Pagi itu, Arga terbangun dengan rasa sakit yang aneh di punggungnya. Matanya masih terasa berat, pikirannya kabur karena kurang tidur setelah malam-malam mencekam yang terus mengusiknya. Sambil mengerang pelan, dia berusaha meraih bahunya, merasakan rasa perih yang tiba-tiba menjalar ke seluruh punggungnya.Sesuatu terasa salah.Arga berusaha duduk di tepi tempat tidur, menggerakkan bahunya yang kaku. Rasa perih itu semakin menyengat setiap kali dia menggerakkan tubuhnya. Dengan gerakan canggung, dia meraba punggungnya, dan sentuhannya bertemu dengan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana—tanda-tanda yang kasar dan tergores.Mira, yang masih berbaring di sampingnya, mulai terbangun, membuka matanya perlahan dan melihat Arga yang tampak cemas. "Ada apa, Ga?" tanyanya dengan suara serak, masih berusaha melepaskan sisa-sisa kantuk dari tubuhnya."Kayaknya gue terluka," jawab Arga singkat, suaranya terdengar bingung. "Ada sesuatu di punggung gue... kayak goresan atau luka."Mira langsun
Pagi berikutnya terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit di atas Desa Sinarjati tampak kelabu, seolah menyatu dengan suasana berat yang menyelimuti rumah tua tempat Arga, Mira, dan Bram terjebak. Arga masih merasakan nyeri samar di punggungnya dari bekas cakaran misterius yang muncul semalam. Meskipun rasa takut terus menghantui mereka, ada dorongan kuat di dalam diri mereka untuk menemukan jawaban atas semua teror yang telah menyerang.Mira kembali duduk di depan laptopnya, mencari lebih dalam tentang keluarga Sumarto dan sejarah rumah itu. Bram, yang biasanya penuh lelucon untuk meredakan ketegangan, sekarang diam dan duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Suasana tegang begitu kental, seakan setiap sudut rumah itu menahan napas, menunggu sesuatu yang lebih buruk terjadi.“Gue nemuin sesuatu,” kata Mira tiba-tiba, membuat Arga dan Bram menoleh cepat ke arahnya. "Ada arsip lama tentang desa ini, tapi sayangnya sebagian besar udah nggak bisa diakses. Ada potongan berita dari tah
Suasana di ruang bawah tanah semakin mencekam. Udara semakin berat, seolah-olah kegelapan di dalamnya telah menumpuk selama berabad-abad, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Arga, Mira, dan Bram berdiri di depan altar batu tua yang tampak seperti pusat dari segala kengerian yang terjadi di rumah ini. Altar itu berlumut, dihiasi dengan ukiran simbol-simbol kuno yang tampak tak wajar dan mengancam.Mira, yang berdiri paling dekat dengan altar, merasa jantungnya berdetak kencang. Ada sesuatu yang bergerak di dalam ruangan ini, sesuatu yang tidak terlihat oleh mata mereka, namun begitu nyata dalam setiap desahan napas. Suara berbisik terdengar samar-samar di telinganya, tetapi ketika dia mencoba memusatkan perhatian, suara itu menghilang."Ini dia tempatnya," kata Arga dengan suara rendah. Tangannya masih menggenggam erat liontin dari Pak Kusuma, satu-satunya perlindungan yang mereka miliki dari kegelapan yang semakin mendekat. "Kita harus menemukan cara untuk menghancurkan altar ini
Keputusan menggantung di udara seperti badai yang akan segera menghantam. Kegelapan di ruang bawah tanah itu terasa semakin mendesak, seolah-olah rumah ini tahu bahwa mereka mendekati akhir dari segalanya. Arga, Mira, Bram, dan Laras berdiri di sana, diam, meresapi kenyataan mengerikan bahwa salah satu dari mereka harus tinggal, terperangkap di rumah ini sebagai penjaga.Mata Arga menyapu ruangan dengan perlahan, pikirannya dipenuhi dengan berbagai pikiran dan ketakutan. Bagaimana mungkin hidup mereka berubah begitu drastis? Dari sekadar proyek renovasi menjadi pertaruhan hidup atau mati. Pilihan yang ada di depan mereka begitu berat hingga sulit untuk dihadapi."Jadi... siapa di antara kita?" tanya Bram, suaranya serak dan penuh ketakutan. "Siapa yang harus tinggal di sini?"Laras menunduk, masih merasa berat dengan pengetahuan yang dia miliki. "Aku... keluargaku sudah mencoba, tapi gagal. Mereka terlalu lemah untuk menahan kekuatan yang ada di rumah ini. Aku... tidak yakin aku bisa m
Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, dan cahaya yang terpancar dari simbol-simbol di dinding semakin terang, menebarkan aura yang mengerikan ke seluruh ruangan. Arga, Mira, Bram, dan Laras terperangkap di tengah-tengah, dihadapkan dengan pilihan yang sulit—berjuang untuk membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap atau melarikan diri dan meninggalkan kegelapan di belakang mereka, mungkin untuk selamanya.Suara tawa anak-anak yang tadi terdengar seperti riang kini berubah menjadi tangisan yang menyayat hati. Jiwa-jiwa mereka masih terperangkap, dan semakin jelas bagi mereka bahwa anak-anak itu tidak bisa diselamatkan tanpa menghancurkan altar kuno di depan mereka."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Bram dengan suara gemetar, tubuhnya menegang. "Kalau kita nggak cepat, kita semua akan terjebak di sini!"Mira melangkah ke arah altar, pandangannya fokus pada simbol-simbol aneh yang terukir di atasnya. Dia tahu bahwa mereka tak punya waktu lama. "Arga, kita harus menghancurkan altar ini
Cahaya redup dari matahari sore menyelinap masuk melalui jendela rumah tua itu, memantul pada permukaan lantai kayu yang mulai lapuk. Di tengah ruangan besar yang dipenuhi debu dan sisa-sisa furnitur tua, Arga berdiri dengan tangan menyilang, matanya menyapu setiap sudut ruang tamu yang terasa lebih sunyi dari biasanya."Lo yakin masih ada bagian dari rumah ini yang belum kita lihat?" tanya Bram, suaranya bergetar sedikit, meski ia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya di balik ekspresi serius.Arga mengangguk. "Ya, gue yakin. Rumah ini lebih besar dari yang kita kira. Gue baru sadar, waktu ngelihat denah lama yang sempat gue temuin di salah satu laci di lantai dua. Ada lantai tiga, tapi... nggak ada tangga yang jelas menuju ke sana."Mereka sudah berada di rumah itu selama beberapa minggu, tapi seolah-olah ada bagian dari bangunan ini yang terus menyembunyikan dirinya. Rumah itu tak pernah sepenuhnya mengungkapkan seluruh rahasianya, seakan-akan setiap sudutnya memiliki kehidupan send
Matahari mulai tenggelam ketika Arga dan Bram bergegas keluar dari rumah tua itu, meninggalkan suasana mencekam di dalam yang seolah hidup dan mengawasi mereka. Udara malam yang dingin mulai merambat, tapi di antara angin yang berhembus pelan, keheningan di desa terasa lebih pekat, lebih berat, seolah rumah itu telah melepaskan sesuatu ke dunia luar."Apa lo liat tadi, Ga?" tanya Bram, napasnya masih terengah-engah setelah pelarian cepat mereka dari lantai tiga. "Lukisan itu… Laras. Gimana mungkin?"Arga menggelengkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa. Gambar wajah Laras yang sekarat di lukisan itu masih menghantui pikirannya. Setiap detail dari wajah dalam lukisan itu begitu jelas, begitu nyata, hingga rasanya tidak mungkin itu hanya kebetulan."Kita nggak bisa berpikir ini cuma kebetulan, Bram. Ada sesuatu di rumah itu... dan Laras mungkin tahu lebih dari yang dia katakan."Bram menoleh, matanya masih dipenuhi ketakutan. "Lo pikir dia… terlibat? Maksud gue, apa Laras bisa jadi ba
Suasana tegang menyelimuti rumah kecil Laras. Wajah Pak Kusuma yang serius dan kata-katanya yang mengancam bergaung di kepala Arga dan yang lainnya. Desiran angin malam yang dingin menambah kesan mencekam, seolah alam di sekitar mereka ikut bersiap menghadapi sesuatu yang akan segera datang.“Kita nggak bisa pergi sekarang,” bantah Arga, meski suaranya tak lagi sekuat biasanya. “Kita baru mulai paham apa yang terjadi. Kalau kita kabur, kutukan ini nggak akan pernah berhenti.”Pak Kusuma mendekati Arga, wajahnya keras namun sorot matanya menunjukkan sedikit empati. “Nak, kalian nggak mengerti apa yang sedang kalian hadapi. Rumah itu bukan sekadar tempat terkutuk. Kalian telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Dan kini mereka sudah bangkit, siap untuk mengambil apa yang selama ini mereka tuntut.”Bram, yang sejak tadi tampak semakin ketakutan, bersandar di dinding, menggenggam bahunya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Lo denger itu, Ga? Mereka udah bangkit. Gu