Suara pintu-pintu yang membanting keras dan jeritan-jeritan yang menggema di sekeliling mereka semakin intens, membuat suasana di ruang bawah tanah berubah menjadi lebih mencekam. Arga bisa merasakan hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap pori-pori di kulitnya mencoba menolak keberadaan kegelapan yang semakin menebal di ruangan itu.Mereka semua berdiri terpaku, menyaksikan Bram yang masih bergerak ke arah altar, tubuhnya kaku seperti boneka yang digerakkan oleh kekuatan tak terlihat. Simbol-simbol di lantai berkilauan merah, sementara darah segar mengalir pelan di sekitar altar, menciptakan pola yang semakin menyeramkan. Di sekitar ruangan, dinding-dinding batu tampak mulai berdenyut, seolah-olah hidup dan bernapas bersama dengan energi gelap yang menguasai tempat itu.“Bram! Berhenti!” teriak Arga lagi, suaranya bergema dalam kegelapan. Tapi seperti sebelumnya, tidak ada respons dari sahabatnya. Tubuh Bram terus maju, tangannya hampir menyentuh permukaan al
Langit di luar rumah mulai beranjak dari kegelapan malam yang mencekam menuju fajar yang samar-samar terlihat, namun kegelapan di dalam rumah tua itu tidak mereda sedikit pun. Suara gemuruh di bawah tanah terus berlanjut, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak jauh di bawah permukaan, bangkit dari tempat persembunyiannya yang telah lama terlupakan.Arga berdiri dengan napas berat, masih merasakan beban kengerian yang terus mencengkeram dirinya sejak mereka turun ke ruang bawah tanah. Di sebelahnya, Laras terlihat lelah, wajahnya pucat namun matanya tetap terfokus. Dia sudah melakukan lebih dari yang bisa dibayangkan, namun jelas bahwa tugas mereka belum selesai.Mira mendekat ke Arga, menggenggam lengannya dengan erat. “Arg, kita nggak bisa terus-terusan di sini. Rumah ini semakin berbahaya. Apa pun yang tersembunyi di bawah sana, itu makin kuat.”Pak Kusuma berdiri di dekat altar yang kini tampak lebih tenang, meskipun darah yang sebelumnya mengalir di sekitarnya masih terasa hangat da
Ruangan di bawah tanah bergetar semakin hebat, retakan di dinding merayap semakin cepat, seolah-olah tanah itu sendiri sedang berusaha melawan ritual yang sedang dilakukan. Darah Laras terus menetes ke atas simbol-simbol yang telah digambar oleh Pak Kusuma, tapi semakin lama, semakin jelas bahwa waktu mereka hampir habis.Arga berdiri di samping Laras, menggenggam tangannya erat, mencoba memberikan kekuatan. "Laras, lo bisa lakukan ini. Kita di sini bersamamu," katanya, meskipun suara gemuruh di sekitar mereka hampir menenggelamkan suaranya.Laras mengangguk lemah, meskipun tubuhnya gemetar. Dia terus merapalkan mantra yang diberikan Pak Kusuma, suaranya semakin serak, namun tetap berusaha. Cahaya merah dari simbol-simbol itu mulai menyala lebih terang, namun bersamaan dengan itu, entitas yang terkurung di bawah tanah seolah merespon dengan kekuatan yang lebih besar. Jeritan-jeritan dari kegelapan semakin memekakkan telinga mereka, menandakan bahwa makhluk itu berusaha keras untuk mela
Langit malam di atas Desa Sinarjati tampak gelap pekat, tanpa ada satu pun bintang yang berani menampakkan dirinya. Angin berhembus dengan lembut namun dinginnya menusuk tulang. Di sekitar rumah tua itu, suasana semakin mencekam, seperti ada sesuatu yang tengah bersembunyi di balik bayang-bayang gelap. Arga memandangi rumah di depannya dengan sorot mata penuh ketegangan, sementara Mira berdiri di sebelahnya, menggigit bibir, menahan kegelisahan yang semakin merayap di dadanya."Ini gila," gumam Mira, suaranya hampir tenggelam oleh angin malam yang berhembus. "Aku tidak pernah membayangkan hal ini nyata. Ritual ini... apa yang sebenarnya mereka lakukan?"Arga menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Kita akan cari tahu. Kita tidak bisa hanya berdiri di sini."Tiba-tiba, sebuah suara aneh datang dari dalam rumah—seperti bisikan yang terbawa angin, suara samar yang memanggil-manggil dari balik dinding-dinding usang rumah itu. Arga dan Mira saling bertukar p
Cahaya remang-remang senter yang berkedip di tangan Arga perlahan mulai kembali menyala, namun suasana di dalam rumah itu tetap terasa berat, seperti diliputi kabut hitam yang mencekik. Mira berdiri gemetar di sampingnya, matanya masih terpaku pada bayangan-bayangan gelap yang seakan menyusup ke setiap sudut rumah. Pak Kusuma kini duduk terdiam, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan, dan hanya menatap lantai dengan mata kosong. Ritual itu telah memanggil sesuatu, dan mereka semua merasakannya."Kita benar-benar harus pergi sekarang," Mira mendesak, suaranya serak karena panik yang ditekan-tekan. "Ada sesuatu di sini, Arga... sesuatu yang bukan dari dunia kita."Namun, Arga tidak menjawab. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari penjelasan rasional di tengah kekacauan yang dia saksikan. Tapi saat dia mendongak ke arah langit-langit, mendadak sebuah suara menggelegar di atas mereka—suara langkah kaki berat, seperti ada seseorang berjalan di loteng."Siapa lagi y
Arga meremas setir mobilnya dengan satu tangan, pandangannya lurus ke depan menembus jalanan aspal yang memanjang seperti garis lurus tak berujung. Matahari siang menyengat di atas kepala, namun sejuknya AC mobil membuatnya merasa nyaman. Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.“Jadi, kamu benar-benar terima pekerjaan itu?” - Mira.Arga tersenyum tipis, jari-jarinya bergerak cepat membalas.“Ya, kenapa nggak? Ini proyek besar.”Mira membalas lagi, lebih cepat dari yang dia perkirakan.“Tapi itu rumah tua, Ga. Katanya angker. Banyak cerita buruk soal rumah itu.”Seketika Arga menghela napas panjang. “Cerita buruk” adalah hal terakhir yang ingin dia dengar. Sebagai arsitek muda yang baru mulai meraih perhatian di dunia konstruksi, Arga merasa proyek ini adalah batu loncatan besar. Rumah tua di desa terpencil itu menawarkan tantangan arsitektural yang tak biasa, dan jika berhasil, namanya akan semakin dikenal.“Iya, tapi itu cuma omong kosong. Aku nggak percaya yang be
Ketukan berulang kali pada jendela mobil membangunkan Arga dari tidurnya. Ia mendongak, bingung sejenak, sebelum menyadari bahwa matahari telah naik cukup tinggi. Seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan menatapnya dari luar, ketukan pelan terus terdengar dari jari-jari tuanya yang menempel di kaca jendela.Arga membuka pintu mobilnya dengan malas. “Ada apa, Pak?”Pria tua itu, yang ternyata seorang penduduk desa, menatapnya dengan tajam. Matanya sayu namun tajam, bibirnya menyempit, seolah kata-kata yang ingin keluar terhalang di tenggorokannya. Dia mengenakan baju tradisional dengan sarung yang sudah lusuh, dan dari posturnya, pria ini tidak lebih dari sekadar petani sederhana.“Kalian dari kota, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.Arga mengangguk, sambil melirik ke arah Bram yang masih terlelap di kursi penumpang. “Iya, Pak. Saya Arga, arsitek yang ditugaskan untuk merenovasi rumah tua di ujung desa.”Pria tua itu menggeleng pelan, tapi Arga tidak bisa mengartikan ekspresi di wajahnya
Arga berdiri di halaman depan rumah tua itu, membiarkan angin sore menyentuh kulitnya yang terasa panas. Di depannya, rumah tersebut menjulang seperti raksasa yang diam, dingin, dan menunggu. Bram, yang berdiri di sampingnya, memandangi bangunan itu dengan ekspresi resah. Tidak ada lagi gurauan, tidak ada lagi canda ringan seperti biasanya. Sejak ketukan dari balik pintu kemarin, atmosfer di antara mereka terasa berubah."Lo yakin kita harus lanjut, Ga?" Bram bertanya pelan, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya sudah pasti. Arga, dengan segala sikap keras kepala dan logikanya, tentu tidak akan mundur.Arga menarik napas dalam-dalam. "Bram, kita udah di sini, udah mulai. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya sia-sia. Lagipula, nggak ada yang aneh di sini. Semuanya hanya perasaan."Bram melirik sekilas ke arah pintu depan yang sekarang tertutup rapat. Ia masih bisa mendengar suara ketukan pelan itu, meskipun mungkin hanya imajinasinya. Namun, bagian terdalam dari dirinya tahu, a