Share

Bab 5 - Pertemuan dengan Pak Kusuma

Pagi itu, setelah malam yang dipenuhi ketakutan, Arga duduk di beranda rumah sewaan mereka dengan tatapan kosong. Cahaya matahari yang lembut menyinari desa Sinarjati, namun rasanya kehangatan pagi itu tidak bisa menghapuskan rasa dingin yang merayap di balik pikirannya.

Di dalam rumah, Bram akhirnya muncul, terlihat kelelahan namun tidak tampak cemas seperti yang Arga harapkan. "Pagi, Ga," sapanya sambil menggeliat malas.

Arga langsung bangkit dari kursi. "Bram! Lo di mana semalam? Gue nyariin lo ke mana-mana."

Bram berhenti, menatap Arga dengan bingung. "Gue tidur di mobil, bro. Gue nggak bisa tidur di rumah, suasananya terlalu creepy. Gue bilang sama lo tadi malem, tapi mungkin lo udah ketiduran duluan."

Arga mengernyit, mencoba mengingat. Dia tidak ingat Bram memberitahunya hal itu. Bahkan, Bram jelas-jelas menghilang dari kamar semalam, dan ketukan serta bisikan-bisikan itu... Namun, melihat Bram di depannya dengan ekspresi biasa saja, ia mulai merasa apa yang terjadi semalam mungkin hanya permainan otaknya yang lelah.

"Kenapa nggak bilang lebih jelas? Gue bener-bener mikir lo hilang," ujar Arga, masih merasa ada sesuatu yang aneh.

Bram tertawa kecil, mengangkat bahu. "Maaf, Ga. Gue pikir lo tahu."

Namun, bahkan dengan Bram di hadapannya, perasaan aneh itu tidak menghilang. Kejadian semalam terasa terlalu nyata untuk sekadar halusinasi.

“Gue ketemu Pak Kusuma siang ini,” kata Arga akhirnya, mengubah topik. "Lo bisa ikut kalau mau. Mungkin dia tahu sesuatu tentang rumah itu."

Bram, yang biasanya suka menghindari hal-hal serius, kali ini mengangguk. "Kayaknya perlu. Gue pengen tau juga kenapa tempat itu bikin merinding setengah mati."


Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan desa yang berdebu menuju rumah Pak Kusuma, tetua desa yang dikenal sangat dihormati oleh penduduk. Rumahnya sederhana, namun tertata rapi, dengan taman kecil di depannya yang dipenuhi tanaman herbal. Ketika mereka sampai di depan gerbang kayu tua, Arga merasakan keheningan yang aneh melingkupi tempat itu, seolah waktu di rumah Pak Kusuma bergerak dengan kecepatan yang berbeda.

Arga mengetuk pintu perlahan. Tak butuh waktu lama sebelum pintu dibuka oleh Pak Kusuma, seorang pria berusia lanjut dengan wajah berkerut namun tampak bijak. Pak Kusuma mengamati mereka dengan tatapan dalam, seolah menilai siapa yang sedang berdiri di hadapannya.

“Kalian datang,” ucap Pak Kusuma tanpa basa-basi. Suaranya rendah, namun ada kekuatan di baliknya.

“Iya, Pak. Saya Arga, dan ini Bram. Kami... sedang merenovasi rumah tua di ujung desa, dan...” Arga berhenti, tidak yakin bagaimana melanjutkan. Menceritakan pengalaman-pengalaman aneh itu kepada orang lain membuatnya merasa tidak rasional.

Pak Kusuma memandang Arga dengan tajam, seolah sudah mengetahui apa yang akan dibicarakan.

“Kalian ingin tahu tentang rumah itu, bukan?” tanya Pak Kusuma, suaranya datar.

Arga mengangguk. “Iya, Pak. Sejak kami mulai renovasi, ada hal-hal aneh yang terjadi. Ketukan, suara-suara... bahkan bayangan yang...”

Pak Kusuma mengangkat tangan, menghentikan Arga berbicara. “Aku tahu. Tidak perlu dijelaskan lagi.”

Bram, yang biasanya cenderung bercanda, kali ini diam, terpesona oleh atmosfer misterius yang terpancar dari pria tua itu. Pak Kusuma membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan mereka masuk. Rumah itu terasa hangat dan nyaman, namun ada rasa tidak nyaman yang menggantung di udara, sesuatu yang membuat mereka berdua semakin waspada.

“Duduklah,” kata Pak Kusuma, menunjuk ke dua kursi di ruang tamu. Di meja di depan mereka, ada beberapa benda yang tampak seperti jimat-jimat tradisional, terbuat dari kain tua dan kayu. Beberapa tercium bau dupa samar, menambah suasana magis yang menekan.

Setelah mereka duduk, Pak Kusuma menatap mereka lama, sebelum akhirnya berkata, “Rumah itu bukan sekadar rumah tua. Di dalamnya tersimpan banyak hal yang orang luar tidak pahami. Aku sudah lama tahu bahwa akan tiba saatnya orang seperti kalian datang—orang yang tidak tahu apa-apa tentang tempat itu.”

Arga menelan ludah, merasakan ketegangan yang semakin menumpuk. “Maksud Bapak?”

Pak Kusuma mendesah panjang, tampak ragu sejenak sebelum mulai bercerita. “Rumah itu... dulu bukan rumah biasa. Itu adalah tempat persembunyian saat penjajahan. Orang-orang yang tidak mau tunduk pada penjajah berlindung di sana. Namun, bukan hanya mereka yang bersembunyi. Banyak yang datang untuk berlindung, tapi juga banyak yang hilang... tidak pernah keluar lagi.”

Bram tampak tidak nyaman mendengar cerita itu. “Hilang? Maksudnya, mati di dalam?”

“Bukan sekadar mati, Nak,” Pak Kusuma memperbaiki posisi duduknya. “Mereka tidak hanya kehilangan nyawa mereka. Jiwa mereka, kemarahan mereka, semuanya terjebak di dalam sana, menjadi bagian dari rumah itu. Rumah itu... adalah penjara.”

Arga terdiam. Bagian dari dirinya ingin membantah cerita Pak Kusuma, menganggap itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti, namun setelah apa yang ia alami semalam, cerita itu terdengar masuk akal.

“Mereka yang datang ke sana dengan niat buruk, atau bahkan yang hanya lalai, akan terperangkap oleh energi negatif yang menguasai rumah itu. Selama bertahun-tahun, tidak ada yang berani mendekat,” lanjut Pak Kusuma. “Kalian, anak muda dari kota, tentu tidak percaya dengan hal-hal seperti ini. Tapi apa yang kalian lihat di sana... hanya awal dari semuanya.”

Bram menelan ludah. “Jadi... yang kita lihat, yang kita dengar... mereka?”

Pak Kusuma mengangguk perlahan. “Itu adalah mereka. Orang-orang yang terjebak di rumah itu. Mereka ingin keluar, tapi tidak bisa. Mereka terperangkap dalam siklus kebencian dan kematian. Dan semakin lama kalian di sana, semakin kalian terlibat.”

Arga menatap Pak Kusuma, keningnya berkerut. “Jadi... apa yang harus kita lakukan? Kami sudah terlanjur mengambil proyek ini.”

Pak Kusuma menghela napas panjang, wajahnya tampak lelah. “Ada alasan mengapa rumah itu ditinggalkan selama bertahun-tahun. Setiap kali ada yang mencoba memperbaikinya, sesuatu yang buruk selalu terjadi. Kalian sudah terlalu dalam. Tapi, jika kalian ingin menyelesaikan proyek ini, kalian harus melindungi diri.”

Arga mendengar kata-kata itu dengan seksama. “Melindungi diri? Maksud Bapak... pakai jimat, atau semacamnya?”

Pak Kusuma mengangguk. “Aku akan memberikan kalian perlindungan. Tapi ingat, ini hanya untuk melindungi, bukan untuk mengusir mereka. Energi rumah itu terlalu kuat, terlalu banyak jiwa yang terperangkap. Kalian hanya bisa menghindari yang terburuk. Tapi untuk mengusir mereka... itu membutuhkan lebih dari sekadar perlindungan.”

Bram terdiam, tampak berpikir keras. “Apa yang harus kita lakukan kalau mereka mulai... menyerang kita?”

Pak Kusuma menatap mereka tajam. “Jangan pernah menantang mereka. Jangan berbicara dengan mereka, dan jangan menatap mereka di cermin. Jika kalian melihat bayangan, abaikan. Jika kalian mendengar suara, jangan menjawab. Satu-satunya cara untuk selamat adalah tidak terlibat.”

Arga merasa perutnya mengencang mendengar peringatan itu. “Dan jika kami melanggar?”

Pak Kusuma menatap mereka dalam-dalam sebelum menjawab dengan suara serak, “Maka kalian akan menjadi bagian dari rumah itu. Selamanya.”


Setelah pertemuan yang penuh ketegangan itu, Arga dan Bram berjalan kembali menuju rumah sewaan mereka. Suasana desa terasa lebih berat dari biasanya, dan kata-kata Pak Kusuma masih berputar-putar di kepala mereka.

“Gue nggak suka ini, Ga,” ujar Bram akhirnya. “Semakin banyak gue denger, semakin gue pengen cabut aja dari sini.”

Arga terdiam. Dia merasa hal yang sama, namun dia tahu mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka terikat oleh kontrak, oleh tanggung jawab, dan juga... oleh rasa penasaran. Teror yang mereka alami mungkin nyata, tapi di dalam dirinya, Arga masih ingin percaya bahwa ada penjelasan logis untuk semuanya.

Namun, di kedalaman hatinya, dia juga tahu: apa pun yang ada di rumah itu, semakin hari semakin sulit diabaikan.

Dan ketika mereka kembali ke rumah tua itu besok, mereka harus lebih siap daripada sebelumnya. Karena sesuatu sedang menunggu mereka... sesuatu yang mungkin tidak bisa lagi mereka hindari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status