Share

Bab 5 — Sial! Dia Ketahuan

Kiana tertegun. Belum pernah dia dimarahi tanpa basa-basi seperti itu apalagi di depan orang lain. "Maaf, Mbak. Saya tidak pernah meminta Tere untuk datang."

"Lalu siapa yang memintanya datang? Saya? Jangan berusaha menghindar," tegas Glade. Wanita itu tidak ingin duduk karena kemarahannya sudah mendarah daging. "Sekali lagi kamu berbuat begitu, saya akan membuat kamu menyesal. Jangan pernah berpikir kalau kebaikan saya tidak ada batasnya! Kamu salah, Kiana."

Kiana semakin menundukkan kepalanya. Apa dia harus mundur sekarang? Bagaimana kalau dia diminta untuk mengembalikan uang yang sudah dia pakai?

Terbersit di benak Kiana untuk menyicil uang yang sempat dia gunakan tapi sepertinya Glade mengetahui apa yang dia pikirkan.

"Saya tahu kamu sudah memakai uang yang saya berikan. Kalau kamu bisa kembalikan sekarang juga, saya akan mengampuni kamu dan membiarkan kamu pergi. Kecuali kalau kamu nggak mau mengakhiri perjanjian ini, maka bersikaplah yang baik," tegas Glade.

Kiana menarik napas panjang namun dia tidak berani terang-terangan menghembuskannya di depan Glade. Rasa takut menjalari tubuhnya yang kecil mungil itu.

"Jawab!"

"Saya minta maaf, Mbak. Saya akan menjaga sikap dan berhenti berbuat onar."

"Bagus!" ucap Glade singkat. Dia lalu menatap Anita yang berdiri gusar di belakang Kiana. "Minum vitamin kamu sebelum tidur. Saya mau yang terbaik untuk proses inseminasi yang akan datang. Dokter Saras sudah menentukan kapan masa subur kamu."

"Iya, Mbak," jawab Kiana pelan. Dia meremas ujung jarinya karena tembakan yang dahsyat dari wanita di depannya itu.

Glade melangkah lebih dekat berniat memeluk Kiana namun Kiana memundurkan langkahnya. "Jangan takut! Kalau kamu nggak salah, saya tidak akan begini. Mau saya peluk?"

Kiana tidak yakin kalau dia bisa memeluk wanita semenakutkan itu. "Saya tidak takut, Mbak."

Glade tidak tersenyum, dia hanya mengulurkan lengannya untuk menggapai tubuh Kiana yang bergetar. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Dia yang membayar Kiana, secara tidak langsung dia adalah bos yang harus dipatuhi. Konsep yang harus Kiana ingat sepanjang satu tahun ke depan itu.

"Untuk acara pernikahan siri kamu dan suami saya, besok akan dilaksanakan di sini. Tapi, kamu sama sekali nggak boleh keluar dari kamar ataupun melihat ke luar kamar. Cukup kamu mendengarkan dari dalam kamar karena yang dibutuhkan hanya status pernikahan itu sah," jelas Glade. Pelukannya terlepas.

"Iya, Mbak."

"Beristirahatlah!"

Kiana hanya mengangguk pelan. Setelah Glade pergi, tubuhnya luluh lantak tidak bertenaga. Dia menggapai ujung sofa dengan sisa kekuatan yang ada. Anita menghampiri, berdiam di sampingnya.

"Maaf, Bu Kia, saya bukannya mengadu tapi satpam selalu melaporkan apa yang terjadi di rumah ini," jelas Anita. Dia merasa bersalah. Meskipun dia baru bertemu Kiana, dia sangat yakin kalau wanita itu wanita baik. Hanya takdir yang membuat Kiana menjadi wanita yang menyewakan rahimnya.

"Tidak apa-apa, Mbak. Saya juga yang salah," ucap Kiana pelan. Dia memberikan senyum tipis hanya untuk menenangkan Anita. "Saya mau ke kamar dulu."

"Nanti saya antarkan vitaminnya ke kamar Bu Kia."

"Iya, Mbak."

Kiana berjalan lunglai ke lantai dua. Ketika menutup pintu kamarnya, napasnya mulai tidak karuan. Dia terjerembab di lantai, bersandar pada pintu. "Ya Tuhan."

Hanya itu yang bisa dia katakan. Lalu, dia berbaring dengan lesu sembari menutup matanya.

°°°

Kiana mencoba untuk melupakan apa yang telah terjadi semalam. Wanita itu juga sudah menghubungi Tere untuk tidak sembarangan datang ke rumah Ghazlan. Mungkin sekarang mereka hanya akan berkomunikasi lewat telepon untuk mencari jalan aman.

[Tunggu sebentar!] Tere sempat mencegah Kiana sebelum menutup teleponnya.

"Ada apa?"

[Yang aku baca nama pemilik rumahnya Ghazlan kan?"

"Iya. Ada yang salah?"

[Bukan ada yang salah tapi sepertinya aku pernah dengar nama itu di kampus]

"Jangan ngaco! Nama Ghazlan banyak. Mana mungkin cuma ada satu di negara ini," elak Kiana. Kemungkinan mereka berada di tempat yang sama tidak akan mungkin, seribu satu kali kesempatan mungkin iya.

[Nggak. Aku yakin pernah dengar nama itu]

"Aku juga yakin. Aku tutup dulu teleponnya. Ingat apa yang aku katakan, Tere. Jangan buat masalah!"

Tere masih akan bicara tentang kenalannya yang bernama Ghazlan itu kalau Kiana tidak menutup panggilannya secara paksa. Berkat Tere, semalaman dia menjadi penasaran apakah benar mereka pernah bertemu dalam satu kelas yang Kiana tidak ingat?

Apa boleh Kiana melihat-lihat rumah utama selagi Glade pergi? Tapi kapan waktunya Glade pergi? Kiana harus mencari tahu lebih dulu.

"Mbak," panggil Kiana ketika melihat Anita berlalu-lalang di depan kediamannya.

"Iya, Bu Kia. Ada apa?" Dengan terengah-engah, Anita berhenti hanya untuk membalas sapaan Kiana, majikan barunya yang lain.

"Lagi ngapain, Mbak?"

"Oh, ini, nanti malam ada pesta di rumah Nyonya. Pesta untuk merayakan keberhasilan Tuan Ghazlan sebagai Dosen dengan banyak gelar dan prestasi," jelas Anita.

"Aneh, eh maksudnya kok ada kategori begitu, Mbak?"

"Iya, Bu Kia. Saya juga baru tahu."

"Em, saya bisa melihat siaran ulangnya dimana?"

"Acaranya hanya untuk satu lingkup universitas jadi saya tidak yakin disiarkan di TV lokal. Ada yang perlu ditanyakan lagi, Bu Kia? Maaf, hari ini saya agak sibuk tapi Bu Kia tenang saja karena saya sudah menyiapkan sarapan dan juga keperluan yang lain. Kalau ada yang kurang, Bu Kia bisa telepon saya. Nomor saya ada di atas meja dekat telepon rumah," jelas Anita panjang lebar. Sesekali dia melihat apakah Glade berteriak mencarinya.

"Jam berapa, Mbak, acaranya?"

"Jam tujuh. Tapi Bu Kia ingat kan kalau tidak boleh muncul di muka umum?"

"Tentu saja saya ingat, Mbak," ucap Kiana. Kemarahan Glade semalam jujur membuatnya takut untuk bertindak.

"Terimakasih kalau Bu Kia memahaminya. Saya permisi dulu."

"Iya, Mbak." Kiana menatap lurus-lurus kepergian Anita. Hanya pesta kecil kenapa semua orang di rumah itu sibuk? "Aku harus ngapain malam ini kalau mbak Anita sibuk?"

°°°

Pukul 21.00...

Di sebuah taman yang baru diketahui keberadaannya karena luas tanah yang dihuni oleh banyak orang itu melebihi luas lapangan sepak bola.

Kiana menengok ke sana-kemari, tidak berniat apa-apa. Dia hanya bosan di kamar dan ingin melihat pesta yang sama sekali tidak terdengar dari rumahnya itu. Mungkin rumah utama menggunakan peredam agar tidak terdengar bising dari luar.

Kiana melihat banyak pelayan yang wara-wiri di dapur. Apa saja yang mereka makan juga dihidangkan di meja makan Kiana tapi tidak semua menu karena Glade sudah memilih menu yang punya nilai gizi tinggi yang boleh dikonsumsi oleh Kiana.

Berkat semua makanan itu, dia jadi kenyang dan akhirnya mengantuk. Keinginan untuk tidur sirna karena dia penasaran bagaimana pesta orang berpangkat tinggi digelar. Selagi Anita belum muncul, Kiana ingin melihat sekitar.

'Jangan sampai ketahuan!' batin Kiana. Dia sudah menanggalkan sandalnya karena takut terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Dengan berjingkat akhirnya dia sampai di sebuah taman bunga. Lokasi taman yang tidak begitu strategis dan jarang dilewati orang-orang, membuat Kiana tidak pernah menyadari keberadaannya.

Malang! Telapak kaki wanita itu menginjak sesuatu yang tidak seharusnya ketika pandangannya teralihkan ke rumah utama.

"Auuuw," pekiknya pelan.

"Siapa di sana?" suara bariton itu menyela dengan nada santai namun penuh kecurigaan.

Kiana menutup mulutnya rapat-rapat! Sial! Dia ketahuan!

°°°

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status