Keesokan harinya.
Sebuah tangan meraba tempat tidur di sampingnya. Saat merasakan tidak ada seseorang, ia membuka kedua matanya dan menoleh, dia melihat tempat di sampingnya tidak lusuh dan itu artinya suaminya tidak tidur di sampingnya. Kedua air matanya mengalir, baru pertama kedatangan Amira, Andreas sudah mengabaikannya. Dia meraba perutnya yang masih rata. Akankah ia kuat mempertahankannya atau sebaliknya, rasanya ia takut untuk melangkah ke depan. "Seandainya saja ada nenek, mungkin aku tidak akan takut untuk melangkah." Dia pun beranjak turun dan bergegas membersihkan tubuhnya. Dia terburu-buru, biasanya ia bangun pagi dan dialah yang membangunkan suaminya dan menyiapkan sarapan untuknya. Akan tetapi kali ini rasanya waktu berlalu begitu cepat, dia ingin terbangun dari mimpi buruknya walaupun sebenarnya adalah kenyataan yang harus ia terima dengan paksa. "Mas." Naina menatap ruang makan itu dengan kedua matanya yang menggenang, hatinya yang perih dan dadanya yang terasa sesak. Dia menatap sepasang kekasih yang baru bertemu itu. Keduanya belum menyadari keberadaannya seolah dia hanyalah dinding. "Melihat mu bahagia, rasanya aku ingin menyerah. Tapi, aku tidak bisa menyerah begitu saja." Terlihat jelas wajah Andreas yang begitu bahagia, senyumnya begitu lebar. Amira menaruh roti yang di olesi selai oleh dirinya. "Akankah ia sanggup melihat semua ini setiap hari?" "Nyonya." Bibi Rohya angkat suara. Dia membuat Naina yang menatap lurus ke depan menoleh padanya. Seketika Andreas dan Amira mengangkat wajahnya melihat Naina. Andreas tersenyum, dia menghampiri Naina. "Nai, duduklah." Hari ini ia bahagia, rasanya sempurna hidupnya dengan kehadiran Naina dan Amira. Sahabat dan kekasihnya duduk bersama dengannya. "Maaf aku bangun kesiangan," ucap Naina merasa bersalah. Ia tidak pernah bangun kesiangan, tapi karena menangis ia lelah dan kemudian tertidur. Andreas terkekeh, sangat lucu melihat wajah Naina yang terasa bersalah. "Nai, mulai sekarang kau tidak perlu lagi menyiapkan sarapan. Kau ini adik ku, jadi biarkan Amira yang menyiapkan sarapan." Deg Naina meremas dressnya, hatinya di hujani oleh ribuan tombok. Senyum di wajah Andreas dan Amira yang saling bertatapan seakan membakar hatinya. Tanpa perasaan Andreas menjelaskan statusnya bahwa dirinya hanyalah istri di atas kertas. "Benar Naina, sekarang biar aku yang meyiapkan." Amira menyela, ia senang Andreas menyukai masakannya. "Kalau kau mau, kau bisa memasak bersama ku." "O iya kau harus berangkat kerja. Biar aku yang mengambilkan tas kerja mu." Tambah Amira. Ia lupa bahwa Andreas seorang CEO yang harus memperhatikan kedisiplinan dan mencotohkannya pada karyawannya. Sekuat hati Naina menahan air matanya agar tidak terjatuh. Dia menggigit bibir bawahnya. Jadi semalam mereka menghabiskan waktu berdua. Bayangan yang terasa aneh melintas di pikirannya. Dia tidak bisa menahannya untuk tetap biasa saja berada di dekat Andreas. Dia pun beranjak dan membuat Andreas terkejut. "Nai?" Andreas bingung dengan sikap Naina. "Aku, aku ke taman. Sepertinya aku ingin mencari udara segar," ucap Naina dengan nada dingin. Bibi Rohya menghela nafas. Pasti bukan hal yang mudah menghadapinya. Tidak ada seorang istri yang tak merasakan sakit ketika melihat suaminya bersama dengan kekasih masa lalunya. Dia pun mendatangi Naina dan melihat nyonya mudanya duduk di sebuah kursi sendirian. "Nyonya." Naina menghapus air matanya. Dia tidak ingin terlihat sedih. Bibi Rohya ikut merasakan betapa sedihnya Naina. Wanita yang ceria ini kini terlihat rapuh bagaikan warna abu-abu. "Bibi." Naina melihat Bi Rohya yang tersenyum padanya. "Apa Nyonya baik-baik saja?" Tanya Bi Rohya. Dia duduk di samping Naina. "Aku baik-baik saja, Bi." Naina tersenyum seakan tidak terjadi sesuatu. Siapa pun tidak akan mempercayainya, kedua mata Naina menyimpan kesedihan yang mendalam. Sebagai seorang wanita ia tau betapa sakitnya melihat suami bermesraan dengan wanita lain. "Nyonya tidak bisa membohongi ku." Naina meneteskan air matanya. Kini ia tidak bisa membendung air matanya. Ingin sekali ia berteriak. Dia memeluk Bi Rohya menumpahkan kesedihan yang ia tahan tadi. "Nyonya harus bicara pada tuan," ucap Bi Rohya. Dia mengelus surai hitam milik Naina. "Dia sudah memutuskan untuk bercerai dengan ku Bi." Dia merasa luluh lantah, seandainya saja Andreas tetap mempertahankan dirinya untuk menjadi istri kedua, ia lebih memilih dengan menjadi istri kedua karena masih ada harapan pria itu akan mencintainya dan buah hatinya. Bibi Rohya terkejut, hanya karena kekasih masa lalunya datang tidka harus menjadikan kata perceraian mudah di ucapkan. Ia akan membantu Naina. "Aku bicara dengan tuan, Nyonya tenang saja," ucap Bibi Rohya dengan nada tegas. "Naina." Panggil seorang wanita. Naina menghapus air matanya dan menoleh. "Iya." Sahut Naina. "Aku ingin berbicara berdua dengan mu." Dia harus menegaskan hubungannya dengan Andreas dan hubungan Andreas dengan Naina. Bibi Rohya begitu enggan untuk meninggalkan Naina, mungkin saja wanita di depannya akan menyakiti Naina. Dia tidak ingin pergi. "Nyonya muda." Kedua matanya memberikan isyarat untuk tidak memenuhi ucapan Amira. Naina mengangguk, dia memberi isyarat bahwa dia tidak apa-apa. "Pergilah Bi." Bibi Rohya menurut, dia berlalu pergi. Dia pun sejenak menoleh ke arah belakang. Rasanya begitu enggan untuk meninggalkan Amira. "Naina, aku tau bukan hal mudah bagi mu. Tapi kami saling mencintai, Andreas menikah dengan mu sebagai adik sekaligus baktinya terhadap ibunya. Aku tidak ingin berpisah dengan Andreas dan Andreas pun tidak ingin berpisah dengan ku. Kau lihat, betapa dia bahagianya bersama ku. Apa kau rela ingin membuat senyumannya yang indah memudar. Dulu dia tersenyum hanya bibirnya, tapi hatinya tidak. Naina aku meminta hak cinta ku, aku meminta Andreas." Naina mengepalkan kedua tangannya. Hatinya luluh lantah."Amira bagaimana kalau aku tidak mau? Aku mencintai Andreas sekalipun dia tidak mencintai ku." Seketika Amira menatap tajam ke arah Naina. "Kau egois Naina, kau hanya mementingkan kebahagian mu tanpa memetingkan kebahagian Andreas. Aku ingin lihat sampai kapan kau mempertahankan cinta mu itu?" Cemoh Amira. Amira bergegas pergi, dia sudah meminta Andreas baik-baik. Ia kira Naina tidak mencintai Andreas, namun wanita itu sudah mencintainya. Ia tidak akan tinggal diam saja.Setelah obrolannya dengan Amira, Naina merenungi dan mengambil kesimpulan bahwa Amira tidak ingin andreas mempertahankannya. Dia merasa Amira tidak menyukainya dan tidak akan mudah baginya untuk mempertahankan pernikahannya. Ia menghela nafas panjang, ia mengusap perutnya. “Sayang kita akan berjuang untuk mendapatkan ayah mu.” Air matanya mengalir, rasanya begitu sakit untuk ia lalui namun ia harua kuat demi anaknya.TokTokTok"Nyonya." Sapa Bi Rohya. Dia merasa khawatir saat majikannya ia tinggalkan bersama dengan Amira. Pasti sudah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui.Naina mengusap air matanya. Dia membuka pintu kamarnya. "Ada apa Bi?" Tanya Naina."Nyonya belum makan malam,” ucap Bi Rohya. Dia memperhatikan kedua mata Naina. “Nyonya menangis?” Imbuhnya."Makan malam?" Naina mengerutkan keningnya. Dia malah balik bertanya pada Bi Rohya. Jadi dia mengurung diri dan melupakan suaminya. "Apa Mas Andreas sudah pulang? Aku melupakannya." Sebaiknya ia harus fokus pada Andreas dan mem
Naina menurunkan kopernya. Dia menatap sekeliling kamarnya, ia menatap foto pernikahannya. Rasanya waktu berlalu begitu cepat dan ia masih ingin merasakan kenikmatan pernikahannya. Langkahnya yang terasa berat, setiap melangkah ia merasa menginjak sebuah duri. Ia mengusap pipinya yang terus basah. Sejenak ia menghentikan langkahnya dan menatap pintu di sebrang sana. "Selamat tinggal Mas, semoga kau bahagia."Dengan rasa perih dan sakit, dia terus melangkah tanpa menoleh ke belakang. "Nyonya Naina." Bibi Rohya memeluk Naina. Dia merasa cemas pada Naina. "Nyonya mau tinggal dimana?" Tanya Bi Rohya. Ia ingin menawarkan tempat tinggal kampung halamannya.Naina menggelengkan kepalanya. Ia tidak tau harus kemana, kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia hanya seorang diri. Ia baru ingat kalau ia pernah memiliki sebuah rumah di bandung. "Yang jelas aku tidak akan tinggal di sini Bi.""Nyonya tolong kabari Bibi." Bi Rohya tidak tega meninggalkan Naina sendirian. "Jika ada sesuatu hubungi bibi
Lima tahun kemudian.Seorang wanita tersenyum, dia melambaikan kedua tangannya saat melihat seorang bocah yang tersenyum padanya. Dia meraih tubuh mungil bocah tersebut dan mencium pipi gembulnya. "Bunda."Naina tersenyum, dia menggenggam kedua tangan putrinya lalu masuk ke dalam mobilnya. Selama lima tahun ini dia hidup berdua dengan putri kecilnya di bandung menempati rumah Bi Rohya. Sedangkan Bi Rohya yang pada saat itu ingin ikut dengannya ia melarangnya karena ia takut keberadaannya di ketahui Andreas. Lima tahun ini ia hidup tanpa sosok Andreas, ia sudah menerimanya dan kini ia memperjuangkan kebahagian putrinya yang ia beri nama Giselle Kayla Astra. Hari-harinya penuh dengan kebahagian. Giselle tumbuh menjadi sosok yang ceria. Putrinya pernah menanyakan keberadaan ayahnya dan ia hanya mengatakan jika ayahnya pergi bekerja yang jauh. Kini putrinya tidak menanyakan lagi keberadaan ayahnya."Bunda Gisel ikut ke toko ya?" Rengekan gadis kecil nan cantik itu membuat Naina tersenyum
Andreas teringat saat masih bersama dengan Naina, saat mereka kejar-kejaran di pantai, jalan-jalan di taman, semuanya begitu indah. Dia tersenyum namun hatinya berdenyut sakit. Dadanya terasa sesak. "Naina." Lirihnya.CeklekAmira membuka pintu ruang kerja suaminya. Andreas buru-buru menaruh foto itu di laci meja kerjanya. Ternyata ia masih takut Amira cemburu padanya dan membuat wanita itu marah. "Aku membuatkan kopi. Kau pasti lelah." Selama menjadi istri Andreas, dia berusaha menjadi istri yang sempurna yang melebihi Naina."Terima kasih."Andreas tersenyum, malam ini ia memang harus begadang, hati dan pikirannya sangat kacau."Aku akan memijat bahu mu." Amira pun memijat kedua bahu Andreas. Ia ingin hanya dirinya yang Andreas ingat tanpa mengingat Naina walaupun seujung kuku. "Bagaimana enak tidak?" Tanya Amira sambil terkekeh."Sangat enak, Naina sebelah sini." Tunjuk Andreas pada lengannya.Seketika Amira menghentikan pijatannya. Hatinya langsung merasakan sakit seperti di hujan
Keesokan harinya.Naina menaruh kotak bekal ke dalam tas Giselle. “Sayang bekalnya di habiskan,” ucap Naina. Dia sering melihat sisa nasi Giselle. Ia sering mengingatkan Giselle agar selalu menghabiskan nasinya.“Iya Bunda.” Sahut Giselle. Ia melirik ibunya yang sedang menarik resleting tasnya. "Bunda bawa bekal kebanyakan. Giselle kadang menyisakannya. Teman-teman Giselle juga bawa semua bekal, jadi ya tidak di habiskan." Imbuhnya menjelaskan.Naina ingin anaknya itu bergizi, mana mungkin ia menaruhnya sedikit. "Sayang kamu harus makan yang banyak, suapaya apa? supaya sehat. Di umur mu lima tahun ini butuh banyak asupan.""Iya, iya Bunda." Giselle mengiyakan. Seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuknya. “Belajar yang rajin ya sayang.” Bi Rohya mencium Giselle. Dia pun mengantarkan Giselle sampai naik ke atas motor. Setiap harinya Naina mengantar Giselle dengan naik motor. Katanya Naina, motor lebih cepat sampai. Kalau macet bisa lebih leluasa menyelinap mobil yang mengantr
"Naina."Kekesalan di harinya meluap karena mendengarkan ucapan sekretarisnya yang mengatakan Naina menikah. Dia kesal karena Naina tidak mengatakannya padanya dan tidak memberi kabar padahal dia dan Naina adalah teman masa kecil yang tidak terpisahkan.Mendengarkan suara yang sangat dia kenali, Naina mematung, ia merasa tersihir dengan suara yang tak asing baginya. sebuah kantong keresek sampah yang berada di tangannya langsung jatuh. Dia memutar tubuhnya. Seketika tubuhnya bagaikan patung hidup. Bibirnya bergetar, dadanya terasa sesak dan seakan sulit untuk bernafas. Dia menatap kedua manik pria itu semakin dalam. Ada rasa cinta dan benci yang bercampur aduk. Saat ini kebencian itu seakan ingin melahap Andreas."An ..."Dia teringat dengan ucapan Bi Rohya yang mengatakan Andreas sudah memiliki anak bahkan kehidupan pernikahannya pun bahagia. Ternyata hanya dirinyalah yang menderita selama ini. Cinta sepihak membuatnya sangat ingin tak bertemu Andreas. Ia membenci perasaannya, menci
Deg Deg Deg Andreas merasakan detak jantungnya berpacu dengan kuat. Dia merasakan jantungnya seakan ingin melompat keluar. Ada rasa sakit di hatinya dan kecewa. Namun ia juga merasa tidak asing dengan anak di hadapannya, ada rasa keinginan kuat untuk berada di dekatanya. Ia menatap lekat anak perempuan tersebut yang seumuran dengan anaknya. Ingin sekali ia memeluknya. "Boleh Om memeluk mu." Naina mengerutkan alisnya. Ia langsung menaruh Giselle ke belakang tubuhnya. Anaknya tidak boleh dekat dengan ayahnya, Andreas. Pria itu tidak boleh tau siapa Giselle. "Tidak perlu, untuk apa memeluknya. Giselle pulanglah dulu, bunda akan menyusul mu nanti setelah berbicara dengan teman bunda." Giselle mengangguk, dia menggenggam tangan Bi Rohya dan keluar dari toko roti tersebut. Mereka menunggu di luar sambil melihat ke dalam. Giselle menatap ibunya yang terlihat serius berbicara dengan pria tampan di hadapannya. Baru kali ini ada pria yang seakan ingin akrap dengannya. ... "Gi
Andreas berdiri di depan jendela hotelnya. Dia teringat dengan wajah Naina yang begitu dingin padanya. Rasanya hatinya sakit, panas dan sakit. "Nai .." Lirihnya sambil memejamkan kedua matanya. "Tuan Andreas apa besok anda akan pulang?" Tanya sanga sekertaris. "Kalau tuan masih ingin menemui nyonya Naina kenapa tuan ingin pulang?" Dia menaikkan sebelah alisnya. Hawa di ruangan ini begitu dingin membuat bulu kuduknya merinding. "Apa tuan tidak merasa curiga dengan anak nyonya Naina?" Tambahnya. Seketika Andreas menoleh dan menatap pria tersebut. "Anak Naina?" Dia pun bingung harus curiga dari mana. "Aku sudah berbaik hati ingin membantunya tapi ternyata dia ..." Pria itu mengangguk sambil memikirkan wajah anak Naina dengan wajah Andreas, mungkin karena rindu sampai tidak menyadarinya. "Sebaiknya tuan test DNA saya merasa anak nyonya Naina adalah anak tuan, jika di ingat dengan perpisahannya nyonya dan tuan seharusnya memang lima tahun saat ini jika nyonya dan tuan memiliki anak."
Kegilaan Andreas membuat Amira begitu naik darah, hatinya begitu retak nyaris tak bisa tersambung lagi. Perkataan Andreas membuatnya hancur. Ia tidak mau Naina kembali pada Andreas. "Aku mencintai mu Andreas. Apa ini balasan mu?" tanya Amira. Andreas menghentikan langkahnya namun ia kembali melanjutkan langkahnya tanpa ingin menoleh atau mengeuarkan sepatah kata apa pun. Dia langsung menuju ke ruang kerjanya dan duduk di kursi kerjanya. Ia menoleh ke arah laci dan menaruh foto Naina kembali. Di pandangnya begitu lekat seakan hatinya juga ikut melihat foto itu. "Aku akan membawa mu. Aku akan menggantikan penderitaan yang telah kamu lalui. Aku akan menjaga mu dan Giselle. Jika memang kamu tidak bisa bersama dengan Amira, aku akan membelikan rumah yang lain untuk mu." Dia pun menghubungi Alden. "Alden aku ingin kamu membeli sebuah rumah. Rumah itu harus terlihat asri dan nyaman." "Untuk siapa Tuan?" tanya Alden. "Untuk Naina dan putri ku Giselle. Aku akan secepatnya membawa merek
Sudah dua hari Andreas menemani Ayna, dia terus menghubungi Naina namun tidak aktif, lalu dia menghubungi bibi Rohya namun tidak di angkat. Dia bingung dan khawatir terjadi sesuatu. "Papa." Sapa ayna. Sejak tadi papanya melihat ke arah ponselnya. "Papa sedang apa? Kenapa papa mengabaikan Ayna?" Andreas tak bisa untuk menyakiti Ayna. "Maafkan Papa Sayang, Papa lagi ada urusan." Ayna memainkan kukunya. Dia kesal karena ayahnya mengabaikannya dan pasti, ia sangat yakin bahwa ayahnya sedang memperhatikan anak luar itu. "Ayna mau Papa." Andreas menghela napas. Ia tidak bisa begini terus. Ia harus ke bandung dan memastikan Naina dan anaknya. "Ay, Papa harus keluar. Kamu sama Mama di sini baik-baik." Ayna menggelengkan kepalanya. "Tidak mau, maunya sama Papa saja." Dada Andreas seperti sesuatu yang ingin keluar. "Ayna, maafkan papa. Kamu tunggu di sini. Papa harus keluar." Ia tidak mungkin berada di sini sedangkan anaknya yang lain sedang berada di luar sana yang juga menung
Andreas kembali menemui Giselle dan Naina tepat saat Naina ingin mengantarkan Giselle ke sekolah. "Nai," Di tatapnya wajah cantik putrinya itu. "Aku ingin mengatar kalian.""Tidak perlu, dari dulu tidak di antar oleh mu sampai saat ini masih waras." Naina membukakan pintu pada Giselle namun Andreas menutup pintu itu."Sudah cukup, kalian selalu saja bertengkar." Giselle merasa kesal lantaran ia selalu melihat ayah dan ibunya tidak berhenti beradu mulut. "Giselle aku ayah mu Sayang. Ayah merindukan Giselle." "Kau kelewat batas Andreas. Kau tidak berhak mengeklaim Giselle putri mu." Seru Naina. Andreas tidak ingin menyembunyikan apa pun lagi. Giselle putrinya, ia juga memiliki tanggung jawab pada Giselle. "Giselle Sayang, maafkan Ayah yang tidak menemui mu. Seandainya ibu mu mengatakannya.""Kau ingin menyalahkan ku? Hah, urus saja anak mu dan Amira." Naina membuka pintu mobilnya. "Ayo Sayang kita masuk, jangan memperdulikan dia."Andreas ikut masuk ke dalam dan duduk di kursi belaka
BrakNaina menutup pintu rumahnya dengan kasar. Ia bersandar, ia merasakan dadanya berdetak ketakutan. Nafasnya seakan di tarik. Sungguh ia takut ancaman Andreas karena ia seorang wanita miskin yang tidak memiliki apa-apa. "Andreas, aku tidak akan membiarkan mu mengambil Giselle."Dia menuju ke dapur, mengambil air minum dan meneguknya hingga tandas. Di tatapnya seluruh hidangan masih berada di atas meja makan. Ia seakan tak memiliki untuk membereskannya....Bi Rohya duduk di samping Giselle, ia menunggu anak Giselle tidur dan mungkin ingin menanyakan sesuatu padanya. Setelah sekian menit, Giselle tak kunjung tidur atau menanyakan langsung."Giselle Sayang kenapa belum tidur? Apa ada sesuatu yang mau di tanyakan pada Nenek?"Giselle bangkit, dia menatap Bi Rohya. "Jadi Om itu benaran ayah Giselle?"Bi Rohya mengangguk, ia tidak bisa membohonginya lagi. "Iya, Om itu ayah Non Giselle.""Tapi siapa wanita di samping Om itu?" Giselle penasaran. Seharusnya jika laki-laki itu ayahnya, seha
Amira menunduk, ia menunggu jawaban Andreas. "Tapi sebelum itu aku mohon untuk mempertemukan ku dengan Naina." "Baiklah. Kau bicara sendiri untuk meyakinkah Naina." Ia berharap dengan ucapan Amira. Naina mau membina rumah tangga bersamanya. "Besok kita akan bertemu dengannya."Tangan Amira gemetar, ia tidak sabar ingin bertemu dengan Naina. Ia akan memperingati Naina untuk menolak permintaan Andreas."Aku mau mengantar Ayna dulu." Dia menutup pintu ruang kerja Andreas dan beralih mengantar Ayna ke sekolah. Selama di perjalanan, Ayna sibuk dengan ponselnya. "Ayna kau harus berhati-hati.""Berhati-hati kenap Ma?" Tanya Ayna dengan wajah penasaran. Padahal saat ini ia ingin di antarkan oleh Andreas tapi karena Andreas sibuk ia harus mengalah."Apa kau ingat, Mama pernah cerita pada mu. Jika papa mu pernah memiliki istri.""Iya Ma, aku ingat." "Wanita itu datang ingin merebut posisi kita dan wanita itu memiliki anak yang seumuran dengan mu. Kau harus berhati-hati, buat saja anak itu ti
Keesokan harinya.Andreas melihat banyaknya panggilan dari Amira. Dia menghela nafas, ia juga tidak boleh mengabaikan Amira karena dirinya yang membawa Amira ke dalam hidupnya. Namun rasanya sungguh berat untuk menjalankan semuanya. Ia menghubungi balik dan selang beberapa saat, ia mendengarkan sebuah suara dari seberang sana."Mas kamu kemana saja? Aku dan Ayna menunggu mu." Seru Amira. Andreas terdiam, ia ingin mengatakan sesuatu bahwa dirinya telah menemukan Naina. "Maafkan aku, aku memiliki banyak pekerjaan.""Aku akan ke bandung kalau kau belum bisa pulang." Amira tidak tenang dengan sikap suaminya. Ia takut ada suatu masalah. "Apa pekerjaan mu lancar?""Hari ini aku akan kembali ke Jakarta." Amira sangat senang, dia sangat merindukan Andreas. "Baiklah, aku akan membuat kue kesukaan mu." "Iya." Dia menutup ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. "Aku harus berpamitan pada Naina." Dia menuju ke sebuah toko bunga dan menulis surat untuk Naina. Di dalam surat itu menjelaskan ia h
Andreas menatap punggung Giselle yang menjauh. Air matanya menggenang, ternyata putrinya tidak menerimanya. Apa lagi karena dirinya Naina sedih. Dia membuka pintu mobilnya. Ia masuk dan menuju ke toko roti. Dia pun keluar dan duduk sambil menatap Naina. Dia sama sekali tidak berniat untuk keluar dari toko tersebut. Naina sejenak menoleh ke arahnya, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya.Hingga malam pun, Naina masih melihat Andreas duduk di tempat yang sama. Bahkan dia tidak mengangkat ponselnya ketika berdering."Naina.""Apa lagi Andreas? Kapan kau akan pergi?"Andreas meraih menggenggam tangan Naina. "Maafkan aku, maafkan aku yang menyebabkan kamu bersedih. Nai, mari ikut aku ke Jakarta. Mari kita menikah."Seandainya dulu, ia pasti senang karena saat itu tidak ada rasa sakit yang bahkan membuat hatinya hancur. Dia masih berharap, tapi sekarang ia tidak berharap lagi pada Andreas. "Apa semuanya akan berubah? Apa rasa sakit di hati ku bisa di sembuhkan? Apa kesedihan dalam hidup k
Sebagai seorang ayah, ia ingin menemani Giselle. "Tapi Giselle butuh figur seorang ayah." Saat Naina ingin menyanggah ucapan Andreas, tiba-tiba suara Giselle membuat Naina terdiam dan mengalihkan perhatiannya pada Giselle. "Bunda." Sapa Giselle. Dia mengabaikan Andreas. Dia merasa asing pada Andreas namun ia juga merasa akrap padanya. Naina mengubah ekspresi wajahnya yang tadinya, marah dan terkejut karena takut Giselle mendengarkan. Andreas memilih menghampiri Giselle. "Sayang." Sapa Andreas. Dia menatap wajah putrinya dengan dalam. Inilah anaknya dengan Naina perpaduan wajahnya dengan wajah Naina namun wajahnya terlihat lebih mirip dengannya. Wajah cantiknya bagaikan boneka porselen. Putih, seakan ada bunga yang bersemi di wajahnya. Andreas tersenyum, ingin rasaya ia menggendong Giselle. "Sayang, sudah bangun." Giselle mengangguk, Bibi Rohya membantu Giselle duduk di kursi untuk ikut sarapan pagi. "Gisell, ini sarapannya sayang." Naina menaruh nasi goreng di depan Giselle
Sejenak Naina tersihir dengan pelukan yang sangat ia rindukan. Tubuhnya seakan di tarik oleh sebuah magnet, rasanya begitu hangat. Sadar dengan posisinya yang berpelukan, dengan cepat ia mendorong tubuh Andreas."Kau masih demam, aku keluar dulu. Jika ada yang perlu kau butuhkan, panggil aku atau Bi Rohya." Naina melengkah pergi dan menutup pintu kamarnya. Dia memegang dadanya yang terasa sesak, dia tidak boleh goyah hanya karena Andreas sakit. Dia duduk sofa ruang tamunya dan sejenak terdiam. Beribu pikiran, beribu kesakitan saat ia mengingat semua kenangannya."Nyonya." Sapa Bi Rohya. "Hah! Kau mengagetkan aku saja Bi." Naina terkejut saat Bi Rohya tiba-tiba muncul di sampingnya."Maaf Nyonya, biar saya saja yang menjaga tuan Andreas. Nyonya istirahat saja, kasihan Non Giselle pasti nanti terbangun dan mencari Nyonya." "Baiklah, jika ada sesuatu katakan pada ku." Ia mengiyakan karena ia memang butuh waktu.Bibi Rohya mengangguk. Dia melihat Naina masuk, setelah di rasa aman. Dia