Suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang lorong sempit dan gelap menuju ruang bawah tanah. Lampu minyak yang mereka bawa berayun lembut, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding yang seakan bergerak dengan irama napas mereka yang terengah-engah. Udara di lorong semakin pengap dan dingin, seolah-olah setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke dalam perut kegelapan yang tak pernah terjamah oleh cahaya.Arga memimpin di depan, meskipun jantungnya terus berdebar tak menentu. Tangannya menggenggam lampu dengan erat, sementara Mira berada tepat di belakangnya, sesekali melirik ke arah Laras yang masih tampak gelisah. Pak Kusuma mengikuti di belakang mereka, wajahnya tenang meskipun matanya memancarkan ketegangan yang jelas.“Kita hampir sampai,” kata Pak Kusuma tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik, seperti takut mengganggu sesuatu di dalam keheningan itu. “Ruang bawah tanah ini tidak pernah dibuka sejak keluarga Laras dihukum. Apa pun yang ada di dalamnya... itu adalah kunci dari
Cahaya lampu minyak yang semakin redup menyorotkan bayangan panjang ke arah makhluk menyeramkan yang terus mendekat. Sosok dengan mata merah itu seakan tidak menyentuh tanah, melayang dengan gerakan yang hampir tidak wajar, memancarkan hawa dingin yang membuat ruangan terasa semakin sempit dan pengap.Mira terus memeriksa simbol-simbol yang terukir di dinding, berusaha mencari pola atau petunjuk yang bisa menghentikan makhluk itu. Di belakangnya, Pak Kusuma berdiri menjaga Laras yang masih terlihat pucat dan gemetaran. Sementara Arga, dengan linggis di tangan, mencoba menahan ketakutannya, berdiri di antara mereka dan makhluk yang mendekat.“Aku nggak tahu apakah ini benar,” gumam Mira dengan nada tegang sambil menelusuri simbol-simbol tersebut dengan jemarinya. “Tapi... gue rasa simbol ini... seperti mantra pengurung. Mungkin kalau kita bisa memecahkan urutan ini, kita bisa menghentikan makhluk itu.”“Gue nggak ngerti,” jawab Arga cepat, matanya masih tertuju pada makhluk itu. “Apa lo
Suasana di luar rumah terasa jauh lebih tenang dibandingkan dengan kegelapan pekat yang mereka tinggalkan di ruang bawah tanah. Namun, rasa lega itu tidak sepenuhnya membawa kenyamanan. Bayang-bayang malam yang menyelimuti langit Desa Sinarjati terasa lebih tebal, lebih menyesakkan. Rumah tua itu tampak sunyi, namun ada sesuatu yang masih hidup, bersembunyi di balik tembok dan lantainya.Arga duduk di teras, matanya tertuju pada pintu depan rumah yang baru saja mereka tinggalkan. Matanya kosong, pikirannya melayang jauh. Meskipun mereka berhasil mengusir makhluk itu, perasaan bahwa semuanya belum berakhir terus mencengkeram dirinya. Napasnya masih terasa berat, dan di setiap sudut bayang-bayang, dia merasa ada yang mengawasinya.Mira duduk di sampingnya, tubuhnya lelah. Dia menggenggam lengan Arga dengan lembut, mencoba menenangkannya meskipun dirinya sendiri masih merasakan ketegangan. "Kita harus istirahat dulu, Arg. Gue nggak tahu gimana lo masih bisa berdiri setelah semua ini."Arg
Ruangan itu terasa seperti membeku. Napas Arga tersangkut di tenggorokan ketika sepasang mata merah di ujung lorong kembali menatap mereka dengan kebencian yang mencekam. Semua orang di ruangan itu membisu, hanya terdengar deru napas yang tertahan dan detak jantung yang semakin cepat. Mata merah itu, sekali lagi, seperti menggiring mereka menuju kegelapan yang lebih dalam—lebih mencekam."Kalian... tidak seharusnya ada di sini..." Suara itu kembali bergema, berat dan serak, seolah-olah datang dari dunia yang berbeda, penuh dengan dendam dan penderitaan.Mira berdiri dengan tubuh kaku, dia mencoba mengendalikan rasa takutnya. Tangannya secara refleks meraih lengan Arga. "Apa yang kita lakukan sekarang?" bisiknya, suaranya terdengar gemetar.Pak Kusuma melangkah maju dengan hati-hati, meskipun kerutan di dahinya menunjukkan bahwa dia juga merasakan kecemasan yang mendalam. "Kita harus tetap tenang. Ini bukan arwah sembarangan. Mereka adalah bagian dari kutukan yang masih terikat dengan r
Pintu menuju ruang bawah tanah terbuka dengan derit panjang, mengeluarkan suara yang membuat bulu kuduk meremang. Hawa dingin yang menusuk langsung menyusup ke kulit mereka, seperti cengkeraman kegelapan yang tidak pernah ingin melepaskan mangsanya. Lorong sempit dan gelap di hadapan mereka tampak seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa saja yang berani melangkah masuk.Arga memegang linggisnya lebih erat, sementara Mira di sampingnya menggenggam lengan Arga dengan gemetar. Pak Kusuma berjalan paling depan, membawa dupa yang baru saja dinyalakan. Asap tipis mengepul dari ujungnya, melayang pelan di udara yang penuh ketegangan. Di belakang mereka, Laras berjalan dengan langkah berat, namun tekad di wajahnya sudah bulat. Malam ini, apa pun yang terjadi, kutukan ini harus diakhiri."Di mana Bram?" tanya Arga tiba-tiba, matanya menyusuri ruangan di atas mereka. Sejak beberapa waktu lalu, Bram menghilang. Tidak ada yang memperhatikannya, terlalu sibuk dengan kekacauan yang terjadi.Mi
Ketegangan menggantung di udara saat mereka berkumpul di sekitar Bram yang masih terbaring lemah di lantai. Tangis anak kecil dari kegelapan bergema seperti musik kematian, mengoyak keheningan dan menambah kepanikan yang menyelimuti mereka. Arga terus menatap sahabatnya, mencoba berpikir jernih meskipun pikirannya penuh dengan kebingungan dan ketakutan."Laras, lo baik-baik aja?" tanya Mira tiba-tiba, suaranya terdengar serak di tengah kengerian yang mengancam mereka. Laras, yang berdiri agak jauh, tampak pucat dan masih dalam kondisi syok. Dia mengangguk pelan, meski sorot matanya masih kosong, seolah-olah sedang memproses sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Pak Kusuma, yang terus melantunkan mantra di samping Bram, akhirnya berdiri. Wajahnya tampak semakin tua dalam cahaya redup ruangan itu. “Bram sudah melewati batas. Kita harus segera menyelesaikan ini sebelum dia benar-benar ditarik oleh kekuatan yang ada di sini.”Arga merasa tangannya bergetar, dia menggenggam l
Suara pintu-pintu yang membanting keras dan jeritan-jeritan yang menggema di sekeliling mereka semakin intens, membuat suasana di ruang bawah tanah berubah menjadi lebih mencekam. Arga bisa merasakan hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap pori-pori di kulitnya mencoba menolak keberadaan kegelapan yang semakin menebal di ruangan itu.Mereka semua berdiri terpaku, menyaksikan Bram yang masih bergerak ke arah altar, tubuhnya kaku seperti boneka yang digerakkan oleh kekuatan tak terlihat. Simbol-simbol di lantai berkilauan merah, sementara darah segar mengalir pelan di sekitar altar, menciptakan pola yang semakin menyeramkan. Di sekitar ruangan, dinding-dinding batu tampak mulai berdenyut, seolah-olah hidup dan bernapas bersama dengan energi gelap yang menguasai tempat itu.“Bram! Berhenti!” teriak Arga lagi, suaranya bergema dalam kegelapan. Tapi seperti sebelumnya, tidak ada respons dari sahabatnya. Tubuh Bram terus maju, tangannya hampir menyentuh permukaan al
Langit di luar rumah mulai beranjak dari kegelapan malam yang mencekam menuju fajar yang samar-samar terlihat, namun kegelapan di dalam rumah tua itu tidak mereda sedikit pun. Suara gemuruh di bawah tanah terus berlanjut, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak jauh di bawah permukaan, bangkit dari tempat persembunyiannya yang telah lama terlupakan.Arga berdiri dengan napas berat, masih merasakan beban kengerian yang terus mencengkeram dirinya sejak mereka turun ke ruang bawah tanah. Di sebelahnya, Laras terlihat lelah, wajahnya pucat namun matanya tetap terfokus. Dia sudah melakukan lebih dari yang bisa dibayangkan, namun jelas bahwa tugas mereka belum selesai.Mira mendekat ke Arga, menggenggam lengannya dengan erat. “Arg, kita nggak bisa terus-terusan di sini. Rumah ini semakin berbahaya. Apa pun yang tersembunyi di bawah sana, itu makin kuat.”Pak Kusuma berdiri di dekat altar yang kini tampak lebih tenang, meskipun darah yang sebelumnya mengalir di sekitarnya masih terasa hangat da