Kiana tertegun. Belum pernah dia dimarahi tanpa basa-basi seperti itu apalagi di depan orang lain. "Maaf, Mbak. Saya tidak pernah meminta Tere untuk datang."
"Lalu siapa yang memintanya datang? Saya? Jangan berusaha menghindar," tegas Glade. Wanita itu tidak ingin duduk karena kemarahannya sudah mendarah daging. "Sekali lagi kamu berbuat begitu, saya akan membuat kamu menyesal. Jangan pernah berpikir kalau kebaikan saya tidak ada batasnya! Kamu salah, Kiana." Kiana semakin menundukkan kepalanya. Apa dia harus mundur sekarang? Bagaimana kalau dia diminta untuk mengembalikan uang yang sudah dia pakai? Terbersit di benak Kiana untuk menyicil uang yang sempat dia gunakan tapi sepertinya Glade mengetahui apa yang dia pikirkan. "Saya tahu kamu sudah memakai uang yang saya berikan. Kalau kamu bisa kembalikan sekarang juga, saya akan mengampuni kamu dan membiarkan kamu pergi. Kecuali kalau kamu nggak mau mengakhiri perjanjian ini, maka bersikaplah yang baik," tegas Glade. Kiana menarik napas panjang namun dia tidak berani terang-terangan menghembuskannya di depan Glade. Rasa takut menjalari tubuhnya yang kecil mungil itu. "Jawab!" "Saya minta maaf, Mbak. Saya akan menjaga sikap dan berhenti berbuat onar." "Bagus!" ucap Glade singkat. Dia lalu menatap Anita yang berdiri gusar di belakang Kiana. "Minum vitamin kamu sebelum tidur. Saya mau yang terbaik untuk proses inseminasi yang akan datang. Dokter Saras sudah menentukan kapan masa subur kamu." "Iya, Mbak," jawab Kiana pelan. Dia meremas ujung jarinya karena tembakan yang dahsyat dari wanita di depannya itu. Glade melangkah lebih dekat berniat memeluk Kiana namun Kiana memundurkan langkahnya. "Jangan takut! Kalau kamu nggak salah, saya tidak akan begini. Mau saya peluk?" Kiana tidak yakin kalau dia bisa memeluk wanita semenakutkan itu. "Saya tidak takut, Mbak." Glade tidak tersenyum, dia hanya mengulurkan lengannya untuk menggapai tubuh Kiana yang bergetar. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Dia yang membayar Kiana, secara tidak langsung dia adalah bos yang harus dipatuhi. Konsep yang harus Kiana ingat sepanjang satu tahun ke depan itu. "Untuk acara pernikahan siri kamu dan suami saya, besok akan dilaksanakan di sini. Tapi, kamu sama sekali nggak boleh keluar dari kamar ataupun melihat ke luar kamar. Cukup kamu mendengarkan dari dalam kamar karena yang dibutuhkan hanya status pernikahan itu sah," jelas Glade. Pelukannya terlepas. "Iya, Mbak." "Beristirahatlah!" Kiana hanya mengangguk pelan. Setelah Glade pergi, tubuhnya luluh lantak tidak bertenaga. Dia menggapai ujung sofa dengan sisa kekuatan yang ada. Anita menghampiri, berdiam di sampingnya. "Maaf, Bu Kia, saya bukannya mengadu tapi satpam selalu melaporkan apa yang terjadi di rumah ini," jelas Anita. Dia merasa bersalah. Meskipun dia baru bertemu Kiana, dia sangat yakin kalau wanita itu wanita baik. Hanya takdir yang membuat Kiana menjadi wanita yang menyewakan rahimnya. "Tidak apa-apa, Mbak. Saya juga yang salah," ucap Kiana pelan. Dia memberikan senyum tipis hanya untuk menenangkan Anita. "Saya mau ke kamar dulu." "Nanti saya antarkan vitaminnya ke kamar Bu Kia." "Iya, Mbak." Kiana berjalan lunglai ke lantai dua. Ketika menutup pintu kamarnya, napasnya mulai tidak karuan. Dia terjerembab di lantai, bersandar pada pintu. "Ya Tuhan." Hanya itu yang bisa dia katakan. Lalu, dia berbaring dengan lesu sembari menutup matanya. °°° Kiana mencoba untuk melupakan apa yang telah terjadi semalam. Wanita itu juga sudah menghubungi Tere untuk tidak sembarangan datang ke rumah Ghazlan. Mungkin sekarang mereka hanya akan berkomunikasi lewat telepon untuk mencari jalan aman. [Tunggu sebentar!] Tere sempat mencegah Kiana sebelum menutup teleponnya. "Ada apa?" [Yang aku baca nama pemilik rumahnya Ghazlan kan?" "Iya. Ada yang salah?" [Bukan ada yang salah tapi sepertinya aku pernah dengar nama itu di kampus] "Jangan ngaco! Nama Ghazlan banyak. Mana mungkin cuma ada satu di negara ini," elak Kiana. Kemungkinan mereka berada di tempat yang sama tidak akan mungkin, seribu satu kali kesempatan mungkin iya. [Nggak. Aku yakin pernah dengar nama itu] "Aku juga yakin. Aku tutup dulu teleponnya. Ingat apa yang aku katakan, Tere. Jangan buat masalah!" Tere masih akan bicara tentang kenalannya yang bernama Ghazlan itu kalau Kiana tidak menutup panggilannya secara paksa. Berkat Tere, semalaman dia menjadi penasaran apakah benar mereka pernah bertemu dalam satu kelas yang Kiana tidak ingat? Apa boleh Kiana melihat-lihat rumah utama selagi Glade pergi? Tapi kapan waktunya Glade pergi? Kiana harus mencari tahu lebih dulu. "Mbak," panggil Kiana ketika melihat Anita berlalu-lalang di depan kediamannya. "Iya, Bu Kia. Ada apa?" Dengan terengah-engah, Anita berhenti hanya untuk membalas sapaan Kiana, majikan barunya yang lain. "Lagi ngapain, Mbak?" "Oh, ini, nanti malam ada pesta di rumah Nyonya. Pesta untuk merayakan keberhasilan Tuan Ghazlan sebagai Dosen dengan banyak gelar dan prestasi," jelas Anita. "Aneh, eh maksudnya kok ada kategori begitu, Mbak?" "Iya, Bu Kia. Saya juga baru tahu." "Em, saya bisa melihat siaran ulangnya dimana?" "Acaranya hanya untuk satu lingkup universitas jadi saya tidak yakin disiarkan di TV lokal. Ada yang perlu ditanyakan lagi, Bu Kia? Maaf, hari ini saya agak sibuk tapi Bu Kia tenang saja karena saya sudah menyiapkan sarapan dan juga keperluan yang lain. Kalau ada yang kurang, Bu Kia bisa telepon saya. Nomor saya ada di atas meja dekat telepon rumah," jelas Anita panjang lebar. Sesekali dia melihat apakah Glade berteriak mencarinya. "Jam berapa, Mbak, acaranya?" "Jam tujuh. Tapi Bu Kia ingat kan kalau tidak boleh muncul di muka umum?" "Tentu saja saya ingat, Mbak," ucap Kiana. Kemarahan Glade semalam jujur membuatnya takut untuk bertindak. "Terimakasih kalau Bu Kia memahaminya. Saya permisi dulu." "Iya, Mbak." Kiana menatap lurus-lurus kepergian Anita. Hanya pesta kecil kenapa semua orang di rumah itu sibuk? "Aku harus ngapain malam ini kalau mbak Anita sibuk?" °°° Pukul 21.00... Di sebuah taman yang baru diketahui keberadaannya karena luas tanah yang dihuni oleh banyak orang itu melebihi luas lapangan sepak bola. Kiana menengok ke sana-kemari, tidak berniat apa-apa. Dia hanya bosan di kamar dan ingin melihat pesta yang sama sekali tidak terdengar dari rumahnya itu. Mungkin rumah utama menggunakan peredam agar tidak terdengar bising dari luar. Kiana melihat banyak pelayan yang wara-wiri di dapur. Apa saja yang mereka makan juga dihidangkan di meja makan Kiana tapi tidak semua menu karena Glade sudah memilih menu yang punya nilai gizi tinggi yang boleh dikonsumsi oleh Kiana. Berkat semua makanan itu, dia jadi kenyang dan akhirnya mengantuk. Keinginan untuk tidur sirna karena dia penasaran bagaimana pesta orang berpangkat tinggi digelar. Selagi Anita belum muncul, Kiana ingin melihat sekitar. 'Jangan sampai ketahuan!' batin Kiana. Dia sudah menanggalkan sandalnya karena takut terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Dengan berjingkat akhirnya dia sampai di sebuah taman bunga. Lokasi taman yang tidak begitu strategis dan jarang dilewati orang-orang, membuat Kiana tidak pernah menyadari keberadaannya. Malang! Telapak kaki wanita itu menginjak sesuatu yang tidak seharusnya ketika pandangannya teralihkan ke rumah utama. "Auuuw," pekiknya pelan. "Siapa di sana?" suara bariton itu menyela dengan nada santai namun penuh kecurigaan. Kiana menutup mulutnya rapat-rapat! Sial! Dia ketahuan! °°°"Siapa?" ulang suara bariton yang belum diketahui siapa orangnya dan bagaimana tampangnya. Pencahayaan yang remang-remang membuat Kiana tidak bisa melihat dengan jelas."Hanya pelayan," ucap Kiana akhirnya. Dia berharap orang itu percaya karena dia tidak memiliki alibi lain sekarang.Terdengar suara langkah kaki mendekat. Kaki yang memakai sepatu mahal karena suara tapak sepatunya sangat halus terdengar di telinga. Entah dari mana datangnya, pria bersuara bariton itu muncul di samping Kiana. Parfum maskulinnya langsung menguar. 'Ini bukan parfum murahan. Dari aromanya saja sudah jelas kalau pria ini orang kaya. Jangan-jangan salah satu tamu di pesta Glade?' batin Kiana menebak."Ngapain di sini?""Mencari angin, Pak. Saya kembali dulu ke tempat saya. Permisi," ucap Kiana. Kalau Glade sampai tahu dia berbuat onar, dia bisa kena masalah lagi. Ya Tuhan, kenapa dia harus datang ke sana? Padahal Anita sudah menyuruhnya untuk diam di rumah."Tunggu sebentar!"Mampus! Kiana berhenti dan be
Mungkin ada seorang malaikat tampan yang turun dari langit karena melihat Kiana yang terharu bahkan untuk sekedar melihat bunga. Pria itu mengerucutkan dahinya, penuh curiga. Tunggu! Kiana menghentikan kebiasaannya untuk melihat dengan seksama wajah orang yang menarik minatnya. Suara pria itu sangat mirip dengan suara pria semalam yang Kiana temui di taman. Apa mungkin?"Ngomong-ngomong saya bicara dengan ranting kering?" ulang pria itu. Posisinya serba salah. Kakinya terinjak, lengannya melebar ke kanan karena takut bersentuhan dengan Kiana, sedangkan tubuh mereka lumayan dekat hampir terhimpit. Kiana baru menyadari bahwa dia salah posisi ketika pria itu memperingatkannya lagi. "Oh, maaf." Refleks dia mundur. Tidak seperti semalam, Kiana malah memandangi mata pria itu. Betapa beruntungnya dia ketika dia berhasil melihat dengan jelas pria itu. Tapi ... siapa dia?"Melamun?" Suara bariton itu menyela. Kiana tergagap, "I-eh-enggak. Saya hanya melihat bunga." Lalu dia menunduk ke ara
Mengumpulkan orang-orang untuk mendekat tentu saja mudah. Kiana hanya tinggal menunjuk pria itu dengan tampang seakan dia yang paling benar."Dia. Dia malingnya, Mbak! Dia mau ngambil pot bunga ini. Kita harus kasih tahu satpam!" tegas Kiana. Para pelayan itu bukannya membela tapi justru menundukkan kepalanya. Mereka seolah takut untuk menyuarakan isi kepalanya.Pria yang ditunjuk maling hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda dia memaklumi tindakan Kiana. Wanita itu pasti tidak tahu apa-apa. "Kembali bekerja!"Sontak semua orang patuh dan berlari ke tempat semula. Mereka tidak berani membantah ataupun membela Kiana. Tinggallah Kiana yang melongo di sana. "Eh, kok pergi?" tukas Kiana kesal.Pria itu menaruh potnya ke tempat awal dan berjalan kembali ke arah Kiana. Sebelum dia bicara, Anita sudah mengambil langkah seribu untuk membawa majikan barunya kembali ke kediamannya. "Ayo, Bu Kia! Saya yang jelaskan!" tukas Anita malu. Dia menundukkan kepalanya pada pria itu dan lagi-lagi me
Hah?"Ma-maksudnya, Pak?" tanya Kiana terbata-bata. Ghazlan menggerakkan gelas ditangannya dengan tidak sabaran, "Katanya mau minum?""Eh, iya," gumam Kiana. Dia terpaksa menerima uluran tersebut dan kemudian menelan isinya sampai habis. Dia masih berkutat dengan pemikirannya. Apa benar suaminya mau menginap di rumah yang dia tinggali sekarang? Apa Glade tidak marah dan memperbolehkannya?"Saya hanya bercanda," tukas Ghazlan kemudian. Dia menyelami kedua mata Kiana, "diantara kita ada kontrak yang harus ditaati. Bagi saya, cinta pertama saya sangatlah berharga dan saya tidak mau menodai hanya karena masalah sepele ini. Kamu bisa tenang sekarang."Masalah sepele? Kiana tidak pernah berpikir bahwa mengandung anak orang lain adalah masalah sepele. Apalagi menjadi istri kedua yang bahkan tidak punya wewenang untuk mendapatkan haknya.Jujur Kiana merasa kesal ketika Ghazlan tidak menghargainya. Namun, dia tidak punya alasan untuk mendebat pria itu. "Jam sepuluh tutor kamu akan datang. Sa
"Besok jadwal anda menjalankan proses inseminasi selanjutnya, Bu Kia. Saya sudah mengatur jadwal agar Nyonya Glade bisa ikut ke rumah sakit. Sebelumnya, ada dilarang melakukan pekerjaan apapun di luar rumah. Hanya itu pesan yang ingin saya sampaikan. Silahkan beristirahat kembali." Penjelasan asisten pribadi Glade terlalu cepat untuk dipahami. Kiana belum sempat bertanya sekali lagi tapi wanita itu sudah pergi. Cara jalannya yang santai tapi terlihat terburu-buru menandakan bahwa dia harus segera kembali ke rumah utama. "Selamat, Bu Kia," ucap Anita tanpa pikir panjang."Untuk apa, Mbak?" tanya Kiana yang kemudian berbalik. Wajahnya tidak menunjukkan minat sama sekali. "Selamat karena sebentar lagi usaha Bu Kia berhasil.""Kamu senang karena Mbak Glade akan memiliki anak bukan?" tebak Kiana."Tentu saja. Siapa yang tidak senang? Saya selalu berharap yang terbaik untuk nyonya Glade dan juga Bu Kia." Anita tidak salah. Kiana saja yang terlalu sensitif. Wanita itu akhirnya kembali ke
Glade tertawa, hampir menggelegar. Dia lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Sembari melihat Kiana dengan tatapan tajam, wanita itu berkata, "Meskipun kamu punya niat busuk sekalipun, suami saya tidak akan pernah terpikat sama kamu. Ingat! Dunia kita berbeda. Kamu hanya sebatas alat, Kiana. Tolong, jangan buat saya tertawa."Kiana terdiam. Mulut tajam Glade yang tidak pernah salah berhasil menyadarkannya. Glade menoleh pada Saras untuk meminta maaf. "Kami memang suka sekali bercanda, Dok. Maaf ya terlalu kebawa suasana."Saras tersenyum maklum. Dia meminta mereka untuk duduk sembari dia menjelaskan langkah selanjutnya. "Saya akan resepkan obat pasca inseminasi. Anda boleh melakukan aktivitas seperti biasa, tidak ada yang perlu dihindari. Biasanya akan terjadi flek ringan selama kurang lebih satu sampai dua hari. Bu Kia tidak perlu cemas karena hal itu wajar. Kalau lebih dari dua hari belum juga reda, Bu Kia bisa langsung datang ke sini.""Apakah peluangnya besar, Dok?
Kiana juga ingin berhasil tapi mau bagaimana lagi? "Maaf, Mbak," ucap Kiana pelan. Dia merasa bersalah, sungguh. Meskipun semua itu bukan salahnya.Glade menatap sinis pada Kiana. Dia paling tidak suka mengulang hal yang sama dua kali. "Lain kali berusahalah!"Hanya tiga kalimat itu yang diucapkan oleh Glade sebelum dia meninggalkan rumah Kiana. Glade berharap banyak pada proses pertama yang mereka lakukan. Selama dua minggu dia seperti orang yang tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan kesenangan melihat pria-pria tampan di cafe tidak lagi menggugah hatinya. Glade benar-benar berharap dia berhasil. Namun kenyataannya, hasilnya mengecewakan."Argh, sebal!" umpat Glade. °°°"Mbak," ucap Kiana pada Anita. Mereka masih terdiam di sana, tidak melakukan apapun. "Iya, Bu Kia.""Saya salah ya?" tanya Kiana. "Tentu saja tidak, Bu Kia. Anda tidak punya wewenang untuk mengabulkan keinginan Nyonya Glade. Semuanya terserah pada Tuhan. Anda tidak perlu mencemaskan Nyonya. Nyonya memang sedang
"Siapa?" tanya Kiana waspada. Tidak ada yang terlihat di depannya kecuali kegelapan. Hanya ada secercah cahaya dari bawah lampu di depan sana."Saya," ucap Ghazlan."Pak Ghazlan?""Iya, saya.""Kenapa bapak ada di sini?" tanya Kiana. Dia berdiri, terkesiap karena suara langkah kaki yang berkecipak dengan air terdengar mendekat. "Boleh saya pinjam ruang tamu?"Beberapa saat Kiana bisa melihat penampakan wajah Ghazlan yang basah. Pria itu menyeringai sembari menyapu rambut depannya yang kebasahan. Kiana meringsut ke pintu, membukanya. Dia menunduk begitu tatapannya beradu dengan pria yang resmi menjadi suami sirinya itu. "Bapak butuh sesuatu?""Sebenarnya butuh handuk. Boleh saya pinjam?"Kiana memutar tubuhnya ke belakang. Dia sudah berjalan untuk naik ke kamarnya ketika Anita muncul dengan wajah bingung. "Ada tamu, Bu Kia?" tanyanya."Pak Ghazlan minta handuk.""Handuk?" Spontan saja mata Anita mendelik. "Untuk apa? Kenapa tiba-tiba minta handuk, Bu Kia?""Mengeringkan rambutnya, M