Beranda / Horor / Belenggu Rumah Darah / Bab 54 - Pengkhianatan Laras

Share

Bab 54 - Pengkhianatan Laras

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-23 12:26:33

Laras berdiri diam di tengah-tengah ruangan, dikelilingi oleh aura gelap yang hampir tak terlihat namun begitu nyata terasa. Ekspresi kebenciannya menusuk, mengiris setiap suasana di sekitarnya. Mira merasakan dinginnya udara semakin mencekam, dan tatapan Laras yang sekarang begitu dingin dan penuh kebencian, sama sekali berbeda dengan Laras yang mereka kenal sebelumnya—gadis pendiam dan gelisah yang dulu sering mereka lihat.

"Laras," kata Mira dengan nada hati-hati, mencoba menjangkau gadis itu. "Ini bukan dirimu. Kekuatan gelap di rumah ini sedang mengendalikamu. Kita bisa membantumu, kau tidak harus melakukan ini."

Namun Laras tidak merespons kata-kata Mira. Tatapannya hanya terpaku pada Arga, yang kini masih terbaring lemas di lantai dengan napas terengah-engah, tubuhnya semakin kehilangan tenaga. Mata Laras berkilat-kilat dalam cahaya suram yang memantul dari jendela rumah tua itu, dan Mira tahu gadis itu kini benar-benar telah berubah.

"Apa yang harus diba

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 55 - Perjanjian dengan Kegelapan

    Kematian Bram meninggalkan kehampaan yang mencekam di dalam rumah tua itu. Keheningan yang menyusulnya terasa lebih berat daripada sebelumnya, seperti sesuatu yang tak terlihat tengah menunggu untuk bergerak lagi, mengintai mereka semua dari balik bayang-bayang. Arga berdiri di sudut ruangan bawah tanah, memandangi tubuh sahabatnya yang kini terbujur kaku di lantai dingin. Tubuhnya masih bergetar lemah, sisa dari kutukan yang perlahan merongrong kekuatannya.Mira duduk di samping tubuh Bram, matanya kosong, tak mampu lagi menahan air mata. Ia merasakan dadanya begitu sesak, tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Kematian Bram datang begitu tiba-tiba, dan cara dia meninggal menambah rasa horor yang tak terungkapkan.Pak Kusuma berdiri tak jauh dari mereka, wajahnya tampak semakin suram. Dalam tatapannya, ada rasa penyesalan, tapi juga pemahaman mendalam akan kegelapan yang kini menyelimuti rumah ini. "Ini baru awal," katanya pelan, suaranya terdengar lebih berat dar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Belenggu Rumah Darah   Bab 56 - Korban Pertama

    Malam turun dengan cepat, seakan-akan alam sendiri berpihak pada kegelapan yang menyelimuti rumah tua itu. Udara dingin merayap masuk, membawa serta aroma basah yang aneh, seperti tanah yang baru digali. Di luar, suara jangkrik yang biasa menemani malam hening di desa Sinarjati menghilang, meninggalkan keheningan yang begitu menyesakkan.Arga berdiri di dekat jendela ruang tamu, menatap ke arah hutan yang membentang di kejauhan. Hatinya kacau, pikirannya penuh dengan bayangan-bayangan yang menakutkan. Kematian Bram masih menghantui setiap sudut benaknya, tapi lebih dari itu, pilihan yang ada di depannya terasa jauh lebih mengerikan.Di belakangnya, Mira duduk dengan wajah yang tak kalah muram. Dia sudah terlalu lelah untuk menangis, tapi kesedihan dan ketakutan tampak jelas di setiap gerakannya. Cahaya lilin yang redup menerangi wajahnya, menyoroti sorot matanya yang sayu. Pak Kusuma duduk tak jauh dari mereka, diam seperti patung, mengamati dengan pandangan yang sulit

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Belenggu Rumah Darah   Bab 57 - Pintu ke Dunia Lain

    Pintu kayu tua itu mengeluarkan suara decitan panjang, seakan mengeluh saat Arga mendorongnya perlahan. Di balik pintu tersebut, terhampar sebuah ruang bawah tanah yang lembab dan gelap, yang entah bagaimana selama ini tersembunyi dari pandangannya. Udara di sana lebih dingin dari sebelumnya, membuat napas Arga terlihat jelas di udara. Mata Arga menyipit, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan di depannya, namun kegelapan itu tampak tak terpecahkan. Ruangan di bawah rumah tua ini seolah menyerap cahaya."Cahaya senter mana, Arga?" Mira berbisik dari belakang, suaranya terdengar ragu. Meski Mira dikenal berani, suasana di sini berhasil menggoyahkan ketenangannya. Pak Kusuma berdiri diam di belakang mereka, hanya mengawasi dengan tatapan dingin tanpa suara.Arga meraba sakunya, mengeluarkan senter kecil yang sudah lama dia bawa. Senter itu menyala dengan lemah, cahayanya bergetar seperti takut menyentuh dinding ruangan yang gelap. Cahaya senter menyapu lantai yang le

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • Belenggu Rumah Darah   Bab 58 - Perebutan Jiwa

    Kegelapan yang menyelimuti Arga seakan tidak memiliki akhir. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya kehampaan yang terasa semakin menekan, seolah-olah seluruh tubuhnya tenggelam di dalam lubang tak berdasar. Seketika, sebuah suara terdengar di kejauhan, suara rintihan, seperti napas yang tersisa dari jiwa-jiwa yang hilang. Semakin lama suara itu semakin dekat, mengelilinginya."Arga..."Panggilan itu terdengar lirih, menggema di dalam pikirannya. Suara itu penuh dengan kesedihan dan penyesalan, namun sekaligus menakutkan. Arga mencoba membuka mata, tapi yang dia lihat hanya kabut kelam yang berputar-putar di sekelilingnya. Dia merasakan tubuhnya ditarik ke segala arah, seperti ratusan tangan tak kasat mata meraih, mencengkeramnya dari segala sudut."Jiwamu... milik kami..." Suara itu kini lebih jelas, lebih tajam.Arga mencoba bergerak, melawan kekuatan yang menahannya, namun tubuhnya terasa lemah, seperti energinya disedot perlahan. Dia berusaha bernap

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • Belenggu Rumah Darah   Bab 59 - Pertempuran Akhir

    Udara di dalam rumah tua itu semakin berat, seolah seluruh bangunan bernapas dengan ritme kematian. Suara-suara aneh yang selama ini hanya terdengar sebagai bisikan samar kini mengeras menjadi jeritan dan tawa jahat. Papan-papan kayu berderit, dinding-dinding bergetar, dan bayangan-bayangan aneh menari di bawah sorotan cahaya lilin yang hampir padam. Setiap inci dari rumah itu terasa hidup, siap melahap siapa pun yang berani bertahan di dalamnya.Arga berdiri dengan tubuh gemetar, tapi bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa lelah yang luar biasa setelah apa yang baru saja dialaminya. Jiwanya seolah-olah telah terhisap oleh kegelapan, dan baru saja kembali dari ambang kehancuran total. Namun, dia tahu ini belum selesai. Apa yang menunggu di balik malam ini lebih besar dan lebih mengerikan dari semua teror yang mereka alami sebelumnya.Mira berada di sampingnya, wajahnya pucat tetapi tekadnya terpancar jelas di matanya. Pak Kusuma berdiri sedikit di belakang merek

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-26
  • Belenggu Rumah Darah   Bab 60 - Pembebasan Rumah Darah

    Rumah tua itu berdiri sunyi di tengah malam yang pekat, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang suram. Bayangan-bayangan pepohonan di sekitarnya memanjang, menutupi dinding-dinding retak yang penuh dengan sejarah kelam. Angin berembus lembut, membawa serta aroma tanah basah dan kematian yang sudah lama berdiam di dalam rumah tersebut. Tidak ada lagi bisikan arwah, tidak ada lagi jeritan atau tawa jahat yang menghantui malam. Tapi rumah itu belum benar-benar bebas.Arga duduk bersandar pada dinding, napasnya berat dan tubuhnya penuh luka. Di sampingnya, Mira berbaring dengan mata setengah tertutup, kelelahan telah mengambil alih tubuhnya. Pertarungan melawan roh-roh yang menguasai rumah ini telah selesai, tetapi harga yang mereka bayar begitu tinggi. Pak Kusuma, yang terbaring tak jauh dari mereka, masih tidak sadarkan diri, meskipun napasnya perlahan mulai stabil."Kita sudah melawan mereka, tapi ini belum berakhir, kan?" Mira berbisik, suaranya lemah namun masih penuh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-26
  • Belenggu Rumah Darah   Bab 61 - Keheningan Setelah Badai

    Sinar matahari memancar lembut melalui jendela apartemen kecil mereka di kota. Arga duduk di ruang tamu, memandang ke luar jendela dengan pandangan kosong. Di luar, deretan kendaraan berlalu-lalang, orang-orang sibuk menjalani kehidupan mereka tanpa menyadari apa yang baru saja dialami Arga dan Mira. Seolah-olah dunia terus berputar dengan damai, sementara mereka baru saja keluar dari kegelapan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Di sampingnya, Mira duduk di sofa, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Wajahnya terlihat tenang, tapi Arga tahu di balik ketenangan itu ada sesuatu yang belum benar-benar hilang. Perjalanan mereka ke rumah tua di Desa Sinarjati telah mengubah segalanya. Setelah berhasil memutus kutukan yang membelenggu rumah itu, mereka berharap bisa kembali ke kehidupan normal. Namun, keheningan ini... terasa ganjil, bahkan menyeramkan."Bagaimana tidurmu tadi malam?" tanya Mira tanpa menoleh, memecah keheningan yang membungkus ruangan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • Belenggu Rumah Darah   Bab 62 - Bekas Luka yang Tak Hilang

    Pagi di kota itu berjalan seperti biasa, suara klakson mobil, langkah kaki tergesa-gesa, dan hiruk-pikuk jalanan yang tidak pernah tidur. Namun, bagi Arga, semuanya terasa berbeda. Sejak malam mimpi buruk yang membuatnya terbangun dengan teriakan, tubuhnya perlahan-lahan mulai terasa lebih lemah. Setiap gerakan terasa berat, seolah ada sesuatu yang menggerogoti tenaganya, memaksa tubuhnya ke titik kelelahan yang tak dapat dijelaskan.Dia berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangannya sendiri dengan pandangan kosong. Kantung mata yang gelap terlihat jelas di bawah matanya, kulitnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tidak ada bekas luka fisik, tetapi Arga merasa seakan-akan tubuhnya sedang hancur dari dalam. Setiap pagi menjadi perjuangan, dan setiap malam… dia merasakan kehadiran itu.Dia menyalakan keran dan membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap itu bisa mengusir kelelahan yang menjalar di tubuhnya. Namun, rasa dingin itu hanya menambah kesadar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27

Bab terbaru

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 120 - Desa yang Kembali Hidup

    Desa Sinarjati, yang dulu begitu sunyi dan dipenuhi ketakutan, kini mulai berangsur kembali hidup setelah rumah tua terkutuk itu hancur. Penduduk yang selama bertahun-tahun hidup di bawah bayang-bayang kegelapan, akhirnya bisa merasakan kelegaan yang telah lama mereka rindukan. Matahari yang bersinar di atas ladang dan pepohonan tampak lebih hangat, lebih terang, seolah-olah alam itu sendiri sedang merayakan berakhirnya kutukan yang selama ini membelenggu desa.Di pasar kecil desa, para pedagang kembali dengan senyum di wajah mereka, menawarkan dagangan dengan lebih ceria daripada sebelumnya. Anak-anak mulai berlarian di jalan-jalan yang dulu sunyi, tidak lagi takut untuk mendekati area yang dulu dikenal sebagai tanah terkutuk. Suasana penuh harapan tampak mengisi setiap sudut desa, membawa angin segar yang sebelumnya tertahan oleh kegelapan.Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama.Desas-desus mulai menyebar di antara penduduk. Seiring berjalannya hari, bebe

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 119 - Kehadiran Tak Terlihat

    Malam di kota seharusnya membawa keheningan yang menenangkan, namun bagi Mira, setiap malam justru terasa semakin menakutkan. Keheningan yang menyelimuti apartemennya kini bukan lagi tanda kedamaian, melainkan awal dari sesuatu yang mengerikan. Malam demi malam, kehadiran yang tak terlihat semakin kuat, membayangi setiap gerakan dan napasnya. Suara-suara yang awalnya samar kini semakin jelas, seperti sesuatu yang tak kasat mata berusaha mendekatinya.Mira berdiri di jendela apartemennya, memandangi jalanan kota yang sepi. Tirai di sebelahnya berkibar pelan, meskipun tidak ada angin yang masuk dari jendela tertutup. Dia menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan cemas yang semakin menekan dadanya. Tapi dia tahu, di dalam hatinya, bahwa apa yang dia rasakan bukanlah imajinasi semata. Sesuatu telah berubah, dan kehadiran itu semakin nyata, semakin sulit untuk diabaikan.Langkah-langkah kecil terdengar samar dari koridor apartemen, seperti seseorang sedang berjalan pelan,

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 118 - Penglihatan yang Mengganggu

    Pagi itu, matahari terbit seperti biasa di luar jendela apartemen Mira, memancarkan sinar hangat yang lembut ke dalam ruang tamunya yang tenang. Hari yang cerah seharusnya membawa perasaan damai, namun bagi Mira, keheningan ini terasa tidak wajar—terlalu sunyi, terlalu kosong. Dia telah mencoba menenangkan pikirannya sejak mimpi buruk yang semakin sering menghantuinya, namun rasa cemas itu tetap melekat, merayap di sudut pikirannya.Dengan setengah sadar, Mira berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang masih lelah akibat malam tanpa tidur. Saat dia membuka keran, air dingin mengalir, memercikkan kesegaran yang sejenak menghilangkan rasa kantuk. Namun, ketika dia mengangkat wajah untuk menatap cermin, sesuatu yang aneh terjadi—sesuatu yang membuat tubuhnya membeku seketika.Di balik bayangannya sendiri di cermin, Mira melihat sekilas sosok lain, seseorang yang begitu dikenalnya. Arga. Dia berdiri di belakangnya, tersenyum samar, seperti bayanga

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 117 - Langkah yang Tertinggal

    Mira duduk di depan meja kerjanya, menatap layar komputer yang dipenuhi dengan laporan-laporan jurnalistik yang harus dia selesaikan. Di sekitar kantor, suara ketikan cepat dan obrolan singkat antar rekan kerjanya menggema, menciptakan suasana sibuk yang biasa di tempat itu. Namun, bagi Mira, hiruk-pikuk itu tidak bisa menutupi kegelisahan yang terus menghantui pikirannya. Setiap detik terasa berat, dan di balik setiap kasus aneh yang dia tangani, ada bayangan yang selalu mengintip dari masa lalu—dari rumah tua di Desa Sinarjati.Sudah beberapa minggu sejak Mira kembali ke kota, mencoba menjalani hidupnya seperti biasa. Dia kembali bekerja sebagai jurnalis, meliput berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kota. Namun, meskipun tangannya sibuk mengetik, pikirannya terus melayang kembali ke desa, ke kegelapan yang pernah menyelimutinya, ke rumah tua yang kini hanya tinggal reruntuhan. Setiap kasus misterius yang dia tangani seolah mengingatkan pada sesuatu yang lebih be

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 116 - Cahaya di Tengah Kegelapan

    Malam di kota besar tampak tenang, namun dalam keheningan itu, Mira tidak bisa merasa benar-benar damai. Sejak kembali dari Desa Sinarjati, rasa lega yang semula ia rasakan mulai memudar, digantikan oleh kecemasan yang kian hari kian membesar. Meskipun dia tahu rumah tua itu telah hancur, meskipun kutukan itu telah dipatahkan, ada sesuatu yang terus menghantuinya—bayangan kegelapan yang seolah-olah tidak mau pergi.Setiap malam, Mira terbangun dengan jantung berdetak kencang, peluh dingin membasahi tubuhnya, dan mimpi buruk yang selalu sama menghantuinya. Dalam mimpi itu, dia berdiri di depan rumah tua yang tak lagi ada. Kegelapan pekat menyelimuti sekeliling, dan meskipun rumah itu telah runtuh, ia merasakan kehadiran sesuatu yang lebih kuat, lebih jahat. Bayangan hitam tanpa wajah terus mendekatinya, menyeretnya ke dalam kegelapan, dan setiap kali dia mencoba melarikan diri, kakinya terbenam di tanah yang basah dan berat, seperti lumpur yang menahannya.Mira te

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 115 - Mira yang Terbebaskan

    Matahari baru saja terbit ketika Mira menginjakkan kaki di stasiun kereta kota. Udara pagi di kota besar terasa berbeda—segar, penuh kehidupan, dan jauh dari suasana mencekam yang selama ini menyelimuti Desa Sinarjati. Suara deru kendaraan dan aktivitas pagi hari mulai menggema, menciptakan simfoni perkotaan yang dinamis. Bagi sebagian besar orang, itu hanyalah pagi yang biasa, namun bagi Mira, hari ini menandai awal yang baru, sebuah kebebasan yang baru dia rasakan.Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar masuk ke paru-parunya, merasa beban berat di pundaknya yang selama ini menghantuinya mulai terasa lebih ringan. Ketika dia meninggalkan desa, dia tahu bahwa dia tidak meninggalkan masa lalu sepenuhnya—jejak kutukan yang pernah merantai hidupnya tidak akan sepenuhnya hilang. Namun, kini dia menyadari bahwa kutukan itu bukan lagi sesuatu yang membebani atau mengurungnya. Itu hanyalah bagian dari sejarah dirinya, dan dia telah belajar menerima itu.Mira be

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 114 - Hari yang Tenang

    Pagi di Desa Sinarjati akhirnya terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari memancarkan sinar lembutnya, menyinari desa yang selama ini dikelilingi oleh kegelapan dan ketakutan. Burung-burung berkicau di atas pepohonan, dan angin lembut membawa aroma tanah basah yang baru saja disiram embun pagi. Bagi kebanyakan orang, pagi ini terasa berbeda—seolah-olah ada beban besar yang terangkat, meskipun masih ada rasa cemas yang menyelip di antara kehidupan sehari-hari.Penduduk desa perlahan-lahan kembali ke rutinitas mereka. Pasar kecil yang dulunya sepi karena ketakutan mulai ramai lagi dengan aktivitas. Orang-orang berbincang pelan sambil melakukan pekerjaan mereka, dan anak-anak berlarian di jalan-jalan desa, meskipun kali ini mereka berhati-hati untuk tidak terlalu mendekati area bekas rumah tua yang kini telah hilang dari pandangan.Mira, yang tinggal di desa untuk sementara waktu, berjalan di antara penduduk dengan tatapan kosong namun penuh pengamatan. Meskipun r

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 113 - Penghancuran Rumah

    Pagi di Desa Sinarjati membawa udara yang berbeda. Setelah pengorbanan Laras, suasana yang selama ini terasa berat dan penuh ketegangan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa hening yang mendalam. Namun, di tengah ketenangan itu, ada sesuatu yang terjadi di tengah reruntuhan rumah tua—sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah terlibat dalam kutukan yang selama ini menjerat desa.Mira berdiri diam di pinggir reruntuhan, hatinya masih dipenuhi oleh keharuan dan kesedihan setelah melihat Laras mengorbankan dirinya demi kedamaian. Pengorbanan itu, yang dilakukan dengan kesadaran penuh, membawa perasaan lega yang begitu besar. Namun, saat itu juga, Mira merasakan getaran aneh di tanah di bawah kakinya. Tanah yang selama ini terasa diam dan menyimpan energi kegelapan, kini mulai bergerak, seolah-olah sedang bersiap untuk melepaskan sesuatu.Suara gemeretak kayu yang patah terdengar di kejauhan, mengalir dari arah sisa-sisa rumah tua yang tampak lebih

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 112 - Kekuatan Pengorbanan

    Udara pagi di Desa Sinarjati terasa berat, diselimuti ketenangan yang aneh setelah malam yang penuh teror. Sinar matahari yang biasanya membawa harapan, tampak terhalang oleh sisa-sisa energi gelap yang masih mengendap di udara, seolah-olah desa itu belum benar-benar terbebas dari cengkeraman kutukan yang telah menghancurkan banyak hidup. Di tengah keheningan itu, Laras berdiri di reruntuhan rumah tua, tatapannya tegas namun penuh dengan kesedihan yang dalam. Dia tahu bahwa saat ini adalah titik akhir—satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan ini selamanya.Mira, yang baru saja mengucapkan selamat tinggal kepada Arga, berdiri di samping Laras. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik tetapi juga emosional. Namun, di tengah semua kelelahan itu, ada tekad yang tidak bisa disangkal. Mereka berdua tahu bahwa masih ada satu hal yang harus dilakukan. Kutukan ini tidak akan berhenti hanya dengan menutup portal atau menghancurkan rumah tua. Kegelapan ini membutuhkan sesuatu

DMCA.com Protection Status