Kiana mengerut takut. "Bukan begitu, Mbak Glade."
Glade mendengus sebal, "Suami saya sudah melakukan cek kemarin. Tinggal kamu saja. Masuk!" "Iya, Mbak." Kiana membatin dengan kesal kenapa dia harus menanyakan pria yang jelas-jelas tidak akan berhubungan langsung dengannya itu. Di dalam ruang praktek tersebut ada seorang wanita yang memakai jas putih dengan hijab berwarna senada tengah duduk. Begitu melihat Kiana, wanita tersebut menyapa dengan ramah. "Perkenalkan saya dokter Saras yang akan mendampingi anda dan keluarga dari Pak Ghazlan untuk menjalani inseminasi buatan ini. Silakan duduk, Bu Kia," sapa Saras. Glade lebih dulu duduk disusul oleh Kiana yang tampaknya canggung akibat pertanyaannya tadi. "Saya Kiana, Dok," ucap Kiana. "Selamat datang Bu Kiana. Saya akan menjelaskan secara singkat apa prosedur yang akan dilakukan nanti. Tolong didengarkan baik-baik karena saya berharap tidak ada kesalahan ataupun kendala dalam melakukan prosedurnya. Siap, Bu Kia?" tanya Saras. Kiana mengangguk pelan. "Siap, Dok." Saras kemudian menjelaskan bahwa sebelum menjalankan inseminasi buatan, Kiana harus menjalani beberapa pemeriksaan kesehatan untuk melihat peluang keberhasilan pembuahan dan memastikan apakah prosedur tersebut dapat dilakukan secara aman dan sesuai dengan kondisi tubuh Kiana. Jika ada gangguan di dalam rahim Kiana, maka prosedur tersebut tidak bisa dilakukan. "Jika kondisi tubuh Kia sehat dan normal, kita bisa melanjutkan dengan menyiapkan sampel dari Pak Ghazlan. Nanti kita pilih sampel yang paling baik untuk bisa membuahi. Untuk masalah ini saya sudah menjelaskan pada Pak Ghazlan jadi saya hanya akan menjelaskan secara garis besarnya saja. Kalau boleh saya tahu kapan terakhir anda datang bulan?" Kiana tidak kesulitan untuk mengingatnya karena dia baru saja mendapatkan datang bulannya. "Satu minggu yang lalu, Dok." Saras tersenyum simpul, "Itu lebih baik. Setelah hasil pemeriksaan keluar, saya akan memantau dan memperkirakan masa subur Bu Kia. Sampai di sini ada yang ingin ditanyakan?" Glade menoleh pada Kiana yang tampaknya bisa memahami ucapan dokter. "Gimana, Kia?" "Saya mengerti, Dok. Apa saya boleh tahu bagaimana proses inseminasi buatan itu sendiri?" tanya Kiana hati-hati. Senyum Saras mengembang. "Tentu saja boleh. Semua wanita yang akan melakukan inseminasi buatan pasti akan bertanya bagaimana prosesnya. Saya akan jelaskan nanti setelah pemeriksaan awal. Sekarang, silakan ikut dengan perawat lalu kita mulai pemeriksaan awalnya." Kiana mengangguk pasrah. Secuil rasa takut jika kemungkinan tubuhnya tidak sesehat yang dia kira. Bagaimana kalau ada penyakit yang serius yang membuat Glade membatalkan niatnya? Lalu apakah uang yang ditransfer semalam akan diminta kembali? Ya Tuhan, Kiana berharap apa yang dia pikirkan tidak terjadi. Dia sangat mengharapkan tubuhnya sehat dan tidak memiliki kekurangan apapun. Dengan begitu, dia akan lebih mudah menjalani hidupnya. "Mbak, saya pergi dulu," pamit Kiana pada Glade yang belum beranjak dari sana. "Pergilah! Saya akan ada di sini selama kamu diperiksa." "Baik, Mbak." Kiana mengikuti langkah perawat yang mendahuluinya ke sebuah ruangan. Pada umumnya ruangan untuk melakukan pemeriksaan, banyak peralatan yang fungsinya bermacam-macam. Kiana hanya diperintahkan untuk berbaring dan tidak terlalu tegang karena prosesnya tidak akan menyakitkan. "Kita mulai ya?" °°° Glade dan Kiana pulang dengan mobil yang berbeda karena Glade memiliki urusan lain di luar rumah sementara Kiana harus pulang untuk beristirahat. "Kamu nggak perlu melakukan pekerjaan rumah karena semuanya sudah diurus oleh Anita. Kalau perlu sesuatu minta saja sama Anita sekalipun itu masalah perabotan rumah. Kamu bebas minta apa saja tapi jangan harap kamu bisa menemui suamiku. Paham kamu?" ucap Glade sebelum dia pergi. Jendela mobilnya setengah terbuka untuk memberikan ruang baginya bicara pada Kiana. Kiana mengangguk dengan sedikit menundukkan kepalanya. "Iya, Mbak." "Ya sudah kamu boleh pergi." "Iya, Mbak. Hati-hati di jalan ya." Glade hanya mengangguk kecil lalu meminta supirnya untuk melajukan kendaraan. Kiana menghela napas berat. Setidaknya dia sudah melalui proses awal yang membuahkan hasil baik. Dia tidak menderita penyakit serius dan permasalahan lainnya. Bisa dikatakan dia sehat. Beruntung karena uang yang diterimanya semalam tidak akan dikembalikan lagi. "Aku harus mulai membayar ini dan itu," ucap Kiana pada dirinya sendiri. °°° Kiana sampai di rumah setelah menghindari macet yang berkepanjangan di jalan Pandawa. Sungguh hari yang melelahkan padahal dia hanya duduk di dalam mobil sembari menunggu kemacetan. Wanita itu kembali disambut baik oleh Anita. "Mau makan siang apa hari ini, Bu Kia?" Kiana tidak terlalu memusingkan soal makanan karena dia bukan pemilih. "Apa saja, Mbak." "Ngomong-ngomong tadi ada pesan dari seorang wanita yang bernama Tere katanya kalau Bu Kia sudah pulang diminta untuk menghubunginya," jelas Anita. Mata Kiana membulat, "Tere ke sini, Mbak?" "Iya." "Disuruh masuk?" Anita menggeleng, "Tidak. Satpam tidak memperbolehkan masuk karena tidak ada janji dengan tuan dan nyonya." Mereka berjalan beriringan menuju pintu samping yang selama ini menjadi lorong menuju bangunan yang Kiana tinggali. Untuk beberapa saat dia melihat sekelebat bayangan pria di pintu utama. Apa mungkin itu Ghazlan? Kiana berhenti untuk memastikan bahwa pria yang dia lihat benar-benar Ghazlan. Dia hampir mati penasaran ingin mengetahui bagaimana fisik seorang Ghazlan. Oh, tidak, Kiana bukan orang yang memandang fisik seseorang tapi dia hanya penasaran kenapa Glade sampai menyembunyikan keberadaan suaminya. Kiana sampai harus melongok ke belakang karena posisi pintu utama yang menjorok ke arah ruang tamu. Matanya nyalang melihat kemana-mana. 'Ayolah, muncul!' batin Kiana geram. "Ehem," suara deheman itu berasal dari Anita. "Apa yang Anda lakukan?" "Pak Ghazlan ada di rumah, Mbak?" tanya Kiana tanpa mengalihkan pandangannya pada pintu utama. Dia hanya berhasil melihat warna baju yang dikenakan pria itu, selebihnya masih ambigu. Anita tampaknya tidak senang dengan sikap Kiana. "Bu Kia, tolong dengarkan saya!" Kiana sontak menoleh, "Iya, Mbak." "Tolong, apa yang dikatakan Nyonya Glade jangan pernah anda langgar! Meskipun Anda penasaran siapa itu Tuan Ghazlan atau bagaimana rupanya, anda tetap tidak boleh bersikap begini. Setidaknya selama perjanjian itu masih ada, anda wajib menghormatinya. Saya bukannya ingin ikut campur tapi jika Nyonya sudah marah, seisi rumah tidak akan sanggup meredakannya termasuk Tuan Ghazlan," jelas Anita panjang lebar. Glade sudah berpesan padanya untuk memperingatkan Kiana. Kiana menjadi tidak enak hati. Dia menunduk malu, "Maaf, Mbak. Jujur saya memang penasaran. Mbak Anita tenang saja karena saya tidak akan mengulanginya lagi." "Baguslah, Bu Kia. Saya sangat senang mendengarnya. Untuk sekarang, saya bisa memahaminya." Kiana mengiyakan. Mereka kembali berjalan dengan Kiana berada di depan sementara Anita membuntutinya. 'Rupa Pak Ghazlan nggak terlalu penting. Lebih penting aku bisa menyelesaikan semua urusan keuanganku termasuk membayar hutang ayah dan ibu' batinnya senang. °°° Glade mendatangi kediaman Kiana dengan wajah tidak bersahabat. Sungguh, apa yang dikatakan Anita benar. Jika Glade marah, semua orang di rumah itu tidak akan sanggup meredakannya. "Siapa suruh kamu menghubungi teman kamu untuk datang ke rumah ini? Bukannya saya sudah bilang kalau kerahasiaan kamu di rumah ini adalah nomor satu? Kamu mau saya cabut lagi perjanjian ini?" °°°Kiana tertegun. Belum pernah dia dimarahi tanpa basa-basi seperti itu apalagi di depan orang lain. "Maaf, Mbak. Saya tidak pernah meminta Tere untuk datang.""Lalu siapa yang memintanya datang? Saya? Jangan berusaha menghindar," tegas Glade. Wanita itu tidak ingin duduk karena kemarahannya sudah mendarah daging. "Sekali lagi kamu berbuat begitu, saya akan membuat kamu menyesal. Jangan pernah berpikir kalau kebaikan saya tidak ada batasnya! Kamu salah, Kiana."Kiana semakin menundukkan kepalanya. Apa dia harus mundur sekarang? Bagaimana kalau dia diminta untuk mengembalikan uang yang sudah dia pakai? Terbersit di benak Kiana untuk menyicil uang yang sempat dia gunakan tapi sepertinya Glade mengetahui apa yang dia pikirkan."Saya tahu kamu sudah memakai uang yang saya berikan. Kalau kamu bisa kembalikan sekarang juga, saya akan mengampuni kamu dan membiarkan kamu pergi. Kecuali kalau kamu nggak mau mengakhiri perjanjian ini, maka bersikaplah yang baik," tegas Glade. Kiana menarik napa
"Siapa?" ulang suara bariton yang belum diketahui siapa orangnya dan bagaimana tampangnya. Pencahayaan yang remang-remang membuat Kiana tidak bisa melihat dengan jelas."Hanya pelayan," ucap Kiana akhirnya. Dia berharap orang itu percaya karena dia tidak memiliki alibi lain sekarang.Terdengar suara langkah kaki mendekat. Kaki yang memakai sepatu mahal karena suara tapak sepatunya sangat halus terdengar di telinga. Entah dari mana datangnya, pria bersuara bariton itu muncul di samping Kiana. Parfum maskulinnya langsung menguar. 'Ini bukan parfum murahan. Dari aromanya saja sudah jelas kalau pria ini orang kaya. Jangan-jangan salah satu tamu di pesta Glade?' batin Kiana menebak."Ngapain di sini?""Mencari angin, Pak. Saya kembali dulu ke tempat saya. Permisi," ucap Kiana. Kalau Glade sampai tahu dia berbuat onar, dia bisa kena masalah lagi. Ya Tuhan, kenapa dia harus datang ke sana? Padahal Anita sudah menyuruhnya untuk diam di rumah."Tunggu sebentar!"Mampus! Kiana berhenti dan be
Mungkin ada seorang malaikat tampan yang turun dari langit karena melihat Kiana yang terharu bahkan untuk sekedar melihat bunga. Pria itu mengerucutkan dahinya, penuh curiga. Tunggu! Kiana menghentikan kebiasaannya untuk melihat dengan seksama wajah orang yang menarik minatnya. Suara pria itu sangat mirip dengan suara pria semalam yang Kiana temui di taman. Apa mungkin?"Ngomong-ngomong saya bicara dengan ranting kering?" ulang pria itu. Posisinya serba salah. Kakinya terinjak, lengannya melebar ke kanan karena takut bersentuhan dengan Kiana, sedangkan tubuh mereka lumayan dekat hampir terhimpit. Kiana baru menyadari bahwa dia salah posisi ketika pria itu memperingatkannya lagi. "Oh, maaf." Refleks dia mundur. Tidak seperti semalam, Kiana malah memandangi mata pria itu. Betapa beruntungnya dia ketika dia berhasil melihat dengan jelas pria itu. Tapi ... siapa dia?"Melamun?" Suara bariton itu menyela. Kiana tergagap, "I-eh-enggak. Saya hanya melihat bunga." Lalu dia menunduk ke ara
Mengumpulkan orang-orang untuk mendekat tentu saja mudah. Kiana hanya tinggal menunjuk pria itu dengan tampang seakan dia yang paling benar."Dia. Dia malingnya, Mbak! Dia mau ngambil pot bunga ini. Kita harus kasih tahu satpam!" tegas Kiana. Para pelayan itu bukannya membela tapi justru menundukkan kepalanya. Mereka seolah takut untuk menyuarakan isi kepalanya.Pria yang ditunjuk maling hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda dia memaklumi tindakan Kiana. Wanita itu pasti tidak tahu apa-apa. "Kembali bekerja!"Sontak semua orang patuh dan berlari ke tempat semula. Mereka tidak berani membantah ataupun membela Kiana. Tinggallah Kiana yang melongo di sana. "Eh, kok pergi?" tukas Kiana kesal.Pria itu menaruh potnya ke tempat awal dan berjalan kembali ke arah Kiana. Sebelum dia bicara, Anita sudah mengambil langkah seribu untuk membawa majikan barunya kembali ke kediamannya. "Ayo, Bu Kia! Saya yang jelaskan!" tukas Anita malu. Dia menundukkan kepalanya pada pria itu dan lagi-lagi me
Hah?"Ma-maksudnya, Pak?" tanya Kiana terbata-bata. Ghazlan menggerakkan gelas ditangannya dengan tidak sabaran, "Katanya mau minum?""Eh, iya," gumam Kiana. Dia terpaksa menerima uluran tersebut dan kemudian menelan isinya sampai habis. Dia masih berkutat dengan pemikirannya. Apa benar suaminya mau menginap di rumah yang dia tinggali sekarang? Apa Glade tidak marah dan memperbolehkannya?"Saya hanya bercanda," tukas Ghazlan kemudian. Dia menyelami kedua mata Kiana, "diantara kita ada kontrak yang harus ditaati. Bagi saya, cinta pertama saya sangatlah berharga dan saya tidak mau menodai hanya karena masalah sepele ini. Kamu bisa tenang sekarang."Masalah sepele? Kiana tidak pernah berpikir bahwa mengandung anak orang lain adalah masalah sepele. Apalagi menjadi istri kedua yang bahkan tidak punya wewenang untuk mendapatkan haknya.Jujur Kiana merasa kesal ketika Ghazlan tidak menghargainya. Namun, dia tidak punya alasan untuk mendebat pria itu. "Jam sepuluh tutor kamu akan datang. Sa
"Besok jadwal anda menjalankan proses inseminasi selanjutnya, Bu Kia. Saya sudah mengatur jadwal agar Nyonya Glade bisa ikut ke rumah sakit. Sebelumnya, ada dilarang melakukan pekerjaan apapun di luar rumah. Hanya itu pesan yang ingin saya sampaikan. Silahkan beristirahat kembali." Penjelasan asisten pribadi Glade terlalu cepat untuk dipahami. Kiana belum sempat bertanya sekali lagi tapi wanita itu sudah pergi. Cara jalannya yang santai tapi terlihat terburu-buru menandakan bahwa dia harus segera kembali ke rumah utama. "Selamat, Bu Kia," ucap Anita tanpa pikir panjang."Untuk apa, Mbak?" tanya Kiana yang kemudian berbalik. Wajahnya tidak menunjukkan minat sama sekali. "Selamat karena sebentar lagi usaha Bu Kia berhasil.""Kamu senang karena Mbak Glade akan memiliki anak bukan?" tebak Kiana."Tentu saja. Siapa yang tidak senang? Saya selalu berharap yang terbaik untuk nyonya Glade dan juga Bu Kia." Anita tidak salah. Kiana saja yang terlalu sensitif. Wanita itu akhirnya kembali ke
Glade tertawa, hampir menggelegar. Dia lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Sembari melihat Kiana dengan tatapan tajam, wanita itu berkata, "Meskipun kamu punya niat busuk sekalipun, suami saya tidak akan pernah terpikat sama kamu. Ingat! Dunia kita berbeda. Kamu hanya sebatas alat, Kiana. Tolong, jangan buat saya tertawa."Kiana terdiam. Mulut tajam Glade yang tidak pernah salah berhasil menyadarkannya. Glade menoleh pada Saras untuk meminta maaf. "Kami memang suka sekali bercanda, Dok. Maaf ya terlalu kebawa suasana."Saras tersenyum maklum. Dia meminta mereka untuk duduk sembari dia menjelaskan langkah selanjutnya. "Saya akan resepkan obat pasca inseminasi. Anda boleh melakukan aktivitas seperti biasa, tidak ada yang perlu dihindari. Biasanya akan terjadi flek ringan selama kurang lebih satu sampai dua hari. Bu Kia tidak perlu cemas karena hal itu wajar. Kalau lebih dari dua hari belum juga reda, Bu Kia bisa langsung datang ke sini.""Apakah peluangnya besar, Dok?
Kiana juga ingin berhasil tapi mau bagaimana lagi? "Maaf, Mbak," ucap Kiana pelan. Dia merasa bersalah, sungguh. Meskipun semua itu bukan salahnya.Glade menatap sinis pada Kiana. Dia paling tidak suka mengulang hal yang sama dua kali. "Lain kali berusahalah!"Hanya tiga kalimat itu yang diucapkan oleh Glade sebelum dia meninggalkan rumah Kiana. Glade berharap banyak pada proses pertama yang mereka lakukan. Selama dua minggu dia seperti orang yang tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan kesenangan melihat pria-pria tampan di cafe tidak lagi menggugah hatinya. Glade benar-benar berharap dia berhasil. Namun kenyataannya, hasilnya mengecewakan."Argh, sebal!" umpat Glade. °°°"Mbak," ucap Kiana pada Anita. Mereka masih terdiam di sana, tidak melakukan apapun. "Iya, Bu Kia.""Saya salah ya?" tanya Kiana. "Tentu saja tidak, Bu Kia. Anda tidak punya wewenang untuk mengabulkan keinginan Nyonya Glade. Semuanya terserah pada Tuhan. Anda tidak perlu mencemaskan Nyonya. Nyonya memang sedang