Share

Bab 2 — Kapan Saya Bisa Tidur Dengan Suami Mbak?

"Berapa kamu bilang, Kia?"

Kiana menceritakan email tersebut pada Tere karena tidak percaya dengan tawaran sebesar itu. "Dua milyar, Re."

Bola mata Tere yang sudah melebar semakin membulat, "Gila! Banyak banget! Coba aku lihat dulu emailnya. Masa iya sih mereka nawarin uang sebanyak itu?"

Kiana juga tidak tahu. Dia mengalihkan laptop tersebut pada pemiliknya. Lamat-lamat Tere membacanya.

"Selamat malam. Saya membaca postingan kamu di aplikasi penyewaan rahim dan berniat menawarkan uang dua milyar sebagai gantinya. Kalau kamu bersedia datanglah kediaman Ghazlan di jalan Senja perumahan Elite Diamond nomor 111, besok pukul tujuh malam. Datang sendiri dan jangan bawa orang lain! Ini kontak saya agar kamu percaya," ucap Tere dengan intonasi yang dibuat seakan dia yang bicara. Dia terus mengulang barisan kalimat itu dan hasilnya tetap sama. "Kamu beruntung, Kia. Ayo, ambil kesempatan ini supaya hidup kamu lebih baik. Kamu hanya perlu mengandung sekali tapi hasilnya kamu nggak perlu bekerja sampai bertahun-tahun."

Kiana tidak mengerti apa yang patut dibanggakan dari pekerjaan menjijikan itu. Dia mengelus dadanya karena rasa sakitnya yang tiba-tiba menyerangnya sampai ke ulu hati.

°°°

Perumahan Elite Diamond yang harga per itemnya mencapai miliaran rupiah terlihat menyesakkan dadanya. Kiana akan tinggal di rumah itu jika dia bersedia menerima tawarannya.

Persis di depan pagar setinggi tiga meter tersebut, Kiana ingin berbalik pergi. Hati nuraninya masih bisa berpikir jernih. Namun, kesempatan emas yang tidak datang dua kali ini, harus diambil meskipun harga dirinya terinjak-injak.

Helaan nafas berat terdengar sesak. Kiana menekan tombol pada intercom di depannya. Suara pria menyapanya dan bertanya apa yang dia inginkan di sana.

"Saya sudah ada janji dengan pemilik rumah ini, Pak. Nama saya..,"

"Oh, ya, silakan masuk. Nyonya sudah memberitahukannya sama saya."

Setelah pagar terbuka secara otomatis, Kiana disambut oleh pria berpakaian satpam. Wajah ramah di hadapannya memintanya untuk menyerahkan barang bawaannya sebelum masuk.

"Untuk apa, Pak?"

"Sudah menjadi peraturannya, Bu Kiana. Silakan tinggalkan barang bawaan anda Lalu ikuti arahan dari Mbak Anita." Pria itu menunjuk wanita yang menunggunya di teras depan.

Kiana tidak punya pilihan selain menyerahkan tas yang isinya hanya dompet dan kertas-kertas tidak penting. Ragu dia melangkah lebih jauh lagi. Dengan anggukkan kepala, dia menyapa wanita yang bernama Anita tersebut.

"Silahkan ikuti saya!"

Kiana mengangguk. Dia pikir, dia akan diminta masuk melalui pintu depan namun kenyataannya dia berbelok ke pintu samping yang tidak jauh dari pintu utama.

Kiana mengira tempat itu adalah dapur yang digunakan oleh asisten rumah tangga tapi dia salah. Bangunan itu mengarah pada bangunan lain yang bentuk bangunannya berbeda tapi besarnya tidak lebih besar dari bangunan utama.

Ternyata bangunan utama terpisah dari bangunan-bangunan tersebut. Mungkin saja bangunan utama hanya boleh dihuni oleh keluarga inti saja. Kiana tidak mengerti kenapa dia harus diarahkan ke tempat terpencil itu.

Mereka berhenti di salah satu bangunan dengan halaman berumput hijau tebal. Halaman tersebut sebenarnya terarah pada bangunan yang berjajar di sana. Bisa dibilang bangunan utama dan bangunan yang lain memutari halaman hijau tersebut.

"Tunggu sebentar, Bu Kia. Nyonya sedang dalam perjalanan ke sini. Mau minum apa?"

"Air putih dingin saja, Mbak," ucap Kiana pelan. Dia terlalu terkejut melihat kekayaan yang dimiliki oleh orang yang menyewanya. Pantas saja harga yang ditawarkan sangat fantastis.

Anita membawa segelas air putih dingin untuk Kiana. Dia kemudian pamit karena sebentar lagi sama milik rumah akan datang. Benar saja. Terdengar suara heels yang beradu dengan lantai dari kejauhan.

Kiana menggenggam jemarinya dengan kuat ketika muncul wanita berpakaian modis dan memiliki wajah secantik malaikat. Refleks Kiana berdiri untuk menyambutnya.

"Kiana?" tanya wanita itu. Suaranya saja bahkan merdu dan lembut. Sayang sekali diantara kesempurnaan itu ada kekurangan yang benar-benar tidak bisa dipungkiri.

"Iya, saya, Bu."

"Jangan panggil Bu karena saya tidak suka terlalu formal. Panggil saja Glade." Wanita bernama Glade itu terlihat sangat santai dan menyenangkan. Begitu Glade duduk, Kiana juga ikut duduk.

"Maaf, tapi usia anda jauh di atas saya. Saya terdengar tidak sopan jika hanya memanggil nama."

Glade tertawa renyah. "Jadi saya terlihat tua ya?"

Kiana menggeleng cepat, "Tidak, Mbak. Maksudnya bukan begitu."

Glade mengibaskan rambutnya dengan anggun. Rambut hitam kelamnya tampak berkilau di bawah sinar lampu kristal yang tentu saja harganya sangat mahal. "Kalau begitu panggil mbak Glade boleh."

"Baiklah, Mbak."

Glade menoleh ke arah pintu seketika seorang wanita yang membawa sebuah map menghampiri Kiana. "Bukalah! Itu surat perjanjian kita. Bisa saya perjelas kalau kamu harus menikah dengan suami saya dan mengandung anak kami sampai lahir nanti. Kontrak ini hanya berlangsung selama satu tahun dan kamu boleh pergi setelah kontrak selesai. Satu lagi, bayaran setengahnya akan saya transfer hari ini setelah kamu menandatangani kontrak."

"Menikah? Saya harus menikah, Mbak?" tanya Kiana bingung. Dia pikir dia hanya menyewakan rahimnya. Kenapa dia harus menikah?

"Iya. Saya tentu tidak mau calon anak saya berada di tempat yang tidak seharusnya. Saya harus benar-benar melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau kebutuhannya terpenuhi. Jadi, selama satu tahun penuh kamu akan tinggal di sini dan mendapat perhatian khusus dari saya dan juga asisten rumah tangga. Kamu wajib menaatinya karena saya tidak suka dengan penolakan apapun. Bagaimana? Kalau kamu tidak bersedia, saya tidak akan memaksa. Silakan pergi dari sini. Tapi saya sarankan untuk menerimanya karena tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan emas ini."

Kiana speechless. Dia kesulitan berpikir. Rentetan kalimat itu membingungkan untuknya. Intinya dia harus tinggal di rumah si penyewa lalu setelah anaknya lahir dia harus keluar!

"Saya tidak punya banyak waktu untuk menunggu kamu berpikir. Saya kira kemarin kamu sudah memutuskan. Ya tidak masalah kalau kamu tidak setuju," ucap Glade. Dia memberi isyarat pada asistennya untuk mengambil kembali map tersebut.

"Tunggu sebentar, Mbak!"

Glade mengangguk pada asistennya lalu map itu kembali mendarat di atas meja.

"Saya ... setuju. Tapi bagaimana dengan kuliah saya?"

"Oh, masalah itu kamu tidak perlu pusing. Kamu bisa lulus tanpa melakukan apa-apa."

"Maksudnya, Mbak?"

"Nanti kamu juga tahu. Jadi, sekarang tanda tangani saja kontraknya. Jangan lupa berikan nomor rekening kamu agar asisten saya bisa memprosesnya."

Kiana mengangguk pelan. Dia membuka map dan sekilas membaca isi kontraknya. Ternyata sesuai dengan ucapan Glade. Tanpa pikir panjang lagi dia segera menandatanganinya.

Surat perjanjian itu telah beralih pada asisten pribadi Glade. Hanya berselang satu menit, uang senilai satu milyar tersebut telah masuk ke nomor rekening Kiana.

Kiana terpaku melihat deretan angka pada layar ponselnya. Apa dia sekarang menjadi orang kaya? Dia lalu bertanya, "Kapan saya bisa tidur dengan suami mbak untuk menjalankan kontrak ini? Saya ingin kontrak ini selesai secepatnya."

°°°

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status