Keesokan harinya.
Sebuah tangan meraba tempat tidur di sampingnya. Saat merasakan tidak ada seseorang, ia membuka kedua matanya dan menoleh, dia melihat tempat di sampingnya tidak lusuh dan itu artinya suaminya tidak tidur di sampingnya. Kedua air matanya mengalir, baru pertama kedatangan Amira, Andreas sudah mengabaikannya. Dia meraba perutnya yang masih rata. Akankah ia kuat mempertahankannya atau sebaliknya, rasanya ia takut untuk melangkah ke depan. "Seandainya saja ada nenek, mungkin aku tidak akan takut untuk melangkah." Dia pun beranjak turun dan bergegas membersihkan tubuhnya. Dia terburu-buru, biasanya ia bangun pagi dan dialah yang membangunkan suaminya dan menyiapkan sarapan untuknya. Akan tetapi kali ini rasanya waktu berlalu begitu cepat, dia ingin terbangun dari mimpi buruknya walaupun sebenarnya adalah kenyataan yang harus ia terima dengan paksa. "Mas." Naina menatap ruang makan itu dengan kedua matanya yang menggenang, hatinya yang perih dan dadanya yang terasa sesak. Dia menatap sepasang kekasih yang baru bertemu itu. Keduanya belum menyadari keberadaannya seolah dia hanyalah dinding. "Melihat mu bahagia, rasanya aku ingin menyerah. Tapi, aku tidak bisa menyerah begitu saja." Terlihat jelas wajah Andreas yang begitu bahagia, senyumnya begitu lebar. Amira menaruh roti yang di olesi selai oleh dirinya. "Akankah ia sanggup melihat semua ini setiap hari?" "Nyonya." Bibi Rohya angkat suara. Dia membuat Naina yang menatap lurus ke depan menoleh padanya. Seketika Andreas dan Amira mengangkat wajahnya melihat Naina. Andreas tersenyum, dia menghampiri Naina. "Nai, duduklah." Hari ini ia bahagia, rasanya sempurna hidupnya dengan kehadiran Naina dan Amira. Sahabat dan kekasihnya duduk bersama dengannya. "Maaf aku bangun kesiangan," ucap Naina merasa bersalah. Ia tidak pernah bangun kesiangan, tapi karena menangis ia lelah dan kemudian tertidur. Andreas terkekeh, sangat lucu melihat wajah Naina yang terasa bersalah. "Nai, mulai sekarang kau tidak perlu lagi menyiapkan sarapan. Kau ini adik ku, jadi biarkan Amira yang menyiapkan sarapan." Deg Naina meremas dressnya, hatinya di hujani oleh ribuan tombok. Senyum di wajah Andreas dan Amira yang saling bertatapan seakan membakar hatinya. Tanpa perasaan Andreas menjelaskan statusnya bahwa dirinya hanyalah istri di atas kertas. "Benar Naina, sekarang biar aku yang meyiapkan." Amira menyela, ia senang Andreas menyukai masakannya. "Kalau kau mau, kau bisa memasak bersama ku." "O iya kau harus berangkat kerja. Biar aku yang mengambilkan tas kerja mu." Tambah Amira. Ia lupa bahwa Andreas seorang CEO yang harus memperhatikan kedisiplinan dan mencotohkannya pada karyawannya. Sekuat hati Naina menahan air matanya agar tidak terjatuh. Dia menggigit bibir bawahnya. Jadi semalam mereka menghabiskan waktu berdua. Bayangan yang terasa aneh melintas di pikirannya. Dia tidak bisa menahannya untuk tetap biasa saja berada di dekat Andreas. Dia pun beranjak dan membuat Andreas terkejut. "Nai?" Andreas bingung dengan sikap Naina. "Aku, aku ke taman. Sepertinya aku ingin mencari udara segar," ucap Naina dengan nada dingin. Bibi Rohya menghela nafas. Pasti bukan hal yang mudah menghadapinya. Tidak ada seorang istri yang tak merasakan sakit ketika melihat suaminya bersama dengan kekasih masa lalunya. Dia pun mendatangi Naina dan melihat nyonya mudanya duduk di sebuah kursi sendirian. "Nyonya." Naina menghapus air matanya. Dia tidak ingin terlihat sedih. Bibi Rohya ikut merasakan betapa sedihnya Naina. Wanita yang ceria ini kini terlihat rapuh bagaikan warna abu-abu. "Bibi." Naina melihat Bi Rohya yang tersenyum padanya. "Apa Nyonya baik-baik saja?" Tanya Bi Rohya. Dia duduk di samping Naina. "Aku baik-baik saja, Bi." Naina tersenyum seakan tidak terjadi sesuatu. Siapa pun tidak akan mempercayainya, kedua mata Naina menyimpan kesedihan yang mendalam. Sebagai seorang wanita ia tau betapa sakitnya melihat suami bermesraan dengan wanita lain. "Nyonya tidak bisa membohongi ku." Naina meneteskan air matanya. Kini ia tidak bisa membendung air matanya. Ingin sekali ia berteriak. Dia memeluk Bi Rohya menumpahkan kesedihan yang ia tahan tadi. "Nyonya harus bicara pada tuan," ucap Bi Rohya. Dia mengelus surai hitam milik Naina. "Dia sudah memutuskan untuk bercerai dengan ku Bi." Dia merasa luluh lantah, seandainya saja Andreas tetap mempertahankan dirinya untuk menjadi istri kedua, ia lebih memilih dengan menjadi istri kedua karena masih ada harapan pria itu akan mencintainya dan buah hatinya. Bibi Rohya terkejut, hanya karena kekasih masa lalunya datang tidka harus menjadikan kata perceraian mudah di ucapkan. Ia akan membantu Naina. "Aku bicara dengan tuan, Nyonya tenang saja," ucap Bibi Rohya dengan nada tegas. "Naina." Panggil seorang wanita. Naina menghapus air matanya dan menoleh. "Iya." Sahut Naina. "Aku ingin berbicara berdua dengan mu." Dia harus menegaskan hubungannya dengan Andreas dan hubungan Andreas dengan Naina. Bibi Rohya begitu enggan untuk meninggalkan Naina, mungkin saja wanita di depannya akan menyakiti Naina. Dia tidak ingin pergi. "Nyonya muda." Kedua matanya memberikan isyarat untuk tidak memenuhi ucapan Amira. Naina mengangguk, dia memberi isyarat bahwa dia tidak apa-apa. "Pergilah Bi." Bibi Rohya menurut, dia berlalu pergi. Dia pun sejenak menoleh ke arah belakang. Rasanya begitu enggan untuk meninggalkan Amira. "Naina, aku tau bukan hal mudah bagi mu. Tapi kami saling mencintai, Andreas menikah dengan mu sebagai adik sekaligus baktinya terhadap ibunya. Aku tidak ingin berpisah dengan Andreas dan Andreas pun tidak ingin berpisah dengan ku. Kau lihat, betapa dia bahagianya bersama ku. Apa kau rela ingin membuat senyumannya yang indah memudar. Dulu dia tersenyum hanya bibirnya, tapi hatinya tidak. Naina aku meminta hak cinta ku, aku meminta Andreas." Naina mengepalkan kedua tangannya. Hatinya luluh lantah."Amira bagaimana kalau aku tidak mau? Aku mencintai Andreas sekalipun dia tidak mencintai ku." Seketika Amira menatap tajam ke arah Naina. "Kau egois Naina, kau hanya mementingkan kebahagian mu tanpa memetingkan kebahagian Andreas. Aku ingin lihat sampai kapan kau mempertahankan cinta mu itu?" Cemoh Amira. Amira bergegas pergi, dia sudah meminta Andreas baik-baik. Ia kira Naina tidak mencintai Andreas, namun wanita itu sudah mencintainya. Ia tidak akan tinggal diam saja.Setelah obrolannya dengan Amira, Naina merenungi dan mengambil kesimpulan bahwa Amira tidak ingin andreas mempertahankannya. Dia merasa Amira tidak menyukainya dan tidak akan mudah baginya untuk mempertahankan pernikahannya. Ia menghela nafas panjang, ia mengusap perutnya. “Sayang kita akan berjuang untuk mendapatkan ayah mu.” Air matanya mengalir, rasanya begitu sakit untuk ia lalui namun ia harua kuat demi anaknya.TokTokTok"Nyonya." Sapa Bi Rohya. Dia merasa khawatir saat majikannya ia tinggalkan bersama dengan Amira. Pasti sudah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui.Naina mengusap air matanya. Dia membuka pintu kamarnya. "Ada apa Bi?" Tanya Naina."Nyonya belum makan malam,” ucap Bi Rohya. Dia memperhatikan kedua mata Naina. “Nyonya menangis?” Imbuhnya."Makan malam?" Naina mengerutkan keningnya. Dia malah balik bertanya pada Bi Rohya. Jadi dia mengurung diri dan melupakan suaminya. "Apa Mas Andreas sudah pulang? Aku melupakannya." Sebaiknya ia harus fokus pada Andreas dan mem
Naina menurunkan kopernya. Dia menatap sekeliling kamarnya, ia menatap foto pernikahannya. Rasanya waktu berlalu begitu cepat dan ia masih ingin merasakan kenikmatan pernikahannya. Langkahnya yang terasa berat, setiap melangkah ia merasa menginjak sebuah duri. Ia mengusap pipinya yang terus basah. Sejenak ia menghentikan langkahnya dan menatap pintu di sebrang sana. "Selamat tinggal Mas, semoga kau bahagia."Dengan rasa perih dan sakit, dia terus melangkah tanpa menoleh ke belakang. "Nyonya Naina." Bibi Rohya memeluk Naina. Dia merasa cemas pada Naina. "Nyonya mau tinggal dimana?" Tanya Bi Rohya. Ia ingin menawarkan tempat tinggal kampung halamannya.Naina menggelengkan kepalanya. Ia tidak tau harus kemana, kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia hanya seorang diri. Ia baru ingat kalau ia pernah memiliki sebuah rumah di bandung. "Yang jelas aku tidak akan tinggal di sini Bi.""Nyonya tolong kabari Bibi." Bi Rohya tidak tega meninggalkan Naina sendirian. "Jika ada sesuatu hubungi bibi
Lima tahun kemudian.Seorang wanita tersenyum, dia melambaikan kedua tangannya saat melihat seorang bocah yang tersenyum padanya. Dia meraih tubuh mungil bocah tersebut dan mencium pipi gembulnya. "Bunda."Naina tersenyum, dia menggenggam kedua tangan putrinya lalu masuk ke dalam mobilnya. Selama lima tahun ini dia hidup berdua dengan putri kecilnya di bandung menempati rumah Bi Rohya. Sedangkan Bi Rohya yang pada saat itu ingin ikut dengannya ia melarangnya karena ia takut keberadaannya di ketahui Andreas. Lima tahun ini ia hidup tanpa sosok Andreas, ia sudah menerimanya dan kini ia memperjuangkan kebahagian putrinya yang ia beri nama Giselle Kayla Astra. Hari-harinya penuh dengan kebahagian. Giselle tumbuh menjadi sosok yang ceria. Putrinya pernah menanyakan keberadaan ayahnya dan ia hanya mengatakan jika ayahnya pergi bekerja yang jauh. Kini putrinya tidak menanyakan lagi keberadaan ayahnya."Bunda Gisel ikut ke toko ya?" Rengekan gadis kecil nan cantik itu membuat Naina tersenyum
Andreas teringat saat masih bersama dengan Naina, saat mereka kejar-kejaran di pantai, jalan-jalan di taman, semuanya begitu indah. Dia tersenyum namun hatinya berdenyut sakit. Dadanya terasa sesak. "Naina." Lirihnya.CeklekAmira membuka pintu ruang kerja suaminya. Andreas buru-buru menaruh foto itu di laci meja kerjanya. Ternyata ia masih takut Amira cemburu padanya dan membuat wanita itu marah. "Aku membuatkan kopi. Kau pasti lelah." Selama menjadi istri Andreas, dia berusaha menjadi istri yang sempurna yang melebihi Naina."Terima kasih."Andreas tersenyum, malam ini ia memang harus begadang, hati dan pikirannya sangat kacau."Aku akan memijat bahu mu." Amira pun memijat kedua bahu Andreas. Ia ingin hanya dirinya yang Andreas ingat tanpa mengingat Naina walaupun seujung kuku. "Bagaimana enak tidak?" Tanya Amira sambil terkekeh."Sangat enak, Naina sebelah sini." Tunjuk Andreas pada lengannya.Seketika Amira menghentikan pijatannya. Hatinya langsung merasakan sakit seperti di hujan
Keesokan harinya.Naina menaruh kotak bekal ke dalam tas Giselle. “Sayang bekalnya di habiskan,” ucap Naina. Dia sering melihat sisa nasi Giselle. Ia sering mengingatkan Giselle agar selalu menghabiskan nasinya.“Iya Bunda.” Sahut Giselle. Ia melirik ibunya yang sedang menarik resleting tasnya. "Bunda bawa bekal kebanyakan. Giselle kadang menyisakannya. Teman-teman Giselle juga bawa semua bekal, jadi ya tidak di habiskan." Imbuhnya menjelaskan.Naina ingin anaknya itu bergizi, mana mungkin ia menaruhnya sedikit. "Sayang kamu harus makan yang banyak, suapaya apa? supaya sehat. Di umur mu lima tahun ini butuh banyak asupan.""Iya, iya Bunda." Giselle mengiyakan. Seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuknya. “Belajar yang rajin ya sayang.” Bi Rohya mencium Giselle. Dia pun mengantarkan Giselle sampai naik ke atas motor. Setiap harinya Naina mengantar Giselle dengan naik motor. Katanya Naina, motor lebih cepat sampai. Kalau macet bisa lebih leluasa menyelinap mobil yang mengantr
"Naina."Kekesalan di harinya meluap karena mendengarkan ucapan sekretarisnya yang mengatakan Naina menikah. Dia kesal karena Naina tidak mengatakannya padanya dan tidak memberi kabar padahal dia dan Naina adalah teman masa kecil yang tidak terpisahkan.Mendengarkan suara yang sangat dia kenali, Naina mematung, ia merasa tersihir dengan suara yang tak asing baginya. sebuah kantong keresek sampah yang berada di tangannya langsung jatuh. Dia memutar tubuhnya. Seketika tubuhnya bagaikan patung hidup. Bibirnya bergetar, dadanya terasa sesak dan seakan sulit untuk bernafas. Dia menatap kedua manik pria itu semakin dalam. Ada rasa cinta dan benci yang bercampur aduk. Saat ini kebencian itu seakan ingin melahap Andreas."An ..."Dia teringat dengan ucapan Bi Rohya yang mengatakan Andreas sudah memiliki anak bahkan kehidupan pernikahannya pun bahagia. Ternyata hanya dirinyalah yang menderita selama ini. Cinta sepihak membuatnya sangat ingin tak bertemu Andreas. Ia membenci perasaannya, menci
Hujan deras menyelimuti bumi, awan hitam di atas langit seakan mengatakan bahwa akan ada kesedihan. Seorang wanita dengan piyama putih melihat keluar jendela. Wanita itu begitu khawatir dan cemas. Suaminya belum pulang bahkan tak ada satu pun panggilannya yang di angkat. Malam ini ia ingin memberi kejutan pada suaminya. "Kemana Andreas?" Naina begitu khawatir. Bibi Rohya pun datang membawa sebuah teh hangat. "Nyonya ini teh hangatnya. Nyonya tidak perlu khawatir, tuan Andreas pasti baik-baik saja," ucapnya.Kedua alis Naina masih berkerut, hatinya tidak tenang. Tidak pernah Andreas tidak mengangkat panggilannya. Selama ini Andreas selalu mengabarinya entah dimana pun keberadaannya.Beberapa menit kemudian, kecemasan Naina hilang, dia tersenyum melihat mobil yang masuk ke pekarangan rumahnya. Dia bergegas turun. "Bibi bawakan aku payung," ucap Naina.Bibi Rohya berlari kecil, dia mengambil payung dan memberikannya pada Naina. Naina membuka payung tersebut dan menuruni anak tangga te
"Naina."Kekesalan di harinya meluap karena mendengarkan ucapan sekretarisnya yang mengatakan Naina menikah. Dia kesal karena Naina tidak mengatakannya padanya dan tidak memberi kabar padahal dia dan Naina adalah teman masa kecil yang tidak terpisahkan.Mendengarkan suara yang sangat dia kenali, Naina mematung, ia merasa tersihir dengan suara yang tak asing baginya. sebuah kantong keresek sampah yang berada di tangannya langsung jatuh. Dia memutar tubuhnya. Seketika tubuhnya bagaikan patung hidup. Bibirnya bergetar, dadanya terasa sesak dan seakan sulit untuk bernafas. Dia menatap kedua manik pria itu semakin dalam. Ada rasa cinta dan benci yang bercampur aduk. Saat ini kebencian itu seakan ingin melahap Andreas."An ..."Dia teringat dengan ucapan Bi Rohya yang mengatakan Andreas sudah memiliki anak bahkan kehidupan pernikahannya pun bahagia. Ternyata hanya dirinyalah yang menderita selama ini. Cinta sepihak membuatnya sangat ingin tak bertemu Andreas. Ia membenci perasaannya, menci
Keesokan harinya.Naina menaruh kotak bekal ke dalam tas Giselle. “Sayang bekalnya di habiskan,” ucap Naina. Dia sering melihat sisa nasi Giselle. Ia sering mengingatkan Giselle agar selalu menghabiskan nasinya.“Iya Bunda.” Sahut Giselle. Ia melirik ibunya yang sedang menarik resleting tasnya. "Bunda bawa bekal kebanyakan. Giselle kadang menyisakannya. Teman-teman Giselle juga bawa semua bekal, jadi ya tidak di habiskan." Imbuhnya menjelaskan.Naina ingin anaknya itu bergizi, mana mungkin ia menaruhnya sedikit. "Sayang kamu harus makan yang banyak, suapaya apa? supaya sehat. Di umur mu lima tahun ini butuh banyak asupan.""Iya, iya Bunda." Giselle mengiyakan. Seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuknya. “Belajar yang rajin ya sayang.” Bi Rohya mencium Giselle. Dia pun mengantarkan Giselle sampai naik ke atas motor. Setiap harinya Naina mengantar Giselle dengan naik motor. Katanya Naina, motor lebih cepat sampai. Kalau macet bisa lebih leluasa menyelinap mobil yang mengantr
Andreas teringat saat masih bersama dengan Naina, saat mereka kejar-kejaran di pantai, jalan-jalan di taman, semuanya begitu indah. Dia tersenyum namun hatinya berdenyut sakit. Dadanya terasa sesak. "Naina." Lirihnya.CeklekAmira membuka pintu ruang kerja suaminya. Andreas buru-buru menaruh foto itu di laci meja kerjanya. Ternyata ia masih takut Amira cemburu padanya dan membuat wanita itu marah. "Aku membuatkan kopi. Kau pasti lelah." Selama menjadi istri Andreas, dia berusaha menjadi istri yang sempurna yang melebihi Naina."Terima kasih."Andreas tersenyum, malam ini ia memang harus begadang, hati dan pikirannya sangat kacau."Aku akan memijat bahu mu." Amira pun memijat kedua bahu Andreas. Ia ingin hanya dirinya yang Andreas ingat tanpa mengingat Naina walaupun seujung kuku. "Bagaimana enak tidak?" Tanya Amira sambil terkekeh."Sangat enak, Naina sebelah sini." Tunjuk Andreas pada lengannya.Seketika Amira menghentikan pijatannya. Hatinya langsung merasakan sakit seperti di hujan
Lima tahun kemudian.Seorang wanita tersenyum, dia melambaikan kedua tangannya saat melihat seorang bocah yang tersenyum padanya. Dia meraih tubuh mungil bocah tersebut dan mencium pipi gembulnya. "Bunda."Naina tersenyum, dia menggenggam kedua tangan putrinya lalu masuk ke dalam mobilnya. Selama lima tahun ini dia hidup berdua dengan putri kecilnya di bandung menempati rumah Bi Rohya. Sedangkan Bi Rohya yang pada saat itu ingin ikut dengannya ia melarangnya karena ia takut keberadaannya di ketahui Andreas. Lima tahun ini ia hidup tanpa sosok Andreas, ia sudah menerimanya dan kini ia memperjuangkan kebahagian putrinya yang ia beri nama Giselle Kayla Astra. Hari-harinya penuh dengan kebahagian. Giselle tumbuh menjadi sosok yang ceria. Putrinya pernah menanyakan keberadaan ayahnya dan ia hanya mengatakan jika ayahnya pergi bekerja yang jauh. Kini putrinya tidak menanyakan lagi keberadaan ayahnya."Bunda Gisel ikut ke toko ya?" Rengekan gadis kecil nan cantik itu membuat Naina tersenyum
Naina menurunkan kopernya. Dia menatap sekeliling kamarnya, ia menatap foto pernikahannya. Rasanya waktu berlalu begitu cepat dan ia masih ingin merasakan kenikmatan pernikahannya. Langkahnya yang terasa berat, setiap melangkah ia merasa menginjak sebuah duri. Ia mengusap pipinya yang terus basah. Sejenak ia menghentikan langkahnya dan menatap pintu di sebrang sana. "Selamat tinggal Mas, semoga kau bahagia."Dengan rasa perih dan sakit, dia terus melangkah tanpa menoleh ke belakang. "Nyonya Naina." Bibi Rohya memeluk Naina. Dia merasa cemas pada Naina. "Nyonya mau tinggal dimana?" Tanya Bi Rohya. Ia ingin menawarkan tempat tinggal kampung halamannya.Naina menggelengkan kepalanya. Ia tidak tau harus kemana, kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia hanya seorang diri. Ia baru ingat kalau ia pernah memiliki sebuah rumah di bandung. "Yang jelas aku tidak akan tinggal di sini Bi.""Nyonya tolong kabari Bibi." Bi Rohya tidak tega meninggalkan Naina sendirian. "Jika ada sesuatu hubungi bibi
Setelah obrolannya dengan Amira, Naina merenungi dan mengambil kesimpulan bahwa Amira tidak ingin andreas mempertahankannya. Dia merasa Amira tidak menyukainya dan tidak akan mudah baginya untuk mempertahankan pernikahannya. Ia menghela nafas panjang, ia mengusap perutnya. “Sayang kita akan berjuang untuk mendapatkan ayah mu.” Air matanya mengalir, rasanya begitu sakit untuk ia lalui namun ia harua kuat demi anaknya.TokTokTok"Nyonya." Sapa Bi Rohya. Dia merasa khawatir saat majikannya ia tinggalkan bersama dengan Amira. Pasti sudah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui.Naina mengusap air matanya. Dia membuka pintu kamarnya. "Ada apa Bi?" Tanya Naina."Nyonya belum makan malam,” ucap Bi Rohya. Dia memperhatikan kedua mata Naina. “Nyonya menangis?” Imbuhnya."Makan malam?" Naina mengerutkan keningnya. Dia malah balik bertanya pada Bi Rohya. Jadi dia mengurung diri dan melupakan suaminya. "Apa Mas Andreas sudah pulang? Aku melupakannya." Sebaiknya ia harus fokus pada Andreas dan mem
Keesokan harinya.Sebuah tangan meraba tempat tidur di sampingnya. Saat merasakan tidak ada seseorang, ia membuka kedua matanya dan menoleh, dia melihat tempat di sampingnya tidak lusuh dan itu artinya suaminya tidak tidur di sampingnya. Kedua air matanya mengalir, baru pertama kedatangan Amira, Andreas sudah mengabaikannya. Dia meraba perutnya yang masih rata. Akankah ia kuat mempertahankannya atau sebaliknya, rasanya ia takut untuk melangkah ke depan. "Seandainya saja ada nenek, mungkin aku tidak akan takut untuk melangkah." Dia pun beranjak turun dan bergegas membersihkan tubuhnya. Dia terburu-buru, biasanya ia bangun pagi dan dialah yang membangunkan suaminya dan menyiapkan sarapan untuknya. Akan tetapi kali ini rasanya waktu berlalu begitu cepat, dia ingin terbangun dari mimpi buruknya walaupun sebenarnya adalah kenyataan yang harus ia terima dengan paksa. "Mas." Naina menatap ruang makan itu dengan kedua matanya yang menggenang, hatinya yang perih dan dadanya yang terasa se
Hujan deras menyelimuti bumi, awan hitam di atas langit seakan mengatakan bahwa akan ada kesedihan. Seorang wanita dengan piyama putih melihat keluar jendela. Wanita itu begitu khawatir dan cemas. Suaminya belum pulang bahkan tak ada satu pun panggilannya yang di angkat. Malam ini ia ingin memberi kejutan pada suaminya. "Kemana Andreas?" Naina begitu khawatir. Bibi Rohya pun datang membawa sebuah teh hangat. "Nyonya ini teh hangatnya. Nyonya tidak perlu khawatir, tuan Andreas pasti baik-baik saja," ucapnya.Kedua alis Naina masih berkerut, hatinya tidak tenang. Tidak pernah Andreas tidak mengangkat panggilannya. Selama ini Andreas selalu mengabarinya entah dimana pun keberadaannya.Beberapa menit kemudian, kecemasan Naina hilang, dia tersenyum melihat mobil yang masuk ke pekarangan rumahnya. Dia bergegas turun. "Bibi bawakan aku payung," ucap Naina.Bibi Rohya berlari kecil, dia mengambil payung dan memberikannya pada Naina. Naina membuka payung tersebut dan menuruni anak tangga te