Ruangan bawah tanah itu terasa semakin menekan. Arga dan Bram berdiri membeku, napas mereka tersengal-sengal di udara dingin yang menyelimuti tempat itu. Lilin-lilin tua di sekitar altar batu bergetar pelan, seolah-olah mereka menyadari adanya kehadiran sesuatu yang tak terlihat. Kegelapan yang pekat di sudut-sudut ruangan seperti hidup, bergerak perlahan, mendekat, dan mengancam.Bram meremas lengan Arga dengan kuat. "Ga, kita harus keluar dari sini," bisiknya panik, matanya melirik ke arah kegelapan yang semakin mendekat.Arga tidak menjawab. Matanya tertuju pada buku tua besar yang tergeletak di atas altar, seolah-olah buku itu adalah pusat dari segalanya. Dia tahu, ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya—rahasia yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini, atau setidaknya, memberikan mereka jalan keluar dari mimpi buruk ini.Namun, sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, suara itu terdengar lagi.Bisikan di kegelapan.Kali ini lebih jelas, lebih kuat, seolah-olah
Bayangan besar yang muncul di pintu perangkap itu bergerak dengan lambat namun pasti. Udara di sekitar Arga dan Bram terasa semakin menebal, seolah-olah rumah itu sedang menghisap setiap jejak keberanian yang tersisa di tubuh mereka. Suara bisikan yang semula mereda kini kembali bergema, namun kali ini lebih berat, lebih nyata, seolah-olah suara itu berasal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.Arga menelan ludah, tubuhnya tegang dan kaku, sementara Bram berdiri mematung di sebelahnya, tak bisa berkata apa-apa. Mereka berdua tahu, apa yang datang kali ini berbeda. Lebih besar. Lebih gelap. Dan lebih nyata."Ga..." bisik Bram dengan suara serak. "Kita harus keluar dari sini."Arga tidak menjawab, matanya terus tertuju pada bayangan yang bergerak mendekat. Suara langkah kaki pelan terdengar, dan semakin dekat bayangan itu, semakin jelas bentuknya. Sosok itu tinggi, jauh lebih tinggi dari manusia biasa. Badannya kurus dengan tangan yang panjang menjuntai. Wajahnya... tidak sepenuhnya te
Pagi itu datang dengan lebih lambat dari biasanya. Sinar matahari yang biasanya menembus celah-celah daun pepohonan di sekitar Desa Sinarjati terasa terhalang oleh sesuatu yang tak terlihat, seolah-olah cahaya enggan mendekati rumah tua tempat Arga dan Bram terperangkap semalam. Ketegangan yang mereka alami di rumah itu masih menempel di kulit, seakan kegelapan rumah tersebut telah melekat di pikiran dan perasaan mereka.Setelah semalaman berjuang melawan bayangan besar dan jejak berdarah yang mengejar mereka, Arga dan Bram berhasil keluar dari rumah tua itu dengan nyawa yang terasa menggantung di ujung tanduk. Mereka hanya bisa duduk di luar, terengah-engah, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.Arga menghela napas panjang, pandangannya kosong menatap ke depan. Di tangannya, kunci besi tua yang mereka temukan di dalam rumah itu terasa semakin berat. Kata-kata di surat yang menyertainya—Kamu harus membuka pintu terakhir—terus bergema di kepalanya, membuatnya semakin penasaran,
Malam kembali turun dengan cepat ketika Arga dan Bram masuk ke dalam rumah tua itu. Udara di dalam rumah terasa lebih berat dan dingin, seolah-olah sesuatu yang gelap menunggu di setiap sudut. Setiap langkah kaki mereka menggema di lantai kayu yang berderit, sementara bayangan dari lilin-lilin tua yang tersisa menari-nari di dinding, menciptakan ilusi gerakan yang tak henti-hentinya. Mereka tahu bahwa rumah ini bukan lagi sekadar bangunan tua yang terabaikan—rumah ini hidup."Lo yakin kita akan nemuin pintu itu, Ga?" tanya Bram dengan suara bergetar. Dia jelas-jelas sudah lelah, tidak hanya secara fisik, tapi juga mental. Semalaman mereka dihantui oleh bayangan dan bisikan, dan sekarang mereka harus menghadapi apa yang mungkin menjadi puncak dari kengerian ini.Arga mengangguk tegas, meskipun dalam hatinya dia juga merasakan ketakutan yang sama. "Ini satu-satunya cara. Kita harus menemukan Laras, dan kita harus membuka pintu terakhir itu."Mereka berdua bergerak perlahan di dalam rumah
Suasana di dalam ruangan itu menjadi semakin mencekam saat sosok besar dan mengerikan perlahan mendekati Arga dan Bram. Bayangan sosok itu seolah-olah menyatu dengan dinding, bergerak tanpa henti seperti bayangan hidup yang terus mengintai dari setiap sudut. Arga berdiri di samping altar tempat Laras terbaring, mencoba mencari cara untuk melawan, meskipun rasa takut terus menghantui pikirannya.Bram berdiri gemetar di belakang Arga, wajahnya pucat dan penuh ketakutan. "Ga, kita nggak bakal bisa ngelawan ini! Kita harus keluar!"Namun, Arga tahu bahwa mereka tidak bisa melarikan diri kali ini. Laras masih terbaring tak berdaya di atas altar, dan mereka belum menemukan cara untuk membebaskannya dari cengkeraman entitas gelap itu. Apalagi, sosok bayangan itu semakin mendekat, suaranya yang dalam dan menggema terdengar seperti ancaman yang tak bisa mereka hindari."Kalian tidak bisa pergi... kalian milik kami sekarang..." Suara itu bergaung di seluruh ruangan, membuat dinding-dinding batu
Langit di atas Desa Sinarjati terlihat lebih cerah pagi itu, seolah-olah peristiwa mencekam yang terjadi di rumah tua tersebut telah tertinggal di balik malam yang panjang. Namun, bagi Arga, Bram, dan Laras, cahaya matahari pagi tidak cukup untuk mengusir bayangan yang terus menghantui pikiran mereka. Meskipun mereka berhasil keluar dari rumah tua itu hidup-hidup, perasaan bahwa rumah tersebut masih menyimpan kegelapan yang tak terkatakan terus membebani hati mereka.Laras duduk di beranda rumah Pak Kusuma, terlihat lelah namun lebih tenang dibandingkan saat pertama kali mereka menyelamatkannya. Tubuhnya masih lemah, tapi setidaknya napasnya sudah kembali teratur. Pak Kusuma memberikan secangkir teh hangat kepadanya, sementara Arga dan Bram duduk di dekatnya, mencoba mencerna kejadian yang baru saja mereka alami."Kalian sudah melakukan lebih dari yang bisa dilakukan orang lain," ujar Pak Kusuma dengan nada serius. "Namun, aku yakin rumah itu belum sepenuhnya diam."Arga mengangguk pel
Langit di atas Desa Sinarjati berwarna abu-abu pekat, seolah-olah awan tebal tak mau memberikan celah bagi sinar matahari untuk menembus. Suasana di desa terasa lebih muram dari biasanya, dan Mira merasakan hawa dingin yang aneh saat dia melangkah menuju rumah Pak Kusuma. Setiap langkah kaki terdengar jelas di jalan setapak berkerikil yang sunyi, membuat keheningan terasa semakin mencekam.Mira sudah bertekad untuk mencari tahu lebih dalam tentang rumah tua yang sedang dikerjakan Arga. Terlalu banyak kejadian aneh yang terjadi sejak mereka tiba di desa ini, dan semuanya, dia yakin, berhubungan dengan masa lalu yang kelam. Dan Pak Kusuma, dengan sikapnya yang misterius, pasti menyimpan sesuatu.Dia mengetuk pintu kayu rumah Pak Kusuma dengan lembut, meski di dalam dirinya ada keraguan. Suara angin yang berhembus di sekitar menambah perasaan bahwa sesuatu sedang mengawasi dari balik kegelapan. Setelah beberapa detik, pintu berderit terbuka, dan wajah Pak Kusuma muncul dari balik pintu."
Pintu dapur terbuka perlahan dengan suara derit kayu yang menusuk telinga, dan langsung setelah itu, pemandangan yang menanti di dalam membuat Arga dan Mira berhenti sejenak. Dapur yang sebelumnya tenang kini kacau balau. Piring-piring terjatuh dari rak, gelas-gelas pecah berserakan di lantai, dan kursi-kursi di meja makan tampak terseret dari posisinya semula, seolah ada yang memindahkannya dengan paksa.Mira merasa hawa dingin merambat dari ujung kaki sampai ke tulang punggungnya. "Apa yang baru aja terjadi di sini?" bisiknya, meski dia tahu jawaban itu tidak akan membuatnya lebih tenang.Arga melangkah masuk lebih dulu, mencoba tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. "Nggak mungkin ini cuma karena angin," katanya, matanya memindai setiap sudut ruangan.Saat mereka berdua masuk lebih dalam ke dapur, tiba-tiba bunyi gemeretak terdengar dari lemari dapur. Pintu lemari yang tertutup rapat mulai bergetar perlahan, lalu tanpa peringatan, terbuka dengan keras. Sebuah piring tua meluncur