"Siapa?" ulang suara bariton yang belum diketahui siapa orangnya dan bagaimana tampangnya. Pencahayaan yang remang-remang membuat Kiana tidak bisa melihat dengan jelas.
"Hanya pelayan," ucap Kiana akhirnya. Dia berharap orang itu percaya karena dia tidak memiliki alibi lain sekarang. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Kaki yang memakai sepatu mahal karena suara tapak sepatunya sangat halus terdengar di telinga. Entah dari mana datangnya, pria bersuara bariton itu muncul di samping Kiana. Parfum maskulinnya langsung menguar. 'Ini bukan parfum murahan. Dari aromanya saja sudah jelas kalau pria ini orang kaya. Jangan-jangan salah satu tamu di pesta Glade?' batin Kiana menebak. "Ngapain di sini?" "Mencari angin, Pak. Saya kembali dulu ke tempat saya. Permisi," ucap Kiana. Kalau Glade sampai tahu dia berbuat onar, dia bisa kena masalah lagi. Ya Tuhan, kenapa dia harus datang ke sana? Padahal Anita sudah menyuruhnya untuk diam di rumah. "Tunggu sebentar!" Mampus! Kiana berhenti dan berdiri seperti robot. "Duduklah! Saya lihat kaki kamu terluka biar saya lihat," ucap pria itu lagi. "Maaf, Pak, tidak perlu. Saya bisa melakukannya sendiri. Terimakasih," tolak Kiana secara halus. "Kamu mau saya adukan pada pemilik rumah ini? Saya tahu kamu bukan pelayan. Mana ada pelayan yang memakai pakaian seperti ini dan juga nggak pakai alas kaki." Lagi-lagi Kiana tidak bisa berkilah. Dia memang bukan pelayan jadi pria itu pasti menyadarinya. Kiana langsung berbalik dan berlutut di depan pria itu. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya berjalan-jalan sebentar. Saya mohon jangan adukan saya sama Mbak Glade, oh, maksud saya Nyonya Glade." Pria yang tertutup oleh sinar lampu remang-remang itu berusaha untuk membawa Kiana berdiri. Sepanjang perlakuan itu, kepala Kiana terus menunduk. Yang dia lihat hanyalah jam tangan mahal dan juga pakaian branded yang entah berapa harganya. Kalau dihitung juga percuma, Kiana tidak akan mampu membelinya. "Saya cuma ada plester. Nanti kamu obati lagi," ucap pria itu. Dia menunduk dan melihat luka gores yang hanya tiga sentimeter itu dengan cepat. Lalu dia menempelkan plester di sana sembari berkata, "hanya tergores ranting tajam. Sepertinya tidak ada yang tertinggal di dalam. Kamu cukup membersihkannya dengan alkohol dan memberikan obat merah. Jangan lupa dibungkus lagi." Kiana hanya mengangguk. Jantungnya semakin memompa cepat. Siapa pria itu? Tamu Glade? Kalau dia bercerita pada Glade bagaimana? Dari cerita singkat saja Glade sudah pasti tahu siapa yang dimaksud oleh pria itu. Kiana, Kiana, kamu benar-benar sembrono. "Selesai," tukas pria itu. Dia kemudian bangkit dan melepas sepatunya. "Pakai ini! Kalau kamu jalan tanpa alas kaki, luka kecil ini akan lebih serius nantinya." "Tapi, Pak," elak Kiana. "Pakai saja. Saya punya banyak di rumah." "Tapi, Pak, nanti pestanya gimana?" tanya Kiana takut. Dengan tetap menunduk dia meremas telapak tangannya. Dia tidak bisa ketahuan. Ketidaksanggupan menghadapi Glade memakinya membuat dia cemas. "Gampang. Saya sudah bilang kalau saya punya banyak di rumah. Pakai saja." Ada keinginan yang membuat Kiana harus mendongak agar dia bisa melihat siapa pria itu. Dengan begitu dia bisa mengembalikan barang berharga miliknya. Tapi ketika dia memberanikan diri untuk melihat, sepasang kaki tersebut telah menjauh memperlihatkan punggung bidang yang terasa nyaman jika dipeluk dari belakang. "Astaga, aku memikirkan apa?" pekik Kiana kesal. Bisa-bisanya dia memikirkan hal mustahil itu. Dengan cepat dia memakai sepatu kebesaran tersebut dan berjalan susah payah ke rumahnya. "Sembunyikan dimana?" Kiana berpikir sejenak. Tidak ada tempat yang tidak mungkin terlewat pandangan Anita. Kecuali di dalam laci nakas samping tempat tidurnya. Di bawah sana, ada satu laci besar yang berhasil menyimpan sepatu bernomor 42 tersebut. "Aku akan berterimakasih sekali lagi kalau bisa bertemu dengan kamu lagi," gumam Kiana senang. Meskipun singkat dia sangat yakin kalau pria itu pria baik. °°° Ketika senyum Kiana terus mengembang sepanjang makan pagi, Anita menaruh curiga pada majikan barunya itu. Pasalnya dia tidak datang untuk mengecek Kiana lagi setelah terakhir kali dia menaruh makan malam di atas meja. "Bu Kia semalam pergi?" tanya Anita langsung mengenai sasaran. Kiana terbatuk-batuk, dia mengambil air putih lalu meneguknya sampai tandas. "Ti-tidak. Kenapa aku harus pergi?" "Tidak ke rumah utama kan?" "Ti-tidak!" kilah Kiana. "Baguslah kalau begitu. Nyonya Glade sangat lelah kemarin, kalau tahu Bu Kia pergi, nanti beliau marah. Ngomong-ngomong hari ini Nyonya ada kesibukan di luar rumah sepanjang hari jadi Bu Kia tetap harus menjaga sikap terutama untuk tidak menginjakkan kaki ke rumah utama." Diam-diam Kiana bernapas lega karena Anita tidak lagi mencurigainya dan mengubah topik. "Iya, saya tahu, Mbak. Saya juga nggak ada kepentingan kok ke sana." Anita tersenyum senang. "Terimakasih sudah mengikuti aturan Nyonya, Bu Kia." "Iya. Lagi pula kenapa kamu sibuk menjelaskan kalau kamu saja bakal seharian di sini?" tanya Kiana bingung. "Saya ada urusan sebentar di luar, Bu Kia. Perintah Nyonya! Makanya saya berpesan pada anda untuk tetap menjaga sikap," ucap Anita. "Iya. Saya tahu," balas Kiana sembari menyomot buah kiwinya. Dia tiba-tiba teringat sesuatu. "Mbak, saya perhatikan ada sebuah taman kecil di belakang rumah utama. Masih terawat tapi jarang dikunjungi. Taman itu tempat umum kan?" Tempat umum yang dimaksud Kiana adalah tempat yang bisa dia datangi. Ingatan semalam berhasil membuat dia senang, jadi dia ingin melihatnya pagi ini. "Jangan ke sana, Bu Kia!" cegah Anita cepat. "Taman itu tempat favorit Nyonya. Setidaknya untuk dua bulan lalu. Sekarang karena sibuk wara-wiri, Nyonya jadi jarang datang dan hanya tukang kebun yang setiap tiga minggu sekali merapikannya." Melihat gelagat yang tidak biasa dari Kiana, Anita menekannya. "Please, Bu Kia! Jangan ke sana! Nyonya pasti tahu kalau anda menginjakkan kaki di tempat itu." 'Tapi semalam kenapa mbak Glade nggak tahu kalau dia ada di sana?' tanya Kiana dalam hati. "Bu Kia?" Kiana tersentak. "Iya, Mbak, saya nggak akan menginjakkan kaki di sana." "Baiklah. Terimakasih. Saya harus pergi sekarang!" °°° Kiana mengendap, lagi. Wanita itu bosan. Sudah dua jam dia di dalam rumah mengintai ke balik jendela hanya untuk memastikan tidak ada orang di sana. Kenyataannya para pelayan sibuk dengan pekerjaannya. "Aku hanya akan mampir sepuluh menit lalu pergi," tukas Kiana pada dirinya sendiri. Dia memastikan memakai sandal rumahnya dan bergerak dengan langkah yang dibuat normal tapi setengah berlari. Kalau dibandingkan dengan pencuri, tingkahnya persis seperti itu. Kiana menoleh ke belakang, tidak ada yang melihatnya. Setelah sampai ke area taman mungil yang hanya dilihat dari balik sorot lampu remang-remang semalam, wanita bertubuh mungil itupun mengitarinya. Wangi bunga mawar yang semerbak memberikan efek menenangkan ternyata. Kiana sampai menutup matanya dan berputar mirip parodi lagu India. Bugh! 'Apa ini?' Kiana membatin suram. "Kamu suka menari?" 'Suara laki-laki?' batin Kiana lagi. "Tarian yang bagus! Tapi bisakah kamu mundur? Saya tidak bisa bergerak!" Hah? Kiana membuka matanya dengan cepat dan terpana. Tampan sekali. °°°Mungkin ada seorang malaikat tampan yang turun dari langit karena melihat Kiana yang terharu bahkan untuk sekedar melihat bunga. Pria itu mengerucutkan dahinya, penuh curiga. Tunggu! Kiana menghentikan kebiasaannya untuk melihat dengan seksama wajah orang yang menarik minatnya. Suara pria itu sangat mirip dengan suara pria semalam yang Kiana temui di taman. Apa mungkin?"Ngomong-ngomong saya bicara dengan ranting kering?" ulang pria itu. Posisinya serba salah. Kakinya terinjak, lengannya melebar ke kanan karena takut bersentuhan dengan Kiana, sedangkan tubuh mereka lumayan dekat hampir terhimpit. Kiana baru menyadari bahwa dia salah posisi ketika pria itu memperingatkannya lagi. "Oh, maaf." Refleks dia mundur. Tidak seperti semalam, Kiana malah memandangi mata pria itu. Betapa beruntungnya dia ketika dia berhasil melihat dengan jelas pria itu. Tapi ... siapa dia?"Melamun?" Suara bariton itu menyela. Kiana tergagap, "I-eh-enggak. Saya hanya melihat bunga." Lalu dia menunduk ke ara
Mengumpulkan orang-orang untuk mendekat tentu saja mudah. Kiana hanya tinggal menunjuk pria itu dengan tampang seakan dia yang paling benar."Dia. Dia malingnya, Mbak! Dia mau ngambil pot bunga ini. Kita harus kasih tahu satpam!" tegas Kiana. Para pelayan itu bukannya membela tapi justru menundukkan kepalanya. Mereka seolah takut untuk menyuarakan isi kepalanya.Pria yang ditunjuk maling hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda dia memaklumi tindakan Kiana. Wanita itu pasti tidak tahu apa-apa. "Kembali bekerja!"Sontak semua orang patuh dan berlari ke tempat semula. Mereka tidak berani membantah ataupun membela Kiana. Tinggallah Kiana yang melongo di sana. "Eh, kok pergi?" tukas Kiana kesal.Pria itu menaruh potnya ke tempat awal dan berjalan kembali ke arah Kiana. Sebelum dia bicara, Anita sudah mengambil langkah seribu untuk membawa majikan barunya kembali ke kediamannya. "Ayo, Bu Kia! Saya yang jelaskan!" tukas Anita malu. Dia menundukkan kepalanya pada pria itu dan lagi-lagi me
Hah?"Ma-maksudnya, Pak?" tanya Kiana terbata-bata. Ghazlan menggerakkan gelas ditangannya dengan tidak sabaran, "Katanya mau minum?""Eh, iya," gumam Kiana. Dia terpaksa menerima uluran tersebut dan kemudian menelan isinya sampai habis. Dia masih berkutat dengan pemikirannya. Apa benar suaminya mau menginap di rumah yang dia tinggali sekarang? Apa Glade tidak marah dan memperbolehkannya?"Saya hanya bercanda," tukas Ghazlan kemudian. Dia menyelami kedua mata Kiana, "diantara kita ada kontrak yang harus ditaati. Bagi saya, cinta pertama saya sangatlah berharga dan saya tidak mau menodai hanya karena masalah sepele ini. Kamu bisa tenang sekarang."Masalah sepele? Kiana tidak pernah berpikir bahwa mengandung anak orang lain adalah masalah sepele. Apalagi menjadi istri kedua yang bahkan tidak punya wewenang untuk mendapatkan haknya.Jujur Kiana merasa kesal ketika Ghazlan tidak menghargainya. Namun, dia tidak punya alasan untuk mendebat pria itu. "Jam sepuluh tutor kamu akan datang. Sa
"Besok jadwal anda menjalankan proses inseminasi selanjutnya, Bu Kia. Saya sudah mengatur jadwal agar Nyonya Glade bisa ikut ke rumah sakit. Sebelumnya, ada dilarang melakukan pekerjaan apapun di luar rumah. Hanya itu pesan yang ingin saya sampaikan. Silahkan beristirahat kembali." Penjelasan asisten pribadi Glade terlalu cepat untuk dipahami. Kiana belum sempat bertanya sekali lagi tapi wanita itu sudah pergi. Cara jalannya yang santai tapi terlihat terburu-buru menandakan bahwa dia harus segera kembali ke rumah utama. "Selamat, Bu Kia," ucap Anita tanpa pikir panjang."Untuk apa, Mbak?" tanya Kiana yang kemudian berbalik. Wajahnya tidak menunjukkan minat sama sekali. "Selamat karena sebentar lagi usaha Bu Kia berhasil.""Kamu senang karena Mbak Glade akan memiliki anak bukan?" tebak Kiana."Tentu saja. Siapa yang tidak senang? Saya selalu berharap yang terbaik untuk nyonya Glade dan juga Bu Kia." Anita tidak salah. Kiana saja yang terlalu sensitif. Wanita itu akhirnya kembali ke
Glade tertawa, hampir menggelegar. Dia lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Sembari melihat Kiana dengan tatapan tajam, wanita itu berkata, "Meskipun kamu punya niat busuk sekalipun, suami saya tidak akan pernah terpikat sama kamu. Ingat! Dunia kita berbeda. Kamu hanya sebatas alat, Kiana. Tolong, jangan buat saya tertawa."Kiana terdiam. Mulut tajam Glade yang tidak pernah salah berhasil menyadarkannya. Glade menoleh pada Saras untuk meminta maaf. "Kami memang suka sekali bercanda, Dok. Maaf ya terlalu kebawa suasana."Saras tersenyum maklum. Dia meminta mereka untuk duduk sembari dia menjelaskan langkah selanjutnya. "Saya akan resepkan obat pasca inseminasi. Anda boleh melakukan aktivitas seperti biasa, tidak ada yang perlu dihindari. Biasanya akan terjadi flek ringan selama kurang lebih satu sampai dua hari. Bu Kia tidak perlu cemas karena hal itu wajar. Kalau lebih dari dua hari belum juga reda, Bu Kia bisa langsung datang ke sini.""Apakah peluangnya besar, Dok?
Kiana juga ingin berhasil tapi mau bagaimana lagi? "Maaf, Mbak," ucap Kiana pelan. Dia merasa bersalah, sungguh. Meskipun semua itu bukan salahnya.Glade menatap sinis pada Kiana. Dia paling tidak suka mengulang hal yang sama dua kali. "Lain kali berusahalah!"Hanya tiga kalimat itu yang diucapkan oleh Glade sebelum dia meninggalkan rumah Kiana. Glade berharap banyak pada proses pertama yang mereka lakukan. Selama dua minggu dia seperti orang yang tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan kesenangan melihat pria-pria tampan di cafe tidak lagi menggugah hatinya. Glade benar-benar berharap dia berhasil. Namun kenyataannya, hasilnya mengecewakan."Argh, sebal!" umpat Glade. °°°"Mbak," ucap Kiana pada Anita. Mereka masih terdiam di sana, tidak melakukan apapun. "Iya, Bu Kia.""Saya salah ya?" tanya Kiana. "Tentu saja tidak, Bu Kia. Anda tidak punya wewenang untuk mengabulkan keinginan Nyonya Glade. Semuanya terserah pada Tuhan. Anda tidak perlu mencemaskan Nyonya. Nyonya memang sedang
"Siapa?" tanya Kiana waspada. Tidak ada yang terlihat di depannya kecuali kegelapan. Hanya ada secercah cahaya dari bawah lampu di depan sana."Saya," ucap Ghazlan."Pak Ghazlan?""Iya, saya.""Kenapa bapak ada di sini?" tanya Kiana. Dia berdiri, terkesiap karena suara langkah kaki yang berkecipak dengan air terdengar mendekat. "Boleh saya pinjam ruang tamu?"Beberapa saat Kiana bisa melihat penampakan wajah Ghazlan yang basah. Pria itu menyeringai sembari menyapu rambut depannya yang kebasahan. Kiana meringsut ke pintu, membukanya. Dia menunduk begitu tatapannya beradu dengan pria yang resmi menjadi suami sirinya itu. "Bapak butuh sesuatu?""Sebenarnya butuh handuk. Boleh saya pinjam?"Kiana memutar tubuhnya ke belakang. Dia sudah berjalan untuk naik ke kamarnya ketika Anita muncul dengan wajah bingung. "Ada tamu, Bu Kia?" tanyanya."Pak Ghazlan minta handuk.""Handuk?" Spontan saja mata Anita mendelik. "Untuk apa? Kenapa tiba-tiba minta handuk, Bu Kia?""Mengeringkan rambutnya, M
"Apa? Saya tidak melakukan apapun," ucap Ghazlan. Dia mundur beberapa langkah agar Anita tidak berpikir yang bukan-bukan. "Dari sudut pandang kamu, saya memang terlihat mencium Kiana. Tapi dari sudut pandang saya..,""Apa, Mas? Kamu mencium Kiana?"Suara itu berasal dari suara Glade yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu. Wanita itu menatap marah pada Kiana. Saat itu juga dia membuang payung yang dia pegang lalu berjalan ke arah wanita yang telah dia biayai kehidupannya.Plak!"Dasar tidak tahu diri!" umpat Glade. Napasnya sudah memburu sebelum Ghazlan menjelaskan.Anita menutup mulutnya, sementara Kiana menyentuh permukaan kulit wajahnya yang memanas. Tamparan itu cukup keras. Dia bahkan belum pernah merasakan tamparan sekejam itu selama hidupnya. "Sayang, bukan seperti itu. Kamu salah paham," tegas Ghazlan. Dia menarik tubuh istrinya untuk menjauhi Kiana. "Apanya yang salah? Aku dengar sendiri kalau kamu mencium Kiana. Kamu yang bilang, Mas! Bukan aku!" sungut Glade mengge