Andreas teringat saat masih bersama dengan Naina, saat mereka kejar-kejaran di pantai, jalan-jalan di taman, semuanya begitu indah. Dia tersenyum namun hatinya berdenyut sakit. Dadanya terasa sesak. "Naina." Lirihnya.
Ceklek
Amira membuka pintu ruang kerja suaminya. Andreas buru-buru menaruh foto itu di laci meja kerjanya. Ternyata ia masih takut Amira cemburu padanya dan membuat wanita itu marah.
"Aku membuatkan kopi. Kau pasti lelah." Selama menjadi istri Andreas, dia berusaha menjadi istri yang sempurna yang melebihi Naina.
"Terima kasih."Andreas tersenyum, malam ini ia memang harus begadang, hati dan pikirannya sangat kacau.
"Aku akan memijat bahu mu." Amira pun memijat kedua bahu Andreas. Ia ingin hanya dirinya yang Andreas ingat tanpa mengingat Naina walaupun seujung kuku. "Bagaimana enak tidak?" Tanya Amira sambil terkekeh.
"Sangat enak, Naina sebelah sini." Tunjuk Andreas pada lengannya.
Seketika Amira menghentikan pijatannya. Hatinya langsung merasakan sakit seperti di hujanj oleh belati. "Kau menyebut ku Naina? Andreas kau masih saja belum melupakannya?"
Andreas menghela nafas. "Maafkan aku." Dia terbiasa di pijat oleh Naina dan hampir setiap malam wanita itu memijatnya.
"Maaf? Andreas kita sudah menikah lima tahun ini kau masih belum bisa melupakannya. Seharusnya kau melupakannya, apa aku harus pergi saja bersama Ayna?" Dia sudah meyakinkan Andreas bahwa pria itu harus melupakan masa lalunya. Ia tidak ingin dalam rumah ini masih ada bayangan Naina.
Andreas beranjak dan menahan lengan Amira. "Amira maafkan aku, tidak mungkin aku melupakan teman masa kecil ku. Kau harus tau itu, lagi pula kita sudah menikah dan aku memilih mu. Hanya saja beberapa tahun ini aku memikirkannya entah bagaimana kabarnya. Dia tidak memiliki orang tua dan hanya memiliki diriku. Kau harus mengerti, sebaiknya kau tinggalkan aku sendiri. Kau harus mendinginkan pikiran mu."
Amira menatap kecewa, air matanya mengalir. Dia pun bergegas pergi. Hatinya sangat sakit mengingat pria itu masih memikirkan Naina.
Drt
"Tuan, besok kita harus ke bandung untuk membahas masalah pembangunan pabrik teh di sana," ucap seorang pria di seberang sana.
"Baiklah." Andreas menutup ponselnya. Ia merasa kepalanya terasa berat. Ia duduk bersandar di kursinya dengan kasar.
Tok
Tok
Tok
"Tuan ini saya Rohya." Dia ingin menyampaikan sesuatu. Kalau bisa ia tidak ingin kembali ke rumah ini.
"Masuklah," ucap Andreas. Dia memijat pelipisnya dan kemudian menatap ke arah Bi Rohya.
"Tuan saya mau ijin ke bandung karena cucu saya sakit," ucap bi Rohya. Tadi dia menghubungi Naina dan cucunya sedang sakit.
"Baiklah kau boleh libur," ucap Andreas singkat dan padat.
"Terima kasih tuan," ucap bi Rohya. Dia menghela napas saat melihat wajah Andreas.
Andreas mengerutkan keningnya, semenjak kapan bi Rohya memiliki anak setaunya bi Rohya tidak memiliki anak namun ia tidak ingin ambil pusing tentang keluarga Artnya itu.
Keesokan harinya.
Seorang wanita berdiri mondar-mandir sambil menunggu kedatangan seseorang. Wanita itu sejak tadi khawatir karena bi Rohya masih berda di perjalanan pulang. Dia takut terjadi sesuatu di jalan.
Dia menoleh saat mendengarkan suara mobil berhenti. Dia pun bergegas menghampiri mobil tersebut yang ia yakini bi Rohya dan ternyata dugaannya benar.
"Bibi."
Naina memeluk bi Rohya. Wanita itu begitu senang melihat majikannya kembali. Dia sudah menganggap Naina seperti anaknya sendiri.
"Bagaimana kabar nyonya?" Tanya Bi Rohya.
"Jangan panggil nyonya, panggil saja Naina biar kita lebih akrap. Naina menganggap bibi sebagai orang tua Naina."
Bi Rohya mengusap pipi Naina. "Bagaimana keadaan Gisell?" Dia sangat khawatir dengan cucunya yang menggemaskan itu.
"Demamnya sudah turun," jawab Naina. Dia pun membawa koper Bi Rohya masuk ke dalam.
Wanita setengah baya itu menuju ke lantai atas, kamar Giselle. Dia membuka pintu kamarnya dan di suguhkan dengan warna biru. Ruangan berwarna biru dengan gambar Elsa. Giselle banyak cerita bahwa dia begitu menyukai sosok Elsa yang kuat. Dia memeriksa keningnya dengan punggung tangannya.
Giselle merasa ada yang menyentuhnya keningnya dan membuka kedua matanya. "Nenek." Dia beranjak dan memeluk bibi Rohya.
"Giselle kangen Nenek." Rengeknya.
"Iya sayang, Nenek juga kangen Giselle." Tuturnya dengan jujur. Dia ingin sekali bersama dengan Naina dan Giselle namun Naina justru tidak ingin dia berhenti bekerja karena sudah lama.
"Apa kepalanya sakit?" Tanya bi Rohya. Giselle menangis dan mengatakan bahwa kepalanya sakit.
"Sudah mendingan." Sahut Giselle.
"Giselle tidur lagi ya, nanti saja lanjuti ngobrolnya sama Nenek." Keduanya matanya terasa berat, sejujurnya ia masih ingin menemani nenaknya itu.
"Iya Nek."
Bi Rohya menepuk tangan Giselle yang berada di atas perutnya hingga gadis kecil itu pun tidur. "Malang benar nasib mu, Sayang. Ayah mu lebih menyayangi anak orang lain dari pada anaknya sendiri." Dia begitu melihat Andreas begitu menyayangi dan mencintai Ayna. "Seharusnya di masa kecil mu kau bahagia bersama dengan ayah mu. Kau memiliki keluarga yang utuh."
Naina yang mengintip di sela pintu dan mendengarkannya merasa panas hatinya dan sakit. Air matanya mengalir, ternyata Andreas sudah memiliki anak dan mungkin dia benar-benar telah di lupakan.
"Naina."
"Bi."
Bibi Rohya melihat Naina berdiri di depan pintu. Dia tau wanita itu menangis dan mungkin mendengarkan ucapannya. Dia pun menutup pintu kamar Giselle.
"Bibi ingin bicara dengan mu." Dia ingin menanyakan sesuatu pada Naina.
Di sinilah bibi Rohya dan Naina, dia berada di depan teras sambil melihat kendaraan berlalu lalang di sela-sela pagar dan gerbang besi. Rumahnya berada di dekat jalan raya dengan halaman luas dan di depannya ada pohon mangga.
"Kau masih belum melupakan tuan Andreas?" Apakah benar Naina tidak bisa move on dari mantan suaminya yang kini sudah bahagia dalam keluarganya.
"Bagaimana kabarnya?" Tanya Naina balik bertanya. Dia tidak ingin menjawabnya.
"Dia baik, pernikahannya dengan nyonya Amira bahagia. Mereka mengadopsi seorang anak perempuan." Ia tau kejujurannya pasti akan membuat Naina terluka namun ia ingin Naina sadar bahwa dia harus melanjutkan kehidupannya.
"Mereka pasti bahagia." Ia sangat yakin tentang kebahagian mantan suaminya dan istri barunya.
Bibi Rohya sangat sedih, dia kasihan pada Naina yang hanya menderita sendiria. "Sudah saatnya kau bahagia Naina dan melupakannya."
Air mata Naina jatuh, ternyata hatinya masih menyimpan luka. Ucapan yang begitu menyakitkan memang sangat sulit di lupakan.
"Aku akan berusaha melupakannya Bi." Dia akan berusaha sebisa mungkin untuk melupakan mantan suaminya dan menjalani kehidupannya dengan damai. Jika bisa, ia ingin menikah lagi dan memberikan keluarga yang bahagia untuk Giselle.
Keesokan harinya.Naina menaruh kotak bekal ke dalam tas Giselle. “Sayang bekalnya di habiskan,” ucap Naina. Dia sering melihat sisa nasi Giselle. Ia sering mengingatkan Giselle agar selalu menghabiskan nasinya.“Iya Bunda.” Sahut Giselle. Ia melirik ibunya yang sedang menarik resleting tasnya. "Bunda bawa bekal kebanyakan. Giselle kadang menyisakannya. Teman-teman Giselle juga bawa semua bekal, jadi ya tidak di habiskan." Imbuhnya menjelaskan.Naina ingin anaknya itu bergizi, mana mungkin ia menaruhnya sedikit. "Sayang kamu harus makan yang banyak, suapaya apa? supaya sehat. Di umur mu lima tahun ini butuh banyak asupan.""Iya, iya Bunda." Giselle mengiyakan. Seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuknya. “Belajar yang rajin ya sayang.” Bi Rohya mencium Giselle. Dia pun mengantarkan Giselle sampai naik ke atas motor. Setiap harinya Naina mengantar Giselle dengan naik motor. Katanya Naina, motor lebih cepat sampai. Kalau macet bisa lebih leluasa menyelinap mobil yang mengantr
"Naina."Kekesalan di harinya meluap karena mendengarkan ucapan sekretarisnya yang mengatakan Naina menikah. Dia kesal karena Naina tidak mengatakannya padanya dan tidak memberi kabar padahal dia dan Naina adalah teman masa kecil yang tidak terpisahkan.Mendengarkan suara yang sangat dia kenali, Naina mematung, ia merasa tersihir dengan suara yang tak asing baginya. sebuah kantong keresek sampah yang berada di tangannya langsung jatuh. Dia memutar tubuhnya. Seketika tubuhnya bagaikan patung hidup. Bibirnya bergetar, dadanya terasa sesak dan seakan sulit untuk bernafas. Dia menatap kedua manik pria itu semakin dalam. Ada rasa cinta dan benci yang bercampur aduk. Saat ini kebencian itu seakan ingin melahap Andreas."An ..."Dia teringat dengan ucapan Bi Rohya yang mengatakan Andreas sudah memiliki anak bahkan kehidupan pernikahannya pun bahagia. Ternyata hanya dirinyalah yang menderita selama ini. Cinta sepihak membuatnya sangat ingin tak bertemu Andreas. Ia membenci perasaannya, menci
Deg Deg Deg Andreas merasakan detak jantungnya berpacu dengan kuat. Dia merasakan jantungnya seakan ingin melompat keluar. Ada rasa sakit di hatinya dan kecewa. Namun ia juga merasa tidak asing dengan anak di hadapannya, ada rasa keinginan kuat untuk berada di dekatanya. Ia menatap lekat anak perempuan tersebut yang seumuran dengan anaknya. Ingin sekali ia memeluknya. "Boleh Om memeluk mu." Naina mengerutkan alisnya. Ia langsung menaruh Giselle ke belakang tubuhnya. Anaknya tidak boleh dekat dengan ayahnya, Andreas. Pria itu tidak boleh tau siapa Giselle. "Tidak perlu, untuk apa memeluknya. Giselle pulanglah dulu, bunda akan menyusul mu nanti setelah berbicara dengan teman bunda." Giselle mengangguk, dia menggenggam tangan Bi Rohya dan keluar dari toko roti tersebut. Mereka menunggu di luar sambil melihat ke dalam. Giselle menatap ibunya yang terlihat serius berbicara dengan pria tampan di hadapannya. Baru kali ini ada pria yang seakan ingin akrap dengannya. ... "Gi
Andreas berdiri di depan jendela hotelnya. Dia teringat dengan wajah Naina yang begitu dingin padanya. Rasanya hatinya sakit, panas dan sakit. "Nai .." Lirihnya sambil memejamkan kedua matanya. "Tuan Andreas apa besok anda akan pulang?" Tanya sanga sekertaris. "Kalau tuan masih ingin menemui nyonya Naina kenapa tuan ingin pulang?" Dia menaikkan sebelah alisnya. Hawa di ruangan ini begitu dingin membuat bulu kuduknya merinding. "Apa tuan tidak merasa curiga dengan anak nyonya Naina?" Tambahnya. Seketika Andreas menoleh dan menatap pria tersebut. "Anak Naina?" Dia pun bingung harus curiga dari mana. "Aku sudah berbaik hati ingin membantunya tapi ternyata dia ..." Pria itu mengangguk sambil memikirkan wajah anak Naina dengan wajah Andreas, mungkin karena rindu sampai tidak menyadarinya. "Sebaiknya tuan test DNA saya merasa anak nyonya Naina adalah anak tuan, jika di ingat dengan perpisahannya nyonya dan tuan seharusnya memang lima tahun saat ini jika nyonya dan tuan memiliki anak."
Tangan Andreas gemetar melihat hasil test DNA tersebut yang menyatakan kecocokan dengannya. Dia teringat malam itu, ia ingat saat Naina menyentuh tangannya untuk mengelus perutnya, ternyata saat itu dia mengelus terakhir kali. Pantas saja Naina begitu marah saat ia membawa Giselle. Wanita itu pasti takut di curigai. "Jadi ini yang ingin kamu sembunyikan dan semua ucapan mu semuanya adalah kebohongan." Andreas tertawa, kenapa ia begitu bodohnya mempercayai perkataan Naina. "Sial!" geramnya sambil menekan kepalanya dengan kedua tangannya.Jantungnya seakan berdetak dengan sakit. Ia menyugar rambutnya. Rasanya sekujur tubuhnya terasa panas."Apa tuan akan menemui Nyonya?" Tanya seorang pria. Dia sudah mengetahui bahwa Andreas memiliki seorang anak."Kenapa begini?" Andreas tak sanggup membayangkan betapa bejatnya dirinya sebagai seorang ayah. Dia menelantarkan anaknya dan mengadopsi seorang anak. Sungguh ia membuat sebuah lelucon. Rasanya bertubi-tubi sangat sakit."Aku harus menemuinya.
Sejenak Naina tersihir dengan pelukan yang sangat ia rindukan. Tubuhnya seakan di tarik oleh sebuah magnet, rasanya begitu hangat. Sadar dengan posisinya yang berpelukan, dengan cepat ia mendorong tubuh Andreas."Kau masih demam, aku keluar dulu. Jika ada yang perlu kau butuhkan, panggil aku atau Bi Rohya." Naina melengkah pergi dan menutup pintu kamarnya. Dia memegang dadanya yang terasa sesak, dia tidak boleh goyah hanya karena Andreas sakit. Dia duduk sofa ruang tamunya dan sejenak terdiam. Beribu pikiran, beribu kesakitan saat ia mengingat semua kenangannya."Nyonya." Sapa Bi Rohya. "Hah! Kau mengagetkan aku saja Bi." Naina terkejut saat Bi Rohya tiba-tiba muncul di sampingnya."Maaf Nyonya, biar saya saja yang menjaga tuan Andreas. Nyonya istirahat saja, kasihan Non Giselle pasti nanti terbangun dan mencari Nyonya." "Baiklah, jika ada sesuatu katakan pada ku." Ia mengiyakan karena ia memang butuh waktu.Bibi Rohya mengangguk. Dia melihat Naina masuk, setelah di rasa aman. Dia
Sebagai seorang ayah, ia ingin menemani Giselle. "Tapi Giselle butuh figur seorang ayah." Saat Naina ingin menyanggah ucapan Andreas, tiba-tiba suara Giselle membuat Naina terdiam dan mengalihkan perhatiannya pada Giselle. "Bunda." Sapa Giselle. Dia mengabaikan Andreas. Dia merasa asing pada Andreas namun ia juga merasa akrap padanya. Naina mengubah ekspresi wajahnya yang tadinya, marah dan terkejut karena takut Giselle mendengarkan. Andreas memilih menghampiri Giselle. "Sayang." Sapa Andreas. Dia menatap wajah putrinya dengan dalam. Inilah anaknya dengan Naina perpaduan wajahnya dengan wajah Naina namun wajahnya terlihat lebih mirip dengannya. Wajah cantiknya bagaikan boneka porselen. Putih, seakan ada bunga yang bersemi di wajahnya. Andreas tersenyum, ingin rasaya ia menggendong Giselle. "Sayang, sudah bangun." Giselle mengangguk, Bibi Rohya membantu Giselle duduk di kursi untuk ikut sarapan pagi. "Gisell, ini sarapannya sayang." Naina menaruh nasi goreng di depan Giselle
Andreas menatap punggung Giselle yang menjauh. Air matanya menggenang, ternyata putrinya tidak menerimanya. Apa lagi karena dirinya Naina sedih. Dia membuka pintu mobilnya. Ia masuk dan menuju ke toko roti. Dia pun keluar dan duduk sambil menatap Naina. Dia sama sekali tidak berniat untuk keluar dari toko tersebut. Naina sejenak menoleh ke arahnya, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya.Hingga malam pun, Naina masih melihat Andreas duduk di tempat yang sama. Bahkan dia tidak mengangkat ponselnya ketika berdering."Naina.""Apa lagi Andreas? Kapan kau akan pergi?"Andreas meraih menggenggam tangan Naina. "Maafkan aku, maafkan aku yang menyebabkan kamu bersedih. Nai, mari ikut aku ke Jakarta. Mari kita menikah."Seandainya dulu, ia pasti senang karena saat itu tidak ada rasa sakit yang bahkan membuat hatinya hancur. Dia masih berharap, tapi sekarang ia tidak berharap lagi pada Andreas. "Apa semuanya akan berubah? Apa rasa sakit di hati ku bisa di sembuhkan? Apa kesedihan dalam hidup k
Antonio merasa canggung dengan ucapan Naina padanya. Ia milirik Andreas, ia merasa kasihan pada Andreas. "Emm baiklah, aku memiliki urusan dengan mu.""Nanti malam aku akan menemui mu." Hari ini ia tidak memiliki waktu untuk menemani Antonio. Ia harus memiliki banyak waktu bersama dengan Giselle dan Naina. "Emm ... baiklah, aku pergi dulu." Andreas menggendong Giselle. Ia mencium pipinya bertubi-tubi. Rasa senang terpancar di wajahnya. "Sayang katanya mau jalan-jalan. Ayo Daddy akan membawa mu kemana pun yang kamu mau."Giselle mencium balik pipi Andreas. "Aku senang Ayah. Mari kita jalan-jalan." Andreas melangkah keluar dengan menggendong Giselle dan Naina mengekorinya. Para karyawan pun hanya melihat tingkah laku bos mereka. Mereka hanya tau bos mereka menikah dan tidak memiliki anak namun saat ini di hadapan mereka di suguhkan dengan kehadiran seorang anak dan Andreas memandnaginya dengan kasih sayang."Apa dia anak Tuan Andreas?" Tanya seorang karyawan wanita. Dia melihat betap
Naina menyuapi Giselle. Putrinya memintanya untuk di suapi, mungkin karena merindukan suapannya. “Sayang ingin nambah lagi?” Tanya Naina. Giselle memakan dengan banyak dan begitu lahap. “Suapan ibu memang sangat enak.”“Naina, Giselle.” Sapa Andreas. Dia membawa beberapa paper bag untuk Naina dan Giselle. “Sedang di suapi Bunda? Suapan Bunda pasti enak.”“Benar Ayah sangat enak. Giselle selalu ingin menambah.” Giselle mengelus perutnya. “Tapi sudah kenyang.”Andreas tertawa lebar, ia melihat Naina yang tertawa. Rasanya ia kembali seperti dulu. “Oh iya Sayang, Naina. Aku ingin mengajak kalian ke Swiss. Sekalian aku mau melihat-lihat perusahaan ku di sana.”Giselle merasa asing dengan namanya dan ia merasa Swiss negara yang indah. “Bunda apa aku bisa ikut kesana?” “Tentu saja Sayang. Kita bisa kesana.” Ia tidak akan pernah menolak keinginan Giselle karena baginya, putrinya sudah cukup melalui penderitaan. “Swiis? Aku sangat senang. Apa malam ini Ayah akan menginap di sini?”Andreas m
Andreas mengepalkan tangan kanannya, wajahnya terlihat gelisah. Selama ini ia yakin bahwa Giselle sudah menerimanya tanpa ada rasa curiga atau kesalahpahaman namun ternyata pikirannya salah. “Giselle maafkan Ayah. Ayah bersumpah bahwa Ayah menyayangi mu.”Giselle tersenyum tipis, ia sangat ragu dengan ucapan ayahnya tersebut. “Ayah, Giselle tidak percaya pada Ayah. Ayah selalu mengatakan hal yang sama, tapi tidak sesuai dengan perkataan Ayah. Giselle mau tidur, Giselle lelah.”BipGiselle memutuskan panggilannya tanpa menunggu Andreas. Ia yakin ayahnya pasti akan mengelak jika ia mengatakannya. Naina menoleh dan kembali ke arah Giselle dan memeluk Giselle. Ia benar-benar telah gagal menjadi ibu yang baik untuk Giselle. “Giselle maafkan Bunda yang tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk mu.”Naina mengusap air matanya. Ia sangat merasa bersalah pada Giselle. Giselle mengusap air mata Giselle. Semua yang terjadi bukan kesalahan ibunya. “Bunda tidak salah apa-apa. Kita akan bahag
"Papa jahat! Papa tidak sayang pada Ayna." Teriak Ayna kemudian berlari ke kamarnya untuk menemui Amira. Amira menatap Ayna. Ia masih memiliki harapan selama Ayna bersamanya. Ia bisa mengekang Andreas hanya membuat Ayna yang menentang Andreas. "Ayna kita di perlakukan seperti ini karena wanita itu." “Benar Ma.” Ayna begitu benci pada wanita itu yang telah merusak kebahagiannya. Suatu saat nanti ia akan membalasnya. “Ayna akan membuat Giselle merasakannya.”Amira memeluk Ayna. “Kita bisa menjalaninya Sayang. Kita pergi bukan berarti kita mengalah pada wanita itu. Rumah ini, rumah kita. Bukan kita yang pergi, tapi mereka.” “Amira aku sudah membelikan rumah untuk mu dan Ayna kau ingin ikut dengan Papa atau Mama?” Tanya Andreas. Amira tidak mungkin melepaskan Ayna karena anak ini adalah kuncinya. “Biar aku saja yang merawat Ayna.” Dengan begitu ia masih bisa mengekang Andreas. “Aku akan ikut dengan Mama, Pa.” Ayna mengangkat wajahnya. “Tapi Pa biarkan kami tinggal di sini. Sekalipun
"Apa?!" Amira melebarkan kedua matanya. Seakan kedua kedua bola matanya akan keluar. Detak jantungnya berdetak lebih cepat di iringi rasa panas, bahkan kedua telinganya mendengarkan detak jantungnya itu. "Ini tidak mungkin. Kita tidak bisa bercerai. Kau tidak bisa meninggalkan ku." Andreas menyilangkan kakinya, ia muak dengan kebohongan Amira. "Apa kamu pikir aku betah dengan semua kebohongan mu Amira?" Amira menggeram, ia berlutu di kaki Andreas. "Aku mohon Andreas jangan membuang ku. Kasihan Ayna, dia membutuhkan kehadiran kita. Aku sudah setuju membawa Naina ke sini. Kita bisa hidup bersama." Andreas mendekatkan wajahnya ke wajah Amira. "Setelah semua kejadian di masa lalu. Apa kamu pikir aku akan mempercayai mu Amira?" Ia menoleh ke arah lain. "Aku tidak tau apa yang akan kamu rencanakan kebelakangnya. Jadi aku tidak akan mengambil resiko." "Ayna tidak akan setuju Andreas." Ia berusaha menghancurkan kebekuan hati Andreas agar mencair begitu menyebut nama Ayna. "Aku men
Andreas Merasakan kebahagiaan bersama dengan Naina dan Giselle. Ia tidak ingin kehilangan kebahagian. Ia memutuskan untuk berpisah dengan Amira secepatnya. "Nai, aku akan kembali ke Jakarta. Aku akan mengurus perceraian ku."Naina mengabaikan ucapan Andreas. Yah, dia tidak peduli. Ia berpikir berteman saja dengan Andreas demi anak-anaknya. Pertengkaran juga tidak baik untuk anaknya. Andreas mengerti apa yang di pikirkan oleh Naina. Ia akan bersabar sampai wanita itu membuka hatinya.Mereka pun sarapan dengan suasana hangat. Giselle banyak berbicara dan Andreas meladeni putrinya dengan senyuman. Keluarga hangat itu seperti keluarga cemara yang hangat. “Sayang, Ayah kembali ke Jakarta dulu. Nanti Ayah akan kesini lagi menjenguk bunda dan Giselle.”Giselle mengerucutkan mulutnya, hatinya berubah tidak menerima. “Baiklah, tapi jemput aku dan bunda. Aku akan ikut Ayah ke Jakarta.”Naina mengerutkan keningnya. Giselle tidak membicarakan apa pun padanya. Ia tidak percaya anaknya mau ikut d
Andreas dan Amira langsung bungkam, mereka saling membuang wajah. Bagi Andreas bertengkar di depan anak-anak bukanlah waktu yang tepat. Ia tidak ingin meninggalkan kenangan buruk pada Ayna. Mereka tidak mengeluarkan kata sedikit pun sampai tiba di sebuah hotel. Dia mengantarkan Amira dan Ayna tepat di depan hotel. "Papa tidak mau masuk?" Ayna menggenggam tangan Andreas. Ia tidak ingin meninggalkan Andreas pada Giselle. "Papa akan pergi pada Giselle?" "Tidak, Papa tidak akan pergi. Papa akan tidur di tempat lain. Jadi Ayna tidurlah bersama dengan Mama." Andreas memeluk Ayna sebelum pergi meninggalkannya. Saat ini ia tidak mungkin bersama dengan Amira karena akan menimbulkan kesalahpahaman bagi hubungannya dengan Giselle dan Naina. "Apa Naina sudah tidur?" Andreas kembali ke rumah Naina hanya ingin melihat keadaan mereka. "Tuan datang lagi? masuklah." Bibi Rohya mempersilahkan Andreas masuk. Dia berlalu untuk membuatkan kopi hangat. Andreas melihat sekelilingnya dan
Andreas merasa senang melihat kedua putrinya yang tampak akur. Ia berpikir putrinya bisa di satukan dalam satu atap. "Hey Sayang kalian tampak akur." Ayna tersenyum dalam artian kelembutan seolah tidak terjadi apa pun. "Iya Pa tentu saja aku harus akur. Aku sudah menerima Giselle sebagai saudara ku begitupun dengan Giselle, iya kan Giselle?" Giselle mengangguk dan tersenyum tipis. Ia ingin menyuruh Andreas untuk menginap, tapi sepertinya ibunya tidak akan merasa nyaman. Padahal ia ingin menunjukkan pada Ayna. Sebenarnya ia merasa bosan. "Hah ....""Kenapa Sayang?" tanya Andreas merasakan helaan nafas berat pada Giselle. "Apa kamu lelah?""Aku lelah, aku akan beristirahat." Giselle pun turun dari sofa dan masuk ke kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya.Naina melirik Giselle tadi membuatnya ingin secepatnya mengusir Andreas dan Amira. "Kapan kalian pergi? aku merasa lelah."Andreas merasa enggan untuk pergi, ia ingin menginap di rumah Naina. "Boleh aku menginap?"Ayna mengangkat wajahn
Andreas, Naina dan Giselle mereka meluangkan waktu berama. Giselle menggenggam tangan Naina dan Andreas. Terlihat mereka seperti sepasang suami istri yang harmonis. Sebuah keluarga yang tidak ada badainya namun pada kenyataannya badai terus menghampiri mereka. "Ayah aku lapar." Tanpa terasa sudah siang dan kini sudah waktunya makan siang. Giselle melihat perutnya. Andreas merasa gemas, dia meraih tubuh Giselle dan menggendongnya, mencium pipi gembulnya. "Maafkan Ayah, Ayah melupakannya karena asik berama Giselle dan bunda. Ayo kita ke restorant." Ia melirik Naina dan menggenggam tangannya. Naina menoleh, melihat tangannya di genggam. Dia menarik tangan itu namun Andreas tidak melepaskannya hingga mereka tiba di mobil Andreas dan baru Andreas melepaskannya. Andreas membuka pintu mobil belakang untuk di masuki oleh Naina dan Giselle. Andreas menoleh ke belakang dan melihat putrinya dan wanita yang ia cintai bahagia. "Giselle bagaimana kalau kau ikut Ayah ke Jakarta. Kita aka