Lorong gelap yang mengarah lebih dalam ke ruang bawah tanah tampak seperti mulut kegelapan yang menelan cahaya dari senter mereka. Di tengah keheningan yang menekan, langkah kaki Arga, Mira, Bram, Laras, dan Pak Kusuma terdengar menggema. Setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat, seolah tanah di bawah mereka meresapi ketakutan yang terus merayap dalam hati.Arga berjalan di depan, senter di tangannya bergetar sedikit saat ia menyorot dinding batu yang semakin tua dan usang. Udara di ruang bawah tanah semakin lembab dan pengap, membuat mereka merasa seolah-olah sedang terperangkap dalam perut bumi.“Kalian semua baik-baik saja?” tanya Arga dengan suara pelan, mencoba memecah keheningan yang semakin membuat napas mereka terasa berat.Mira, yang berjalan di sebelahnya, mengangguk meski wajahnya terlihat tegang. “Aku baik-baik aja... sejauh ini. Tapi tempat ini makin aneh.”Bram, yang sejak tadi paling terlihat gelisah, bergumam pelan, “Gue udah bilang dari awal, kita nggak ha
Arga berdiri di depan altar batu kuno yang tampak hidup, denyutan cahaya merah samar dari benda seperti jantung batu di atasnya terus bergetar pelan, menandakan kekuatan yang tidak kasat mata namun begitu nyata. Mata Arga tertuju pada benda itu, sementara di belakangnya, Mira, Bram, Laras, dan Pak Kusuma berusaha mengendalikan ketakutan mereka. Sosok-sosok bayangan yang semakin mendekat dari lorong semakin terasa nyata, mereka bisa mendengar bisikan dan erangan arwah-arwah yang penuh dengan amarah.“Kita harus cepat, Arga!” teriak Mira dengan panik, matanya sesekali melirik ke arah bayangan-bayangan yang tampaknya semakin kuat. “Mereka sudah dekat!”Bram tampak semakin gugup, tubuhnya gemetar. “Lo yakin ini cara yang benar? Gimana kalau kita malah bikin mereka lebih kuat?”Pak Kusuma menatap mereka dengan tegas, meskipun wajahnya tetap tenang. “Kita tidak punya pilihan lain. Sumber kekuatan ini harus dihancurkan, kalau tidak, kita semua akan menjadi korban.”Arga menghela napas dalam-d
Arga terhuyung mundur ketika pintu tua itu terbanting keras, menutup dengan suara yang menggema di seluruh rumah. Cahaya remang-remang dari lampu minyak tua yang mereka bawa bergetar di sekitar ruangan, menciptakan bayangan aneh di dinding yang seakan-akan hidup. Dia menarik napas panjang, mencoba meredakan detak jantungnya yang liar. Sejak tadi, perasaannya tidak enak—seolah-olah ada sesuatu yang bersembunyi di balik dinding-dinding tua rumah itu, mengawasinya dengan mata tak kasat.Mira yang berdiri di sebelahnya sama-sama tegang. Matanya tertuju pada pintu yang baru saja tertutup, lalu dia menoleh ke arah Arga. “Lo denger itu, kan?” Suaranya nyaris berbisik, penuh dengan ketidakpercayaan. “Gue nggak suka ini, Arg.”Sebelum Arga bisa menjawab, terdengar suara langkah pelan dari lorong gelap di belakang mereka. Mereka berdua serempak menoleh, menemukan Laras yang sedang melangkah dengan tatapan kosong, seakan-akan dia berada dalam trans. Langkahnya lamban namun mantap, dan setiap gera
Suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang lorong sempit dan gelap menuju ruang bawah tanah. Lampu minyak yang mereka bawa berayun lembut, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding yang seakan bergerak dengan irama napas mereka yang terengah-engah. Udara di lorong semakin pengap dan dingin, seolah-olah setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke dalam perut kegelapan yang tak pernah terjamah oleh cahaya.Arga memimpin di depan, meskipun jantungnya terus berdebar tak menentu. Tangannya menggenggam lampu dengan erat, sementara Mira berada tepat di belakangnya, sesekali melirik ke arah Laras yang masih tampak gelisah. Pak Kusuma mengikuti di belakang mereka, wajahnya tenang meskipun matanya memancarkan ketegangan yang jelas.“Kita hampir sampai,” kata Pak Kusuma tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik, seperti takut mengganggu sesuatu di dalam keheningan itu. “Ruang bawah tanah ini tidak pernah dibuka sejak keluarga Laras dihukum. Apa pun yang ada di dalamnya... itu adalah kunci dari
Cahaya lampu minyak yang semakin redup menyorotkan bayangan panjang ke arah makhluk menyeramkan yang terus mendekat. Sosok dengan mata merah itu seakan tidak menyentuh tanah, melayang dengan gerakan yang hampir tidak wajar, memancarkan hawa dingin yang membuat ruangan terasa semakin sempit dan pengap.Mira terus memeriksa simbol-simbol yang terukir di dinding, berusaha mencari pola atau petunjuk yang bisa menghentikan makhluk itu. Di belakangnya, Pak Kusuma berdiri menjaga Laras yang masih terlihat pucat dan gemetaran. Sementara Arga, dengan linggis di tangan, mencoba menahan ketakutannya, berdiri di antara mereka dan makhluk yang mendekat.“Aku nggak tahu apakah ini benar,” gumam Mira dengan nada tegang sambil menelusuri simbol-simbol tersebut dengan jemarinya. “Tapi... gue rasa simbol ini... seperti mantra pengurung. Mungkin kalau kita bisa memecahkan urutan ini, kita bisa menghentikan makhluk itu.”“Gue nggak ngerti,” jawab Arga cepat, matanya masih tertuju pada makhluk itu. “Apa lo
Suasana di luar rumah terasa jauh lebih tenang dibandingkan dengan kegelapan pekat yang mereka tinggalkan di ruang bawah tanah. Namun, rasa lega itu tidak sepenuhnya membawa kenyamanan. Bayang-bayang malam yang menyelimuti langit Desa Sinarjati terasa lebih tebal, lebih menyesakkan. Rumah tua itu tampak sunyi, namun ada sesuatu yang masih hidup, bersembunyi di balik tembok dan lantainya.Arga duduk di teras, matanya tertuju pada pintu depan rumah yang baru saja mereka tinggalkan. Matanya kosong, pikirannya melayang jauh. Meskipun mereka berhasil mengusir makhluk itu, perasaan bahwa semuanya belum berakhir terus mencengkeram dirinya. Napasnya masih terasa berat, dan di setiap sudut bayang-bayang, dia merasa ada yang mengawasinya.Mira duduk di sampingnya, tubuhnya lelah. Dia menggenggam lengan Arga dengan lembut, mencoba menenangkannya meskipun dirinya sendiri masih merasakan ketegangan. "Kita harus istirahat dulu, Arg. Gue nggak tahu gimana lo masih bisa berdiri setelah semua ini."Arg
Ruangan itu terasa seperti membeku. Napas Arga tersangkut di tenggorokan ketika sepasang mata merah di ujung lorong kembali menatap mereka dengan kebencian yang mencekam. Semua orang di ruangan itu membisu, hanya terdengar deru napas yang tertahan dan detak jantung yang semakin cepat. Mata merah itu, sekali lagi, seperti menggiring mereka menuju kegelapan yang lebih dalam—lebih mencekam."Kalian... tidak seharusnya ada di sini..." Suara itu kembali bergema, berat dan serak, seolah-olah datang dari dunia yang berbeda, penuh dengan dendam dan penderitaan.Mira berdiri dengan tubuh kaku, dia mencoba mengendalikan rasa takutnya. Tangannya secara refleks meraih lengan Arga. "Apa yang kita lakukan sekarang?" bisiknya, suaranya terdengar gemetar.Pak Kusuma melangkah maju dengan hati-hati, meskipun kerutan di dahinya menunjukkan bahwa dia juga merasakan kecemasan yang mendalam. "Kita harus tetap tenang. Ini bukan arwah sembarangan. Mereka adalah bagian dari kutukan yang masih terikat dengan r
Pintu menuju ruang bawah tanah terbuka dengan derit panjang, mengeluarkan suara yang membuat bulu kuduk meremang. Hawa dingin yang menusuk langsung menyusup ke kulit mereka, seperti cengkeraman kegelapan yang tidak pernah ingin melepaskan mangsanya. Lorong sempit dan gelap di hadapan mereka tampak seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa saja yang berani melangkah masuk.Arga memegang linggisnya lebih erat, sementara Mira di sampingnya menggenggam lengan Arga dengan gemetar. Pak Kusuma berjalan paling depan, membawa dupa yang baru saja dinyalakan. Asap tipis mengepul dari ujungnya, melayang pelan di udara yang penuh ketegangan. Di belakang mereka, Laras berjalan dengan langkah berat, namun tekad di wajahnya sudah bulat. Malam ini, apa pun yang terjadi, kutukan ini harus diakhiri."Di mana Bram?" tanya Arga tiba-tiba, matanya menyusuri ruangan di atas mereka. Sejak beberapa waktu lalu, Bram menghilang. Tidak ada yang memperhatikannya, terlalu sibuk dengan kekacauan yang terjadi.Mi
Desa Sinarjati, yang dulu begitu sunyi dan dipenuhi ketakutan, kini mulai berangsur kembali hidup setelah rumah tua terkutuk itu hancur. Penduduk yang selama bertahun-tahun hidup di bawah bayang-bayang kegelapan, akhirnya bisa merasakan kelegaan yang telah lama mereka rindukan. Matahari yang bersinar di atas ladang dan pepohonan tampak lebih hangat, lebih terang, seolah-olah alam itu sendiri sedang merayakan berakhirnya kutukan yang selama ini membelenggu desa.Di pasar kecil desa, para pedagang kembali dengan senyum di wajah mereka, menawarkan dagangan dengan lebih ceria daripada sebelumnya. Anak-anak mulai berlarian di jalan-jalan yang dulu sunyi, tidak lagi takut untuk mendekati area yang dulu dikenal sebagai tanah terkutuk. Suasana penuh harapan tampak mengisi setiap sudut desa, membawa angin segar yang sebelumnya tertahan oleh kegelapan.Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama.Desas-desus mulai menyebar di antara penduduk. Seiring berjalannya hari, bebe
Malam di kota seharusnya membawa keheningan yang menenangkan, namun bagi Mira, setiap malam justru terasa semakin menakutkan. Keheningan yang menyelimuti apartemennya kini bukan lagi tanda kedamaian, melainkan awal dari sesuatu yang mengerikan. Malam demi malam, kehadiran yang tak terlihat semakin kuat, membayangi setiap gerakan dan napasnya. Suara-suara yang awalnya samar kini semakin jelas, seperti sesuatu yang tak kasat mata berusaha mendekatinya.Mira berdiri di jendela apartemennya, memandangi jalanan kota yang sepi. Tirai di sebelahnya berkibar pelan, meskipun tidak ada angin yang masuk dari jendela tertutup. Dia menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan cemas yang semakin menekan dadanya. Tapi dia tahu, di dalam hatinya, bahwa apa yang dia rasakan bukanlah imajinasi semata. Sesuatu telah berubah, dan kehadiran itu semakin nyata, semakin sulit untuk diabaikan.Langkah-langkah kecil terdengar samar dari koridor apartemen, seperti seseorang sedang berjalan pelan,
Pagi itu, matahari terbit seperti biasa di luar jendela apartemen Mira, memancarkan sinar hangat yang lembut ke dalam ruang tamunya yang tenang. Hari yang cerah seharusnya membawa perasaan damai, namun bagi Mira, keheningan ini terasa tidak wajar—terlalu sunyi, terlalu kosong. Dia telah mencoba menenangkan pikirannya sejak mimpi buruk yang semakin sering menghantuinya, namun rasa cemas itu tetap melekat, merayap di sudut pikirannya.Dengan setengah sadar, Mira berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang masih lelah akibat malam tanpa tidur. Saat dia membuka keran, air dingin mengalir, memercikkan kesegaran yang sejenak menghilangkan rasa kantuk. Namun, ketika dia mengangkat wajah untuk menatap cermin, sesuatu yang aneh terjadi—sesuatu yang membuat tubuhnya membeku seketika.Di balik bayangannya sendiri di cermin, Mira melihat sekilas sosok lain, seseorang yang begitu dikenalnya. Arga. Dia berdiri di belakangnya, tersenyum samar, seperti bayanga
Mira duduk di depan meja kerjanya, menatap layar komputer yang dipenuhi dengan laporan-laporan jurnalistik yang harus dia selesaikan. Di sekitar kantor, suara ketikan cepat dan obrolan singkat antar rekan kerjanya menggema, menciptakan suasana sibuk yang biasa di tempat itu. Namun, bagi Mira, hiruk-pikuk itu tidak bisa menutupi kegelisahan yang terus menghantui pikirannya. Setiap detik terasa berat, dan di balik setiap kasus aneh yang dia tangani, ada bayangan yang selalu mengintip dari masa lalu—dari rumah tua di Desa Sinarjati.Sudah beberapa minggu sejak Mira kembali ke kota, mencoba menjalani hidupnya seperti biasa. Dia kembali bekerja sebagai jurnalis, meliput berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kota. Namun, meskipun tangannya sibuk mengetik, pikirannya terus melayang kembali ke desa, ke kegelapan yang pernah menyelimutinya, ke rumah tua yang kini hanya tinggal reruntuhan. Setiap kasus misterius yang dia tangani seolah mengingatkan pada sesuatu yang lebih be
Malam di kota besar tampak tenang, namun dalam keheningan itu, Mira tidak bisa merasa benar-benar damai. Sejak kembali dari Desa Sinarjati, rasa lega yang semula ia rasakan mulai memudar, digantikan oleh kecemasan yang kian hari kian membesar. Meskipun dia tahu rumah tua itu telah hancur, meskipun kutukan itu telah dipatahkan, ada sesuatu yang terus menghantuinya—bayangan kegelapan yang seolah-olah tidak mau pergi.Setiap malam, Mira terbangun dengan jantung berdetak kencang, peluh dingin membasahi tubuhnya, dan mimpi buruk yang selalu sama menghantuinya. Dalam mimpi itu, dia berdiri di depan rumah tua yang tak lagi ada. Kegelapan pekat menyelimuti sekeliling, dan meskipun rumah itu telah runtuh, ia merasakan kehadiran sesuatu yang lebih kuat, lebih jahat. Bayangan hitam tanpa wajah terus mendekatinya, menyeretnya ke dalam kegelapan, dan setiap kali dia mencoba melarikan diri, kakinya terbenam di tanah yang basah dan berat, seperti lumpur yang menahannya.Mira te
Matahari baru saja terbit ketika Mira menginjakkan kaki di stasiun kereta kota. Udara pagi di kota besar terasa berbeda—segar, penuh kehidupan, dan jauh dari suasana mencekam yang selama ini menyelimuti Desa Sinarjati. Suara deru kendaraan dan aktivitas pagi hari mulai menggema, menciptakan simfoni perkotaan yang dinamis. Bagi sebagian besar orang, itu hanyalah pagi yang biasa, namun bagi Mira, hari ini menandai awal yang baru, sebuah kebebasan yang baru dia rasakan.Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar masuk ke paru-parunya, merasa beban berat di pundaknya yang selama ini menghantuinya mulai terasa lebih ringan. Ketika dia meninggalkan desa, dia tahu bahwa dia tidak meninggalkan masa lalu sepenuhnya—jejak kutukan yang pernah merantai hidupnya tidak akan sepenuhnya hilang. Namun, kini dia menyadari bahwa kutukan itu bukan lagi sesuatu yang membebani atau mengurungnya. Itu hanyalah bagian dari sejarah dirinya, dan dia telah belajar menerima itu.Mira be
Pagi di Desa Sinarjati akhirnya terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari memancarkan sinar lembutnya, menyinari desa yang selama ini dikelilingi oleh kegelapan dan ketakutan. Burung-burung berkicau di atas pepohonan, dan angin lembut membawa aroma tanah basah yang baru saja disiram embun pagi. Bagi kebanyakan orang, pagi ini terasa berbeda—seolah-olah ada beban besar yang terangkat, meskipun masih ada rasa cemas yang menyelip di antara kehidupan sehari-hari.Penduduk desa perlahan-lahan kembali ke rutinitas mereka. Pasar kecil yang dulunya sepi karena ketakutan mulai ramai lagi dengan aktivitas. Orang-orang berbincang pelan sambil melakukan pekerjaan mereka, dan anak-anak berlarian di jalan-jalan desa, meskipun kali ini mereka berhati-hati untuk tidak terlalu mendekati area bekas rumah tua yang kini telah hilang dari pandangan.Mira, yang tinggal di desa untuk sementara waktu, berjalan di antara penduduk dengan tatapan kosong namun penuh pengamatan. Meskipun r
Pagi di Desa Sinarjati membawa udara yang berbeda. Setelah pengorbanan Laras, suasana yang selama ini terasa berat dan penuh ketegangan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa hening yang mendalam. Namun, di tengah ketenangan itu, ada sesuatu yang terjadi di tengah reruntuhan rumah tua—sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah terlibat dalam kutukan yang selama ini menjerat desa.Mira berdiri diam di pinggir reruntuhan, hatinya masih dipenuhi oleh keharuan dan kesedihan setelah melihat Laras mengorbankan dirinya demi kedamaian. Pengorbanan itu, yang dilakukan dengan kesadaran penuh, membawa perasaan lega yang begitu besar. Namun, saat itu juga, Mira merasakan getaran aneh di tanah di bawah kakinya. Tanah yang selama ini terasa diam dan menyimpan energi kegelapan, kini mulai bergerak, seolah-olah sedang bersiap untuk melepaskan sesuatu.Suara gemeretak kayu yang patah terdengar di kejauhan, mengalir dari arah sisa-sisa rumah tua yang tampak lebih
Udara pagi di Desa Sinarjati terasa berat, diselimuti ketenangan yang aneh setelah malam yang penuh teror. Sinar matahari yang biasanya membawa harapan, tampak terhalang oleh sisa-sisa energi gelap yang masih mengendap di udara, seolah-olah desa itu belum benar-benar terbebas dari cengkeraman kutukan yang telah menghancurkan banyak hidup. Di tengah keheningan itu, Laras berdiri di reruntuhan rumah tua, tatapannya tegas namun penuh dengan kesedihan yang dalam. Dia tahu bahwa saat ini adalah titik akhir—satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan ini selamanya.Mira, yang baru saja mengucapkan selamat tinggal kepada Arga, berdiri di samping Laras. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik tetapi juga emosional. Namun, di tengah semua kelelahan itu, ada tekad yang tidak bisa disangkal. Mereka berdua tahu bahwa masih ada satu hal yang harus dilakukan. Kutukan ini tidak akan berhenti hanya dengan menutup portal atau menghancurkan rumah tua. Kegelapan ini membutuhkan sesuatu