Pintu menuju ruang bawah tanah terbuka dengan derit panjang, mengeluarkan suara yang membuat bulu kuduk meremang. Hawa dingin yang menusuk langsung menyusup ke kulit mereka, seperti cengkeraman kegelapan yang tidak pernah ingin melepaskan mangsanya. Lorong sempit dan gelap di hadapan mereka tampak seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa saja yang berani melangkah masuk.Arga memegang linggisnya lebih erat, sementara Mira di sampingnya menggenggam lengan Arga dengan gemetar. Pak Kusuma berjalan paling depan, membawa dupa yang baru saja dinyalakan. Asap tipis mengepul dari ujungnya, melayang pelan di udara yang penuh ketegangan. Di belakang mereka, Laras berjalan dengan langkah berat, namun tekad di wajahnya sudah bulat. Malam ini, apa pun yang terjadi, kutukan ini harus diakhiri."Di mana Bram?" tanya Arga tiba-tiba, matanya menyusuri ruangan di atas mereka. Sejak beberapa waktu lalu, Bram menghilang. Tidak ada yang memperhatikannya, terlalu sibuk dengan kekacauan yang terjadi.Mi
Ketegangan menggantung di udara saat mereka berkumpul di sekitar Bram yang masih terbaring lemah di lantai. Tangis anak kecil dari kegelapan bergema seperti musik kematian, mengoyak keheningan dan menambah kepanikan yang menyelimuti mereka. Arga terus menatap sahabatnya, mencoba berpikir jernih meskipun pikirannya penuh dengan kebingungan dan ketakutan."Laras, lo baik-baik aja?" tanya Mira tiba-tiba, suaranya terdengar serak di tengah kengerian yang mengancam mereka. Laras, yang berdiri agak jauh, tampak pucat dan masih dalam kondisi syok. Dia mengangguk pelan, meski sorot matanya masih kosong, seolah-olah sedang memproses sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Pak Kusuma, yang terus melantunkan mantra di samping Bram, akhirnya berdiri. Wajahnya tampak semakin tua dalam cahaya redup ruangan itu. “Bram sudah melewati batas. Kita harus segera menyelesaikan ini sebelum dia benar-benar ditarik oleh kekuatan yang ada di sini.”Arga merasa tangannya bergetar, dia menggenggam l
Suara pintu-pintu yang membanting keras dan jeritan-jeritan yang menggema di sekeliling mereka semakin intens, membuat suasana di ruang bawah tanah berubah menjadi lebih mencekam. Arga bisa merasakan hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap pori-pori di kulitnya mencoba menolak keberadaan kegelapan yang semakin menebal di ruangan itu.Mereka semua berdiri terpaku, menyaksikan Bram yang masih bergerak ke arah altar, tubuhnya kaku seperti boneka yang digerakkan oleh kekuatan tak terlihat. Simbol-simbol di lantai berkilauan merah, sementara darah segar mengalir pelan di sekitar altar, menciptakan pola yang semakin menyeramkan. Di sekitar ruangan, dinding-dinding batu tampak mulai berdenyut, seolah-olah hidup dan bernapas bersama dengan energi gelap yang menguasai tempat itu.“Bram! Berhenti!” teriak Arga lagi, suaranya bergema dalam kegelapan. Tapi seperti sebelumnya, tidak ada respons dari sahabatnya. Tubuh Bram terus maju, tangannya hampir menyentuh permukaan al
Langit di luar rumah mulai beranjak dari kegelapan malam yang mencekam menuju fajar yang samar-samar terlihat, namun kegelapan di dalam rumah tua itu tidak mereda sedikit pun. Suara gemuruh di bawah tanah terus berlanjut, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak jauh di bawah permukaan, bangkit dari tempat persembunyiannya yang telah lama terlupakan.Arga berdiri dengan napas berat, masih merasakan beban kengerian yang terus mencengkeram dirinya sejak mereka turun ke ruang bawah tanah. Di sebelahnya, Laras terlihat lelah, wajahnya pucat namun matanya tetap terfokus. Dia sudah melakukan lebih dari yang bisa dibayangkan, namun jelas bahwa tugas mereka belum selesai.Mira mendekat ke Arga, menggenggam lengannya dengan erat. “Arg, kita nggak bisa terus-terusan di sini. Rumah ini semakin berbahaya. Apa pun yang tersembunyi di bawah sana, itu makin kuat.”Pak Kusuma berdiri di dekat altar yang kini tampak lebih tenang, meskipun darah yang sebelumnya mengalir di sekitarnya masih terasa hangat da
Ruangan di bawah tanah bergetar semakin hebat, retakan di dinding merayap semakin cepat, seolah-olah tanah itu sendiri sedang berusaha melawan ritual yang sedang dilakukan. Darah Laras terus menetes ke atas simbol-simbol yang telah digambar oleh Pak Kusuma, tapi semakin lama, semakin jelas bahwa waktu mereka hampir habis.Arga berdiri di samping Laras, menggenggam tangannya erat, mencoba memberikan kekuatan. "Laras, lo bisa lakukan ini. Kita di sini bersamamu," katanya, meskipun suara gemuruh di sekitar mereka hampir menenggelamkan suaranya.Laras mengangguk lemah, meskipun tubuhnya gemetar. Dia terus merapalkan mantra yang diberikan Pak Kusuma, suaranya semakin serak, namun tetap berusaha. Cahaya merah dari simbol-simbol itu mulai menyala lebih terang, namun bersamaan dengan itu, entitas yang terkurung di bawah tanah seolah merespon dengan kekuatan yang lebih besar. Jeritan-jeritan dari kegelapan semakin memekakkan telinga mereka, menandakan bahwa makhluk itu berusaha keras untuk mela
Langit malam di atas Desa Sinarjati tampak gelap pekat, tanpa ada satu pun bintang yang berani menampakkan dirinya. Angin berhembus dengan lembut namun dinginnya menusuk tulang. Di sekitar rumah tua itu, suasana semakin mencekam, seperti ada sesuatu yang tengah bersembunyi di balik bayang-bayang gelap. Arga memandangi rumah di depannya dengan sorot mata penuh ketegangan, sementara Mira berdiri di sebelahnya, menggigit bibir, menahan kegelisahan yang semakin merayap di dadanya."Ini gila," gumam Mira, suaranya hampir tenggelam oleh angin malam yang berhembus. "Aku tidak pernah membayangkan hal ini nyata. Ritual ini... apa yang sebenarnya mereka lakukan?"Arga menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Kita akan cari tahu. Kita tidak bisa hanya berdiri di sini."Tiba-tiba, sebuah suara aneh datang dari dalam rumah—seperti bisikan yang terbawa angin, suara samar yang memanggil-manggil dari balik dinding-dinding usang rumah itu. Arga dan Mira saling bertukar p
Cahaya remang-remang senter yang berkedip di tangan Arga perlahan mulai kembali menyala, namun suasana di dalam rumah itu tetap terasa berat, seperti diliputi kabut hitam yang mencekik. Mira berdiri gemetar di sampingnya, matanya masih terpaku pada bayangan-bayangan gelap yang seakan menyusup ke setiap sudut rumah. Pak Kusuma kini duduk terdiam, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan, dan hanya menatap lantai dengan mata kosong. Ritual itu telah memanggil sesuatu, dan mereka semua merasakannya."Kita benar-benar harus pergi sekarang," Mira mendesak, suaranya serak karena panik yang ditekan-tekan. "Ada sesuatu di sini, Arga... sesuatu yang bukan dari dunia kita."Namun, Arga tidak menjawab. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari penjelasan rasional di tengah kekacauan yang dia saksikan. Tapi saat dia mendongak ke arah langit-langit, mendadak sebuah suara menggelegar di atas mereka—suara langkah kaki berat, seperti ada seseorang berjalan di loteng."Siapa lagi y
Arga meremas setir mobilnya dengan satu tangan, pandangannya lurus ke depan menembus jalanan aspal yang memanjang seperti garis lurus tak berujung. Matahari siang menyengat di atas kepala, namun sejuknya AC mobil membuatnya merasa nyaman. Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.“Jadi, kamu benar-benar terima pekerjaan itu?” - Mira.Arga tersenyum tipis, jari-jarinya bergerak cepat membalas.“Ya, kenapa nggak? Ini proyek besar.”Mira membalas lagi, lebih cepat dari yang dia perkirakan.“Tapi itu rumah tua, Ga. Katanya angker. Banyak cerita buruk soal rumah itu.”Seketika Arga menghela napas panjang. “Cerita buruk” adalah hal terakhir yang ingin dia dengar. Sebagai arsitek muda yang baru mulai meraih perhatian di dunia konstruksi, Arga merasa proyek ini adalah batu loncatan besar. Rumah tua di desa terpencil itu menawarkan tantangan arsitektural yang tak biasa, dan jika berhasil, namanya akan semakin dikenal.“Iya, tapi itu cuma omong kosong. Aku nggak percaya yang be