Hari berikutnya, Arga dan Bram berdiri di depan rumah tua itu lagi. Matahari yang mulai terbenam melukis langit dengan warna oranye dan merah, namun rumah tua itu tampak tidak terpengaruh oleh cahaya yang indah. Bangunan itu tetap berdiri dengan angkuh, diliputi aura dingin dan suram yang tidak bisa dijelaskan.
Bram menarik napas panjang, kemudian melepaskannya dengan berat. "Gue nggak percaya kita balik lagi ke sini setelah apa yang kita dengar dari Pak Kusuma."
Arga menatap Bram sebentar, sebelum akhirnya berkata, "Kita harus selesaikan ini, Bram. Mungkin sekarang kita bisa lebih hati-hati setelah tahu lebih banyak. Kita punya perlindungan dari Pak Kusuma. Kita selesaikan renovasi ini, lalu kita pergi dari sini."
Bram mengangguk setuju, meskipun wajahnya masih diliputi keraguan. Perlindungan dari Pak Kusuma—jimat kecil yang diberikan kepada mereka pagi itu—terasa ringan di dalam saku mereka. Pak Kusuma memperingatkan mereka untuk selalu membawa jimat itu ke mana pun mereka pergi di dalam rumah, tapi meskipun begitu, jimat itu tidak sepenuhnya menghilangkan ketegangan yang mereka rasakan.
Saat mereka memasuki rumah, suasana mencekam langsung menyambut mereka. Dinding-dindingnya tampak semakin kusam, dan meskipun siang hari belum sepenuhnya berakhir, rumah itu tampak lebih gelap dari biasanya. Cahaya yang seharusnya masuk melalui jendela terasa terhisap oleh kegelapan yang tak kasat mata, menciptakan bayangan-bayangan aneh di sudut-sudut ruangan.
Mereka berjalan perlahan menuju ruangan yang kemarin sempat mereka tinggalkan—ruang tamu dengan cermin besar di sudutnya. Arga dan Bram sama-sama tahu apa yang mereka lihat di cermin kemarin, dan meskipun mereka mencoba mengabaikannya, bayangan itu masih menghantui pikiran mereka.
Ketika mereka tiba di ruangan itu, Bram langsung berhenti. "Gue nggak mau lagi ngeliat cermin itu, Ga. Serius, ada yang salah sama benda itu."
Arga menatap cermin itu dari jauh, merasa ada sesuatu yang benar tentang apa yang dikatakan Bram. Cermin itu tampak terlalu bersih di tengah-tengah kekacauan rumah yang lapuk. Seolah-olah cermin itu punya kehidupan sendiri—memantulkan bukan hanya apa yang ada di ruangan, tapi juga sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa.
"Jangan lihat ke cermin," Arga akhirnya berkata, mengingat peringatan Pak Kusuma. "Abaikan saja."
Mereka mulai bekerja dengan hati-hati, memperbaiki beberapa bagian dinding dan lantai yang rusak. Sementara itu, suasana di dalam rumah semakin menekan. Setiap gerakan mereka diiringi oleh derit lantai yang bergaung, membuat setiap langkah terasa lebih berat. Kadang-kadang, Arga merasa seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari sudut-sudut gelap ruangan.
Setelah beberapa jam, mereka akhirnya berhenti untuk beristirahat sejenak. Bram duduk di lantai, matanya masih melirik cermin sesekali, meskipun dia mencoba untuk mengabaikannya. “Gue beneran nggak ngerti kenapa rumah ini dibiarin kayak gini, Ga. Apa nggak ada yang pernah berani nyelesain renovasi di sini?”
Arga menggeleng. “Kayaknya nggak. Pak Kusuma bilang setiap orang yang mencoba, selalu berhenti di tengah jalan. Mungkin karena rumah ini memang punya sejarah yang buruk.”
Bram mengangkat alis. “Sejarah buruk gimana?”
Arga terdiam sejenak, mengingat kata-kata Pak Kusuma. “Rumah ini dulu jadi tempat persembunyian. Banyak orang mati di sini, hilang entah ke mana. Mungkin mereka yang meninggalkan rumah ini merasa ada sesuatu yang salah... sama kayak kita.”
Bram merapatkan jaketnya, meskipun udara di dalam ruangan tidak terlalu dingin. “Ya, gue bisa ngerti kenapa mereka pergi. Tempat ini ngasih gue perasaan nggak enak dari awal.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari atas. Suara itu pelan namun jelas—seolah ada seseorang yang berjalan perlahan di lantai atas, tepat di atas kepala mereka. Bram langsung bangkit, matanya membesar.
“Lo denger itu, Ga?” bisiknya.
Arga mengangguk, tubuhnya tegang. Suara itu berulang lagi, kali ini lebih keras. Langkah-langkahnya lambat, seolah-olah sedang mencari sesuatu, atau... seseorang.
Mereka berdiri diam di tempat, tidak berani bergerak, hingga suara langkah itu berhenti.
“Kita harus cek,” kata Arga akhirnya, meskipun ada keraguan dalam suaranya. Dia tahu mereka tidak bisa mengabaikan ini begitu saja. Jika ada orang lain di dalam rumah, mereka harus mengetahuinya. Tapi jika yang mereka dengar bukanlah suara manusia... dia tidak tahu apa yang akan terjadi.
Mereka berdua menaiki tangga dengan perlahan. Setiap langkah kaki mereka terasa berat, seolah udara di sekitar mereka menebal. Sesampainya di lantai atas, mereka berhenti di depan kamar yang kemarin sempat mereka tinggalkan—kamar dengan cermin besar.
Pintu kamar itu tertutup rapat, namun dari bawah pintu, terlihat kilauan aneh seperti pantulan cahaya dari sesuatu. Bram menatap pintu itu dengan cemas. “Lo yakin kita harus masuk?”
Arga tidak menjawab, tapi dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu itu terbuka.
Ruangan itu gelap. Jendela tertutup rapat, dan cermin besar di sudut ruangan memantulkan bayangan kabur mereka. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Cermin itu... tampak seperti berkabut di bagian tengahnya, seolah-olah ada sesuatu yang menempel di permukaannya.
Bram perlahan mendekat, meskipun Arga sudah memperingatkan untuk tidak menatap cermin. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Bram, sesuatu yang tidak bisa dia abaikan.
“Ga... lo liat ini,” katanya pelan.
Arga mendekat, meskipun perasaannya menjerit untuk menjauh. Ketika dia melihat lebih dekat, dia menyadari apa yang dimaksud Bram. Di tengah cermin itu, samar-samar terlihat jejak tangan—jejak tangan kecil, seperti milik anak kecil, yang tampaknya menempel di sisi dalam cermin.
Arga merasakan bulu kuduknya meremang. “Itu... nggak mungkin.”
Bram mundur, wajahnya pucat pasi. “Kita keluar sekarang, Ga. Gue nggak peduli lagi soal renovasi ini.”
Namun sebelum mereka sempat melangkah keluar, cermin itu tiba-tiba bergetar pelan, seolah ada sesuatu yang menghantam dari dalam. Suara dentuman lembut terdengar, diikuti dengan bisikan-bisikan yang tidak jelas. Arga dan Bram menatap cermin itu dengan ngeri, tidak mampu bergerak.
Dan saat itulah, dari balik cermin, muncul sosok bayangan. Samar-samar pada awalnya, namun semakin jelas. Sesosok anak kecil dengan wajah pucat dan mata kosong menatap mereka dari balik cermin, bibirnya tersenyum samar, namun senyumnya penuh kebencian.
Bram mundur dengan cepat, hampir tersandung di ambang pintu. "Kita harus keluar sekarang!"
Namun sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, sosok itu mengangkat tangannya perlahan, dan pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan keras. Sekarang mereka terperangkap.
Arga merasakan detak jantungnya semakin cepat, panik mulai menguasai pikirannya. Dia merogoh sakunya, mengeluarkan jimat dari Pak Kusuma dan menggenggamnya erat. "Jangan panik, Bram! Pak Kusuma bilang jimat ini bisa melindungi kita."
Tapi Bram sudah terlalu panik untuk mendengar. Dia berlari ke arah pintu, mencoba membukanya dengan sekuat tenaga, namun pintu itu tetap tidak bergeming. Sosok di dalam cermin masih berdiri di sana, menatap mereka dengan tatapan yang membuat darah Arga membeku.
Tiba-tiba, cermin itu bergetar lagi, dan bayangan anak kecil itu mulai mendekat, seolah-olah dia mencoba keluar dari dalam cermin. Suara tawa pelan terdengar di dalam ruangan, tawa yang dingin dan menghantui, mengisi udara di sekitar mereka.
"Kita harus keluar sekarang!" teriak Bram dengan putus asa.
Arga mengangguk cepat, namun sebelum dia bisa melakukan apa pun, tiba-tiba jimat di tangannya bergetar, dan cahaya lembut berwarna keemasan muncul dari benda itu. Dalam sekejap, bayangan di dalam cermin berhenti bergerak, seolah-olah tertahan oleh sesuatu.
Jimat itu berfungsi, pikir Arga dengan lega. Namun, dia tahu ini hanya sementara.
Dengan keberanian yang tersisa, Arga menarik Bram, memaksa mereka keluar dari kamar dengan paksa. Pintu itu terbuka dengan bunyi keras, dan mereka berdua berlari menuruni tangga tanpa menoleh lagi.
Begitu mereka sampai di luar, napas mereka terengah-engah, keringat mengucur deras di wajah mereka. Bram terdiam, tubuhnya bergetar, sementara Arga masih memegang jimat di tangannya dengan erat, seolah benda itu adalah satu-satunya yang membuat mereka tetap hidup.
"Ini nggak bisa dilanjutin, Ga," kata Bram akhirnya, suaranya serak. "Kita harus keluar dari sini, sekarang juga."
Arga mengangguk, kali ini dia setuju sepenuhnya. Mereka tidak bisa lagi mengabaikan apa yang ada di rumah itu.
Namun sebelum mereka bisa merencanakan langkah selanjutnya, sebuah suara pelan terdengar dari balik mereka. Suara langkah kaki, perlahan, mendekat dari dalam rumah.
Arga dan Bram saling berpandangan dengan ketakutan. Apa yang mendekat dari dalam kegelapan itu? Apa yang baru saja mereka bangunkan?
Dan yang lebih penting, apakah mereka masih bisa lari sebelum semuanya terlambat?
Malam telah turun, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa Sinarjati. Di luar rumah sewaan mereka, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di antara pepohonan, seolah-olah desa itu sendiri sedang bernafas. Suasana yang biasanya tenang kini terasa mencekam, apalagi setelah apa yang terjadi di rumah tua tadi siang.Arga dan Bram duduk di ruang tamu, diam dalam ketegangan yang terasa menggantung di udara. Masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Bram tampak gelisah, sesekali melirik ke arah pintu seolah-olah takut sesuatu akan masuk kapan saja. Sementara Arga masih memegang jimat dari Pak Kusuma, mengenggamnya dengan erat.“Kita harus cabut dari sini, Ga,” Bram akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan gemetar. “Ini nggak bisa diterusin. Gue nggak peduli soal kontrak atau proyek ini. Ada sesuatu yang jahat di sana, dan kita nggak bisa ngelawan.”Arga mendengus pelan, meskipun hatinya mengatakan hal yang sama. Sebagai arsitek, ia terbiasa menghadapi tantangan fisik, se
Arga berdiri terpaku di ambang pintu kamar Bram yang kosong. Kamar itu terlalu sunyi, terlalu rapi, seolah tidak pernah ada orang yang tinggal di sana. Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bram hilang—lagi. Tapi kali ini, sesuatu terasa lebih salah."Bram?" Arga memanggil sekali lagi, namun jawabannya hanya keheningan yang semakin berat. Perasaan hampa yang menyelimuti ruangan itu membuat dadanya terasa semakin sesak.Arga berjalan masuk, memeriksa setiap sudut kamar dengan napas tersengal-sengal. Tempat tidur masih rapi, tidak ada tanda-tanda kekacauan atau perlawanan. Tas Bram masih ada di sudut ruangan, namun jaketnya tidak terlihat. Arga membuka lemari, memeriksa setiap celah, tapi tidak ada yang aneh selain fakta bahwa sahabatnya lenyap begitu saja.Setelah beberapa saat memeriksa, Arga berhenti. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat terancam—bukan sekadar hilangnya Bram, tetapi kesadaran bahwa mereka sedang diawasi. Rumah
Arga berdiri di depan rumah tua itu sekali lagi. Kali ini, perasaannya berbeda. Dia tidak hanya merasa terintimidasi oleh rumah itu—dia merasa ditelan olehnya. Bayangan pepohonan yang menjulang di sekitar rumah seperti jari-jari raksasa yang siap merengkuh, seakan alam sekitar pun memperingatkannya untuk tidak melangkah lebih jauh.Liontin pemberian Pak Kusuma menggantung di lehernya, terasa dingin di kulitnya meskipun udara di luar tidak terlalu dingin. Arga menggenggam liontin itu erat, seolah-olah benda kecil ini adalah satu-satunya yang mampu menjaganya dari kegelapan yang akan dia hadapi. Keheningan menyelimuti rumah, namun ada perasaan yang terus mengganjal di hati Arga—perasaan bahwa dia tidak sendiri.Dia menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit, seperti mengundang masuk. Ini bukan lagi sekadar rumah yang rusak, penuh dengan mitos dan cerita rakyat. Rumah ini adalah perangkap, sebuah jerat yang dipasang dengan rapi untuk menjerat siapa pun yang berani memasuki wilayahnya.Arg
Arga duduk terdiam di lantai ruang tamu, napasnya masih tersengal-sengal. Matanya terus memandang ke arah pintu kecil di ujung lorong yang baru saja dia tutup dengan keras. Pikiran-pikiran berkecamuk dalam kepalanya, namun yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa Bram masih belum ditemukan. Setiap detik di rumah ini terasa semakin mencekam, dan perasaan bahwa waktu mereka semakin menipis terus menghantuinya.Liontin di lehernya, yang tadi bersinar untuk melindunginya dari sosok di ruang bawah tanah, kini terasa berat. Arga menggenggam liontin itu, merasakan sedikit kehangatan dari benda itu, namun kelegaan yang diberikannya hanyalah sementara. Dia tahu bahwa perlindungan dari Pak Kusuma tidak akan bertahan selamanya.Arga bangkit perlahan, meski tubuhnya terasa lemah. Dia tahu dia tidak bisa tinggal diam. Dia harus menemukan Bram dan mengakhiri semua ini. Dia memandang sekeliling ruang tamu dengan tatapan kosong, sampai akhirnya matanya tertuju pada cermin besar di sudut ruangan.Ce
Arga terbangun dengan keringat dingin mengalir di wajahnya, napasnya tersengal-sengal. Malam sebelumnya masih terngiang jelas di pikirannya—sosok Bram yang terbaring tak berdaya, bayangan hitam yang terus mengejar mereka di ruang bawah tanah, dan perasaan bahwa dia hampir kehilangan sahabatnya selamanya. Di sampingnya, Bram masih terbaring di sofa, tidak sadar tapi bernapas pelan dan teratur.Arga berdiri perlahan, menggenggam liontin pemberian Pak Kusuma yang tergantung di lehernya. Perasaan bahwa waktu semakin menipis terus menghantui pikirannya, terutama dengan bayangan yang terus mengikuti mereka di rumah tua itu. Dia tahu dia belum selesai dengan semua ini—tidak sampai dia benar-benar menemukan cara untuk menghentikan kekuatan gelap yang menguasai rumah tersebut.Dengan langkah hati-hati, Arga berjalan ke halaman belakang rumah. Udara pagi terasa lebih segar, tapi keheningan di sekitarnya tetap tidak nyaman. Semak belukar di sekitar rumah tampak tumbuh liar, seolah-olah tidak pern
Malam itu, rumah tua di Desa Sinarjati terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah-olah alam sekitar pun merespon keberadaan sesuatu yang tidak kasat mata. Angin berhembus pelan, menyusup melalui celah-celah jendela yang sudah lama tak terawat. Suara-suara kecil seperti bunyi kayu berderit dan gemeretak samar-samar terdengar, namun tak ada satu pun yang bisa menjelaskan perasaan mencekam yang terus membayangi Arga dan Bram.Bram duduk di kursi dekat jendela ruang tamu, tubuhnya tegak namun gelisah. Wajahnya tampak tegang, pandangannya terus melirik keluar, seolah mengharapkan sesuatu yang buruk muncul kapan saja. Arga duduk di seberangnya, mengaduk kopi dengan gerakan lambat. Pikiran mereka berdua masih terpusat pada percakapan dengan Pak Kusuma sore tadi. Setiap kata-kata Pak Kusuma kini terdengar seperti peringatan yang tidak boleh mereka abaikan.“Apa kita benar-benar harus mencari semua nisan itu?” tanya Bram tiba-tiba, suaranya bergetar. “Gue nggak yakin ini ide bagus, Ga. Nisan pert
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Desa Sinarjati. Suara-suara alam yang biasanya tenang kini terasa lebih sunyi, seolah-olah desa ini tahu bahwa sesuatu sedang bangkit dari kegelapan. Arga duduk di beranda rumah sewaannya, matanya yang lelah menatap jauh ke arah rumah tua di kejauhan. Semalam telah meninggalkan rasa takut yang dalam, tetapi lebih dari itu, rasa penasaran yang semakin kuat menggerogoti dirinya.Bram tidak banyak bicara pagi ini. Wajahnya masih pucat dan penuh kecemasan setelah apa yang mereka lihat semalam—sosok wanita di jendela lantai atas. "Gue nggak bisa lupa wajahnya, Ga," kata Bram dengan suara pelan, sambil menyeruput kopi yang sudah dingin. "Dia seperti... menunggu sesuatu."Arga hanya mengangguk. Di dalam dirinya, dia tahu Bram benar. Sosok itu tidak hanya muncul sebagai hantu yang bergentayangan—dia seperti punya tujuan, seolah sedang mengawasi, menunggu saat yang tepat. Tapi menunggu apa? Pertanyaan itu terus menghantuinya.Di tengah keheningan, suara l
Malam mulai merangkak pelan ketika Arga dan Bram kembali berdiri di depan rumah tua itu. Suasana di sekeliling mereka semakin mencekam. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, meski angin tidak bertiup kencang. Cahaya bulan yang menyelinap di antara pepohonan tampak seolah-olah menghindari rumah tersebut, membuat bayangannya semakin gelap dan mengancam. Bram terlihat gelisah, sesekali menggesek tangannya seolah-olah mencoba menghangatkan diri.“Kita benar-benar bakal masuk lagi ke sana, Ga?” tanya Bram, suaranya sedikit gemetar. Meski ia telah bersumpah akan ikut Arga, rasa takutnya masih jelas terlihat di wajahnya.Arga menatap pintu rumah dengan sorot mata tegas. "Ini satu-satunya cara, Bram. Kita harus menyelesaikan ini sebelum semuanya semakin buruk."Mereka berdua melangkah menuju pintu depan, langkah kaki mereka terasa berat, seolah ada yang menahan. Setiap derit lantai kayu dan gesekan angin pada jendela rumah menambah suasana tak menentu di antara mereka. Ketika Arga membuka p