini?" tanya Kiana bingung.

"Saya ada urusan sebentar di luar, Bu Kia. Perintah Nyonya! Makanya saya berpesan pada anda untuk tetap menjaga sikap," ucap Anita.

"Iya. Saya tahu," balas Kiana sembari menyomot buah kiwinya. Dia tiba-tiba teringat sesuatu. "Mbak, saya perhatikan ada sebuah taman kecil di belakang rumah utama. Masih terawat tapi jarang dikunjungi. Taman itu tempat umum kan?"

Tempat umum yang dimaksud Kiana adalah tempat yang bisa dia datangi. Ingatan semalam berhasil membuat dia senang, jadi dia ingin melihatnya pagi ini.

"Jangan ke sana, Bu Kia!" cegah Anita cepat. "Taman itu tempat favorit Nyonya. Setidaknya untuk dua bulan lalu. Sekarang karena sibuk wara-wiri, Nyonya jadi jarang datang dan hanya tukang kebun yang setiap tiga minggu sekali merapikannya."

Melihat gelagat yang tidak biasa dari Kiana, Anita menekannya. "Please, Bu Kia! Jangan ke sana! Nyonya pasti tahu kalau anda menginjakkan kaki di tempat itu."

'Tapi semalam kenapa mbak Glade nggak tahu kalau dia ada di sana?' tanya Kiana dalam hati.

"Bu Kia?"

Kiana tersentak. "Iya, Mbak, saya nggak akan menginjakkan kaki di sana."

"Baiklah. Terimakasih. Saya harus pergi sekarang!"

°°°

Kiana mengendap, lagi. Wanita itu bosan. Sudah dua jam dia di dalam rumah mengintai ke balik jendela hanya untuk memastikan tidak ada orang di sana. Kenyataannya para pelayan sibuk dengan pekerjaannya.

"Aku hanya akan mampir sepuluh menit lalu pergi," tukas Kiana pada dirinya sendiri. Dia memastikan memakai sandal rumahnya dan bergerak dengan langkah yang dibuat normal tapi setengah berlari.

Kalau dibandingkan dengan pencuri, tingkahnya persis seperti itu. Kiana menoleh ke belakang, tidak ada yang melihatnya. Setelah sampai ke area taman mungil yang hanya dilihat dari balik sorot lampu remang-remang semalam, wanita bertubuh mungil itupun mengitarinya.

Wangi bunga mawar yang semerbak memberikan efek menenangkan ternyata. Kiana sampai menutup matanya dan berputar mirip parodi lagu India.

Bugh!

'Apa ini?' Kiana membatin suram.

"Kamu suka menari?"

'Suara laki-laki?' batin Kiana lagi.

"Tarian yang bagus! Tapi bisakah kamu mundur? Saya tidak bisa bergerak!"

Hah? Kiana membuka matanya dengan cepat dan terpana. Tampan sekali.

°°°

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status