Malam tiba dengan cepat, membawa serta kegelapan yang lebih pekat dari malam sebelumnya. Suara angin yang berhembus pelan di luar rumah terdengar seperti bisikan lembut yang meneror pikiran Arga dan Bram. Mereka berdua duduk di ruang tamu setelah kejadian aneh di dapur, tak ada yang berbicara, seolah takut suara mereka sendiri akan memicu sesuatu yang lebih buruk.Mira sudah terlelap di kamar atas, meskipun tidurnya jauh dari nyaman. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui pikirannya, bayangan gadis di cermin yang retak terpatri dalam ingatan. Arga menatap ke arah jendela, di mana bulan tampak samar-samar di balik awan tebal. Ada sesuatu yang sangat salah dengan rumah ini, tapi setiap kali dia mencoba mencari logika di balik semua itu, jawabannya selalu tak memuaskan."Kita nggak bisa terus begini, Ga," kata Bram akhirnya, suaranya rendah dan penuh kegelisahan. Dia menatap Arga dengan mata yang gelisah. "Lo liat sendiri, kan? Barang-barang di dapur bergerak sendiri, cermin pecah tanpa sebab
Setelah kejadian malam itu, suasana di dalam rumah semakin mencekam. Arga, Bram, dan Mira tahu bahwa mereka tidak sendirian, tapi mereka masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Meskipun setiap sudut rumah seolah bernafas dengan teror, mereka belum siap untuk meninggalkan proyek ini. Mungkin karena ego, mungkin karena rasa tanggung jawab, atau mungkin karena ketakutan bahwa jika mereka pergi sekarang, sesuatu akan tetap mengikuti mereka ke luar.Matahari pagi mencoba menyelinap masuk melalui jendela, tapi bahkan sinar matahari pun terasa enggan untuk menyentuh lantai rumah itu. Udara dingin menggantung di ruangan, meski tak ada angin yang bertiup. Mira berdiri di depan cermin besar di kamar mandi, mencoba menyegarkan wajahnya dengan air dingin. Setelah malam yang penuh mimpi buruk, dia hanya bisa berharap pagi ini akan membawa sedikit ketenangan.Saat dia menatap cermin, bayangan dirinya terlihat buram, mungkin karena embun yang sedikit menempel di kaca. Dia menggosok perm
Malam berikutnya jatuh dengan cepat, lebih gelap dan lebih sunyi dari biasanya. Rumah tua di Desa Sinarjati, yang semula hanya tampak sebagai tempat kosong yang memerlukan perbaikan, kini berubah menjadi perangkap hidup. Setiap sudut rumah ini terasa seperti mengawasi, seolah dinding-dindingnya berbisik di balik bayangan.Mira, Arga, dan Bram duduk di ruang tamu, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka. Malam-malam sebelumnya dipenuhi dengan teror yang perlahan-lahan mengikis kewarasan mereka, dan kini mereka tahu bahwa meninggalkan rumah ini bukanlah pilihan yang mudah. Ada sesuatu yang mengikat mereka di sini, sesuatu yang tak terlihat namun kuat.Mira mencoba menyibukkan dirinya dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangannya. Matanya sering beralih ke jendela, seolah-olah dia berharap melihat sesuatu di luar yang bisa memberinya rasa aman. Namun, setiap kali dia melihat bayangan pohon bergoyang di luar, perasaan was-was itu justru semakin kuat.“Jadi, kita akan tetap di si
Pagi itu, Arga terbangun dengan rasa sakit yang aneh di punggungnya. Matanya masih terasa berat, pikirannya kabur karena kurang tidur setelah malam-malam mencekam yang terus mengusiknya. Sambil mengerang pelan, dia berusaha meraih bahunya, merasakan rasa perih yang tiba-tiba menjalar ke seluruh punggungnya.Sesuatu terasa salah.Arga berusaha duduk di tepi tempat tidur, menggerakkan bahunya yang kaku. Rasa perih itu semakin menyengat setiap kali dia menggerakkan tubuhnya. Dengan gerakan canggung, dia meraba punggungnya, dan sentuhannya bertemu dengan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana—tanda-tanda yang kasar dan tergores.Mira, yang masih berbaring di sampingnya, mulai terbangun, membuka matanya perlahan dan melihat Arga yang tampak cemas. "Ada apa, Ga?" tanyanya dengan suara serak, masih berusaha melepaskan sisa-sisa kantuk dari tubuhnya."Kayaknya gue terluka," jawab Arga singkat, suaranya terdengar bingung. "Ada sesuatu di punggung gue... kayak goresan atau luka."Mira langsun
Pagi berikutnya terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit di atas Desa Sinarjati tampak kelabu, seolah menyatu dengan suasana berat yang menyelimuti rumah tua tempat Arga, Mira, dan Bram terjebak. Arga masih merasakan nyeri samar di punggungnya dari bekas cakaran misterius yang muncul semalam. Meskipun rasa takut terus menghantui mereka, ada dorongan kuat di dalam diri mereka untuk menemukan jawaban atas semua teror yang telah menyerang.Mira kembali duduk di depan laptopnya, mencari lebih dalam tentang keluarga Sumarto dan sejarah rumah itu. Bram, yang biasanya penuh lelucon untuk meredakan ketegangan, sekarang diam dan duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Suasana tegang begitu kental, seakan setiap sudut rumah itu menahan napas, menunggu sesuatu yang lebih buruk terjadi.“Gue nemuin sesuatu,” kata Mira tiba-tiba, membuat Arga dan Bram menoleh cepat ke arahnya. "Ada arsip lama tentang desa ini, tapi sayangnya sebagian besar udah nggak bisa diakses. Ada potongan berita dari tah
Suasana di ruang bawah tanah semakin mencekam. Udara semakin berat, seolah-olah kegelapan di dalamnya telah menumpuk selama berabad-abad, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Arga, Mira, dan Bram berdiri di depan altar batu tua yang tampak seperti pusat dari segala kengerian yang terjadi di rumah ini. Altar itu berlumut, dihiasi dengan ukiran simbol-simbol kuno yang tampak tak wajar dan mengancam.Mira, yang berdiri paling dekat dengan altar, merasa jantungnya berdetak kencang. Ada sesuatu yang bergerak di dalam ruangan ini, sesuatu yang tidak terlihat oleh mata mereka, namun begitu nyata dalam setiap desahan napas. Suara berbisik terdengar samar-samar di telinganya, tetapi ketika dia mencoba memusatkan perhatian, suara itu menghilang."Ini dia tempatnya," kata Arga dengan suara rendah. Tangannya masih menggenggam erat liontin dari Pak Kusuma, satu-satunya perlindungan yang mereka miliki dari kegelapan yang semakin mendekat. "Kita harus menemukan cara untuk menghancurkan altar ini
Keputusan menggantung di udara seperti badai yang akan segera menghantam. Kegelapan di ruang bawah tanah itu terasa semakin mendesak, seolah-olah rumah ini tahu bahwa mereka mendekati akhir dari segalanya. Arga, Mira, Bram, dan Laras berdiri di sana, diam, meresapi kenyataan mengerikan bahwa salah satu dari mereka harus tinggal, terperangkap di rumah ini sebagai penjaga.Mata Arga menyapu ruangan dengan perlahan, pikirannya dipenuhi dengan berbagai pikiran dan ketakutan. Bagaimana mungkin hidup mereka berubah begitu drastis? Dari sekadar proyek renovasi menjadi pertaruhan hidup atau mati. Pilihan yang ada di depan mereka begitu berat hingga sulit untuk dihadapi."Jadi... siapa di antara kita?" tanya Bram, suaranya serak dan penuh ketakutan. "Siapa yang harus tinggal di sini?"Laras menunduk, masih merasa berat dengan pengetahuan yang dia miliki. "Aku... keluargaku sudah mencoba, tapi gagal. Mereka terlalu lemah untuk menahan kekuatan yang ada di rumah ini. Aku... tidak yakin aku bisa m
Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, dan cahaya yang terpancar dari simbol-simbol di dinding semakin terang, menebarkan aura yang mengerikan ke seluruh ruangan. Arga, Mira, Bram, dan Laras terperangkap di tengah-tengah, dihadapkan dengan pilihan yang sulit—berjuang untuk membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap atau melarikan diri dan meninggalkan kegelapan di belakang mereka, mungkin untuk selamanya.Suara tawa anak-anak yang tadi terdengar seperti riang kini berubah menjadi tangisan yang menyayat hati. Jiwa-jiwa mereka masih terperangkap, dan semakin jelas bagi mereka bahwa anak-anak itu tidak bisa diselamatkan tanpa menghancurkan altar kuno di depan mereka."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Bram dengan suara gemetar, tubuhnya menegang. "Kalau kita nggak cepat, kita semua akan terjebak di sini!"Mira melangkah ke arah altar, pandangannya fokus pada simbol-simbol aneh yang terukir di atasnya. Dia tahu bahwa mereka tak punya waktu lama. "Arga, kita harus menghancurkan altar ini