Malam telah turun, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa Sinarjati. Di luar rumah sewaan mereka, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di antara pepohonan, seolah-olah desa itu sendiri sedang bernafas. Suasana yang biasanya tenang kini terasa mencekam, apalagi setelah apa yang terjadi di rumah tua tadi siang.
Arga dan Bram duduk di ruang tamu, diam dalam ketegangan yang terasa menggantung di udara. Masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Bram tampak gelisah, sesekali melirik ke arah pintu seolah-olah takut sesuatu akan masuk kapan saja. Sementara Arga masih memegang jimat dari Pak Kusuma, mengenggamnya dengan erat.
“Kita harus cabut dari sini, Ga,” Bram akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan gemetar. “Ini nggak bisa diterusin. Gue nggak peduli soal kontrak atau proyek ini. Ada sesuatu yang jahat di sana, dan kita nggak bisa ngelawan.”
Arga mendengus pelan, meskipun hatinya mengatakan hal yang sama. Sebagai arsitek, ia terbiasa menghadapi tantangan fisik, sesuatu yang nyata dan bisa diselesaikan dengan logika. Namun, kali ini tantangan yang mereka hadapi sama sekali berbeda—sesuatu yang tak kasat mata, yang tidak bisa dijelaskan dengan alasan rasional.
“Gue ngerti, Bram,” jawab Arga pelan. “Tapi kita nggak bisa keluar sekarang. Kita udah terikat kontrak, dan gue nggak mau meninggalkan proyek ini begitu aja tanpa penjelasan yang jelas.”
Bram memandang Arga dengan tak percaya. “Penjelasan? Lo mau cari penjelasan apa lagi, Ga? Kita udah lihat sendiri. Ada sesuatu di rumah itu. Sesuatu yang nggak harusnya kita ganggu.”
Arga terdiam. Kata-kata Bram membuatnya merasa seperti berada di persimpangan jalan. Sebagian dirinya ingin pergi, melarikan diri dari tempat ini, namun ada sisi lain yang tidak bisa ia abaikan—keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa rumah itu terasa begitu salah? Apa yang terjadi dengan orang-orang yang dulu pernah tinggal di sana?
Namun sebelum Arga bisa memutuskan apa pun, sebuah ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Tok, tok, tok.
Suara itu seolah membekukan udara di dalam rumah. Bram langsung berdiri, wajahnya memucat. “Apa itu lagi?” bisiknya, hampir tak terdengar.
Arga berdiri perlahan, menatap pintu dengan mata tegang. Suara ketukan itu tidak terdengar keras, tapi ada sesuatu yang janggal. Tidak mungkin ada orang yang datang berkunjung di saat seperti ini, apalagi di tengah malam di desa yang hampir tidak pernah dilewati orang asing.
Dengan hati-hati, Arga berjalan menuju pintu. Napasnya berat, dan jantungnya berdetak cepat, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang. Ketika ia mencapai pintu, ia berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama.
Sunyi.
Hanya keheningan yang menyambutnya di balik pintu. Tidak ada suara ketukan lagi, tidak ada suara apa pun. Seolah-olah suara tadi hanya khayalan.
“Siapa di luar?” Arga bertanya, suaranya terdengar tegas meskipun ada getaran ketakutan di dalamnya.
Tidak ada jawaban.
Dengan tangan gemetar, Arga akhirnya membuka pintu perlahan. Di luar, hanya kegelapan yang menyambutnya. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya udara dingin dan kabut yang menyelimuti. Arga memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas ke dalam kegelapan, namun tak ada yang terlihat.
“Ga, tutup pintunya,” kata Bram pelan dari belakang. “Gue nggak suka ini.”
Arga menelan ludah, kemudian menutup pintu kembali dengan cepat. Mereka berdua terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mungkinkah itu hanya angin? Atau ada sesuatu yang lebih?
“Gue rasa kita nggak akan tenang malam ini,” kata Bram, akhirnya duduk kembali di sofa. “Setiap detik di sini gue ngerasa ada yang ngawasin kita.”
Arga setuju dalam diam, namun dia tidak ingin menunjukkan ketakutannya di depan Bram. "Kita tidur dulu aja, besok kita coba cari cara untuk hubungi Pak Kusuma lagi."
Namun, malam itu, tidur menjadi tugas yang hampir mustahil.
Arga terbaring di tempat tidurnya, matanya terus terbuka meskipun tubuhnya lelah. Suara-suara samar dari luar rumah terus mengganggu pikirannya—angin yang berdesir pelan, dahan pohon yang bergesekan, dan sesekali bunyi derak kayu yang terdengar aneh. Setiap suara kecil memperkuat perasaan bahwa ada sesuatu yang sedang mengintai mereka.
Akhirnya, ketika kantuk mulai mengambil alih, Arga menutup matanya. Namun, tidak lama kemudian, kegelapan yang menyelimuti tidurnya berubah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan.
Dalam mimpinya, Arga berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumah tua itu. Suasana di sekitar terasa suram dan dingin. Segalanya tampak nyata—bau lembab dinding kayu, suara lantai yang berderit di bawah kakinya, bahkan rasa dingin yang menusuk kulitnya. Namun, ada satu hal yang berbeda kali ini: rumah itu kosong, dan terasa lebih luas, lebih sunyi daripada sebelumnya.
Dia berusaha untuk bergerak, namun tubuhnya terasa berat, seolah-olah kakinya tertanam di lantai. Dia menatap ke sekeliling, mencari sesuatu, apa pun yang bisa memberikan petunjuk tentang di mana dia berada. Lalu, dari sudut ruangan, dia melihatnya.
Sosok seorang wanita.
Wanita itu berdiri membelakanginya, tubuhnya kurus dan rambutnya panjang, jatuh ke punggungnya yang tertutupi pakaian yang usang. Wanita itu tidak bergerak, namun Arga bisa merasakan kehadirannya yang kuat—kehadiran yang membuat dadanya terasa sesak. Perlahan-lahan, wanita itu mulai berbalik, menatap Arga dengan mata yang kosong dan senyum yang sangat menyeramkan.
Arga ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Dia merasa terjebak di tempatnya, tidak mampu bergerak atau berbicara. Hanya bisa menatap balik wanita itu yang kini berjalan perlahan ke arahnya.
"Selamat datang," suara wanita itu terdengar pelan namun jelas, seolah-olah datang dari dalam kepalanya.
Arga mundur beberapa langkah, kakinya gemetar, namun setiap kali dia mencoba menjauh, jarak antara mereka tetap sama. Wanita itu semakin dekat, tangannya terulur, dan sentuhan dinginnya terasa nyata di kulit Arga.
Dia tersentak terbangun.
Napas Arga terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Dia melihat ke sekeliling kamarnya—kegelapan malam menyelimuti ruangan, hanya sedikit cahaya bulan yang menembus tirai jendela. Dia masih bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja lolos dari sesuatu yang mengerikan.
Namun, sebelum dia bisa menenangkan dirinya, suara itu terdengar lagi.
Tok, tok, tok.
Ketukan pelan di jendela.
Dengan napas tertahan, Arga perlahan menoleh ke arah jendela. Di balik tirai, bayangan seseorang terlihat samar—seseorang yang berdiri di luar, menatap masuk. Jantung Arga seakan berhenti berdetak saat ia mengenali sosok itu.
Wanita dari mimpinya. Dia berdiri di luar jendela, tersenyum padanya dengan senyum yang sama menyeramkan.
Tok, tok, tok.
Ketukan itu terus berulang, memecah keheningan malam.
Arga tidak bisa bergerak. Tubuhnya membeku dalam ketakutan yang sangat mendalam. Wanita itu tetap di sana, dengan senyum mengerikan yang terukir di wajahnya, seolah menikmati ketakutan Arga.
Kemudian, tiba-tiba, sosok itu menghilang. Hanya kabut yang tersisa di balik jendela.
Arga melompat dari tempat tidurnya, mendekati jendela dan menarik tirai dengan cepat. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di luar, hanya kegelapan malam yang menyelimuti desa.
Namun, meskipun sosok itu menghilang, perasaan dingin yang menusuk tidak hilang. Arga tahu, apa pun yang dia lihat tadi... itu nyata. Mimpi buruknya telah berubah menjadi kenyataan.
Kepanikan mulai melanda dirinya. Dia perlu bicara dengan Bram. Dia perlu memastikan bahwa semua ini bukan hanya ada di dalam kepalanya. Dengan langkah cepat, dia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar Bram.
Namun, ketika dia membuka pintu kamar Bram, tubuhnya terhenti seketika.
Kamar itu kosong.
Tempat tidur Bram sudah rapi, seolah tidak pernah ditiduri. Tidak ada jejak sahabatnya di mana pun.
"Bram?" Arga memanggil, suaranya bergetar.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyambutnya.
Dan saat itulah Arga menyadari, bahwa dia mungkin sudah sendirian.
Arga berdiri terpaku di ambang pintu kamar Bram yang kosong. Kamar itu terlalu sunyi, terlalu rapi, seolah tidak pernah ada orang yang tinggal di sana. Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bram hilang—lagi. Tapi kali ini, sesuatu terasa lebih salah."Bram?" Arga memanggil sekali lagi, namun jawabannya hanya keheningan yang semakin berat. Perasaan hampa yang menyelimuti ruangan itu membuat dadanya terasa semakin sesak.Arga berjalan masuk, memeriksa setiap sudut kamar dengan napas tersengal-sengal. Tempat tidur masih rapi, tidak ada tanda-tanda kekacauan atau perlawanan. Tas Bram masih ada di sudut ruangan, namun jaketnya tidak terlihat. Arga membuka lemari, memeriksa setiap celah, tapi tidak ada yang aneh selain fakta bahwa sahabatnya lenyap begitu saja.Setelah beberapa saat memeriksa, Arga berhenti. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat terancam—bukan sekadar hilangnya Bram, tetapi kesadaran bahwa mereka sedang diawasi. Rumah
Arga berdiri di depan rumah tua itu sekali lagi. Kali ini, perasaannya berbeda. Dia tidak hanya merasa terintimidasi oleh rumah itu—dia merasa ditelan olehnya. Bayangan pepohonan yang menjulang di sekitar rumah seperti jari-jari raksasa yang siap merengkuh, seakan alam sekitar pun memperingatkannya untuk tidak melangkah lebih jauh.Liontin pemberian Pak Kusuma menggantung di lehernya, terasa dingin di kulitnya meskipun udara di luar tidak terlalu dingin. Arga menggenggam liontin itu erat, seolah-olah benda kecil ini adalah satu-satunya yang mampu menjaganya dari kegelapan yang akan dia hadapi. Keheningan menyelimuti rumah, namun ada perasaan yang terus mengganjal di hati Arga—perasaan bahwa dia tidak sendiri.Dia menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit, seperti mengundang masuk. Ini bukan lagi sekadar rumah yang rusak, penuh dengan mitos dan cerita rakyat. Rumah ini adalah perangkap, sebuah jerat yang dipasang dengan rapi untuk menjerat siapa pun yang berani memasuki wilayahnya.Arg
Arga duduk terdiam di lantai ruang tamu, napasnya masih tersengal-sengal. Matanya terus memandang ke arah pintu kecil di ujung lorong yang baru saja dia tutup dengan keras. Pikiran-pikiran berkecamuk dalam kepalanya, namun yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa Bram masih belum ditemukan. Setiap detik di rumah ini terasa semakin mencekam, dan perasaan bahwa waktu mereka semakin menipis terus menghantuinya.Liontin di lehernya, yang tadi bersinar untuk melindunginya dari sosok di ruang bawah tanah, kini terasa berat. Arga menggenggam liontin itu, merasakan sedikit kehangatan dari benda itu, namun kelegaan yang diberikannya hanyalah sementara. Dia tahu bahwa perlindungan dari Pak Kusuma tidak akan bertahan selamanya.Arga bangkit perlahan, meski tubuhnya terasa lemah. Dia tahu dia tidak bisa tinggal diam. Dia harus menemukan Bram dan mengakhiri semua ini. Dia memandang sekeliling ruang tamu dengan tatapan kosong, sampai akhirnya matanya tertuju pada cermin besar di sudut ruangan.Ce
Arga terbangun dengan keringat dingin mengalir di wajahnya, napasnya tersengal-sengal. Malam sebelumnya masih terngiang jelas di pikirannya—sosok Bram yang terbaring tak berdaya, bayangan hitam yang terus mengejar mereka di ruang bawah tanah, dan perasaan bahwa dia hampir kehilangan sahabatnya selamanya. Di sampingnya, Bram masih terbaring di sofa, tidak sadar tapi bernapas pelan dan teratur.Arga berdiri perlahan, menggenggam liontin pemberian Pak Kusuma yang tergantung di lehernya. Perasaan bahwa waktu semakin menipis terus menghantui pikirannya, terutama dengan bayangan yang terus mengikuti mereka di rumah tua itu. Dia tahu dia belum selesai dengan semua ini—tidak sampai dia benar-benar menemukan cara untuk menghentikan kekuatan gelap yang menguasai rumah tersebut.Dengan langkah hati-hati, Arga berjalan ke halaman belakang rumah. Udara pagi terasa lebih segar, tapi keheningan di sekitarnya tetap tidak nyaman. Semak belukar di sekitar rumah tampak tumbuh liar, seolah-olah tidak pern
Malam itu, rumah tua di Desa Sinarjati terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah-olah alam sekitar pun merespon keberadaan sesuatu yang tidak kasat mata. Angin berhembus pelan, menyusup melalui celah-celah jendela yang sudah lama tak terawat. Suara-suara kecil seperti bunyi kayu berderit dan gemeretak samar-samar terdengar, namun tak ada satu pun yang bisa menjelaskan perasaan mencekam yang terus membayangi Arga dan Bram.Bram duduk di kursi dekat jendela ruang tamu, tubuhnya tegak namun gelisah. Wajahnya tampak tegang, pandangannya terus melirik keluar, seolah mengharapkan sesuatu yang buruk muncul kapan saja. Arga duduk di seberangnya, mengaduk kopi dengan gerakan lambat. Pikiran mereka berdua masih terpusat pada percakapan dengan Pak Kusuma sore tadi. Setiap kata-kata Pak Kusuma kini terdengar seperti peringatan yang tidak boleh mereka abaikan.“Apa kita benar-benar harus mencari semua nisan itu?” tanya Bram tiba-tiba, suaranya bergetar. “Gue nggak yakin ini ide bagus, Ga. Nisan pert
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Desa Sinarjati. Suara-suara alam yang biasanya tenang kini terasa lebih sunyi, seolah-olah desa ini tahu bahwa sesuatu sedang bangkit dari kegelapan. Arga duduk di beranda rumah sewaannya, matanya yang lelah menatap jauh ke arah rumah tua di kejauhan. Semalam telah meninggalkan rasa takut yang dalam, tetapi lebih dari itu, rasa penasaran yang semakin kuat menggerogoti dirinya.Bram tidak banyak bicara pagi ini. Wajahnya masih pucat dan penuh kecemasan setelah apa yang mereka lihat semalam—sosok wanita di jendela lantai atas. "Gue nggak bisa lupa wajahnya, Ga," kata Bram dengan suara pelan, sambil menyeruput kopi yang sudah dingin. "Dia seperti... menunggu sesuatu."Arga hanya mengangguk. Di dalam dirinya, dia tahu Bram benar. Sosok itu tidak hanya muncul sebagai hantu yang bergentayangan—dia seperti punya tujuan, seolah sedang mengawasi, menunggu saat yang tepat. Tapi menunggu apa? Pertanyaan itu terus menghantuinya.Di tengah keheningan, suara l
Malam mulai merangkak pelan ketika Arga dan Bram kembali berdiri di depan rumah tua itu. Suasana di sekeliling mereka semakin mencekam. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, meski angin tidak bertiup kencang. Cahaya bulan yang menyelinap di antara pepohonan tampak seolah-olah menghindari rumah tersebut, membuat bayangannya semakin gelap dan mengancam. Bram terlihat gelisah, sesekali menggesek tangannya seolah-olah mencoba menghangatkan diri.“Kita benar-benar bakal masuk lagi ke sana, Ga?” tanya Bram, suaranya sedikit gemetar. Meski ia telah bersumpah akan ikut Arga, rasa takutnya masih jelas terlihat di wajahnya.Arga menatap pintu rumah dengan sorot mata tegas. "Ini satu-satunya cara, Bram. Kita harus menyelesaikan ini sebelum semuanya semakin buruk."Mereka berdua melangkah menuju pintu depan, langkah kaki mereka terasa berat, seolah ada yang menahan. Setiap derit lantai kayu dan gesekan angin pada jendela rumah menambah suasana tak menentu di antara mereka. Ketika Arga membuka p
Ruangan bawah tanah itu terasa semakin menekan. Arga dan Bram berdiri membeku, napas mereka tersengal-sengal di udara dingin yang menyelimuti tempat itu. Lilin-lilin tua di sekitar altar batu bergetar pelan, seolah-olah mereka menyadari adanya kehadiran sesuatu yang tak terlihat. Kegelapan yang pekat di sudut-sudut ruangan seperti hidup, bergerak perlahan, mendekat, dan mengancam.Bram meremas lengan Arga dengan kuat. "Ga, kita harus keluar dari sini," bisiknya panik, matanya melirik ke arah kegelapan yang semakin mendekat.Arga tidak menjawab. Matanya tertuju pada buku tua besar yang tergeletak di atas altar, seolah-olah buku itu adalah pusat dari segalanya. Dia tahu, ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya—rahasia yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini, atau setidaknya, memberikan mereka jalan keluar dari mimpi buruk ini.Namun, sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, suara itu terdengar lagi.Bisikan di kegelapan.Kali ini lebih jelas, lebih kuat, seolah-olah