Valerie tengah menikmati sarapannya dengan segelas susu hamil, saat tiba-tiba Sarah menghampirinya dengan membawa paper bag di tangannya. “Apa itu?”“Ini tadi ada kurir yang antar, katanya tadi ini buat, Nona.” Sarah membaca nama butik yang tertera. “Sepertinya ini gaun.”“Dari siapa sih?” Valerie menerima, membuka dan mengeluarkan isinya yang ternyata berisi sebuah gaun pesta. Ia jadi merasa takut jika itu dari orang asing, takut jika Max mengetahui kemudian akan menghabisi dirinya. Bayangan saat Max membidik bahu Monica masih sangat melekat, meski kejadian itu terjadi sekitar seminggu yang lalu. Ia takut jika Max akan berpikir lalu menuduh yang bukan-bukan, seketika ia menggelengkan kepalanya, berniat memberikan gaun itu pada Sarah. Namun, deringan ponsel miliknya yang berada di atas meja mengurungkan niatnya. “Temani aku menghadiri acara relasi bisnis. Pakai gaun itu nanti. Jam tujuh malam aku akan menjemputmu. Ingat! Harus sudah siap, aku tidak suka menunggu!”Tanpa menunggu jaw
Prangg!!!Begitu gelas itu pecah akibat dibanting ke lantai, keduanya lantas menoleh dan mendapati Max berdiri di sisinya dengan tatapan yang mematikan. “Berani sekali kau mengganggu istriku.” Tanpa di duga Max langsung mencengkram kemeja Victor. Membuat Valerie langsung panik.“Max, jangan seperti ini.” Ia berusaha melerai dan meredakan amarah suaminya.“Ayolah, Max. Kenapa kau berlebihan sekali, aku hanya menawarkan minuman, tidak menganggunya sama sekali,” sahut Victor dengan napas putus-putus akibat Max terlalu kuat mencengkeramnya. Tapi, sepertinya Max tidak peduli selain karena pria itu berani mendekati istrinya, pria itu pula yang pernah menganggu Valerie, lalu menariknya saat Valerie hendak tertabrak mobil. Meski ia berstatus sebagai penyelamat istrinya. Max tidak menyukai siapapun menyentuh barang miliknya. Apalagi itu seorang pria. “Bulshittt!!! Aku tidak peduli dengan ocehanmu! Kau memang pantas diberi pelajaran.” Tanpa diduga Max menarik senjata api dari sakunya. Detik be
”Aaaa... M... Max... Tolong aku.” Teriakan Valerie spontan membuat ia menoleh dan terkejut, mendapati istrinya telah di tawan oleh sang penjahat itu. Ada juga rasa sedikit kesal, karena Valerie tidak menuruti perintahnya. Ia sudah meminta Valerie untuk mengunci pintu mobilnya, atau menggunakan senjata api yang telah ia berikan, tapi tak juga digunakan. Jika seperti Valerie benar-benar mencari mati.“Lepaskan istriku!” pinta Max dengan tegas sorot matanya terlihat dingin membunuh.“Tidak! Kau bahkan sudah membunuh rekan kami. Jadi, sebagai istrinya biarkan dia mati.” Penjahat itu meletakkan semurai di leher Valerie, terlihat perempuan itu meringis ketakutan.‘Ya Tuhan... Aku memang mau lepas dari belitan Max. Tapi, bukan seperti ini juga caranya. Bukan pula aku ingin lenyap dari dunia ini.’Max mengepalkan kedua tangannya, seandainya bukan karena Valerie tentu saja ia tidak akan berpikir panjang untuk membidiknya. Tapi, Valerie istrinya yang kini juga membawa calon buah hatinya. “Max..
Valerie turun ke bawah karena merasa sangat lapar. Semalam ia melupakan makan malamnya, tidak meminum susu, saat pagi hari terbangun ia terkejut mendapati dirinya berada di kamar dengan gaun tidur, entah siapa yang mengganti pakaiannya. “Sarah,” panggil Valerie pada pelayan pribadinya yang kebetulan lewat. “Iya, Nona.” Sarah pun menghentikan langkahnya menoleh ke arah Valerie. “Ada yang bisa saya bantu? Sarapan sudah tersedia di meja makan, Nona.”Valerie terdiam mencoba menimang pikirannya. Ia malu jika bertanya, tapi jika tidak ia pun merasa penasaran. Setelah dipikir lebih dalam lagi, ternyata rasa penasarannya jauh lebih tinggi. “Semalam siapa yang mengganti pakaiannya saya?” tanyanya dengan degup jantung yang lebih kencang, tak bisa ia bayangkan jika memang Max yang melakukannya. Entah bagaimana reaksi pria itu. Sarah mengerutkan keningnya sejenak. “Itu sa—”“Vale... Aku datang.” Suara Zenata memotong ucapan Sarah, membuat keduanya menoleh bersamaan, melihat Zenata berjalan ke
Detik itu juga terjadi keributan. Saat Max menoleh ke arah pelayan itu, Jhonson menggunakan kesempatan itu untuk memberi pelajaran pada Max. Wajahnya terlihat geram, ia berusaha memiting leher Max. Tapi, Max bergerak lebih cepat, ia berkelit dan meraih leher Jhonson kemudian menjatuhkannya ke atas meja. Ia beri tekanan yang cukup kuat di sana.Seketika kegaduhan mendera, apalagi saat Jerry dengan sigap menodongkan dua pistol ke arah tangan kanan Jhonson — Barco yang kini juga mengarahkan pistol ke arah Max. Keduanya saling bertatapan melempar tatapan sengit, mengancam.“Berani ikut kau ikut campur. Dua pistol ini akan langsung menembus jantungmu.” Jerry berkata dengan wajah serius.Para tamu terlihat ketakutan, tubuhnya saling membeku, tak ada yang berani bergerak. Bahkan pintu utama pun telah tertutup. Seakan-akan kegaduhan itu memang sudah terencana.“Kau pikir semudah itu untuk melenyapkanku! Sepertinya kau tidak mengenalku dengan baik. Aku bukan orang yang mudah ditipu!” ucap Max
Keesokan harinya, Valerie terbangun dengan senyum dan perasaan yang jauh lebih baik, sebab semalam ia bermimpi hal yang sangat indah. Namun, senyumannya langsung memudar begitu menyadari ada sosok pria di sisinya.“Jadi, yang semalam itu bukan mimpi?” gumamnya. Ia mengingat jika semalam ia bermimpi ada yang mengecup keningnya yang disertai ucapan selamat malam yang terdengar mesra. Ia juga merasakan dekapan hangat seseorang. Jadi, semua yang ia rasakan semalam itu nyata. Max melakukan hal itu? Ia hampir tidak percaya. Tapi, melihat tangan kekar suaminya yang kini merengkuh pinggangnya membuat ia menelan ludahnya tidak bisa berkata-kata.Tepat di depan matanya, ia bisa melihat jika Max masih tertidur pulas, wajah dingin pria itu terlihat tenang, bahkan begitu teduh saat seperti ini. Valerie mengulas senyum tanpa sadar, suaminya ini memang sangat tampan, jadi seharusnya ia tidak heran jika ada banyak perempuan yang menginginkannya. Tidak terkecuali Gracia — adik tirinya yang bahkan m
“Apa yang kau lakukan padanya, Max?” tanya Chelsea — dokter pribadi Valerie.Pria yang kini hanya mengenakan kaos berwarna abu-abu di lengkapi dengan celana pendek sebatas lutut itu menatap Chelsea dengan kesal. “Jangan banyak bicara aku memanggilmu kemari untuk memeriksa dirinya, bukan untuk mengintrogasiku!”Chelsea memutar bola matanya jengah, mengambil stetoskop untuk memeriksa Valerie. Perempuan itu tergolek lemah, wajahnya terlihat pucat, dengan bulir keringat mengalir dari keningnya, padahal ia tahu kamar itu dilengkapi fasilitas AC. “Apa yang kau rasakan, Nona?” tanyanya.“Aku baik-baik saja.” Valerie menggigit bibir bawahnya menatap Max sesaat. “Bohong. Tadi, dia mengeluh sakit perut,” tandas Max kemudian. Matanya menatap Valerie dengan sorot dingin, kesal karena istrinya tidak mau jujur. Padahal yang Valerie katakan itu suatu kejujuran, memang tadi ia sempat merasa perutnya tiba-tiba terasa kencang, hingga merasakan sakit. Tapi, sekarang ia merasa baik-baik saja, hanya saja
Tok! Tok!“Ibu Martha! Nona Berry! Nona Cherry keluar kalian!!” Di depan pintu seorang pria dengan pakaian serba hitam, berpenampilan seperti preman, telinga di tindik satu terus mengetuk pintu rumah Martha dengan kencang. Di belakangnya ada dua anak buahnya yang berdiri dengan sigap mengawal. “Hei, Martha. Cepat bika pintunya. Bayar hutang kalian!” teriaknya lagi dengan nada sangat marah. Setiap kali ia berkunjung menagih hutangnya, Martha selalu mencari alasan. “Atau ku bakar juga rumahmu!” ancamnya kemudian.Sementara ketiganya yang masih berada di dalam rumah wajahnya memucat ketakutan.“Ma, ini gimana Ma. Aku ketakutan?” tanya Berry dengan tubuh gemetar lantaran membayang jika tiba-tiba rumahnya dibakar. “Gak akan. Dia pasti cuma ngancam.”“Ma, tapi dari tadi dia gak berhenti ketik pintu, bentar lagi pasti di dobrak.” Cherry ikut mengomentari. “Lagian Mama kenapa sih ngutang terus sama rentenir tapi gak dibayar-bayar.”“Heh, kalau gak ngutang sama dia. Kalian pikir selama ini k