Share

Bab 7 - Mimpi Buruk Pertama

Malam telah turun, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa Sinarjati. Di luar rumah sewaan mereka, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di antara pepohonan, seolah-olah desa itu sendiri sedang bernafas. Suasana yang biasanya tenang kini terasa mencekam, apalagi setelah apa yang terjadi di rumah tua tadi siang.

Arga dan Bram duduk di ruang tamu, diam dalam ketegangan yang terasa menggantung di udara. Masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Bram tampak gelisah, sesekali melirik ke arah pintu seolah-olah takut sesuatu akan masuk kapan saja. Sementara Arga masih memegang jimat dari Pak Kusuma, mengenggamnya dengan erat.

“Kita harus cabut dari sini, Ga,” Bram akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan gemetar. “Ini nggak bisa diterusin. Gue nggak peduli soal kontrak atau proyek ini. Ada sesuatu yang jahat di sana, dan kita nggak bisa ngelawan.”

Arga mendengus pelan, meskipun hatinya mengatakan hal yang sama. Sebagai arsitek, ia terbiasa menghadapi tantangan fisik, sesuatu yang nyata dan bisa diselesaikan dengan logika. Namun, kali ini tantangan yang mereka hadapi sama sekali berbeda—sesuatu yang tak kasat mata, yang tidak bisa dijelaskan dengan alasan rasional.

“Gue ngerti, Bram,” jawab Arga pelan. “Tapi kita nggak bisa keluar sekarang. Kita udah terikat kontrak, dan gue nggak mau meninggalkan proyek ini begitu aja tanpa penjelasan yang jelas.”

Bram memandang Arga dengan tak percaya. “Penjelasan? Lo mau cari penjelasan apa lagi, Ga? Kita udah lihat sendiri. Ada sesuatu di rumah itu. Sesuatu yang nggak harusnya kita ganggu.”

Arga terdiam. Kata-kata Bram membuatnya merasa seperti berada di persimpangan jalan. Sebagian dirinya ingin pergi, melarikan diri dari tempat ini, namun ada sisi lain yang tidak bisa ia abaikan—keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa rumah itu terasa begitu salah? Apa yang terjadi dengan orang-orang yang dulu pernah tinggal di sana?

Namun sebelum Arga bisa memutuskan apa pun, sebuah ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Tok, tok, tok.

Suara itu seolah membekukan udara di dalam rumah. Bram langsung berdiri, wajahnya memucat. “Apa itu lagi?” bisiknya, hampir tak terdengar.

Arga berdiri perlahan, menatap pintu dengan mata tegang. Suara ketukan itu tidak terdengar keras, tapi ada sesuatu yang janggal. Tidak mungkin ada orang yang datang berkunjung di saat seperti ini, apalagi di tengah malam di desa yang hampir tidak pernah dilewati orang asing.

Dengan hati-hati, Arga berjalan menuju pintu. Napasnya berat, dan jantungnya berdetak cepat, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang. Ketika ia mencapai pintu, ia berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama.

Sunyi.

Hanya keheningan yang menyambutnya di balik pintu. Tidak ada suara ketukan lagi, tidak ada suara apa pun. Seolah-olah suara tadi hanya khayalan.

“Siapa di luar?” Arga bertanya, suaranya terdengar tegas meskipun ada getaran ketakutan di dalamnya.

Tidak ada jawaban.

Dengan tangan gemetar, Arga akhirnya membuka pintu perlahan. Di luar, hanya kegelapan yang menyambutnya. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya udara dingin dan kabut yang menyelimuti. Arga memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas ke dalam kegelapan, namun tak ada yang terlihat.

“Ga, tutup pintunya,” kata Bram pelan dari belakang. “Gue nggak suka ini.”

Arga menelan ludah, kemudian menutup pintu kembali dengan cepat. Mereka berdua terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mungkinkah itu hanya angin? Atau ada sesuatu yang lebih?

“Gue rasa kita nggak akan tenang malam ini,” kata Bram, akhirnya duduk kembali di sofa. “Setiap detik di sini gue ngerasa ada yang ngawasin kita.”

Arga setuju dalam diam, namun dia tidak ingin menunjukkan ketakutannya di depan Bram. "Kita tidur dulu aja, besok kita coba cari cara untuk hubungi Pak Kusuma lagi."


Namun, malam itu, tidur menjadi tugas yang hampir mustahil.

Arga terbaring di tempat tidurnya, matanya terus terbuka meskipun tubuhnya lelah. Suara-suara samar dari luar rumah terus mengganggu pikirannya—angin yang berdesir pelan, dahan pohon yang bergesekan, dan sesekali bunyi derak kayu yang terdengar aneh. Setiap suara kecil memperkuat perasaan bahwa ada sesuatu yang sedang mengintai mereka.

Akhirnya, ketika kantuk mulai mengambil alih, Arga menutup matanya. Namun, tidak lama kemudian, kegelapan yang menyelimuti tidurnya berubah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan.


Dalam mimpinya, Arga berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumah tua itu. Suasana di sekitar terasa suram dan dingin. Segalanya tampak nyata—bau lembab dinding kayu, suara lantai yang berderit di bawah kakinya, bahkan rasa dingin yang menusuk kulitnya. Namun, ada satu hal yang berbeda kali ini: rumah itu kosong, dan terasa lebih luas, lebih sunyi daripada sebelumnya.

Dia berusaha untuk bergerak, namun tubuhnya terasa berat, seolah-olah kakinya tertanam di lantai. Dia menatap ke sekeliling, mencari sesuatu, apa pun yang bisa memberikan petunjuk tentang di mana dia berada. Lalu, dari sudut ruangan, dia melihatnya.

Sosok seorang wanita.

Wanita itu berdiri membelakanginya, tubuhnya kurus dan rambutnya panjang, jatuh ke punggungnya yang tertutupi pakaian yang usang. Wanita itu tidak bergerak, namun Arga bisa merasakan kehadirannya yang kuat—kehadiran yang membuat dadanya terasa sesak. Perlahan-lahan, wanita itu mulai berbalik, menatap Arga dengan mata yang kosong dan senyum yang sangat menyeramkan.

Arga ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Dia merasa terjebak di tempatnya, tidak mampu bergerak atau berbicara. Hanya bisa menatap balik wanita itu yang kini berjalan perlahan ke arahnya.

"Selamat datang," suara wanita itu terdengar pelan namun jelas, seolah-olah datang dari dalam kepalanya.

Arga mundur beberapa langkah, kakinya gemetar, namun setiap kali dia mencoba menjauh, jarak antara mereka tetap sama. Wanita itu semakin dekat, tangannya terulur, dan sentuhan dinginnya terasa nyata di kulit Arga.

Dia tersentak terbangun.

Napas Arga terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Dia melihat ke sekeliling kamarnya—kegelapan malam menyelimuti ruangan, hanya sedikit cahaya bulan yang menembus tirai jendela. Dia masih bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja lolos dari sesuatu yang mengerikan.

Namun, sebelum dia bisa menenangkan dirinya, suara itu terdengar lagi.

Tok, tok, tok.

Ketukan pelan di jendela.

Dengan napas tertahan, Arga perlahan menoleh ke arah jendela. Di balik tirai, bayangan seseorang terlihat samar—seseorang yang berdiri di luar, menatap masuk. Jantung Arga seakan berhenti berdetak saat ia mengenali sosok itu.

Wanita dari mimpinya. Dia berdiri di luar jendela, tersenyum padanya dengan senyum yang sama menyeramkan.

Tok, tok, tok.

Ketukan itu terus berulang, memecah keheningan malam.

Arga tidak bisa bergerak. Tubuhnya membeku dalam ketakutan yang sangat mendalam. Wanita itu tetap di sana, dengan senyum mengerikan yang terukir di wajahnya, seolah menikmati ketakutan Arga.

Kemudian, tiba-tiba, sosok itu menghilang. Hanya kabut yang tersisa di balik jendela.

Arga melompat dari tempat tidurnya, mendekati jendela dan menarik tirai dengan cepat. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di luar, hanya kegelapan malam yang menyelimuti desa.

Namun, meskipun sosok itu menghilang, perasaan dingin yang menusuk tidak hilang. Arga tahu, apa pun yang dia lihat tadi... itu nyata. Mimpi buruknya telah berubah menjadi kenyataan.

Kepanikan mulai melanda dirinya. Dia perlu bicara dengan Bram. Dia perlu memastikan bahwa semua ini bukan hanya ada di dalam kepalanya. Dengan langkah cepat, dia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar Bram.

Namun, ketika dia membuka pintu kamar Bram, tubuhnya terhenti seketika.

Kamar itu kosong.

Tempat tidur Bram sudah rapi, seolah tidak pernah ditiduri. Tidak ada jejak sahabatnya di mana pun.

"Bram?" Arga memanggil, suaranya bergetar.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyambutnya.

Dan saat itulah Arga menyadari, bahwa dia mungkin sudah sendirian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status