Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, dan cahaya yang terpancar dari simbol-simbol di dinding semakin terang, menebarkan aura yang mengerikan ke seluruh ruangan. Arga, Mira, Bram, dan Laras terperangkap di tengah-tengah, dihadapkan dengan pilihan yang sulit—berjuang untuk membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap atau melarikan diri dan meninggalkan kegelapan di belakang mereka, mungkin untuk selamanya.Suara tawa anak-anak yang tadi terdengar seperti riang kini berubah menjadi tangisan yang menyayat hati. Jiwa-jiwa mereka masih terperangkap, dan semakin jelas bagi mereka bahwa anak-anak itu tidak bisa diselamatkan tanpa menghancurkan altar kuno di depan mereka."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Bram dengan suara gemetar, tubuhnya menegang. "Kalau kita nggak cepat, kita semua akan terjebak di sini!"Mira melangkah ke arah altar, pandangannya fokus pada simbol-simbol aneh yang terukir di atasnya. Dia tahu bahwa mereka tak punya waktu lama. "Arga, kita harus menghancurkan altar ini
Cahaya redup dari matahari sore menyelinap masuk melalui jendela rumah tua itu, memantul pada permukaan lantai kayu yang mulai lapuk. Di tengah ruangan besar yang dipenuhi debu dan sisa-sisa furnitur tua, Arga berdiri dengan tangan menyilang, matanya menyapu setiap sudut ruang tamu yang terasa lebih sunyi dari biasanya."Lo yakin masih ada bagian dari rumah ini yang belum kita lihat?" tanya Bram, suaranya bergetar sedikit, meski ia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya di balik ekspresi serius.Arga mengangguk. "Ya, gue yakin. Rumah ini lebih besar dari yang kita kira. Gue baru sadar, waktu ngelihat denah lama yang sempat gue temuin di salah satu laci di lantai dua. Ada lantai tiga, tapi... nggak ada tangga yang jelas menuju ke sana."Mereka sudah berada di rumah itu selama beberapa minggu, tapi seolah-olah ada bagian dari bangunan ini yang terus menyembunyikan dirinya. Rumah itu tak pernah sepenuhnya mengungkapkan seluruh rahasianya, seakan-akan setiap sudutnya memiliki kehidupan send
Matahari mulai tenggelam ketika Arga dan Bram bergegas keluar dari rumah tua itu, meninggalkan suasana mencekam di dalam yang seolah hidup dan mengawasi mereka. Udara malam yang dingin mulai merambat, tapi di antara angin yang berhembus pelan, keheningan di desa terasa lebih pekat, lebih berat, seolah rumah itu telah melepaskan sesuatu ke dunia luar."Apa lo liat tadi, Ga?" tanya Bram, napasnya masih terengah-engah setelah pelarian cepat mereka dari lantai tiga. "Lukisan itu… Laras. Gimana mungkin?"Arga menggelengkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa. Gambar wajah Laras yang sekarat di lukisan itu masih menghantui pikirannya. Setiap detail dari wajah dalam lukisan itu begitu jelas, begitu nyata, hingga rasanya tidak mungkin itu hanya kebetulan."Kita nggak bisa berpikir ini cuma kebetulan, Bram. Ada sesuatu di rumah itu... dan Laras mungkin tahu lebih dari yang dia katakan."Bram menoleh, matanya masih dipenuhi ketakutan. "Lo pikir dia… terlibat? Maksud gue, apa Laras bisa jadi ba
Suasana tegang menyelimuti rumah kecil Laras. Wajah Pak Kusuma yang serius dan kata-katanya yang mengancam bergaung di kepala Arga dan yang lainnya. Desiran angin malam yang dingin menambah kesan mencekam, seolah alam di sekitar mereka ikut bersiap menghadapi sesuatu yang akan segera datang.“Kita nggak bisa pergi sekarang,” bantah Arga, meski suaranya tak lagi sekuat biasanya. “Kita baru mulai paham apa yang terjadi. Kalau kita kabur, kutukan ini nggak akan pernah berhenti.”Pak Kusuma mendekati Arga, wajahnya keras namun sorot matanya menunjukkan sedikit empati. “Nak, kalian nggak mengerti apa yang sedang kalian hadapi. Rumah itu bukan sekadar tempat terkutuk. Kalian telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Dan kini mereka sudah bangkit, siap untuk mengambil apa yang selama ini mereka tuntut.”Bram, yang sejak tadi tampak semakin ketakutan, bersandar di dinding, menggenggam bahunya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Lo denger itu, Ga? Mereka udah bangkit. Gu
Rumah Pak Kusuma kini menjadi benteng terakhir di tengah kegelapan yang semakin pekat. Di luar, bayangan-bayangan hitam itu terus mengelilingi rumah, bergerak dengan ganas seolah mereka mencari jalan masuk. Suara gedebuk yang berulang kali menghantam pintu dan jendela membuat suasana di dalam semakin mencekam. Bram terus-menerus mondar-mandir, sementara Arga dan Mira duduk dengan wajah tegang. Laras, yang masih terlihat pucat, duduk terdiam, seolah semua ketakutan itu telah menelannya bulat-bulat.Mira berdiri dari kursinya, menatap keluar jendela dengan gelisah. “Kita nggak bisa terus kayak gini. Kalau mereka bisa masuk, kita bakal terjebak.”Arga menoleh ke arah Pak Kusuma, yang duduk dengan wajah tegang di dekat pintu. “Pak Kusuma, berapa lama perlindungan ini bisa bertahan?”Pak Kusuma menggeleng pelan, suaranya berat. “Tidak lama lagi. Roh-roh itu semakin kuat. Mereka tahu kalian ada di sini, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.”Suara
Desa yang tadinya sunyi kini dipenuhi kepanikan. Penduduk yang keluar dari rumah-rumah mereka menatap bayangan-bayangan hitam yang mendekat dengan wajah pucat dan ketakutan. Bayangan itu bergerak cepat di antara pepohonan, bentuknya samar namun penuh dengan energi mengerikan. Desahan dan bisikan yang mereka dengar sebelumnya kini berubah menjadi jeritan-jeritan kecil yang menakutkan.Arga berdiri di tengah-tengah jalan desa, menatap para penduduk yang tampaknya terlalu takut untuk bergerak. “Kita nggak punya waktu! Tolong beritahu kami apa yang kalian tahu!” teriaknya, mencoba mengalahkan suara gemuruh yang datang dari balik kegelapan.Mira melangkah maju, tatapannya penuh ketegangan. “Kalian semua tahu apa yang terjadi di rumah itu. Kalian tahu kenapa roh-roh itu bangkit. Kami butuh jawaban, atau kita semua akan mati!”Namun, para penduduk hanya terdiam. Mata mereka dipenuhi ketakutan, seolah-olah kengerian dari masa lalu kembali menghantui mereka. Satu demi satu, mereka mulai melangk
Pak Kusuma mulai menggambar simbol-simbol kuno di lantai menggunakan kapur yang diambilnya dari kantong kecil di jubahnya. Setiap goresan terasa penuh dengan energi yang mencekam, seolah-olah setiap garis yang ditarik mempertegas koneksi antara dunia mereka dan dunia roh yang sedang mereka hadapi. Arga, Mira, Bram, dan Laras berdiri diam mengelilingi Pak Kusuma, mata mereka memperhatikan setiap detail dengan napas tertahan. Bayangan-bayangan di luar jendela bergerak semakin cepat, seolah mereka tahu bahwa ritual akan segera dimulai."Liontin ini," kata Pak Kusuma sambil menunjuk ke liontin yang dipegang oleh Laras, "akan menjadi pusat dari ritual ini. Ini adalah bagian penting dari kenangan keluargamu, Laras. Kenangan ini bisa membawa ketenangan bagi roh-roh yang menghantui rumah ini."Laras mengangguk, meski wajahnya masih dipenuhi kecemasan. Tangannya gemetar saat dia menyerahkan liontin itu kepada Pak Kusuma. "Aku ingat nenek buyutku selalu memegang liontin ini setiap kali dia berdo
Suasana di rumah tua itu kini terasa hening setelah ritual pengusiran berhasil. Arga, Mira, Bram, dan Laras telah melalui malam yang panjang dan penuh ketegangan. Mereka berdiri di ruang tamu, cahaya dari lampu kecil menerangi ruangan yang kini tampak lebih tenang, meski ada perasaan lelah dan tegang yang belum sepenuhnya pergi dari dalam diri mereka.“Aku masih nggak percaya semua ini udah berakhir,” Bram berkata pelan, memecah keheningan. Dia duduk di kursi, menyandarkan tubuhnya yang terlihat kelelahan. “Apa kita beneran udah bebas dari semua ini?”Mira mengangguk pelan, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. “Rasanya memang sudah lebih tenang... tapi kenapa aku masih merasa ada yang nggak beres?”Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Mungkin karena pengalaman ini terlalu intens buat kita semua. Setelah yang kita alami di rumah ini, wajar kalau kita masih merasa was-was.”Laras, yang duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab, angkat bicara. “Aku juga meras