Hujan deras menyelimuti bumi, awan hitam di atas langit seakan mengatakan bahwa akan ada kesedihan. Seorang wanita dengan piyama putih melihat keluar jendela. Wanita itu begitu khawatir dan cemas. Suaminya belum pulang bahkan tak ada satu pun panggilannya yang di angkat. Malam ini ia ingin memberi kejutan pada suaminya.
"Kemana Andreas?" Naina begitu khawatir. Bibi Rohya pun datang membawa sebuah teh hangat. "Nyonya ini teh hangatnya. Nyonya tidak perlu khawatir, tuan Andreas pasti baik-baik saja," ucapnya. Kedua alis Naina masih berkerut, hatinya tidak tenang. Tidak pernah Andreas tidak mengangkat panggilannya. Selama ini Andreas selalu mengabarinya entah dimana pun keberadaannya. Beberapa menit kemudian, kecemasan Naina hilang, dia tersenyum melihat mobil yang masuk ke pekarangan rumahnya. Dia bergegas turun. "Bibi bawakan aku payung," ucap Naina. Bibi Rohya berlari kecil, dia mengambil payung dan memberikannya pada Naina. Naina membuka payung tersebut dan menuruni anak tangga teras depan. Langkahnya pun berhenti, petir menggelagar membelah langit seakan tau bahwa hatinya terasa panas dan perih ketika kedua netranya menatap Andreas yang sedang tersenyum dan menatap pada seorang wanita dengan tatapan hangat. Wanita itu turun dan menatap Andreas. Dia tersenyum dan melangkah bersama dengan Andreas. Air mata Naina membelah pipi putihnya. Tenggorkannya terasa tercekat. "An?" "Naina." Andreas tersenyum dan merangkul wanita di sampingnya. "Amira sudah kembali. Kau pasti senang sampai air mata mu mengalir." Imbuhnya dengan wajah bersinar. Naina mengangguk, tenggorokannya tak mampu untuk meneguk ludahnya. Bibirnya terasa berat, ia hanya menarik sudut bibirnya dengan paksa. Pria itu tidak tau jika air matanya adalah air mata kepedihan bukan kebahagian. "Ayo," ajak Andreas. Dia melewati Naina dan terus melangkah tanpa menoleh ke arah Naina. Tanpa dia bertanya Naina menerima wanita itu masuk ke dalam rumahnya. Bibi Rohya menghampiri Naina, ia tau hati Naina tidak baik-baik saja. "Nyonya muda, apa nyonya baik-baik saja?" Naina menjatuhkan payungnya. Tubuhnya hampir jatuh ke tanah. Bibi Rohya dengan sigap menahan tubuhnya. "Nyonya muda." "Bibi." Naina berusaha berdiri. Dadanya terasa sesak, ribuan duri seakan menancap tepat di ulu hatinya. Dia memejamkan kedua matanya, membiarkan air hujan itu membasahi wajahnya. Saat ini langit pun tau bahwa dirinya tak mampu mengendalikan kesedihannya. "Yang sabar Nyonya," ucap bibi Rohya. Naina menghapus air matanya. Dia memutar tubuhnya dengan pelan da melangkah. Dia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Naina membuka pintu kamarnya. Dia melihat suami telah menggunakan piyama hitam. "Naina aku akan menceritakan semuanya pada mu. Malam ini, aku merasa senang. Bahkan aku merasa langit berpihak pada ku. Hujan kali ini seakan menyudahi kesedihan ku selama ini." Andreas menoleh. Ia sangat senang bersama dengan Naina, semenjak kecil hingga dewasa Naina selalu ada untuknya. Sekalipun sudah menikah, perasaannya pada Naina tetaplah perasaan sahabat. "Naina kenapa kau diam saja? Apa kau tidak bahagia melihat ku bahagia?" Naina tersenyum, ia mengangguk. "Aku bahagia." Rupanya selama ini dia tidak bisa membahagiakan suaminya, Andreas. Jadi selama ini cintanya, kasih sayangnya tak berarti apa pun. "Dia menghubungi ku dan aku sangat senang." Andreas memeluk Naina. Tanpa dia tau pelukan itu terasa meyayat hatinya, pelukan yang ia terima selama satu tahun ini yang begitu hangat kini terasa dingin membekukan tubuhnya dan juga hatinya yang terasa sakit. "Andreas kau sangat mencintai Amira? Selama ini kau tidak pernah melupakannya?" "Tidak! Aku hanya diam saja, tapi tiap malamnya aku selalu berharap suatu saat nanti di persatukan dengan Amira. Naina kau tau bagaimana aku mencintai Amira kan?" "Aku sangat senang Naina, akhirnya aku bisa menemui Amira." Andreas berlalu pergi dengan wajah gembira. Dia meninggalkan Naina seakan dia hanya tau jika Naina senang sampai menangis tapi rupanya tangisan itu tangisan kesakitan hatinya. ... Andreas duduk di samping Naina yang sedang mengelus perutnya. Naina pun belum menyadari keberadaan Andreas, niat hati dia ingin meberikan sebuah kejutan ternyata dirinyalah yang mendapatkan kejutan. Ia tidak ingin mengatakannya pada Andreas bahwa ia sedang mengandung. "Naina, apa kau sakit perut?" Tanya Andreas tampak khawatir. Naina tersadar, dia memalingkan wajahnya dan menghapus air matanya. Dia tersenyum dan terkekeh. "Kau menangis?" tanya Andreas lagi. Dia menatap lekat kedua mata cantik Naina. Naina menggelengkan kepalanya. "Ada debu yang masuk di mata ku." Tentu saja ia berbohong demi Andreas. Dia tidak ingin pria yang ia cintai mengetahi bahwa ia tidak menerima kehadiran Amira. Andreas menghapus air mata Naina, kelembutan inilah yang membuatnya betah bersama dengan Naina. Dia meyakini Naina bisa menjadi sahabat dalam hidupnya. "Naina, aku ingin berbicara sesuatu pada mu," ucap Andreas dengan wajah serius. "Aku ingin kita bercerai. Aku sudah menemukan Amira dan tidak mungkin aku melanjutkan pernikahan ini." Tengorokan Naina tercekat, nafasnya terasa berhenti. Dia menatap dalam kedua manik Andreas. Netra warna cokelat itu yang membuatnya jatuh cinta."Cerai?" Tanya Naina dengan pelan. Kedua telinganya terasa panas. "Bercerai? Andreas, apa kau tidak bisa mempertahankan diriku sedikit saja? Apa kau tidak kasihan pada ku." Naina ingin mempertahankan pernikahan ini sekalipun Andreas menikah dengan Amira. Andreas menunduk dan menggelengkan kepalanya dengan pelan, ia tidak ingin berpisah dengan Amira. Baginya Amira segalanya dan ia lakukan untuk kebahagian Amira. Wanita itu telah banyak menderita. Karena tidak menerima pernikahannya dengan Naina saat neneknya menjodohkannya, Amira pun pergi tanpa mendengarkan penjelasannya. "Aku menyayangi, tapi bukan mencintai mu. Sejak dulu kau tau, aku hanya menganggap mu sebagai adik ku," papar Andreas. Naina tersenyum, air matanya terus mengalir. "Biarkan aku di sini sebentar saja. Aku berjanji akan berpisah dengan mu." Mulutnya bergetar mengucap kalimat tersebut. Hatinya patah, hancur berantakan, kepingan hatinya seakan membawa jiwanya. "Baiklah, aku membelikan rumah untuk mu, atau kau ingin kembali ke rumah orang tua mu?" Tanya Andreas. Dia ingin memastikan keadaan Naina setelah bercerai dengannya. Dia tidak mungkin meninggalkan Naina. Naina tak menjawab, kemanakan ia harus pergi? sedangkan kedua orang tuanya telah tiada, ia hanya memiliki Andreas sebagai rumah ternyamannya, namun Andreas malah ingin ia pergi. "Aku pergi, malam ini aku harus menemani Amira." Andreas meminta izin. Dia yakin Naina akan mengerti dirinya. Naina memilih diam, rasanya begitu sakit, menusuk-nusuk hatinya. Seandainya saja kedua bibirnya bisa mengatakan bahwa ia ingin Andreas menemaninya, tapi bibirnya tidak kuat.Keesokan harinya.Sebuah tangan meraba tempat tidur di sampingnya. Saat merasakan tidak ada seseorang, ia membuka kedua matanya dan menoleh, dia melihat tempat di sampingnya tidak lusuh dan itu artinya suaminya tidak tidur di sampingnya. Kedua air matanya mengalir, baru pertama kedatangan Amira, Andreas sudah mengabaikannya. Dia meraba perutnya yang masih rata. Akankah ia kuat mempertahankannya atau sebaliknya, rasanya ia takut untuk melangkah ke depan. "Seandainya saja ada nenek, mungkin aku tidak akan takut untuk melangkah." Dia pun beranjak turun dan bergegas membersihkan tubuhnya. Dia terburu-buru, biasanya ia bangun pagi dan dialah yang membangunkan suaminya dan menyiapkan sarapan untuknya. Akan tetapi kali ini rasanya waktu berlalu begitu cepat, dia ingin terbangun dari mimpi buruknya walaupun sebenarnya adalah kenyataan yang harus ia terima dengan paksa. "Mas." Naina menatap ruang makan itu dengan kedua matanya yang menggenang, hatinya yang perih dan dadanya yang terasa se
Setelah obrolannya dengan Amira, Naina merenungi dan mengambil kesimpulan bahwa Amira tidak ingin andreas mempertahankannya. Dia merasa Amira tidak menyukainya dan tidak akan mudah baginya untuk mempertahankan pernikahannya. Ia menghela nafas panjang, ia mengusap perutnya. “Sayang kita akan berjuang untuk mendapatkan ayah mu.” Air matanya mengalir, rasanya begitu sakit untuk ia lalui namun ia harua kuat demi anaknya.TokTokTok"Nyonya." Sapa Bi Rohya. Dia merasa khawatir saat majikannya ia tinggalkan bersama dengan Amira. Pasti sudah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui.Naina mengusap air matanya. Dia membuka pintu kamarnya. "Ada apa Bi?" Tanya Naina."Nyonya belum makan malam,” ucap Bi Rohya. Dia memperhatikan kedua mata Naina. “Nyonya menangis?” Imbuhnya."Makan malam?" Naina mengerutkan keningnya. Dia malah balik bertanya pada Bi Rohya. Jadi dia mengurung diri dan melupakan suaminya. "Apa Mas Andreas sudah pulang? Aku melupakannya." Sebaiknya ia harus fokus pada Andreas dan mem
Naina menurunkan kopernya. Dia menatap sekeliling kamarnya, ia menatap foto pernikahannya. Rasanya waktu berlalu begitu cepat dan ia masih ingin merasakan kenikmatan pernikahannya. Langkahnya yang terasa berat, setiap melangkah ia merasa menginjak sebuah duri. Ia mengusap pipinya yang terus basah. Sejenak ia menghentikan langkahnya dan menatap pintu di sebrang sana. "Selamat tinggal Mas, semoga kau bahagia."Dengan rasa perih dan sakit, dia terus melangkah tanpa menoleh ke belakang. "Nyonya Naina." Bibi Rohya memeluk Naina. Dia merasa cemas pada Naina. "Nyonya mau tinggal dimana?" Tanya Bi Rohya. Ia ingin menawarkan tempat tinggal kampung halamannya.Naina menggelengkan kepalanya. Ia tidak tau harus kemana, kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia hanya seorang diri. Ia baru ingat kalau ia pernah memiliki sebuah rumah di bandung. "Yang jelas aku tidak akan tinggal di sini Bi.""Nyonya tolong kabari Bibi." Bi Rohya tidak tega meninggalkan Naina sendirian. "Jika ada sesuatu hubungi bibi
Lima tahun kemudian.Seorang wanita tersenyum, dia melambaikan kedua tangannya saat melihat seorang bocah yang tersenyum padanya. Dia meraih tubuh mungil bocah tersebut dan mencium pipi gembulnya. "Bunda."Naina tersenyum, dia menggenggam kedua tangan putrinya lalu masuk ke dalam mobilnya. Selama lima tahun ini dia hidup berdua dengan putri kecilnya di bandung menempati rumah Bi Rohya. Sedangkan Bi Rohya yang pada saat itu ingin ikut dengannya ia melarangnya karena ia takut keberadaannya di ketahui Andreas. Lima tahun ini ia hidup tanpa sosok Andreas, ia sudah menerimanya dan kini ia memperjuangkan kebahagian putrinya yang ia beri nama Giselle Kayla Astra. Hari-harinya penuh dengan kebahagian. Giselle tumbuh menjadi sosok yang ceria. Putrinya pernah menanyakan keberadaan ayahnya dan ia hanya mengatakan jika ayahnya pergi bekerja yang jauh. Kini putrinya tidak menanyakan lagi keberadaan ayahnya."Bunda Gisel ikut ke toko ya?" Rengekan gadis kecil nan cantik itu membuat Naina tersenyum
Andreas teringat saat masih bersama dengan Naina, saat mereka kejar-kejaran di pantai, jalan-jalan di taman, semuanya begitu indah. Dia tersenyum namun hatinya berdenyut sakit. Dadanya terasa sesak. "Naina." Lirihnya.CeklekAmira membuka pintu ruang kerja suaminya. Andreas buru-buru menaruh foto itu di laci meja kerjanya. Ternyata ia masih takut Amira cemburu padanya dan membuat wanita itu marah. "Aku membuatkan kopi. Kau pasti lelah." Selama menjadi istri Andreas, dia berusaha menjadi istri yang sempurna yang melebihi Naina."Terima kasih."Andreas tersenyum, malam ini ia memang harus begadang, hati dan pikirannya sangat kacau."Aku akan memijat bahu mu." Amira pun memijat kedua bahu Andreas. Ia ingin hanya dirinya yang Andreas ingat tanpa mengingat Naina walaupun seujung kuku. "Bagaimana enak tidak?" Tanya Amira sambil terkekeh."Sangat enak, Naina sebelah sini." Tunjuk Andreas pada lengannya.Seketika Amira menghentikan pijatannya. Hatinya langsung merasakan sakit seperti di hujan
Keesokan harinya.Naina menaruh kotak bekal ke dalam tas Giselle. “Sayang bekalnya di habiskan,” ucap Naina. Dia sering melihat sisa nasi Giselle. Ia sering mengingatkan Giselle agar selalu menghabiskan nasinya.“Iya Bunda.” Sahut Giselle. Ia melirik ibunya yang sedang menarik resleting tasnya. "Bunda bawa bekal kebanyakan. Giselle kadang menyisakannya. Teman-teman Giselle juga bawa semua bekal, jadi ya tidak di habiskan." Imbuhnya menjelaskan.Naina ingin anaknya itu bergizi, mana mungkin ia menaruhnya sedikit. "Sayang kamu harus makan yang banyak, suapaya apa? supaya sehat. Di umur mu lima tahun ini butuh banyak asupan.""Iya, iya Bunda." Giselle mengiyakan. Seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuknya. “Belajar yang rajin ya sayang.” Bi Rohya mencium Giselle. Dia pun mengantarkan Giselle sampai naik ke atas motor. Setiap harinya Naina mengantar Giselle dengan naik motor. Katanya Naina, motor lebih cepat sampai. Kalau macet bisa lebih leluasa menyelinap mobil yang mengantr
"Naina."Kekesalan di harinya meluap karena mendengarkan ucapan sekretarisnya yang mengatakan Naina menikah. Dia kesal karena Naina tidak mengatakannya padanya dan tidak memberi kabar padahal dia dan Naina adalah teman masa kecil yang tidak terpisahkan.Mendengarkan suara yang sangat dia kenali, Naina mematung, ia merasa tersihir dengan suara yang tak asing baginya. sebuah kantong keresek sampah yang berada di tangannya langsung jatuh. Dia memutar tubuhnya. Seketika tubuhnya bagaikan patung hidup. Bibirnya bergetar, dadanya terasa sesak dan seakan sulit untuk bernafas. Dia menatap kedua manik pria itu semakin dalam. Ada rasa cinta dan benci yang bercampur aduk. Saat ini kebencian itu seakan ingin melahap Andreas."An ..."Dia teringat dengan ucapan Bi Rohya yang mengatakan Andreas sudah memiliki anak bahkan kehidupan pernikahannya pun bahagia. Ternyata hanya dirinyalah yang menderita selama ini. Cinta sepihak membuatnya sangat ingin tak bertemu Andreas. Ia membenci perasaannya, menci
Deg Deg Deg Andreas merasakan detak jantungnya berpacu dengan kuat. Dia merasakan jantungnya seakan ingin melompat keluar. Ada rasa sakit di hatinya dan kecewa. Namun ia juga merasa tidak asing dengan anak di hadapannya, ada rasa keinginan kuat untuk berada di dekatanya. Ia menatap lekat anak perempuan tersebut yang seumuran dengan anaknya. Ingin sekali ia memeluknya. "Boleh Om memeluk mu." Naina mengerutkan alisnya. Ia langsung menaruh Giselle ke belakang tubuhnya. Anaknya tidak boleh dekat dengan ayahnya, Andreas. Pria itu tidak boleh tau siapa Giselle. "Tidak perlu, untuk apa memeluknya. Giselle pulanglah dulu, bunda akan menyusul mu nanti setelah berbicara dengan teman bunda." Giselle mengangguk, dia menggenggam tangan Bi Rohya dan keluar dari toko roti tersebut. Mereka menunggu di luar sambil melihat ke dalam. Giselle menatap ibunya yang terlihat serius berbicara dengan pria tampan di hadapannya. Baru kali ini ada pria yang seakan ingin akrap dengannya. ... "Gi
Andreas, Naina dan Giselle mereka meluangkan waktu berama. Giselle menggenggam tangan Naina dan Andreas. Terlihat mereka seperti sepasang suami istri yang harmonis. Sebuah keluarga yang tidak ada badainya namun pada kenyataannya badai terus menghampiri mereka. "Ayah aku lapar." Tanpa terasa sudah siang dan kini sudah waktunya makan siang. Giselle melihat perutnya. Andreas merasa gemas, dia meraih tubuh Giselle dan menggendongnya, mencium pipi gembulnya. "Maafkan Ayah, Ayah melupakannya karena asik berama Giselle dan bunda. Ayo kita ke restorant." Ia melirik Naina dan menggenggam tangannya. Naina menoleh, melihat tangannya di genggam. Dia menarik tangan itu namun Andreas tidak melepaskannya hingga mereka tiba di mobil Andreas dan baru Andreas melepaskannya. Andreas membuka pintu mobil belakang untuk di masuki oleh Naina dan Giselle. Andreas menoleh ke belakang dan melihat putrinya dan wanita yang ia cintai bahagia. "Giselle bagaimana kalau kau ikut Ayah ke Jakarta. Kita aka
Naina tersenyum melihat Giselle bermain boneka dengan Andreas. Kadang Andreas menggelitiki Giselle hingga Giselle tertawa lebar. Sebagai seorang ibu ia tidak pernah melihat Giselle tertawa seperti saat ini. "Giselle, ternyata seorang anak yang membutuhkan sosok ayah juga tidak bisa berbohong." Ia mengusap kedua lengannya dengan menyilang. Dia merasakan kesejukan di bawah pohon mangga. Bibi Rohya melihat dari jauh pun menghampirinya. "Non Giselle begitu senang." Dia melihat betapa ayah dan anak itu begitu bahagia. Giselle tidak mau mengalah dan menyerang balik Andreas dengan bonekanya. "Bibi aku begitu khawatir." Bibi Rohya tersenyum, selama ada dirinya Amira atau siapa pun tak akan bisa menyakiti Naina. "Jangan takut, aku akan melindungi mu." Andreas melihat Naina dari jauh tersenyum. Dia memeluk Giselle dan mencium pipinya. Anak yang dulunya ia abaikan kini tumbuh tanpa kasih sayang darinya. Ia merasa bersalah pada Giselle. Ia berharap Giselle mau memaafkannya. "Giselle apa
Setelah perdebatan itu, Andreas memilih untuk pergi meninggalkan Ayna dan Amira di restorant. Dia memilih mencari hadiah sebagai permintaan maafnya pada Naina. "Kamu lihat Ayna, Papa mu pergi begitu saja. Kalau kamu kalah saing dengan Giselle. Kita benar-benar akan di tinggalkan." Ayna menatap tajam ke arah pintu. Ia sangat benvi pada Naina dan Giselle. Ia akan membuat mereka di benci oleh ayahnya. Dendam ini tidak akan pernah ia lupakan meski seumur hidup. "Giselle, aku akan balas dendam Ma." Ia sudah memikirkan untuk bertemu dengan Giselle lagi. Ia akan ikut Papanya dan berpura-pura meminta maaf. "Aku akan membuatnya mengerti, siapa dirinya dan siapa aku." Amira tersenyum puas, tidak semudah itu untuk melepaskan Andreas dan Naina bahagia di atas penderitaannya. "Aku puas dengan kegigihan mu Ayna." “Ayna katakan pada anak bernama Giselle itu. Ibunya seorang perebut suami orang.” Ayna mengangguk sambil menatap Amira seolah tatapan itu bagaikan bara api. “Baik Ma, aku akan m
Di mobil, Ayna memancungkan bibirnya, ia sangat kesal pada ayahnya yang seenaknya saja memintanya untuk minta maaf padahal ia tidak salah apa-apa. “Kenapa Papa menyuruh Ayna untuk minta maaf.” Rasa tidak terima di hatinya belum puas.Andreas berusaha untuk tidak mengkasari Ayna karena ia tahu mereka masih kecil. “Ayna, jelas Giselle marah karena kamu tidak menuruti permintaannya. Benda berharga pasti tidak akan di berikan pada siapa pun Ayna.”“Aku hanya meminjamnya.” Selorohnya. Andreas melirik Ayna. “Papa tau Ayna, Papa paham kamu ingin meminjam. Ayna apa kamu pernah mengatakan kalau Papa lebih menyayangi mu pada Giselle? Papa juga menyayangi Giselle. Papa tidak akan mengurangi kasih sayang Papa pada mu. Giselle putri Papa.”“Apa karena Ayna bukan putri Papa?” Tanya Ayna menatap lekat Andreas. Andreas menghentikan mobilnya di tepi jalan. Dia menggenggam tangan Ayna. “Bukan Sayang, Ayna juga putri Papa. Akan tetapi, Giselle juga putri Papa. Ayna harus menerimanya. Besok Ayna harus
Bibi Rohya merasa tidak nyaman dengan ucapan Ayna. Dia takut Giselle sakit hati karena Andreas selama ini tidak tau keberadaannya. “Non Ayna, apa sebaiknya kita main di luar saja?”Ayna melirik Bi Rohya. Wanita itu lembut padanya namun ia sudah tidak menyukainya setelah mengetahui bahwa wanita itu melayani anak rahasia papanya. “Aku tidak mau. Aku mau boneka ini.” Dia mengambil boneka di atas tempat tidur Giselle. “Jangan ambil boneka ini. Ini hadiah dari Bunda.” Giselle mengambil boneka itu dari tangan Ayna. Boneka ini adalah boneka kesayangannya. Ibunya memberikannya sewaktu ia masih ulang tahun satu tahun dan ibunya sendiri yang menceritakannya sehingga ia sangat menyayangi boneka itu.Ayna kesal, hanya sebuah boneka saja Giselle tidak mau membaginya. “Ini hanya boneka.” Ayna menarik dengan kasar hingga salah satu kaki boneka beruang itu sobek.Giselle mengepalkan tangannya. Dia tidak suka dengan sikapnya dan kesombongannya. “Apa yang kamu lakukan? Kamu merusak barang ku.” Dia men
Andreas terdiam, ia hanya tersenyum karena ia tidak bisa berjanji untuk masalah ini. Dia mengusap pucuk kepala Ayna. "Papa akan kabari Tante Naina. Ayna Tante Naina itu baik orangnnya kamu akan senang jika bersama dengan Tante." Ayna menunduk, ia melirik takut pada Andreas. "Bagaimana kalau Tante itu tidak menyukai ku. Dia sudah memiliki anak dan aku bukan anaknya." Andreas jelas menolak ucapan Ayna, Naina wanita yang sangat lembut pada anak-anak. "Tidak Sayang, Tante Naina sangat baik. Nanti kamu akan menyukainya. Sekarang beristirahatlah. Jika kamu sembuh dengan cepat, kita akan secepatnya ke bandung." Dua hari kemudian. Andreas membukakan pintu mobilnya dan turunlah seorang anak kecil dengan rambut berkepang dua. Gadis kecila itu melihat sekeliling halaman dan rumah yang sederhana namun terasa asri. Dia melihat seorang wanita setengah baya yang sedang berdiri dengan sapu lidi di tangannya. Bahkan dia belum selesai membuang sampah dedaunan di halaman itu. Bibi Rohya mengh
Kegilaan Andreas membuat Amira begitu naik darah, hatinya begitu retak nyaris tak bisa tersambung lagi. Perkataan Andreas membuatnya hancur. Ia tidak mau Naina kembali pada Andreas. "Aku mencintai mu Andreas. Apa ini balasan mu?" tanya Amira. Andreas menghentikan langkahnya namun ia kembali melanjutkan langkahnya tanpa ingin menoleh atau mengeuarkan sepatah kata apa pun. Dia langsung menuju ke ruang kerjanya dan duduk di kursi kerjanya. Ia menoleh ke arah laci dan menaruh foto Naina kembali. Di pandangnya begitu lekat seakan hatinya juga ikut melihat foto itu. "Aku akan membawa mu. Aku akan menggantikan penderitaan yang telah kamu lalui. Aku akan menjaga mu dan Giselle. Jika memang kamu tidak bisa bersama dengan Amira, aku akan membelikan rumah yang lain untuk mu." Dia pun menghubungi Alden. "Alden aku ingin kamu membeli sebuah rumah. Rumah itu harus terlihat asri dan nyaman." "Untuk siapa Tuan?" tanya Alden. "Untuk Naina dan putri ku Giselle. Aku akan secepatnya membawa merek
Sudah dua hari Andreas menemani Ayna, dia terus menghubungi Naina namun tidak aktif, lalu dia menghubungi bibi Rohya namun tidak di angkat. Dia bingung dan khawatir terjadi sesuatu. "Papa." Sapa ayna. Sejak tadi papanya melihat ke arah ponselnya. "Papa sedang apa? Kenapa papa mengabaikan Ayna?" Andreas tak bisa untuk menyakiti Ayna. "Maafkan Papa Sayang, Papa lagi ada urusan." Ayna memainkan kukunya. Dia kesal karena ayahnya mengabaikannya dan pasti, ia sangat yakin bahwa ayahnya sedang memperhatikan anak luar itu. "Ayna mau Papa." Andreas menghela napas. Ia tidak bisa begini terus. Ia harus ke bandung dan memastikan Naina dan anaknya. "Ay, Papa harus keluar. Kamu sama Mama di sini baik-baik." Ayna menggelengkan kepalanya. "Tidak mau, maunya sama Papa saja." Dada Andreas seperti sesuatu yang ingin keluar. "Ayna, maafkan papa. Kamu tunggu di sini. Papa harus keluar." Ia tidak mungkin berada di sini sedangkan anaknya yang lain sedang berada di luar sana yang juga menung
Andreas kembali menemui Giselle dan Naina tepat saat Naina ingin mengantarkan Giselle ke sekolah. "Nai," Di tatapnya wajah cantik putrinya itu. "Aku ingin mengatar kalian.""Tidak perlu, dari dulu tidak di antar oleh mu sampai saat ini masih waras." Naina membukakan pintu pada Giselle namun Andreas menutup pintu itu."Sudah cukup, kalian selalu saja bertengkar." Giselle merasa kesal lantaran ia selalu melihat ayah dan ibunya tidak berhenti beradu mulut. "Giselle aku ayah mu Sayang. Ayah merindukan Giselle." "Kau kelewat batas Andreas. Kau tidak berhak mengeklaim Giselle putri mu." Seru Naina. Andreas tidak ingin menyembunyikan apa pun lagi. Giselle putrinya, ia juga memiliki tanggung jawab pada Giselle. "Giselle Sayang, maafkan Ayah yang tidak menemui mu. Seandainya ibu mu mengatakannya.""Kau ingin menyalahkan ku? Hah, urus saja anak mu dan Amira." Naina membuka pintu mobilnya. "Ayo Sayang kita masuk, jangan memperdulikan dia."Andreas ikut masuk ke dalam dan duduk di kursi belaka