Suasana tegang menyelimuti rumah kecil Laras. Wajah Pak Kusuma yang serius dan kata-katanya yang mengancam bergaung di kepala Arga dan yang lainnya. Desiran angin malam yang dingin menambah kesan mencekam, seolah alam di sekitar mereka ikut bersiap menghadapi sesuatu yang akan segera datang.“Kita nggak bisa pergi sekarang,” bantah Arga, meski suaranya tak lagi sekuat biasanya. “Kita baru mulai paham apa yang terjadi. Kalau kita kabur, kutukan ini nggak akan pernah berhenti.”Pak Kusuma mendekati Arga, wajahnya keras namun sorot matanya menunjukkan sedikit empati. “Nak, kalian nggak mengerti apa yang sedang kalian hadapi. Rumah itu bukan sekadar tempat terkutuk. Kalian telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Dan kini mereka sudah bangkit, siap untuk mengambil apa yang selama ini mereka tuntut.”Bram, yang sejak tadi tampak semakin ketakutan, bersandar di dinding, menggenggam bahunya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Lo denger itu, Ga? Mereka udah bangkit. Gu
Rumah Pak Kusuma kini menjadi benteng terakhir di tengah kegelapan yang semakin pekat. Di luar, bayangan-bayangan hitam itu terus mengelilingi rumah, bergerak dengan ganas seolah mereka mencari jalan masuk. Suara gedebuk yang berulang kali menghantam pintu dan jendela membuat suasana di dalam semakin mencekam. Bram terus-menerus mondar-mandir, sementara Arga dan Mira duduk dengan wajah tegang. Laras, yang masih terlihat pucat, duduk terdiam, seolah semua ketakutan itu telah menelannya bulat-bulat.Mira berdiri dari kursinya, menatap keluar jendela dengan gelisah. “Kita nggak bisa terus kayak gini. Kalau mereka bisa masuk, kita bakal terjebak.”Arga menoleh ke arah Pak Kusuma, yang duduk dengan wajah tegang di dekat pintu. “Pak Kusuma, berapa lama perlindungan ini bisa bertahan?”Pak Kusuma menggeleng pelan, suaranya berat. “Tidak lama lagi. Roh-roh itu semakin kuat. Mereka tahu kalian ada di sini, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.”Suara
Desa yang tadinya sunyi kini dipenuhi kepanikan. Penduduk yang keluar dari rumah-rumah mereka menatap bayangan-bayangan hitam yang mendekat dengan wajah pucat dan ketakutan. Bayangan itu bergerak cepat di antara pepohonan, bentuknya samar namun penuh dengan energi mengerikan. Desahan dan bisikan yang mereka dengar sebelumnya kini berubah menjadi jeritan-jeritan kecil yang menakutkan.Arga berdiri di tengah-tengah jalan desa, menatap para penduduk yang tampaknya terlalu takut untuk bergerak. “Kita nggak punya waktu! Tolong beritahu kami apa yang kalian tahu!” teriaknya, mencoba mengalahkan suara gemuruh yang datang dari balik kegelapan.Mira melangkah maju, tatapannya penuh ketegangan. “Kalian semua tahu apa yang terjadi di rumah itu. Kalian tahu kenapa roh-roh itu bangkit. Kami butuh jawaban, atau kita semua akan mati!”Namun, para penduduk hanya terdiam. Mata mereka dipenuhi ketakutan, seolah-olah kengerian dari masa lalu kembali menghantui mereka. Satu demi satu, mereka mulai melangk
Pak Kusuma mulai menggambar simbol-simbol kuno di lantai menggunakan kapur yang diambilnya dari kantong kecil di jubahnya. Setiap goresan terasa penuh dengan energi yang mencekam, seolah-olah setiap garis yang ditarik mempertegas koneksi antara dunia mereka dan dunia roh yang sedang mereka hadapi. Arga, Mira, Bram, dan Laras berdiri diam mengelilingi Pak Kusuma, mata mereka memperhatikan setiap detail dengan napas tertahan. Bayangan-bayangan di luar jendela bergerak semakin cepat, seolah mereka tahu bahwa ritual akan segera dimulai."Liontin ini," kata Pak Kusuma sambil menunjuk ke liontin yang dipegang oleh Laras, "akan menjadi pusat dari ritual ini. Ini adalah bagian penting dari kenangan keluargamu, Laras. Kenangan ini bisa membawa ketenangan bagi roh-roh yang menghantui rumah ini."Laras mengangguk, meski wajahnya masih dipenuhi kecemasan. Tangannya gemetar saat dia menyerahkan liontin itu kepada Pak Kusuma. "Aku ingat nenek buyutku selalu memegang liontin ini setiap kali dia berdo
Suasana di rumah tua itu kini terasa hening setelah ritual pengusiran berhasil. Arga, Mira, Bram, dan Laras telah melalui malam yang panjang dan penuh ketegangan. Mereka berdiri di ruang tamu, cahaya dari lampu kecil menerangi ruangan yang kini tampak lebih tenang, meski ada perasaan lelah dan tegang yang belum sepenuhnya pergi dari dalam diri mereka.“Aku masih nggak percaya semua ini udah berakhir,” Bram berkata pelan, memecah keheningan. Dia duduk di kursi, menyandarkan tubuhnya yang terlihat kelelahan. “Apa kita beneran udah bebas dari semua ini?”Mira mengangguk pelan, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. “Rasanya memang sudah lebih tenang... tapi kenapa aku masih merasa ada yang nggak beres?”Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Mungkin karena pengalaman ini terlalu intens buat kita semua. Setelah yang kita alami di rumah ini, wajar kalau kita masih merasa was-was.”Laras, yang duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab, angkat bicara. “Aku juga meras
Pagi itu, meskipun sinar matahari sudah menyelimuti rumah tua di Desa Sinarjati, perasaan mencekam masih menempel erat di hati Arga, Mira, Bram, dan Laras. Mereka duduk bersama di ruang tamu, mencoba memahami apa yang terjadi semalam. Semua mengalami mimpi yang sama, mimpi buruk yang tampaknya bukan sekadar gambaran tidur yang acak, tetapi peringatan yang nyata dari sesuatu yang lebih besar.Laras tampak paling terpengaruh. Wajahnya tampak lelah, matanya sembab karena kurang tidur, dan dia terus-menerus memandang ke luar jendela, seolah takut sesuatu akan datang kapan saja.“Ada sesuatu yang salah,” gumam Laras, suaranya nyaris tak terdengar. "Rasanya... seperti ada bagian dari rumah ini yang masih mencoba berkomunikasi."Mira mengangguk, meskipun ekspresinya penuh kekhawatiran. "Aku setuju. Mimpi buruk itu bukan sekadar mimpi. Aku rasa ini adalah peringatan, tapi dari siapa? Apa roh-roh keluargamu belum benar-benar tenang, Laras?"Laras menggeleng pelan. "Aku merasa mereka sudah pergi
Lorong gelap yang mengarah lebih dalam ke ruang bawah tanah tampak seperti mulut kegelapan yang menelan cahaya dari senter mereka. Di tengah keheningan yang menekan, langkah kaki Arga, Mira, Bram, Laras, dan Pak Kusuma terdengar menggema. Setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat, seolah tanah di bawah mereka meresapi ketakutan yang terus merayap dalam hati.Arga berjalan di depan, senter di tangannya bergetar sedikit saat ia menyorot dinding batu yang semakin tua dan usang. Udara di ruang bawah tanah semakin lembab dan pengap, membuat mereka merasa seolah-olah sedang terperangkap dalam perut bumi.“Kalian semua baik-baik saja?” tanya Arga dengan suara pelan, mencoba memecah keheningan yang semakin membuat napas mereka terasa berat.Mira, yang berjalan di sebelahnya, mengangguk meski wajahnya terlihat tegang. “Aku baik-baik aja... sejauh ini. Tapi tempat ini makin aneh.”Bram, yang sejak tadi paling terlihat gelisah, bergumam pelan, “Gue udah bilang dari awal, kita nggak ha
Arga berdiri di depan altar batu kuno yang tampak hidup, denyutan cahaya merah samar dari benda seperti jantung batu di atasnya terus bergetar pelan, menandakan kekuatan yang tidak kasat mata namun begitu nyata. Mata Arga tertuju pada benda itu, sementara di belakangnya, Mira, Bram, Laras, dan Pak Kusuma berusaha mengendalikan ketakutan mereka. Sosok-sosok bayangan yang semakin mendekat dari lorong semakin terasa nyata, mereka bisa mendengar bisikan dan erangan arwah-arwah yang penuh dengan amarah.“Kita harus cepat, Arga!” teriak Mira dengan panik, matanya sesekali melirik ke arah bayangan-bayangan yang tampaknya semakin kuat. “Mereka sudah dekat!”Bram tampak semakin gugup, tubuhnya gemetar. “Lo yakin ini cara yang benar? Gimana kalau kita malah bikin mereka lebih kuat?”Pak Kusuma menatap mereka dengan tegas, meskipun wajahnya tetap tenang. “Kita tidak punya pilihan lain. Sumber kekuatan ini harus dihancurkan, kalau tidak, kita semua akan menjadi korban.”Arga menghela napas dalam-d